Rabu, 21 Mei 2014

Tanda-Tanda Negara Mulai Bangkrut?



Sungguh menarik mencermati lahirnya Instruksi Presiden No. 4/2014 tentang Penghematan dan pemotongan Belanja K/L Dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2014. Setelah beberapa kali ada program sejenis untuk memotong anggaran K/L, kebijakan pemangkasan kali ini terasa istimewa karena pemerintah mentarget dapat menghemat anggaran sebesar Rp 100 triliun, jumlah yang teramat besar dan mampu membiayai 20 mega proyek sekelas Jembatan Suramadu, atau hampir memenuhi kebutuhan untuk membangun Jembatan Selat Sunda yang berkisar Rp. 120-150 triliun.

Hal menarik pertama adalah semangat penghematan yang luar biasa, yang sangat kontras dengan kebijakan yang berlaku selama ini bahwa penyerapan anggaran yang rendah dinilai sebagai kinerja yang rendah, bukan sebuah prestasi karena mampu mengemat anggaran negara. Sebenarnya sudah cukup banyak kritik ditujukan kepada pemerintah bahwa sisa anggaran bukanlah manifestasi rendahnya kinerja, sepanjang target output dari program yang direncanakan dapat terpenuhi. Dalam situasi seperti itu, justru besaran sisa anggaran harus menjadi tolok ukur pemberian penghargaan bagi sebuah instansi atas kemampuanya melakukan efisiensi sumber daya. Sayangnya, pemerintah seperti tutup mata dan tutup telinga dengan tetap menjadikan realisasi anggaran sebagai indikator terpenting dalam mengukur kinerja organisasi, bukan realisasi target pekerjaan. Sungguh tidak lucu ketika sebuah prestasi diperlakukan sebagai kegagalan Kebijakan cuek dan “EGP” (emang gue pikirin) seperti inilah yang secara tidak langsung memicu terjadinya pemborosan dalam manajemen pemerintahan.

Pemerintah begitu percaya diri bahwa pemerintah tidak mungkin bangkrut. Namun situasi yang melatarbelakangi lahirnya Inpres No. 4/2014 menunjukkan indikasi yang begitu kuat bahwa negara mulai sesak nafas dan terengah-engah dalam membiayai program kerja yang sudah direncanakannya sendiri. Oleh karena itu, “krisis anggaran” 2014 ini harus menjadi momentum perubahan paradigma dalam kebijakan penganggaran yang berlandaskan spirit efisiensi yang sebenar-benarnya, bukan basa-basi. Setiap instansi dan setiap pegawaipun harus meninggalkan jauh-jauh mentalitas primitif dengan memperbanyak perjalanan dinas, menyelenggarakan kegiatan di hotel-hotel, memperbanyak aktivitas agar semakin banyak alokasi untuk honorarium, melakukan kegiatan yang tidak prioritas dan memiliki nilai dampak signifikan, dan sebagainya. Alangkah indahnya jika semangat penghematan itu sudah ditunjukkan semenjak tahapan perencanaan kegiatan, pengalokasian pagu anggaran, monitoring pelaksanaan, hingga pengawasan dan pemeriksaannya.

Hal kedua yang dapat dicermati adalah bahwa pemerintah telah gagal dalam memperkuat basis pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Saya pribadi menilai bahwa target perolehan pajak selama ini terlalu rendah dan relatif bisa dicapai dengan kinerja yang sedang-sedang saja. Data BPS (2014) menunjukkan bahwa penerimaan negara dari pajak dalam negeri sejak tahun 2010 hingga 2013 berturut-turut adalah Rp 694 triliun, Rp 819 triliun, Rp 930 triliun, dan Rp 1.099 triliun. Data tersebut menunjukkan peningkatan penerimaan pajak yang “hanya” berkisar Rp 111-160 trilyun per tahun. Dibandingkan dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan, angka kenaikan penerimaan pajak seperti ini sangat memprihatinkan.

Sebagai warga negara saya tidak melihat sesuatu yang istimewa dari institusi perpajakan, selain tingkat kesejahteraan pegawainya yang diatas rata-rata PNS pada umumnya. Penyelewengan pajak masih saja menjadi penghias kasus-kasus korupsi yang dilaporkan berbagai media. Sayapun melihat bahwa rasio antara realisasi pajak dengan potensi pajak di Indonesia masih sangat rendah. Secara kasar saya memperkirakan bahwa potensi pajak yang tidak teroptimalisasikan bisa mencapai 100 persen dari realisasi yang ada saat ini, atau bahkan lebih. Jika asumsi saya ini benar, maka menjadi keniscayaan adanya perombakan total dalam sistem kerja di pajak, bukan sebagai pengadministrasi pembayaran pajak, namun sebagai “pemburu” pajak, terutama bagi perusahaan-perusahaan besar yang diindikasikan menghindar dari kewajiban membayar pajak. Dalam hal ini, pemilihan dan pengangkatan Dirjen Pajak dan seluruh jabatan dibawahnya haruslah disertai kontrak kinerja untuk meningkatkan pemasukan pajak secara signifikan setiap tahunnya. Aparat pajak harus senantiasa diposisikan pada iklim kerja yang “uncomfort”, sehingga tidak bisa lagi duduk manis di bangku masing-masing menunggu pembayar pajak datang sendiri menunaikan kewajibannya. Hanya dengan beginilah mereka berhak menikmati tunjangan yang besar dan fasilitas yang mewah.

Aspek ketiga yang bsia menjadi pembelajaran bagi negeri ini adalah bahwa penghematan tidak cukup dilakukan pada rezim anggaran dan program saja. Penghematan juga haruslah mencakup perampingan struktur organisasi K/L yang masih teramat besar. Lembaga Non Struktural yang jumlahnya mendekati 100 harus diamputasi menjadi sekitar 30 saja. Demikian pula, unit utama (setingkat Eselon I) di Kementerian wajib ditata ulang dengan jumlah maksimal 7 dan untuk LPNK maksimal 4. Seiring dengan efisiensi kelembagaan, efisiensi SDM pegawai-pun harus dilakukan. Ide pensiun dini bagi pegawai yang tidak berkinerja baik harus diaktualisasikan kembali. Kebijakan yang memungkinkan pengangkatan tenaga honor yang tidak memiliki kapasitas sebaiknya dicabut secepat mungkin. Perpanjangan usia pensiun juga perlu ditinjau kembali. Hal ini tentu membutuhkan keberanian luar biasa dari pemimpin nasional yang akan datang, dan harus disertai dengan program manajemen perubahan yang terencana sehingga dapat meminimalisir kemungkinan munculnya krisis-krisis dalam bentuk baru.

Hal selanjutnya yang perlu dicermati adalah bahwa penghematan yang begitu besar ternyata hanya ditanggung oleh instansi pemerintah tingkat pusat, sedangkan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) tidak termasuk yang terkena pemotongan. Padahal, krisis keuangan ini adalah krisis nasional, sehingga harus menjadi kepedulian bersama. Pemerintah daerah wajib memiliki rasa senasib dan sepenanggungan sebagai wujud kebersamaan dan empati kebangsaan. Itulah sebabnya, pemerintah harus menerapkan kebijakan secara inklusif dan proporsional, antara lain dengan mengurangi dana-dana di daerah, misalnya yang bersumber dari dana dekonsentrasi/tugas pembantuan, dana alokasi khusus (DAK), atau mungkin sedikit porsi dari dana alokasi umum (DAU). Toh selama ini ada fenomena pendanaan ganda, pendanaan yang tidak diperlukan, pendanaan yang tidak direalisasikan, dan sebagainya. Artinya, harus diakui bahwa tingkat inefisiensi anggaran di daerah juga cukup tinggi, sehingga program penghematan dan efisiensi nasional inipun selayaknya berlaku pula untuk jajaran pemerintah daerah.

Terlepas dari berbagai hal diatas, kita harus berjiwa besar bahwa saat ini ada tanda-tanda kebangkrutan negara. Kita juga harus berbesar hati untuk menanggalkan persepsi keliru bahwa negara tidak mungkin gagal. Artikel yang ditulis oleh Laurence J. Kotlikoff  berjudul “Is the United States Bankrupt?” (Federal Reserve Bank of St. Louis Review, July/August 2006) dengan lugas menyimpulkan bahwa: “… countries can go broke … the United States is going broke”. Publikasi Governing (Bankrupt Cities, Municipalities List and Map) juga menunjukkan bahwa kota-kota di AS banyak mengalami pailit atau kebangkrutan seperti yang terjadi di City of Detroit, City of San Bernardino (California), City of Stockton (California), Jefferson County (Alabama), dan City of Central Falls (Sumber: www.governing.com).

Ketika kita sudah berani menerima kenyataan bahwa ada tanda-tanda nyata negeri ini mengalami kebangkrutan, maka perlu segera dianalisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kebangkrutan negara tadi, untuk selanjutnya dipikirkan dan diputuskan strategi terbaik untuk melepaskan dari kebangkrutan sekaligus mencegah kebangkrutan itu berulang pada masa-masa mendatang.

Dari aspek faktor penyebabnya, menarik untuk mempertanyakan, mengapa Inpres ini lahir bersamaan dengan masa-masa pemilihan umum (legislatif dan presiden). Adakah kaitan antara kemampuan finansial negara dengan alokasi dana untuk pemilu atau hal ikhwal terkait pemilu? Atau, mungkinkah gejala kebangkrutan ini disebabkan oleh ketidakcerdasan pemerintah dalam membuat perencanaan program dan anggaran sehingga menyebabkan anggaran negara menguap sia-sia dan tidak berdampak pada tumbuhnya faktor-faktor produktif dalam masyarakat? Lantas, apa yang diperlukan untuk mencegah kebangkrutan ini? Adakah pemotongan sebesar Rp 100 triliun itu bisa menyelamatkan negeri ini? Atau, perlukan pemerintah menambah lagi pundi-pundi hutang luar negeri? Atau mungkin membuka diri lebih lebar terhadap investasi asing dengan melakukan deregulasi yang benar-benar memberi kemudahan kepada calon investor? Begitu banyak pertanyaan yang harus diajukan dan dijawab oleh seluruh komponen bangsa ini aagr kita semua bisa menatap masa depan dengan senyum yang lebih mengembang.

Jakarta, 21 Mei 2014

Tidak ada komentar: