Dalam artikel sebelumnya berjudul
“Kreativitas: Bawaan Lahir atau Produk Kreatif?” sudah saya jelaskan bahwa
salah satu cara untuk menjadikan kreativitas sebagai sebuah tradisi atau budaya
adalah dengan bertanya. Ya, kemampuan bertanya selalu menunjukkan kemampuan
analisis dan aktivitas berpikir kreatif dari seseorang. Bertanya adalah situasi
dimana seseorang memiliki rasa ingin tahu (curiosity)
tentang sesuatu, sedangkan rasa ingin tahu itu adalah pintu gerbang
pengetahuan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa segala bentuk kemajuan
ilmu dan teknologi yang kita rasakan saat ini bermula dari pertanyaan kecil
yang disusul oleh pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ketika kita sudah mampu
menjawab sebuah pertanyaan, pada hakekatnya saat itulah kita telah mendapatkan
pengetahuan baru. Bertanya juga merupakan titik awal dari sebuah perubahan
besar. Inilah yang dikatakan oleh Martin B. Kormanik, Presiden dan CEO dari
perusahaan OD System dengan kalimatnya “Change
begins with inquiry”. Tidak ada perubahan yang terjadi tiba-tiba, melainkan
didahului oleh sebuah proses identifikasi ketidakpuasan atas kondisi
sebelumnya, harapan akan kondisi yang lebih baik, serta rasa penasaran tentang
bagaimana perubahan tersebut dapat dilakukan.
Bahkan, bertanya juga dapat
menyelamatkan sesuatu dari kehancuran. Sebagai contoh, percayakah anda atau
kita semua jika disebutkan bahwa faktor penyebab tenggelamnya Titanic atau meledaknya pesawat ruang
angkasa Challenger adalah
ketidakberanian para insinyurnya untuk bertanya? Statement terakhir ini nampak berlebihan. Sayapun sebelumnya tidak
yakin akan kehebatan bertanya (the power
of asking) hingga saya menemukan buku berjudul “Leading with Question: How Leaders Find the Right Solutions by Knowing
What to Ask” karya Michael J. Marquardt (2014, John Wiley and Sons).
Dalam buku itu dijelaskan panjang
lebar bahwa pada kasus Titanic atau Challenger, sebagian orang merasa
khawatir bahwa merekalah satu-satunya orang yang menaruh perhatian terhadap
sesuatu (ternyata belakangan diketahui bahwa banyak orang yang memiliki
perhatian yang sama). Sebagian yang lain ingin mengajukan pertanyaan, namun
mereka merasa bahwa pertanyaannya sudah terjawab pada pikiran orang lain,
sehingga jika dia tetap bertanya malah dianggap sebagai pertanyaan bodoh.
Mereka khawatir dianggap tidak mampu mengikuti pemikiran koleganya. Dalam
investigasi tenggelamnya Titanic terungkap
bahwa para perencana dan pembuat kapal tersebut memiliki kekhawatiran dengan
struktur dan sistem keselamatan kapal, namun tidak berani menyatakannya. Mereka
berpikir bahwa jika para ahli dan teknisi yang lain tidak mengemukakan
kekhawatiran yang sama, berarti semuanya dalam keadaan sempurna. Celakanya,
kekhawatiran dan ketidakberanian mengungkapkan kekhawatiran seperti ini menghinggapi
banyak orang dalam pembuatan dan pelayaran Titanic.
Akibat dari itu semua adalah tragedi yang sangat fatal, yakni lenyapnya nyawa
lebih dari 1.500 orang di lautan Atlantik pada tanggal 14 April 1912.
Masalah serupa terjadi pada
peristiwa meledaknya pesawat ulang alik Challenger
pada tanggal 28 Januari 1986, hanya 73 detik setelah diluncurkan. Ternyata,
hasil penyelidikan membuktikan adanya mis-komunikasi antara NASA, Morton
Thiokol Inc. (MTI), dan Marshal Space Center (MSC). MTI, kontraktor yang
bertanggungjawab dalam pembuatan komponen yang gagal pada saat peluncuran,
sangat tergantung pada MSC dalam kesepakatan kontrak, sementara MSC sendiri
tergantung pada NASA untuk aspek pembiayaan. Sekitar dua tahun sebelum
peristiwa naas itu, MTI sudah menyadari kemungkinan terjadinya masalah pada O-ring, sebuah komponen yang berfungsi
untuk mencegah lepasnya booster pada
roket yang mengakibatkan kebakaran pada lubang tangki bahan bakar. Para
insinyur MTI sudah melakukan pengujian ulang dan menemukan bahwa O-ring tadi memang tidak layak, terutama
ketika temperatur turun hingga 53 derajat. Namun mengapa Challenger tetap diluncurkan pada suhu 36 derajat? Ternyata mereka
takut mengungkapkan keraguan mereka, bahkan takut untuk bertanya sekalipun.
Satu pelajaran lagi tentang arti
penting bertanya dapat disimak dari invasi militer AS ke Kuba tahun 1961 yang
terkenal dengan penyerangan Teluk Babi (Bay
of Pigs Invasion). Invasi tersembunyi ini melibatkan lebih dari 1.400
tentara yang jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan. Kurangnya dukungan udara, amunisi,
dan rute untuk pelarian, telah mengakibatkan situasi yang amat sulit bagi para
penyerbu sehingga lebih dari 1.200 orang menyerah sedangkan yang lainnya tewas.
Presiden JFK yang mengambil keputusan sampai mengeluarkan pernyataan: “How could I have been so stupid?” Peristiwa
yang sangat memalukan bagi bangsa Amerika ini terjadi karena para penasihat utama
Presiden tidak mau memberi pertimbangan yang berbeda karena takut dianggap
mengganggu persetujuan kelompok. Sebelum keputusan diambil, salah seorang
penasihat JFK yakni Arthur Schlesinger sebenarnya memiliki keberatan terhadap
rencana penyerangan, namun hal itu ditekan dalam pertemuan tim. Jaksa Agung
Robert Kennedy menegur Schlesinger untuk mendukung keputusan Presiden. Beberapa
bulan setelah kekalahan AS dalam tragedi Teluk Babi itu Schlesinger menyesal
dan mengatakan: “Saya begitu mengutuk diri saya sendiri karena tidak berani
berbicara pada saat genting di ruang kabinet” (I bitterly reproached myself for having kept so silent during those
crucial discussion in the cabinet room).
Tiga peristiwa diatas memberi
pelajaran nyata betapa berharganya sebuah pertanyaan, keraguan, sikap berbeda
pendapat, dan keberanian mengemukakan gagasan. Menurut saya pribadi, tidak ada pertanyaan
bodoh atau pertanyaan konyol; yang ada adalah sudut pandang yang berbeda dalam
melihat sesuatu sehingga sebuah pertanyaan dari seseorang terdengar aneh bagi
orang lain. Oleh karena itu, dari sisi individu harus dihilangkan rasa sungkan,
malu, atau takut untuk bertanya. Sedangkan dari sisi lingkungan, harus
diciptakan iklim kerja yang menghormati pendapat orang lain, menghargai
perbedaan, serta mendorong diskusi yang saling melengkapi, saling memperkuat,
dan saling mengkonfirmasi. Sejak blunder kebijakan pada peristiwa Teluk Babi
tadi, JFK sendiri mengubah proses pengambilan keputusannya dengan memberi ruang
tak terbatas untuk pertanyaan, perbedaan pendapat, serta evaluasi kritis dari setiap
anggota timnya.
Selama ini, “bertanya” menjadi teknik
dan instrumen manajemen yang terabaikan. Ada kalanya seorang pemimpin menghindari
“tanya jawab” karena kekhawatiran tidak mampu memberi jawaban yang tepat
sehingga mengesankan bahwa dirinya bukanlah seorang pemimpin yang hebat. Seorang
pemimpin juga enggan bertanya karena takut muncul kesan tidak lebih pandai
dibanding bawahannya. Bahkan tidak jarang “bertanya” lebih diposisikan sebagai
sikap yang berlawanan, mencari kesalahan/kelemahan seseorang, atau malah menyerang
secara pribadi. Sementara dari sisi bawahan, keengganan untuk bertanya juga
didorong oleh sikap takut menyinggung atasan, takut dianggap tidak bermutu,
malu dikatakan kurang belajar, minder dengan sesama temannya, dan seterusnya. Itulah
sebabnya, mengapa “bertanya” menjadi tool
yang tidak disukai dan cenderung dihindari. Disamping itu, sebagai sebuah
teknik manajemen, “bertanya” juga belum memberi bukti yang ampuh untuk
meningkatkan kualitas dan efektivitas manajemen dalam sebuah organisasi. Hal ini
semakin memberi banyak alasan untuk tidak mengembangkan tradisi bertanya dalam
sebuah kelompok maupun organisasi.
Padahal, masih menurut Marquardt,
“bertanya” memiliki banyak sekali keuntungan, misalnya: to elicit information, to encourage full participation and teamwork, to
spur innovation and outside-the-box thinking, to prompt new ideas, to empower
others, to wake people up, to show people new places and new ways of doing
things, to build relationship with costumers, to solve problems, to help us admit
that we don’t know all the answers, to help us become more confident
communicators, and more. Bahkan studi dari Center for Creative Leadership
terhadap 191 eksekutif menunjukkan bahwa kunci kesuksesan seorang pemimpin adalah
menciptakan kesempatan untuk bertanya, dan kemudian mengajukan pertanyaan
secara lebih sering.
Tentu yang dimaksud bukan
pertanyaan-pertanyaan standar seperti siapa yang bertanggung jawab atas jadual
ini, siapa yang tidak mengikuti instruksi, apa masalah pekerjaan anda, atau ide
siapa ini? Pertanyaan seperti ini menurut Marquardt adalah pertanyaan yang
tidak memberdayakan bawahan, dan cenderung mencari kesalahan seseorang. Ada pula
jenis-jenis pertanyaan yang mengandung manipulasi terselubung, seperti apakah
anda tidak setuju dengan saya, bukankah anda adalah pemain dalam tim ini? dan
sejenisnya. Adapun jenis-jenis pertanyaan yang dianjurkan misalnya: what needs to be done, what is right for the
enterprise, atau pertanyaan yang terkait dengan pengembangan rencana aksi, pemanfaatan
peluang, distribusi tanggungjawab dalam pengambilan keputusan dan komunikasi,
dan seterusnya.
Ternyata, bertanya bukanlah suatu
hal yang sepele meski sering disepelekan. Manfaat bertanya juga tidak sekecil
seperti anggapan selama ini. Untuk itu, sudah saatnya bertanya dijadikan sebagai
budaya organisasi, mulai dari lingkungan terkecil di sekitar kita. Dengan rajin
bertanya, maka inovasi pun akan menjadi sebuah budaya dalam sebuah organisasi.
Semoga.
Villa Melati Mas Serpong, 31 Mei
2014