Membicarakan inovasi dari
perspektif penghematan anggaran dan pemotongan program adalah sesuatu yang
mengasyikkan dibalik kegetiran. Asyik, karena inovasi itu bisa tumbuh
dimanapun, bahkan di iklim tergersang atan tanah tertandus sekalipun. Bahkan
banyak fakta bicara bahwa inovasi justru lebih subur dan berkembang di sebuah
lingkungan yang serba sulit dan terbatas. Situasi kesulitan itulah yang menjadi
pemantik ide-ide kreatif sebuah masyarakat. Sebagaimana dikatakan Peter F.
Drucker, salah satu sumber inovasi itu adalah situasi incongruities, yakni situasi dimana ada dua tuntutan yang bertolak
belakang. Sebagai contoh, disatu sisi kita dihadapkan pada sumber daya
(termasuk anggaran) yang sangat minim, namun disisi lain organisasi dan bangsa
kita membutuhkan inovasi yang lebih banyak, lebih cepat, lebih bervariasi, dan
lebih berkualitas. Situasi seperti inilah yang justru sangat kondusif untuk
bersemi dan bersemainya inovasi.
Dengan cara berpikir seperti ini,
maka lahirnya Instruksi Presiden No. 4/2014 tentang Penghematan dan Pemotongan
Belanja K/L Dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2014, boleh disambut dengan optimis
bahwa minimnya anggaran tidak akan mempengaruhi secara negatif semangat
menghasilkan banyak perubahan dan pembaharuan dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi organisasi.
Untuk diketahui, dengan Inpres
No. 4/2014 tadi pemerintah ingin melakukan penghematan sebesar Rp 100 triliun
dengan memotong anggaran instansi di tingkat pusat (kecuali Bawaslu, KPU, dan
Kemdikbud). Konsekuensinya jelas bahwa program kerja yang sudah direncanakan
harus dibatalkan. Kalaupun bisa dilakukan, otomatis akan mengurangi volume
kerja, mengurangi IKU (indikator kinerja utama), dan mengurangi output
pekerjaan. Dengan pengurangan IKU, volume dan output pekerjaan tadi, maka logikanya pemerintah tidak bisa
mencapai visinya. Ini berarti pula bahwa pemerintah relatif gagal memenuhi
tugas dan kewajibannya. Bayangkan saja, ketika anggaran Kementerian PU dipotong
sebesar Rp 22 triliun lebih, berapa infrastruktur
yang semestinya dapat dinikmati oleh rakyat harus ditunda, untuk tidak
mengatakan dibatalkan? Bayangkan pula, ketika anggaran Kementerian Pertahanan
dipangkas lebih dari Rp 10 triliun, bagaimana bangsa ini bisa meremajakan
teknologi militernya? Seorang teman berkelakar bahwa boleh jadi militer kita
akan kembali mengandalkan senjata tradisional berupa bambu runcing dan ketapel
untuk menjaga kedaulatan bangsa ini. Itu baru sedikit contoh dari situasi
kritis yang dihadapi oleh setiap instansi yang mengalami nasib sama berupa
pemotongan anggaran.
Itulah sebabnya, Inpres tadi juga
membawa kegetiran yang cukup menyayat. Disaat negara-negara lain semakin
memperbesar anggaran untuk penelitian dan inovasi, negara kita malah memangkas
secara besar-besaran. Disaat negera lain sudah menghasilkan beraneka ragam
inovasi, kita semakin banyak menggunakan inovasi mereka. Mimpi mewujudkan
perekonomian Indonesia yang maju berbasis inovasi pada tahun 2025 sebagaimana
dirumuskan oleh Komite Inovasi Nasional (KIN), nampaknya harus segera
dikoreksi.
Faktanya, meski idealnya inovasi
itu tidak tergantung pada besaran biaya, namun realita berbicara lain.
Pemotongan anggaran yang berimplikasi pada pemotongan program kerja dan
pemotongan IKU dan output program, secara faktual membuktikan korelasi tegak
lurus antara anggaran dengan program dan output inovasi. Anggaran adalah
“faktor produksi” yang memungkinkan pengolahan input menjadi output. Anggaran
juga memberi keleluasaan bagi pengelolanya untuk menentukan strategi,
mekanisme, maupun pemilihan metode untuk menghasilkan output tadi. Maka, tanpa
adanya anggaran, faktor produksi menjadi berhenti. Kalaupun proses produksi
tetap berjalan, pasti tidak akan seefektif jika didukung dengan anggaran yang
memadai. Oleh sebab itu, pemerintah harus siap dengan “harga yang harus
dibayar” dengan kebijakan berupa pemotongan tadi, yakni kemungkinan menurunnya
kinerja instansi pemerintah.
Meskipun tidak bisa dihindarkan
adanya pengaruh faktor anggaran terhadap program riset dan/atau inovasi, namun
para pelaku riset dan inovasi harus tetap yakin bahwa innovation never die. Dalam kondisi sulit dan terjepit, inovasi
harus semakin melangit. Mentalitas seperti inilah yang harus dimiliki oleh para
innovator, sehingga kendala, hambatan, dan segala bentuk permasalahan tidak
dipersepsi sebagai penghalang, melainkan sebagai pemacu untuk berinovasi. Hal
ini tentu sangat berat, meskipun bukan sesuatu yang mustahil. Saya yakin bahwa
motivasi untuk berinovasi dan motivasi untuk maju (needs for achievement) akan menjadikan segala bentuk rintangan
terasa lebih ringan dan mudah dihadapi.
Jakarta, 22 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar