Jika teknologi
bisa mengantarkan umat manusia ke bulan, maka imajinasi bisa membawa ke tempat
yang lebih jauh lagi hingga ke planet terluar di gugusan galaksi terjauh
sekalipun. Einstein sampai berucap bahwa imajinasi jauh lebih penting dari
pengetahuan (imagination is more
important than knowledge). Ia menambahkan bahwa knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world,
stimulating progress, giving birth to evolution. Saat ditanya bagaimana dia mampu
menghasilkan begitu banyak teori besar, ia menjawab imajinasinyalah yang
menjadi salah satu bahan bakar dari idenya itu. Inilah maksud dari
pernyataannya bahwa energi akan mengikuti imajinasi. Dimana ada imajinasi, maka
disitu akan muncul energi untuk mewujudkannya. Maka berimajinasilah jika ingin
memperoleh energi. Semakin besar imajinasi yang dihasilkan, akan semakin besar pula
energi yang dapat direngkuh.
Untunglah bahwa dunia ini banyak dipenuhi dengan cerita-cerita
tentang imajinasi. Ketika ratusan tahun yang lalu ada cerita Mahabharata yang
mengisahkan tentang Gatotkaca yang bisa terbang dan Antareja yang bisa amblas
dan hidup dibawah tanah, itu adalah imajinasi tentang manusia yang bisa terbang
dengan pesawat serta bisa berlari dibawah tanah dengan kereta bawah tanah (subway). Demikian pula ketika Jayabaya
meramalkan bahwa pulau Jawa akan dilingkari oleh ikat pinggang besi, itu adalah
imajinasinya tentang ujung barat dan timur pulau Jawa yang terhubung oleh rel
kereta api. Ketika kisah Mahabharata dan Jayabaya tadi tidak diterima sebagai
sebuah dongeng belaka, maka yang terjadi kemudian adalah terwujudnya imajinasi
tadi menjadi sebuah kenyataan. Ini persis pepatah Latin yang berbunyi fortis imaginatio generat casum yang artinya imajinasi yang jelas akan menghasilkan kenyataan. Dalam bahasa Stephen R. Covey
dalam bukunya 7 Habits of Highly
Effective People, kreasi fisik selalu didahului oleh kreasi mental (Anthony
Dio Martin, Sukses Berkat Kekuatan
Imajinasi). Nah, imajinasi itulah kreasi mental yang menjadi cikal bakal
temuan-temuan besar di jagad raya ini. Coba bayangkan, gedung pencakar langit
seperti Burj Khalifa setinggi 828 meter di Dubai atau Menara Taipei 101 setinggi
509 meter itu pastilah didahului oleh ide besar, atau mimpi yang mungkin tidak
masuk akal saat digagas.
Untungnya lagi, tidak ada aturan di belahan dunia manapun
yang melarang atau membatasi imajinasi. Imajinasi adalah hak universal umat
manusia, tidak dibeda-bedakan atas dasar status sosial ekonomi, tingkat
intelektualitas, jenis profesi, atau klasifikasi apapun. Tidak aneh jika John
Lennon sampai membawa mimpinya kedalam sebuah lagu berjudul Imagine. Dalam lagu tersebut Lennon
memimpikan tiadanya surga diatas kita atau neraka dibawah kita, yang ada
hanyalah langit saja. Ia juga berkhayal tentang dunia tanpa negara dan agama
namun penduduknya hidup berdampingan secara damai. Ia-pun membayangkan tidak
ada hak milik dan setiap orang bisa saling berbagi secara adil sehingga tidak
ada keserakahan di muka bumi ini. Akhirnya, imajinasi Lennon menuntun pada
idealita dunia dan manusia yang mendiaminya hidup sebagai sebuah kesatuan.
Terlepas dari logis tidaknya imajinasi tersebut dan terlepas pula dengan kaidah
keagamaan tentang sesuatu, misalnya tentang keberadaan surga dan neraka, namun
keberanian Lennon untuk berimajinasi sangat patut diacungi jempol.
Oleh karena imajinasi akan menuntut pada terwujudnya
sebuah evolusi atau temuan-temuan baru, maka boleh dikatakan bahwa imajinasi
adalah salah satu teknik untuk berinovasi. Dengan demikian, hasil imajinasi pada
umumnya dapat dikatakan juga sebagai inovasi.
Pertanyaan yang penting untuk dikemukakan adalah, apakah
setiap imajinasi harus selalu terwujud dalam kenyataan, atau apakah setiap
kreasi mental akan selalu menjelma menjadi kreasi fisik? Apakah setiap
imajinasi akan selalu melahirkan evolusi seperti teorinya Einstein? Dan
seandainya imajinasi benar-benar tidak berevolusi menjadi sesuatu yang nyata,
apakah imajinasi tadi menjadi sia-sia? Atau, bolehkan kita menganggap hal itu
sebagai sebuah inovasi yang gagal?
Jika kita mencoba mencermati sejarah filsafat dunia dan
sejarah penemuan-penemuan besar, maka akan dapat dapatkan fakta bahwa ide-ide
besar tidak selamanya bertransformasi menjadi realita. Kita bisa merujuk pada
pengalaman Thales dari Miletus yang hidup pada tahun 620-540 SM. Thales adalah
filsuf pertama dalam tradisi filsafat Barat. Ia juga dikenal sebagai salah satu
dari tujuh orang bijak dari Yunani (seven
sages of Greek). Filsafat metafisikanya mengatakan bahwa unsur penyusun
alam semesta adalah air, dan bumi berbentuk datar seperti papan yang mengapung
diatas air. Sementara gempa bumi dijelaskan sebagai gelombang air bawah tanah,
seperti goncangan perahu oleh gelombang laut.
Meskipun teorinya terbukti salah berdasarkan ilmu
pengetahuan saat ini, namun kemampuannya berimajinasi pada saat itu menggambarkan
kemampuan berpikir out of the box yang
luar biasa. Dan meskipun imajinasinya ternyata “keliru”, bukan berarti
pandangannya lantas hilang dari sejarah filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan.
Thales tetap dianggap sebagai peletak batu pertama dalam sejarah pemikiran
filsafat Barat di bidang agama dan etika, astronomi, dan geometri (Kumara Ari
Yuana, The Greatest Philosophers: 100
Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis,
Yogyakarta: Andi, 2010).
Saya sendiri berpendapat bahwa tidak ada imajinasi yang
salah sebagaimana tidak ada inovasi yang gagal. Imajinasi mungkin tidak
menuntun pada dihasilkannya sesuatu yang diimajinasikan, namun bisa saja
imajinasi menghasilkan sesuatu diluar imajinasi tersebut, seperti dalam kisah
Thales diatas. Bayangkan, jika Thales pada waktu itu tidak berpikir dan
berimajinasi tentang bentuk dan posisi bumi, mungkin sampai saat inipun belum
akan ditemukan teorinya bahwa bumi itu bulat dan mengelilingi matahari.
Artinya, imajinasi dan teori Thales sedikit banyak pasti memberikan pengaruh
terhadap para pemikir besar era berikutnya seperti Copernicus dan Galileo
Galilei. Maka, tidak ada imajinasi sia-sia dan inovasi yang gagal. Bahkan
ketika Thomas Alva Edison mengalami 1000 kali “kegagalan” dalam menemukan bola
lampu, beliau tidak mengatakan itu sebagai kegagalan, namun disebutnya sebagai
keberhasilan menemukan 1000 cara yang salah untuk menemukan bola lampu. Memang
tidak ada rumus bahwa inovasi harus berhasil pada upayanya yang pertama. Adanya
proses inkubasi dalam inovasi menjelaskan bahwa inovasi bukanlah barang
karbitan yang bisa matang seketika, namun membutuhkan upaya sistematis untuk
menjadikannya sesuatu yang baru, berbeda, dan bermanfaat.
Nah, karena pada hakekatnya tidak ada imajinasi yang
sia-sia dan inovasi yang gagal, maka siapapun diri kita, apakah mahasiswa,
politisi, pejabat pemerintah, pegiat sosial, peneliti dan dosen, pengusaha,
bahkan seorang tukang becak dan tani sekalipun, jangan sungkan-sungkan untuk
berimajinasi. Seorang buruh kecil yang bodoh lagi miskin, jangan ragu
berimajinasi memiliki anak yang kelak menjadi penguasa negeri. Apalagi jika
kita adalah kalangan terpelajar dan memiliki tanggungjawab untuk turut memajukan
perusahaan atau organisasi masing-masing, banyak-banyaklah berimajinasi untuk
kebaikan perusahaan atau organisasi kita.
Kebetulan sekali, artikel ini saya tulis dan saya
selesaikan pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, saya berharap imajinasi akan
masuk kedalam kurikulum pendidikan semenjak dini. Sebab, usia balita dan
anak-anak adalah usia paling produktif untuk melakukan imajinasi karena belum terkungkung
oleh dangkalnya rasionalitas maupun regulasi yang kaku dan sering menghambat
imajinasi, kreativitas dan inovasi seseorang. Siapa tahu, dengan membangun
budaya imajinasi, akan lahir Einstein-Einstein baru dari rahim Ibu Pertiwi.
Semoga!
Jakarta, 2 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar