Selasa, 06 Mei 2014

Replikasi Inovasi


Mungkin tidak kita sadari sepenuhnya bahwa dalam kehidupan sehari-hari, replikasi merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan. Foto copy dokumen, misalnya, sudah menjadi kebiasaan kita untuk menghasilkan produk baru yang memiliki kemiripan tinggi dengan produk yang di-copy. Tanpa harus mengetik ulang dokumen aslinya, kita dapat memperoleh produk dengan kualitas yang mendekati produk aslinya, bahkan bisa saja menjadi produk yang lebih baik. Demikian pula, jika kita menginginkan sebuah pohon mangga tanpa harus menanam biji, maka kita bisa mencangkok pohon induk sehingga dalam waktu singkat sudah dapat diperoleh pohon mangga yang relatif besar dengan mutu buah yang relatif sama pula. Selain kedua contoh tadi, replikasi juga terjadi dalam praktek bisnis dengan model waralaba atau franchise. Indomaret, Alfamart, KFC, brownies kukus Amanda, keripik Mak Icih, dan produk-produk sejenis begitu cepat berkembang di berbagai daerah dengan kemasan, rasa, dan sajian yang sama. Cukup dengan menyediakan tempat baru, gerai toko lengkap dengan segala fiturnya sampai urusan seragam dan sikap dari pelayannya, tiba-tiba sama seperti di tempat asalnya.  

Contoh-contoh diatas menggambarkan bahwa replikasi adalah sebuah metode memperluas dan memperbanyak praktik inovasi secara cepat dengan kondisi dan mutu yang relatif sama dengan sumber aslinya. Wajar jika pentingnya replikasi tidak ada yang meragukan. Bukan hanya waktu saja yang bisa dihemat dari sebuah replikasi, namun juga tenaga, biaya, dan kemungkinan gagal dari sebuah inisiatif inovasi. Dengan replikasi, seseorang atau sebuah institusi tidak perlu melakukan sesuatu dari nol, atau melakukan riset dan eksperimen yang panjang, atau mengeluarkan biaya investasi yang amat besar. Wajar pula jika replikasi kemudian menjadi sebuah metode yang sangat dianjurkan dalam mereproduksi inovasi, bahkan menjadi bagian tidak terpisahkan dari manajemen inovasi. 

Ada 2 (dua) pertanyaan mendasar terkait replikasi ini. Pertama, apakah replikasi itu tidak menjurus kepada plagiasi? Kedua, bagaimana melakukan replikasi inovasi? Bagi saya pribadi, ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab karena memang sangat sedikit referensi terkait kedua issu ini. Disini saya hanya akan mencoba mengemukakan pandangan subyektif saya terhadap kedua pertanyaan tersebut, yang tentu saja terbuka terhadap perbedaan pandangan pihak lain. 

Untuk pertanyaan pertama, saya menilai bahwa bahwa replikasi berbeda dengan plagiasi. Meskipun sama-sama berupa praktek membuat duplikat, namun replikasi bukanlah sebuah adopsi ide diluar pengetahuan penciptanya. Dalam replikasi justru ada interaksi antar dua belah pihak yakni sumber asli pemilik inovasi dengan pihak kedua yang akan mereplikasikan. Pihak pertama dengan sadar memberikan peluang kepada pihak lain untuk mengembangkan ide originalnya. Bahkan pihak pertama dapat memberikan fasilitasi, pendampingan, atau sharing pengalaman dalam menjalankan inovasi yang akan direplikasikan tersebut. Singkatnya, dalam replikasi itu tidak tertutup kemungkinan adanya kesepakatan tertentu yang dibangun para pihak. Secara kebetulan, atural legal formal di negeri kita belum ada yang melarang replikasi inovasi. Perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual yang dimiliki inisiator awal tentu harus dijaga tanpa menutup kesempatan untuk mereplikasikannya.  

Selain itu, replikasi dalam banyak hal juga tidak menyalin apa adanya praktik inovasi yang sudah ada terlebih dahulu. Artinya, dalam replikasi sangat terbuka kemungkinan dilakukan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan tujuan spesifik dari pihak yang melakukan replikasi. Saya pribadi berpendapat bahwa variasi kecil dari sebuah inovasi adalah sebuah inovasi baru. Inovasi tidak berarti menghasilkan sesuatu yang besar atau yang belum pernah ada sebelumnya. Perbaikan-perbaikan kecil dan “contekan” terhadap sesuatu, biasanya akan disertai dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Bahkan seorang bayi yang terkenal sebagai makhluk hidup yang paling hebat dalam melakukan replikasi, ternyata tidak menerapkan apa yang dilihat, dicontoh, dan “dijiplak”, sesuai dengan yang dilihatnya. Ketika seorang bayi melihat orang tua atau kakak-kakaknya berjalan, diapun mulai meniru cara berjalan seperti yang apa dilihat. Namun pada saat dia bisa berjalan, ternyata cara berjalan atau kecepatan berjalannya tidak sama persis dengan cara berjalan atau kecepatan berjalan orang tua atau kakak-kakaknya. Ini menunjukkan bahwa manusia memang makhluk yang kreatif. Pada saat meniru-pun, ia mampu menemukan kreativitas pada saat yang bersamaan. 

Adapun untuk pertanyaan kedua, saya yakin banyak jalan menuju Roma, banyak cara melakukan replikasi inovasi. Benchmarking dan studi banding adalah salah satunya. Sayangnya, selama ini benchmarking dan studi banding tidak ditindaklanjuti dengan rencana aksi yang terukur, sehingga hasil maksimal yang dicapai hanyalah replikasi ide, dan tidak sampai kepada replikasi inovasi. Cara yang lain adalah dengan membuat pelatihan teknis dan simulasi bagaimana sebuah inovasi itu dikelola, dimonitor, dan dikembangkan. Sama seperti benchmarking dan studi banding, hasil pelatihan atau simulasi inipun membutuhkan tindak lanjut yang konkrit. 

Disamping benchmarking, studi banding, atau pelatihan dan simulasi, saya percaya bahwa membangun kota kembar atau sister city adalah cara yang cukup cerdas untuk mempercepat pembangunan sebuah kota menjadi kota yang jauh lebih maju dan modern seperti kota yang menjadi saudara kembarnya. Kota kembar sendiri biasanya didorong oleh adanya kemiripan dalam struktur demografi, permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi, atau adanya kepentingan timbal balik antar kedua kota tersebut. Dengan karakteristik seperti ini, maka wajar jika replikasi akan berlangsung dua arah, sehingga kedua belah pihak sama-sama menerima manfaat dari “saudara kembarnya”. Untunglah bahwa praktek sister city ini sudah berlangsung lama dan melibatkan puluhan kota di Indonesia. Sebagai contoh, Banda Aceh adalah saudara dari Apeldoorn dan Samarkhand. Tetangga Banda Aceh, yakni Medan, memiliki saudara di luar negeri seperi George Town (Penang), Ichikawa, Gwangju, dan Chengdu. Sedangkan Jakarta bersaudara dengan Beijing, Hanoi, Berlin, Pyongyang, Rotterdam, Seoul, Tokyo, Athena, Bangkok, Casablanca, Jeddah, Istanbul, Islamabad, dan Los Angeles. Selanjutnya, sister cities Bandung meliputi Fort Worth, Texan, Braunschweig, Yingkou, Luizhou, Suwon, Bega Valley, New South Wales, dan Hamamatsu (sumber: Wikipedia). Masih banyak lagi kota-kota besar di Indonesia yang menjadi sisterhood dengan kota-kota besar di berbagai belahan benua.  

Sayangnya, jika diperhatikan, kesenjangan antara kota-kota di Indonesia masih saja cukup menganga dibanding dengan saudara kembarnya. Artinya, proses pembelajaran dan replikasi inovasi nampaknya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Program sister city akhirnya hanya menjadi sebuah jargon dan hiburan bagi masyarakat di kota-kota tersebut bahwa mereka seolah-olah sudah outward looking, berwawasan global, dan sejajar dengan kota-kota utama dunia. Program sister city akhirnya juga hanya sekedar hubungan budaya yang termanifestasikan dalam ajang pertukaran pemuda atau atraksi kesenian, namun tidak secara substantif mendorong perubahan yang signifikan terhadap sistem penataan kota secara komprehensif. Oleh karena itu, metode sister city inipun sebaiknya didukung dengan sistem evaluasi dan pengendalian yang layak agar dapat diperoleh benefit yang lebih baik. 

Mengingat cara-cara melakukan replikasi seperti dijelaskan diatas belum memberikan hasil yang memuaskan, maka ada baiknya replikasi dilakukan dengan cara yang lebih aktif. Maksudnya, pihak-pihak yang ingin mereplikasikan sebuah inovasi harus menunjukkan upaya yang lebih serius, misalnya dengan mempelajari dan mengumpulkan data pendukung, mengapa inovasi tertentu berhasil diterapkan. Mereka juga harus menyiapkan rencana dan skenario yang matang tentang bagaimana replikasi akan diterapkan, termasuk aspek anggaran, tim pelaksana, tahapan dan kerangka waktunya, dan seterusnya. Mereka pula yang secara mandiri harus melakukan monitoring dan menjamin tercapainya target-target yang direncanakan. Jadi, dalam hal daerah A ingin mereplikasikan inovasi daerah B tentang One Stop Service, misalnya, maka tidak ada pendampingan dari daerah B. Daerah B hanya memberi inspirasi dan sedikit informasi, namun daerah A-lah yang harus mengolah inspirasi dan sedikit informasi tadi menjadi inisiatif inovasi.  

Dalam kasus seperti itu, maka replikasi lebih bermakna replikasi ide, bukan replikasi program atau aksi inovasi. Atau bisa dikatakan pula sebagai adopsi atau adaptasi inovasi. Terkait dengan adaptasi / adopsi inovasi ini, Adriana Alberti and Guido Bertucci (Innovations in Governance and Public Administration: Replicating what works, New York: UNDESA, 2006) mengemukakan empat langkah untuk sebuah adopsi best practices yang berhasil yakni:
·        Ensure that the information about the successful practice, both in terms of its components and expected outcomes, is disseminated among those who will be responsible for its implementation and those who will benefit from the innovation;
·        Put in place teams to replicate the practice;
·        Formulate a clear adoption policy and process; and
·        Measure and report progress on the implementation process to assess sustainability. 

Selain itu, Alberti dan Bertucci juga memberi catatan agar sebuah praktik adopsi inovasi dapat berjalan secara berkesinambungan. Ada enam prakondisi yang harus dipenuhi, yakni:
·        Practices are institutionalized;
·        Ownership by stakeholders is promoted;
·        Capacity-building is undertaken before introducing the practice (recruitment, placement, training, motivation);
·        Sustainable economic resources, regardless of external funding, are guaranteed;
·        Communication networks are established; and
·        A balanced and equitable distribution of benefits across the community is established in terms of socio-economic classes, gender, geographic areas, ethnic groups and other criteria. 

Dia juga menambahkan bahwa institusionalisasi monitoring dan evaluasi sangat penting sebagaimana halnya sistem penjaminan kualitas. Semuanya ini dimaksudkan agar inovasi benar-benar menghasilkan kemanfaatan yang nyata bagi institusi beserta stakeholder-nya, dan tidak terjebak pada wacana berpikir kreatif semata. 

Jakarta, 7 Mei 2014

Tidak ada komentar: