Ada hal
menarik untuk diamati dalam hingar bingar pemilihan Presiden 2014 sekarang ini,
yakni begitu mudahnya seorang politisi memindahkan dukungannya hanya karena
kecewa dengan kebijakan partainya. Mahfud MD dan Rhoma Irama yang sudah diakui
“berkeringat” menaikkan raihan suara PKB, akhirnya berbalik arah mendukung
Gerindra hanya karena mereka gagal menjadi kandidat Presiden atau Wakil
Presiden dari PKB. Begitu pula Hary Tanoesudibyo yang meninggalkan Hanura
begitu saja dan berbalik mendukung Gerindra. Sebaliknya, kubu PDI-P juga
memperoleh limpahan tokoh-tokoh yang tidak sejalan dengan pilihan politik ketua
umum partainya. Luhut Pandjaitan dan Fahmi Idris sudah menyatakan mundur
sebagai anggota Dewan Pembina Partai Golkar untuk mengalihkan dukungan kepada kubu
Jokowi. Wanda Hamidah juga menyatakan
sakit hatinya gara-gara PAN berkoalisi dengan Gerindra. Terakhir dari Partai
Demokrat yang selama ini nampak seperti menikmati peran sebagai penonton,
beberapa peserta konvensi dan petinggi partainya seperti Anis Baswedan dan
Suaidi Marasabessy sudah menyatakan keberpihakannya kepada salah satu kandidat,
yakni Jokowi-JK. Fenomena inilah yang saya sebut sebagai fenomena migrasi
politik, dimana terdapat arus perpindahan basis dukungan dari satu tempat ke
tempat lainnya.
Memang benar
bahwa soal dukungan ke capres/cawapres adalah hak individu, terlebih jika
individu tadi warga negara biasa yang bukan tokoh partai. Namun bukankah partai
memiliki kebijakan yang idealnya diikuti anggotanya, sebagaimana negara
memiliki peraturan yang harus ditaati oleh warganya? Bahkan dalam keluarga-pun ada
tata nilai yang harus dijunjung tinggi dan dihormati bersama. Maka agak naif
seorang tokoh partai yang pernah menjadi pejabat negara lebih dari satu posisi
menyatakan bahwa sikapnya yang berseberangan dengan haluan partainya adalah hak
pribadinya.
Tentu semua
orang akan sangat menghormati sikap dan pilihan politik seseorang. Namun dalam
pandangan saya, sikap yang begitu mudah berubah hanya karena kekecewaan yang
menyangkut posisi dirinya, hanya menunjukkan sikap kekanakan dan kurang
matangnya jiwa politik mereka. Meskipun pada umumnya mereka menyatakan bahwa
pilihan itu adalah upaya mereka berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik,
rakyat bisa membaca motif yang sesungguhnya dibalik pernyataan normatif mereka.
Satu hal yang saya belum bisa memahami, bagaimana mungkin mereka meninggalkan
begitu saja rumah (baca: partai) yang turut mereka bangun sekaligus yang telah
membersarkan nama mereka? Itulah sebabnya, saya memandang bahwa para migran
politik itu adalah mereka-mereka yang tidak memiliki loyalitas dan integritas
terhadap organisasi. Tidak terhindarkan untuk mengatakan bahwa ada pamrih
pribadi dibalik setiap perjuangan mereka selama ini. Begitu pamrih itu tidak
mereka dapatkan, maka mereka dengan mudahnya mencampakkan organisasinya.
Lucunya lagi,
meskipun mereka beralih ke parpol lain, mereka juga tidak mendapatkan yang
mereka inginkan. Jika Mahfud MD dan Rhoma Irama pindah haluan harena gagal
menjadi capres/ cawapres PKB, merekapun tidak mendapatkan posisi itu di
kelompok barunya. Baik di partai induknya maupun di kubu barunya, mereka memang
tidak diposisikan sebagai capres/cawapres karena kalah dalam kompetisi politik
dengan kandidat lainnya. Dengan demikian, pada hakekatnya mereka mencari
sesuatu yang tidak hilang. Mereka hanya ngambek
dan ingin menunjukkan protes terhadap institusi induknya yang tidak
memenuhi hasrat politiknya. Sikap ngambek
seperti inipun kemungkinan besar akan muncul lagi saat mereka menerima
fakta baru yang tidak memuaskan harapannya. Kasus Hary Tanoe yang berpindah
dari Partai Nasdem ke Hanura dan berpindah lagi ke Gerindra, membuktikan
loyalitas semu dan sesaat dari jajaran politisi di tanah air. Motif berpolitik
mereka menjadi kabur dan abu-abu, dan platform
perjuangan mereka menjadi sumir. Yang terjadi kemudian adalah gejala munculnya
para oportunis politik yang tidak berideologi.
Fenomena
migrasi politik ini memberi pelajaran berharga buat bangsa Indonesia bahwa
persoalan nasionalisme sejatinya menjadi akar masalah kebangsaan kita. Jika
para politisi yang relatif sudah hidup sejahtera saja tidak memiliki loyalitas
terhadap organisasi, bagaimana mungkin kita menuntut loyalitas terhadap para
pegawai dan orang-orang yang masih berpikir soal kebutuhan dasarnya? Jika para
elite tadi tidak memiliki patriotisme terhadap institusi, bagaimana mungkin
mereka memiliki patriotisme terhadap tanah air? Sebelum bisa mengatakan dengan gagah
berani bahwa “baik atau buruk bangsa ini, Indonesia tetaplah negeri yang akan
saya bela”, semestinya mereka bisa mengatakan bahwa “baik atau buruk partai
ini, ia adalah partai yang akan selalu saya bela”. Nah, kalimat seperti inilah
yang sangat langka dalam dunia politik kita. Seolah-olah politik hanyalah
ladang “bercocok tanam” untuk mendapatkan panen bagi dirinya, bukan ladang
pengabdian untuk rakyat banyak.
Semoga saja
akan segera ada migrasi balik yang akan menjadi tontonan indah bagi masyarakat.
Dalam iklim demokrasi yang belum dewasa dan belum terkosolidasi seperti saat
ini, keberadaan tokoh-tokoh politik yang bisa menjadi suri tauladan bagi rakyat
akan menimbulkan perasaan damai, jauh dari nuansa persaingan yang tidak sehat.
Jika para tokoh tadi tidak bisa menjadi contoh yang baik, kepada siapa lagi
rakyat Indonesia akan berharap?
Jakarta, 23
Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar