Belum begitu lama kita mengenal
istilah atau konsep ekonomi kreatif. Secara formal istilah ini baru kita kenal
pada saat terjadi perubahan kabinet pada bulan Oktober 2012, dimana Kementerian
Pariwisata, Seni dan Budaya berubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif.
Dalam
dunia akademis sendiri istilah ini juga relatif belum lama. Menurut Listianing
Widiastuti dalam artikelnya berjudul “Kota
Kreatif: Katalis Pertumbuhan Ekonomi atau Sekedar Branding Sebuah Kota?”
(2014), saat ini manusia telah mengalami evolusi pemikiran dan perilaku
sehingga nilai-nilai yang terkandung dari sebuah teori dasar dapat dikembangkan
untuk menghasilkan nilai-nilai baru yang lebih inovatif dan dapat mendukung
optimasi produktivitas. Kolaborasi dengan perkembangan teknologi juga berperan
sebagai katalis dalam proses penciptaan nilai-nilai tersebut. Hal inilah yang
kemudian menarik perhatian Tony Blair, Richard Florida dan berbagai peneliti
lainnya untuk mengembangkan teori dan konsep mengenai creative economy.
Lebih jauh Listianing menjelaskan bahwa creative economy merupakan
paradigma baru dalam pembangunan perekonomian regional untuk memanfaatkan
potensi kekayaan intelektual dalam menciptakan nilai tambah ekonomis untuk
barang dan jasa, penciptaan lapangan kerja, dan konservasi nilai budaya serta
ekologis di suatu daerah. Teori ini menimbulkan impresi sebagai sebuah
tanggapan terhadap kelangkaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia
yang terus meningkat.
Dari penjelasan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa ekonomi kreatif adalah aktivitas perekonomian yang
memanfaatkan utilisasi pengetahuan (bukan sekedar teknologi) untuk memberi
nilai tambah dalam aktivitas perekonomian tersebut. Nilai tambah itu bisa
berupa peningkatan produktivitas kerja, perbaikan terhadap proses dan mutu
produk, peningkatan kepuasan pelanggan, aplikasi teknologi yang lebih ramah
lingkungan (eco-friendly) dan ramah
pengguna (user-friendly), dan
sebagainya.
Nah, dari konsep tentang ekonomi
kreatif itulah, teori dan konsep tentang administrasi kreatif atau creative (public) administration
mestinya bisa dikembangkan. Maknanya kurang lebih sama, yakni penggunaan
pengetahuan (knowledge) yang lebih
baik dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi pemerintahan, sehingga
menghasilkan nilai tambah baik bagi masyarakat yang dilayani maupun bagi
organisasi itu sendiri.
Dengan pemaknaan seperti itu,
maka sesungguhnya creative administration
itu sudah menjadi praktek di beberapa instansi pemerintah dan bukan sebuah
wacana belaka. Sebagai contoh, jika sebelumnya pelayanan perijinan diberikan secara
tersebar di berbagai instansi yang saling berjauhan dan tidak saling
terkoordinasi, menjadi pelayanan terpadu dalam satu atap atau satu pintu, maka
itu adalah bentuk konkrit dari sistem administrasi yang kreatif. Jika
pendaftaran dalam pelayanan tertentu selama ini dibatasi jam kerja hanya sampai
pukul 16.00 sore, kemudian dapat diubah menjadi pelayanan berkesinambungan (non-stop service) melalui penerapan
sistem registrasi online, maka itupun
adalah wujud nyata administrasi yang sangat kreatif.
Banyak lagi creative administration yang sudah dilakukan atau bisa
dikembangkan, misalnya pembuatan kartu pegawai yang berfungsi ganda (multi-function), pembuatan sistem
pelaporan yang tidak lagi mengharuskan data-entry
secara berulang-ulang namun dapat digunakan untuk keperluan yang berbeda (multi-purpose), sistem arsip digital
yang memudahkan penyimpanan dan pencarian berkas, perbaikan sarana kerja (meja
kursi, filing-cabinet, rak buku, dan
lain-lain) yang lebih ergonomis dan memudahkan dalam pemindahan dokumen atau
mutasi pegawai, SOP yang mudah dipahami dan memudahkan urusan pelanggan, akses
informasi yang terbuka melalui berbagai media, dan seterusnya. Bahkan tampilan
atau kemasan tertentu yang unik dan beda dari biasanya, seperti desain ruang
tunggu yang minimalis namun dilengkapi dengan banyak fasilitas, atau
poster-poster lucu berisi prosedur kerja instansi tertentu, adalah juga contoh
sederhana tentang creative administration.
Meskipun sudah banyak praktek creative administration yang “tidak
disadari”, namun tetap diperlukan adanya kesadaran untuk terus memperkenalkan dan
mengkampanyekan konsep ini agar menjadi sebuah gerakan yang sistematis dengan
melibatkan sebanyak mungkin pelaku. Dengan demikian, maka creative administration diharapkan akan menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan
tugas-tugas rutin setiap instansi atau unit kerja.
Satu hal lagi yang perlu dipahami
adalah bahwa baik creative economy
maupun creative administration selalu
mensyaratkan adanya creative person dan
creative milieu. Dengan kata lain,
pribadi-pribadi yang kreatif dan budaya kreatif dalam organisasi merupakan
prakondisi untuk tumbuhnya ekonomi dan administrasi yang kreatif. Untuk itu,
setiap organisasi perlu memberi perhatian yang memadai guna memgoptimalkan
potensi kreatif para pegawainya agar terbentuk kelompok kreatif (creative class) dalam organisasi
tersebut. Ketika creative class dalam
sebuah institusi telah terbentuk, biasanya akan diikuti oleh tumbuhnya budaya
kompetisi, yang pada gilirannya akan muncul lingkungan kerja kreatif atau
budaya inovasi. Jika ini sudah terbentuk, maka harapan untuk menyaksikan
merebaknya creative administration dalam
birokrasi di Indonesia dapat segera terwujud.
Jakarta, 19 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar