Selasa, 13 Mei 2014

“Blusukan” sebagai Inovasi Manajemen Pemerintahan


Ketika menerima undangan sebagai panelis pada The 1st Asian Public Governance Forum on Innovation yang diselenggarakan oleh OECD Korea Policy Center bekerjasama dengan LAN, pada tanggal 11-12 Juni mendatang, saat itu saya langsung terpikir untuk mengangkat fenomena “blusukan” sebagai materi yang akan saya paparkan. Kebetulan sekali, sub-tema yang diminta adalah terkait Government 3.0, sebuah perspektif baru dalam melihat peran pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.  

Government 3.0 sendiri adalah generasi terbaru dari Government 1.0 dan Government 2.0. Jika pada konsep Government 1.0 pemerintah lebih berorientasi kedalam untuk menciptakan efisiensi dan hubungan dengan masyarakat masih relatif terbatas atau lebih bersifat satu arah, maka pada tahap Government 2.0 pemerintah sudah lebih berorientasi pada masyarakat secara umum (citizen oriented) dan hubungan dengan masyarakat sudah semakin terbuka dan berjalan secara timbal balik (two ways communication). Nah, pada Government 3.0, orientasi pelayanan pemerintah tidak saja kepada masyaralat sebagai sebuah kolektivitas, namun juga bersifat individual. Manajemen pemerintahan jauh lebih demokratis dengan membuka seluas-luasnya keran partisipasi publik, sehingga hubungan antara pemerintah dengan masyarakat berjalan lebih intens atau lebih interpersonal tanpa sekat-sekat birokrasi yang kaku dan lamban. Birokrasi itu dipersonifikasikan oleh para pejabatnya, dan para pejabat itu adalah manusia biasa yang butuh sentuhan humanisme dalam hubungan dengan sesamanya, tidak berada dalam baju birokrasi yang formalistik dan berjarak. 

Bagi saya, blusukan adalah gagasan yang sangat cerdas, original, dan jenius. Meskipun selama ini para pejabat sudah menerapkan “sidak” (inspeksi mendadak), namun anatominya sangat berbeda dibanding blusukan. Sidak lebih bernuansa mencari kelengahan seseorang untuk menemukan atau membuktikan kesalahannya, sedangkan blusukan lebih dimaksudkan untuk mendengar langsung dari sumber masalah serta menangkap aspirasi dari pihak-pihak yang memiliki masalah tersebut. Jika sidak lebih menonjolkan nuansa kekuasaan, maka dalam blusukan justru dilandasi filosofi bahwa pemimpin memiliki tugas pokok melayani. Dan karena blusukan ini menjalin hubungan langsung dengan masyarakat, maka hilanglah budaya ABS (Asal Bapak Senang = As far as our Boss is Satisfied). Atas dasar itulah saya pribadi menilai bahwa blusukan adalah sebuah inovasi besar dalam manajemen pemerintahan. 

Mengapa saya berani mengatakan demikian? Dalam banyak hal, blusukan ini mampu memangkas jalur birokrasi yang panjang dan melelahkan. Untuk mengetahui sebuah masalah yang riil, seorang kepala daerah atau siapapun pelaku blusukan tidak perlu menugaskan bawahannya secara berjenjang untuk melakukan pengumpulan data tentang masalah yang terjadi, yang seringkali disertai dengan kekurangcermatan dalam tahap interpretasi dan analisis. Akibatnya, selain membuang waktu percuma, rekomendasi kebijakan yang diajukan juga berpotensi keliru. Nah, kemungkinan seperti ini akan dapat diperkecil melalui blusukan. Seorang pejabat yang melakukan blusukan dapat melihat dengan mata kepala sendiri, dan bisa secara langsung mengambil kesimpulan tentang penyebab permasalahan dan solusi yang dibutuhkan. Dengan demikian, blusukan juga akan memperbaiki kualitas perencanaan program karena benar-benar sesuai dengan kebutuhan, bukan sekedar keinginan dari instansi pemegang anggaran untuk melakukan sesuatu yang tanpa dasar yang jelas. 

Masih banyak lagi manfaat yang bisa diidentifikasikan dari aktivitas blusukan ini. Namun secara umum dapat diklasifikasikan menjadi empat manfaat besar, yakni: 1) mendekatkan pemerintah dengan masyarakat yang harus dilayani; 2) memperkuat dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah; 3) meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem perencanaan dan penganggaran; serta 4) mewujudkan kinerja pemerintahan yang lebih solid dan berdampak positif terhadap masyarakat. 

Manfaat seperti itu paling tidak sudah tervalidasi oleh Jokowi dengan kemampuannya memindahkan PKL (pedagang kaki lima) tanpa kekerasan sama sekali, bahkan diarak dengan prosesi budaya tradisonal. Pada saat memimpin Jakarta-pun, Jokowi mampu mengubah salah satu wajah kumuh Jakarta, khususnya Waduk Ria Rio di wilayah Jakarta Timur, menjadi lebih sehat, modern, dan berwawasan lingkungan. Tidak ada lagi sampah menumpuk, rumah-rumah kumuh, bahkan cap sebagai sarang penyamun juga turut hilang seiring dengan penataan yang dilakukan. Pertanyaannya, mengapa sekian puluh tahun kawasan itu tidak dapat ditata dengan baik dan damai, mungkin sekali jawabannya adalah pendekatan yang digunakan pada pemimpin di masanya yang lebih menonjolkan otoritas formal. Dengan pendekatan informal, adaptif, dan interpersonal, terbukti masalah-masalah perkotaan dapat dikurangi sedikit demi sedikit. Kasus yang sama juga terjadi di Surabaya dibawah kepemimpinan Rismaharini, yang tidak malu-malu langsung terjun menyapu jalanan, memadamkan api, mengatur lalu lintas, mengangkat batang pohon yang tumbang, dan seterusnya. 

Memang ada peluang blusukan ini disalahgunakan untuk pencitraan seseorang dan menaikkan elektabilitasnya dalam musim Pilkada atau Pilpres. Namun sepanjang hal itu terbukti mampu memberi solusi konkrit bagi masyarakat, maka kita tetap harus menghilangkan praduga dan prasangka yang tidak proporsional. Dan agar blusukan ini bisa menghasilkan dampak yang lebih luas, lebih nyata, dan lebih sistemik, maka perlu dilembagakan menjadi kebijakan sekaligus model kepemimpinan yang bukan saja partisipatif namun juga transformasional. Salah satu cara pelembagaan blusukan tadi adalah dengan mewajibkan setiap pejabat pada setiap level agar menetapkan agenda kerja untuk berkomunikasi secara langsung dengan segmen masyarakat yang harus dilayani.  

Jika dimasa lalu ada kisah raja yang menyamar sebagai rakyat dan hidup di tengah-tengah rakyat untuk merasakan penderitaannya, maka di jaman modern ini para pejabat tidak perlu lagi menyamar, namun pada hakekatnya melakukan peran yang sama sebagaimana para raja-raja arif bijaksana di masa silam. Jika almarhum Sri Sultan Hamengku Buwana IX memiliki filosofi “Tahta Untuk Rakyat”, maka para pejabat jaman modern sudah sepantasnya menggunakan wibawa, kuasa, dan sumber dayanya juga untuk rakyat. 

Jakarta 14 Mei 2014

Tidak ada komentar: