Kalau selama
ini orang Indonesia dikenal pandai membuat rencana namun tidak cukup pintar
menjalankannya, saya khawatir suatu ketika akan ada atribut baru sebagai bangsa
yang pandai mencari atau menemukan inovasi namun tidak cukup pintar untuk
menjaga kesinambungannya. Kekhawatiran seperti inilah yang mendasari pemikiran
saya tentang perlunya institusionalisasi inovasi. Maknanya, inovasi tidak cukup
hanya dipikirkan, dilakukan, bahkan dilombakan. Inovasi baru benar-benar akan
menjadi inovasi yang baik jika dikembangkan, disebarluaskan, dan dibiasakan
menjadi tradisi dalam organisasi. Imovasi tidak lagi dipandang sebagai
kewajiban melainkan kebutuhan bagi setiap instansi dan setiap orang.
Terus terang,
terlepas dari penafsiran dan pemaknaan yang berbeda tentang inovasi, saya
merasa bahwa dewasa ini pemikiran dan praktek inovasi relatif sudah banyak
dihasilkan oleh instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Para kepala
daerah maupun pimpinan instansi sering meng-klaim telah melakukan
program-program perubahan dan pembaharuan terkait dengan tugasnya
masing-masing. Itulah sebabnya, menulis buku kompilasi tentang praktek-praktek
inovasi di berbagai instansi tidaklah terlalu sulit. Lembaga-lembaga
penyelenggara lomba inovasi seperti JPIP Jawa Pos, Kedeputian Pelayanan Publik
Kementerian PAN dan RB, Kementerian Dalam Negeri, UKP3, Pemerintah Provinsi
DKI, dan sebagainya, pun seperti kebanjiran pendaftaran dari berbagai penjuru
tanah air. Boleh jadi diantara inisiatif yang diajukan sebagai inovasi tadi
sesungguhnya bukanlah inovasi, dalam artian sebuah inisiatif perubahan yang
mengandung unsur kebaruan (novelty),
membawa dampak positif bagi organisasi, mampu mengurangi masalah yang dihadapi,
dan tidak melanggar tata nilai atau aturan tertentu. Namun paling tidak, animo
yang besar untuk mengikuti lomba inovasi sudah menjadi titik terang untuk
mengembangkan inovasi itu sendiri.
Sebagaimana
kita saksikan bersama, pada tanggal 3 Desember 2013 yang lalu, Kementerian
Dalam Negeri memberi penghargaan IGA (Innovative
Government Award) kepada empat daerah pemenang yakni: Kabupaten Maros (kategori
Tata Kelola Pemerintahan), Kabupaten Agam (Pelayanan Publik), Bupati Lamongan
(Pemberdayaan Masyarakat), dan Bupati Bantaeng (Daya Saing Daerah). Selain
keempat daerah itu, ada lagi delapan penerima penghargaan nominator unggulan
IGA, yakni Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta,
Kabupaten Badung, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota
Palu, dan Kabupaten Maluku Tengah.
Demikian pula UKP4
telah merampungkan even dengan tema Kontes Inovasi Solusi yang pada tahun 2013
diikuti oleh 3.000 karya inovasi mulai
dari masyarakat sipil hingga PNS se Indonesia. Pada bulan Januari 2014 yang
lalu telah terpilih delapan pemenang. Pemberian award inovasi yang paling baru dilakukan oleh Pemprov DKI mengenai
inovasi sosial dengan empat kategori yakni Public Service, Living Environment, Street-preneur, dan Cultural Harmony and Branding. Lomba
yang disponsori oleh Indomaret dan bekerjasama dengan Surya University ini menampilkan
finalis dari ITB, UGM, dan Untirta (Universitas Tirtayasa). Adapun program
kompetisi inovasi yang masih berlangsung adalah kompetisi pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh Kementerian PAN dan RB. Hingga saat ini sudah terpilih 33
besar inisiatif inovasi, dari 99 besar di tahap sebelumnya. Tentu
saja, jumlah daerah atau unit kerja yang mengikuti lomba namun belum beruntung
sebagai pemenang, jauh lebih banyak lagi.
Nah, animo
saja tidaklah cukup, sebagaimana kompetisi saja tidak cukup. Jika kita berhenti
pada pemberian piala sebagai “babak final”, saya khawatir para peserta lomba
akan merasa tujuannya telah tercapai sehingga “tugasnya pun telah selesai”.
Apabila ini terjadi, maka tidak akan ada upaya lanjutan untuk menjaga inovasi
tadi benar-benar menghasilkan manfaat terbesar, sekaligus menggagas
inisiatif-inisiatif inovasi baru pada bidang tugas lainnya. Oleh karena itu, dalam
perspektif kedepan perlu ada sebuah desain yang lebih sistematis untuk
mendorong animo mengikuti lomba inovasi menjadi budaya inovasi yang lebih
mengendap dan merasuk dalam sistem kerja sehari-hari. Berinovasi bukan lagi
karena ada perlombaan atau karena sikap ingin mendapat publikasi secara luas,
namun muncul sebagai sebuah kebiasaan yang melekat dan mendarahdaging dalam
budaya kerja organisasi. Maka, jika lomba-lomba inovasi sekarang lebih
menonjolkan pada inovasi apa yang dikerjakan, pada masa mendatang mungkin
sekali akan berubah menjadi lomba tentang inovasi apa yang sudah terlembaga sebagai
budaya kualitas dalam sebuah organisasi.
Atas dasar
pertimbangan seperti itulah saya meyakini bahwa institusionalisasi inovasi
merupakan keharusan yang tidak boleh ditawar lagi. Sayangnya, hingga saat ini
sepanjang pengetahuan saya belum ada satupun pedoman, hasil kajian, maupun arah
kebijakan yang menjadi basis dilakukannya institusionalisasi inovasi ini. Untuk
sekedar memberi pancingan dalam pengembangan lebih lanjut, saya menawarkan 6
(enam) upaya untuk memperkuat budaya inovasi dan budaya kualitas dalam rangka
pelembagaan inovasi, yakni sebagai berikut:
·
Mendorong
budaya belajar dalam organisasi. Agar budaya belajat ini bisa tumbuh subur,
maka program “wajib belajar” baik secara terstruktur maupun mandiri (self-learning) harus diberlakukan dalam
setiap organisasi, forum-forum diskusi informal perlu diciptakan dan dijalankan
secara rutin, kebebasan mengemukakan gagasan dan saling menghormati perbedaan
harus ditumbuhkan, sementara kapasitas menulis dan presentasi perlu diperkuat.
·
Menciptakan
iklim kompetisi yang sehat antar pegawai. Beberapa upaya yang bisa dilakukan
antara lain pemilaian kinerja berdasarkan capaian prestasi individu, penetapan team leader dalam sebuah kegiatan
berdasarkan seleksi atas kesiapan dan motivasi seseorang, penugasan khusus
(misalnya ke luar negeri atau tugas belajar) atas dasar capaian kerja,
pengangkatan dalam jabatan berdasarkan kompetensi substantif dan menggerakkan
orang, dan seterusnya.
·
Menerapkan
mekanisme insentif dan disinsentif. Dalam hal ini, perlu ada rule of the game yang obyektif tentang
kriteria, mekanisme, dan instrumen dalam menetapkan pemberian insentif atau
disinsentif bagi seorang pegawai. Kasus di Toyota mungkin perlu dicontoh,
dimana seorang karyawan yang memiliki ide untuk kemajuan organisasi akan diberikan
penghargaan. Untuk instansi publik di Indonesia, mungkin kasus-kasus kepedulian
seseorang terhadap koleganya, atau “pengorbanan” waktu dengan datang lebih
cepat dan pulang lebih lambat, atau ketekunan dan ketelitiannya dalam tugas
harian, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai variable untuk pemberian
penghargaan atau sebaliknya.
·
Memberi
delegasi dan kebebasan yang lebih luas kepada staf. Seorang pimpinan tidak
perlu lagi memberi arahan yang terlalu rinci dan membatasi kreativitas seorang
pegawai. Pimpinan yang baik adalah yang berhasil mengkader bawahannya untuk
menjadi calon pemimpin yang baik melalui pemberian tugas-tugas yang menantang,
sambil terus memberi pendampingan (coaching)
dan perkonsultasian.
·
Mengembangkan
terus menerus kapasitas untuk berinovasi, misalnya melalui pelatihan.
·
Melakukan
upaya cross fertilization antar best practices atau inisiatif inovasi,
misalnya melalui kompetisi atau benchmarking.
Semoga
kesadaran akan arti penting institusionalisasi ini sama besarnya dengan
semangat untuk merancang dan melakukan inovasi. Proses pelembagaan inovasi bagi
pelaku atau pihak-pihak yang telah melakukan inovasi yang dibarengi dengan
replikasi bagi pihak-pihak yang belum berinovasi, saya yakini akan menjadi
strategi yang dahsyat untuk mewujudkan Indonesia yang berdaya saing tinggi,
sekaligus untuk mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional membangun
bangsa yang sejahtera, maju, adil, dan makmur.
Jakarta, 13
Mei 2014
*pulang malam,
seperti biasa. tetap bersyukur, seperti biasa*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar