Mungkin tidak
kita sadari sepenuhnya bahwa dalam kehidupan sehari-hari, replikasi merupakan
sesuatu yang lumrah dilakukan. Foto copy dokumen, misalnya, sudah menjadi
kebiasaan kita untuk menghasilkan produk baru yang memiliki kemiripan tinggi
dengan produk yang di-copy. Tanpa harus mengetik ulang dokumen aslinya, kita
dapat memperoleh produk dengan kualitas yang mendekati produk aslinya, bahkan
bisa saja menjadi produk yang lebih baik. Demikian pula, jika kita menginginkan
sebuah pohon mangga tanpa harus menanam biji, maka kita bisa mencangkok pohon
induk sehingga dalam waktu singkat sudah dapat diperoleh pohon mangga yang
relatif besar dengan mutu buah yang relatif sama pula. Selain kedua contoh
tadi, replikasi juga terjadi dalam praktek bisnis dengan model waralaba atau franchise. Indomaret, Alfamart, KFC,
brownies kukus Amanda, keripik Mak Icih, dan produk-produk sejenis begitu cepat
berkembang di berbagai daerah dengan kemasan, rasa, dan sajian yang sama. Cukup
dengan menyediakan tempat baru, gerai toko lengkap dengan segala fiturnya
sampai urusan seragam dan sikap dari pelayannya, tiba-tiba sama seperti di
tempat asalnya.
Contoh-contoh
diatas menggambarkan bahwa replikasi adalah sebuah metode memperluas dan
memperbanyak praktik inovasi secara cepat dengan kondisi dan mutu yang relatif
sama dengan sumber aslinya. Wajar jika pentingnya replikasi tidak ada yang
meragukan. Bukan hanya waktu saja yang bisa dihemat dari sebuah replikasi,
namun juga tenaga, biaya, dan kemungkinan gagal dari sebuah inisiatif inovasi.
Dengan replikasi, seseorang atau sebuah institusi tidak perlu melakukan sesuatu
dari nol, atau melakukan riset dan eksperimen yang panjang, atau mengeluarkan
biaya investasi yang amat besar. Wajar pula jika replikasi kemudian menjadi
sebuah metode yang sangat dianjurkan dalam mereproduksi inovasi, bahkan menjadi
bagian tidak terpisahkan dari manajemen inovasi.
Ada 2 (dua)
pertanyaan mendasar terkait replikasi ini. Pertama,
apakah replikasi itu tidak menjurus kepada plagiasi? Kedua, bagaimana melakukan replikasi inovasi? Bagi saya pribadi,
ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab karena memang sangat sedikit
referensi terkait kedua issu ini. Disini saya hanya akan mencoba mengemukakan
pandangan subyektif saya terhadap kedua pertanyaan tersebut, yang tentu saja
terbuka terhadap perbedaan pandangan pihak lain.
Untuk pertanyaan
pertama, saya menilai bahwa bahwa replikasi berbeda dengan plagiasi. Meskipun
sama-sama berupa praktek membuat duplikat, namun replikasi bukanlah sebuah adopsi
ide diluar pengetahuan penciptanya. Dalam replikasi justru ada interaksi antar
dua belah pihak yakni sumber asli pemilik inovasi dengan pihak kedua yang akan
mereplikasikan. Pihak pertama dengan sadar memberikan peluang kepada pihak lain
untuk mengembangkan ide originalnya. Bahkan pihak pertama dapat memberikan
fasilitasi, pendampingan, atau sharing pengalaman
dalam menjalankan inovasi yang akan direplikasikan tersebut. Singkatnya, dalam
replikasi itu tidak tertutup kemungkinan adanya kesepakatan tertentu yang
dibangun para pihak. Secara kebetulan, atural legal formal di negeri kita belum
ada yang melarang replikasi inovasi. Perlindungan hukum terhadap hak kekayaan
intelektual yang dimiliki inisiator awal tentu harus dijaga tanpa menutup
kesempatan untuk mereplikasikannya.
Selain itu,
replikasi dalam banyak hal juga tidak menyalin apa adanya praktik inovasi yang
sudah ada terlebih dahulu. Artinya, dalam replikasi sangat terbuka kemungkinan
dilakukan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan tujuan
spesifik dari pihak yang melakukan replikasi. Saya pribadi berpendapat bahwa
variasi kecil dari sebuah inovasi adalah sebuah inovasi baru. Inovasi tidak
berarti menghasilkan sesuatu yang besar atau yang belum pernah ada sebelumnya.
Perbaikan-perbaikan kecil dan “contekan” terhadap sesuatu, biasanya akan
disertai dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Bahkan seorang bayi yang
terkenal sebagai makhluk hidup yang paling hebat dalam melakukan replikasi,
ternyata tidak menerapkan apa yang dilihat, dicontoh, dan “dijiplak”, sesuai
dengan yang dilihatnya. Ketika seorang bayi melihat orang tua atau
kakak-kakaknya berjalan, diapun mulai meniru cara berjalan seperti yang apa dilihat.
Namun pada saat dia bisa berjalan, ternyata cara berjalan atau kecepatan
berjalannya tidak sama persis dengan cara berjalan atau kecepatan berjalan
orang tua atau kakak-kakaknya. Ini menunjukkan bahwa manusia memang makhluk
yang kreatif. Pada saat meniru-pun, ia mampu menemukan kreativitas pada saat
yang bersamaan.
Adapun untuk
pertanyaan kedua, saya yakin banyak jalan menuju Roma, banyak cara melakukan
replikasi inovasi. Benchmarking dan
studi banding adalah salah satunya. Sayangnya, selama ini benchmarking dan studi banding tidak ditindaklanjuti dengan rencana
aksi yang terukur, sehingga hasil maksimal yang dicapai hanyalah replikasi ide,
dan tidak sampai kepada replikasi inovasi. Cara yang lain adalah dengan membuat
pelatihan teknis dan simulasi bagaimana sebuah inovasi itu dikelola, dimonitor,
dan dikembangkan. Sama seperti benchmarking
dan studi banding, hasil pelatihan atau simulasi inipun membutuhkan tindak
lanjut yang konkrit.
Disamping benchmarking, studi banding, atau
pelatihan dan simulasi, saya percaya bahwa membangun kota kembar atau sister city adalah cara yang cukup
cerdas untuk mempercepat pembangunan sebuah kota menjadi kota yang jauh lebih
maju dan modern seperti kota yang menjadi saudara kembarnya. Kota kembar
sendiri biasanya didorong oleh adanya kemiripan dalam struktur demografi,
permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi, atau adanya kepentingan timbal balik
antar kedua kota tersebut. Dengan karakteristik seperti ini, maka wajar jika
replikasi akan berlangsung dua arah, sehingga kedua belah pihak sama-sama
menerima manfaat dari “saudara kembarnya”. Untunglah bahwa praktek sister city ini sudah berlangsung lama
dan melibatkan puluhan kota di Indonesia. Sebagai contoh, Banda Aceh adalah
saudara dari Apeldoorn dan Samarkhand. Tetangga Banda Aceh, yakni Medan,
memiliki saudara di luar negeri seperi George Town (Penang), Ichikawa, Gwangju,
dan Chengdu. Sedangkan Jakarta bersaudara dengan Beijing, Hanoi, Berlin,
Pyongyang, Rotterdam, Seoul, Tokyo, Athena, Bangkok, Casablanca, Jeddah,
Istanbul, Islamabad, dan Los Angeles. Selanjutnya, sister cities Bandung meliputi Fort Worth, Texan, Braunschweig,
Yingkou, Luizhou, Suwon, Bega Valley, New South Wales, dan Hamamatsu (sumber:
Wikipedia). Masih banyak lagi kota-kota besar di Indonesia yang menjadi sisterhood dengan kota-kota besar di
berbagai belahan benua.
Sayangnya, jika
diperhatikan, kesenjangan antara kota-kota di Indonesia masih saja cukup
menganga dibanding dengan saudara kembarnya. Artinya, proses pembelajaran dan
replikasi inovasi nampaknya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Program sister city akhirnya hanya menjadi
sebuah jargon dan hiburan bagi masyarakat di kota-kota tersebut bahwa mereka
seolah-olah sudah outward looking,
berwawasan global, dan sejajar dengan kota-kota utama dunia. Program sister city akhirnya juga hanya sekedar
hubungan budaya yang termanifestasikan dalam ajang pertukaran pemuda atau
atraksi kesenian, namun tidak secara substantif mendorong perubahan yang
signifikan terhadap sistem penataan kota secara komprehensif. Oleh karena itu,
metode sister city inipun sebaiknya
didukung dengan sistem evaluasi dan pengendalian yang layak agar dapat
diperoleh benefit yang lebih baik.
Mengingat
cara-cara melakukan replikasi seperti dijelaskan diatas belum memberikan hasil
yang memuaskan, maka ada baiknya replikasi dilakukan dengan cara yang lebih
aktif. Maksudnya, pihak-pihak yang ingin mereplikasikan sebuah inovasi harus
menunjukkan upaya yang lebih serius, misalnya dengan mempelajari dan
mengumpulkan data pendukung, mengapa inovasi tertentu berhasil diterapkan.
Mereka juga harus menyiapkan rencana dan skenario yang matang tentang bagaimana
replikasi akan diterapkan, termasuk aspek anggaran, tim pelaksana, tahapan dan
kerangka waktunya, dan seterusnya. Mereka pula yang secara mandiri harus
melakukan monitoring dan menjamin tercapainya target-target yang direncanakan.
Jadi, dalam hal daerah A ingin mereplikasikan inovasi daerah B tentang One Stop Service, misalnya, maka tidak
ada pendampingan dari daerah B. Daerah B hanya memberi inspirasi dan sedikit
informasi, namun daerah A-lah yang harus mengolah inspirasi dan sedikit
informasi tadi menjadi inisiatif inovasi.
Dalam kasus
seperti itu, maka replikasi lebih bermakna replikasi ide, bukan replikasi
program atau aksi inovasi. Atau bisa dikatakan pula sebagai adopsi atau
adaptasi inovasi. Terkait dengan adaptasi / adopsi inovasi ini, Adriana Alberti
and Guido Bertucci (Innovations in
Governance and Public Administration: Replicating what works, New York:
UNDESA, 2006) mengemukakan empat langkah untuk sebuah adopsi best practices yang berhasil yakni:
· Ensure that the information about the
successful practice, both in terms of its components and expected outcomes, is
disseminated among those who will be responsible for its implementation and
those who will benefit from the innovation;
·
Put in place teams to replicate the
practice;
·
Formulate a clear adoption policy and
process; and
·
Measure and report progress on the
implementation process to assess sustainability.
Selain itu, Alberti
dan Bertucci juga memberi catatan agar sebuah praktik adopsi inovasi dapat
berjalan secara berkesinambungan. Ada enam prakondisi yang harus dipenuhi,
yakni:
·
Practices are institutionalized;
·
Ownership by stakeholders is promoted;
· Capacity-building is undertaken before
introducing the practice (recruitment, placement, training, motivation);
·
Sustainable economic resources,
regardless of external funding, are guaranteed;
·
Communication networks are established;
and
·
A balanced and equitable distribution of
benefits across the community is established in terms of socio-economic
classes, gender, geographic areas, ethnic groups and other criteria.
Dia juga menambahkan
bahwa institusionalisasi monitoring dan evaluasi sangat penting sebagaimana
halnya sistem penjaminan kualitas. Semuanya ini dimaksudkan agar inovasi
benar-benar menghasilkan kemanfaatan yang nyata bagi institusi beserta stakeholder-nya, dan tidak terjebak pada
wacana berpikir kreatif semata.
Jakarta,
7 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar