Sungguh menarik mencermati
lahirnya Instruksi Presiden No. 4/2014 tentang Penghematan dan pemotongan
Belanja K/L Dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2014. Setelah
beberapa kali ada program sejenis untuk memotong anggaran K/L, kebijakan
pemangkasan kali ini terasa istimewa karena pemerintah mentarget dapat
menghemat anggaran sebesar Rp 100 triliun, jumlah yang teramat besar dan mampu
membiayai 20 mega proyek sekelas Jembatan Suramadu, atau hampir memenuhi
kebutuhan untuk membangun Jembatan Selat Sunda yang berkisar Rp. 120-150
triliun.
Hal menarik pertama adalah
semangat penghematan yang luar biasa, yang sangat kontras dengan kebijakan yang
berlaku selama ini bahwa penyerapan anggaran yang rendah dinilai sebagai
kinerja yang rendah, bukan sebuah prestasi karena mampu mengemat anggaran
negara. Sebenarnya sudah cukup banyak kritik ditujukan kepada pemerintah bahwa
sisa anggaran bukanlah manifestasi rendahnya kinerja, sepanjang target output
dari program yang direncanakan dapat terpenuhi. Dalam situasi seperti itu,
justru besaran sisa anggaran harus menjadi tolok ukur pemberian penghargaan
bagi sebuah instansi atas kemampuanya melakukan efisiensi sumber daya. Sayangnya,
pemerintah seperti tutup mata dan tutup telinga dengan tetap menjadikan
realisasi anggaran sebagai indikator terpenting dalam mengukur kinerja
organisasi, bukan realisasi target pekerjaan. Sungguh tidak lucu ketika sebuah
prestasi diperlakukan sebagai kegagalan Kebijakan cuek dan “EGP” (emang gue pikirin) seperti inilah yang
secara tidak langsung memicu terjadinya pemborosan dalam manajemen
pemerintahan.
Pemerintah begitu percaya diri
bahwa pemerintah tidak mungkin bangkrut. Namun situasi yang melatarbelakangi
lahirnya Inpres No. 4/2014 menunjukkan indikasi yang begitu kuat bahwa negara
mulai sesak nafas dan terengah-engah dalam membiayai program kerja yang sudah
direncanakannya sendiri. Oleh karena itu, “krisis anggaran” 2014 ini harus
menjadi momentum perubahan paradigma dalam kebijakan penganggaran yang
berlandaskan spirit efisiensi yang sebenar-benarnya, bukan basa-basi. Setiap
instansi dan setiap pegawaipun harus meninggalkan jauh-jauh mentalitas primitif
dengan memperbanyak perjalanan dinas, menyelenggarakan kegiatan di hotel-hotel,
memperbanyak aktivitas agar semakin banyak alokasi untuk honorarium, melakukan
kegiatan yang tidak prioritas dan memiliki nilai dampak signifikan, dan
sebagainya. Alangkah indahnya jika semangat penghematan itu sudah ditunjukkan
semenjak tahapan perencanaan kegiatan, pengalokasian pagu anggaran, monitoring
pelaksanaan, hingga pengawasan dan pemeriksaannya.
Hal kedua yang dapat dicermati
adalah bahwa pemerintah telah gagal dalam memperkuat basis pajak sebagai sumber
utama pendapatan negara. Saya pribadi menilai bahwa target perolehan pajak
selama ini terlalu rendah dan relatif bisa dicapai dengan kinerja yang
sedang-sedang saja. Data BPS (2014) menunjukkan bahwa penerimaan negara dari
pajak dalam negeri sejak tahun 2010 hingga 2013 berturut-turut adalah Rp 694
triliun, Rp 819 triliun, Rp 930 triliun, dan Rp 1.099 triliun. Data tersebut
menunjukkan peningkatan penerimaan pajak yang “hanya” berkisar Rp 111-160
trilyun per tahun. Dibandingkan dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan, angka
kenaikan penerimaan pajak seperti ini sangat memprihatinkan.
Sebagai warga negara saya tidak
melihat sesuatu yang istimewa dari institusi perpajakan, selain tingkat
kesejahteraan pegawainya yang diatas rata-rata PNS pada umumnya. Penyelewengan
pajak masih saja menjadi penghias kasus-kasus korupsi yang dilaporkan berbagai
media. Sayapun melihat bahwa rasio antara realisasi pajak dengan potensi pajak
di Indonesia masih sangat rendah. Secara kasar saya memperkirakan bahwa potensi
pajak yang tidak teroptimalisasikan bisa mencapai 100 persen dari realisasi
yang ada saat ini, atau bahkan lebih. Jika asumsi saya ini benar, maka menjadi
keniscayaan adanya perombakan total dalam sistem kerja di pajak, bukan sebagai
pengadministrasi pembayaran pajak, namun sebagai “pemburu” pajak, terutama bagi
perusahaan-perusahaan besar yang diindikasikan menghindar dari kewajiban
membayar pajak. Dalam hal ini, pemilihan dan pengangkatan Dirjen Pajak dan
seluruh jabatan dibawahnya haruslah disertai kontrak kinerja untuk meningkatkan
pemasukan pajak secara signifikan setiap tahunnya. Aparat pajak harus
senantiasa diposisikan pada iklim kerja yang “uncomfort”, sehingga tidak bisa lagi duduk manis di bangku
masing-masing menunggu pembayar pajak datang sendiri menunaikan kewajibannya.
Hanya dengan beginilah mereka berhak menikmati tunjangan yang besar dan
fasilitas yang mewah.
Aspek ketiga yang bsia menjadi
pembelajaran bagi negeri ini adalah bahwa penghematan tidak cukup dilakukan
pada rezim anggaran dan program saja. Penghematan juga haruslah mencakup
perampingan struktur organisasi K/L yang masih teramat besar. Lembaga Non
Struktural yang jumlahnya mendekati 100 harus diamputasi menjadi sekitar 30
saja. Demikian pula, unit utama (setingkat Eselon I) di Kementerian wajib
ditata ulang dengan jumlah maksimal 7 dan untuk LPNK maksimal 4. Seiring dengan
efisiensi kelembagaan, efisiensi SDM pegawai-pun harus dilakukan. Ide pensiun
dini bagi pegawai yang tidak berkinerja baik harus diaktualisasikan kembali.
Kebijakan yang memungkinkan pengangkatan tenaga honor yang tidak memiliki
kapasitas sebaiknya dicabut secepat mungkin. Perpanjangan usia pensiun juga
perlu ditinjau kembali. Hal ini tentu membutuhkan keberanian luar biasa dari
pemimpin nasional yang akan datang, dan harus disertai dengan program manajemen
perubahan yang terencana sehingga dapat meminimalisir kemungkinan munculnya krisis-krisis
dalam bentuk baru.
Hal selanjutnya yang perlu
dicermati adalah bahwa penghematan yang begitu besar ternyata hanya ditanggung
oleh instansi pemerintah tingkat pusat, sedangkan pemerintah daerah (provinsi,
kabupaten dan kota) tidak termasuk yang terkena pemotongan. Padahal, krisis
keuangan ini adalah krisis nasional, sehingga harus menjadi kepedulian bersama.
Pemerintah daerah wajib memiliki rasa senasib dan sepenanggungan sebagai wujud
kebersamaan dan empati kebangsaan. Itulah sebabnya, pemerintah harus menerapkan
kebijakan secara inklusif dan proporsional, antara lain dengan mengurangi
dana-dana di daerah, misalnya yang bersumber dari dana dekonsentrasi/tugas
pembantuan, dana alokasi khusus (DAK), atau mungkin sedikit porsi dari dana
alokasi umum (DAU). Toh selama ini
ada fenomena pendanaan ganda, pendanaan yang tidak diperlukan, pendanaan yang
tidak direalisasikan, dan sebagainya. Artinya, harus diakui bahwa tingkat
inefisiensi anggaran di daerah juga cukup tinggi, sehingga program penghematan
dan efisiensi nasional inipun selayaknya berlaku pula untuk jajaran pemerintah
daerah.
Terlepas dari berbagai hal
diatas, kita harus berjiwa besar bahwa saat ini ada tanda-tanda kebangkrutan
negara. Kita juga harus berbesar hati untuk menanggalkan persepsi keliru bahwa
negara tidak mungkin gagal. Artikel yang ditulis oleh Laurence J. Kotlikoff berjudul “Is
the United States Bankrupt?” (Federal Reserve Bank of St. Louis Review,
July/August 2006) dengan lugas menyimpulkan bahwa: “… countries can go broke … the United States is going broke”.
Publikasi Governing (Bankrupt Cities, Municipalities List and Map)
juga menunjukkan bahwa kota-kota di AS banyak mengalami pailit atau
kebangkrutan seperti yang terjadi di City of Detroit, City of San Bernardino
(California), City of Stockton (California), Jefferson County (Alabama), dan
City of Central Falls (Sumber: www.governing.com).
Ketika kita sudah berani menerima
kenyataan bahwa ada tanda-tanda nyata negeri ini mengalami kebangkrutan, maka perlu
segera dianalisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kebangkrutan negara
tadi, untuk selanjutnya dipikirkan dan diputuskan strategi terbaik untuk
melepaskan dari kebangkrutan sekaligus mencegah kebangkrutan itu berulang pada
masa-masa mendatang.
Dari aspek faktor penyebabnya,
menarik untuk mempertanyakan, mengapa Inpres ini lahir bersamaan dengan
masa-masa pemilihan umum (legislatif dan presiden). Adakah kaitan antara
kemampuan finansial negara dengan alokasi dana untuk pemilu atau hal ikhwal
terkait pemilu? Atau, mungkinkah gejala kebangkrutan ini disebabkan oleh
ketidakcerdasan pemerintah dalam membuat perencanaan program dan anggaran
sehingga menyebabkan anggaran negara menguap sia-sia dan tidak berdampak pada
tumbuhnya faktor-faktor produktif dalam masyarakat? Lantas, apa yang diperlukan
untuk mencegah kebangkrutan ini? Adakah pemotongan sebesar Rp 100 triliun itu
bisa menyelamatkan negeri ini? Atau, perlukan pemerintah menambah lagi
pundi-pundi hutang luar negeri? Atau mungkin membuka diri lebih lebar terhadap
investasi asing dengan melakukan deregulasi yang benar-benar memberi kemudahan
kepada calon investor? Begitu banyak pertanyaan yang harus diajukan dan dijawab
oleh seluruh komponen bangsa ini aagr kita semua bisa menatap masa depan dengan
senyum yang lebih mengembang.
Jakarta, 21 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar