Semenjak lebih dari
satu abad yang lalu, birokrasi di seluruh belahan dunia telah memiliki stigma
yang negatif. Hal ini nampak dari pernyataan Kanselir Jerman periode 1870-1890,
Otto von Bismarck, pada tahun 1891 bahwa “birokrasi adalah apa yang mendatangkan
kesengsaraan bagi kita”. Keluhan-keluhan tentang inefisiensi, pelayanan yang
lambat, biaya siluman, sampai KKN sudah menjadi rahasia umum. Pada skala yang
lebih makro dapat dilihat fenomena-fenomena berupa tingginya indeks
korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di
posisi ke tujuh terkorup diantara 102 negara, atau country risk (indeks
tingkat risiko) Indonesia yang berada pada posisi ke-150, dari 185 negara yang
di survei. Dari aspek pembangunan SDM, Human Development Report 2003 yang
dipublikasikan oleh UNDP melaporkan bahwa dari 173 negara di dunia, Indonesia
ternyata berada di posisi 110, di bawah Philipina, Cina, dan bahkan Vietnam.
Selain itu, World Investment Report (WIR) 2003
membuat peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI)
1999-2000, diantara 140 negara, Indonesia ternyata menempati urutan ke-138, dua
di bawahnya adalah Gabon dan Suriname.
Tidak aneh jika
kemudian berbagai negara gencar melakukan program reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah proses dan tuntutan yang tidak bisa
ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada hakekatnya adalah mesin negara (the
machine of the state) yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan
dan pembangunan dalam rangka merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub
dalam konstitusi negara. Selanjutnya, inti dari birokrasi adalah SDM aparatur.
Hal ini mengandung pengertian bahwa peningkatan kompetensi individual pegawai
dan kompetensi jabatan (struktural maupun fungsional), serta pembenahan perilaku
dan etika pejabat publik perlu mendapat perhatian serius sebagai bagian
integral dari proses reformasi birokrasi.
Dengan demikian
dapat dipahami bahwa keberhasilan birokrasi dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dan kompetensi
manajerialnya saja, namun juga sangat ditentukan pada aspek sikap perilaku (behavior)
dan budaya kerja di lingkungan tempat tugasnya (organizational culture).
Itulah sebabnya, upaya membangun kompetensi intelektual dan manajerial harus
diimbangi dengan upaya mendorong penerapan budaya kerja secara tepat dan
optimal.
Dalam rangka
memperkuat dimensi budaya dalam sektor publik ini telah ditempuh beberapa
langkah konkrit antara lain penataran P4, Gerakan
Disiplin Nasional (GDN), penerapan instrumen penilaian dengan DP3, implementasi
Waskat (pengawasan melekat) dan Tim Anti Korupsi, dan sebagainya. Namun sejauh
ini belum nampak hasil seperti yang diharapkan, bahkan dalam era otonomi ini
cenderung ditemukan banyak fenomena penyimpangan yang bersumber dari lemahnya
budaya kerja seperti KKN, kasus-kasus asusila, rendahnya tingkat kehadiran
pegawai pada waktu-waktu tertentu seperti lebaran, konflik kepentingan antar
instansi (contoh: antara eksekutif dan legislatif), dan sebagainya.
Pada tataran kesisteman juga telah dilakukan berbagai upaya dengan berbagai pendekatan
teoretis / konseptual seperti privatisasi dan perubahan ekonomi perencanaan
menjadi ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996); reinventing
government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde-creating
organization (Ikujiro Nonaka dan
Hirotaka Takeuchi, 1995); learning organization sebagai disiplin
ke-5 (Peter Senge, 1995); banishing bureaucracy (David Osborne dan Peter
Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun nampaknya, kondisi dan kinerja birokrasi
masih belum menampakkan hasil positif.
Paparan diatas
menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah pada organisasi pemerintahan di
Indonesia, termasuk para aparatnya. Salah satu yang patut diperhatikan adalah
masalah budaya kerja organisasi, termasuk pula masalah sikap profesionalisme,
etika, semangat pengabdian, komitmen terhadap tugas, serta motivasi dari setiap
insan pelayanan publik. Dalam kaitan ini, MENPAN telah merumuskan 17 perilaku (persepsi, sikap dan cara kerja) sebagai indikator
peningkatan budaya kerja yaitu perilaku-perilaku yang dianggap perlu
ditingkatkan untuk peningkatan fungsi pelayanan aparatur negara (baik kepada
masyarakat, maupun ke dalam instansi sendiri dan antar instansi pemerintah).
Ke-17 perilaku tersebut adalah:
1.
Komitmen terhadap visi, misi, organisasi, tujaun
dan konsistensinya dalam pelaksanaan kebijakan negara serta peraturan
perundangan yang berlaku.
2.
Wewenang dan tanggung jawab.
3.
Keikhlasan dan kejujuran.
4.
Integritas dan profesionalisme.
5.
Kreativitas dan kepekaan (sensitivitas) terhadap
lingkungan tugas.
6.
Kepemimpinan dan keteladanan.
7.
Kebersamaan dan dinamika kelompok/organisasi.
8.
Ketepatan (keakurasian) dan kecepatan.
9.
Rasionalitas dan emosi.
10. Keteguhan dan ketegasan.
11. Disiplin dan keteraturan bekerja.
12. Keberanian dan kearifan dalam mengambil keputusan/menganai konflik.
13. Dedikasi dan loyalitas.
14. Semangat dan motivasi.
15. Ketekunan dan kesabaran.
16. Keadilan dan keterbukaan.
17. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untk
melaksanakan tugas/pekerjaannya.
Namun dari berbagai fenomena yang
ada, sering ditemukan adanya 2 (dua) permasalahan utama berkenaan dengan budaya
kerja organisasi pemerintah, yakni:
·
Masih ditemuinya praktek-praktek
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sesuai dengan budaya kerja organisasi
sehingga kurang dapat berkontribusi secara optimal untuk menciptakan
efektivitas, efisiensi, dan kinerja organisasi pemerintahan daerah secara
optimal.
·
Adanya indikasi bahwa kebijakan
pemerintah daerah selama ini kurang terprogram secara sistematis untuk
menciptakan budaya kerja yang kondusiif di lingkungannya masing-masing.
Belum optimalnya
penerapan budaya kerja bagi organisasi perangkat daerah ini nampaknya bersumber
dari beberapa kondisi, antara lain belum adanya pemahaman secara utuh diantara
jajaran aparatur daerah mengenai esensi dan manfaat budaya kerja. Selain itu
upaya sosialisasi dan diseminasi dari instansi Pusat tentang tahapan dan teknik
penerapan budaya kerja juga belum terprogram secara sistematis.
Mengingat hal tersebut, maka perlu diidentifikasi kondisi obyektif
dan implementasi budaya kerja di setiap organisasi pemerintahan, serta profil penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan prinsip-prinsip budaya kerja. Dari hasil
identifikasi tadi, diharapkan dapat dirumuskan alternatif kebijakan yang lebih
operasional dalam menumbuhkan dan membangun budaya kerja organisasi pemerintah
daerah, sehingga dapat memacu kinerja pelayanan sektor publik secara lebih
baik.
Samarinda, April 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar