Ketika
menerima undangan sebagai panelis pada The 1st Asian Public Governance Forum on Innovation yang
diselenggarakan oleh OECD Korea Policy Center bekerjasama dengan LAN, pada
tanggal 11-12 Juni mendatang, saat itu saya langsung terpikir untuk mengangkat fenomena
“blusukan” sebagai materi yang akan saya paparkan. Kebetulan sekali, sub-tema
yang diminta adalah terkait Government
3.0, sebuah perspektif baru dalam melihat peran pemerintah dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
Government
3.0 sendiri adalah generasi terbaru dari Government 1.0 dan Government 2.0. Jika pada konsep Government 1.0 pemerintah lebih berorientasi kedalam untuk
menciptakan efisiensi dan hubungan dengan masyarakat masih relatif terbatas
atau lebih bersifat satu arah, maka pada tahap Government 2.0 pemerintah sudah lebih berorientasi pada masyarakat
secara umum (citizen oriented) dan
hubungan dengan masyarakat sudah semakin terbuka dan berjalan secara timbal
balik (two ways communication). Nah,
pada Government 3.0, orientasi
pelayanan pemerintah tidak saja kepada masyaralat sebagai sebuah kolektivitas,
namun juga bersifat individual. Manajemen pemerintahan jauh lebih demokratis
dengan membuka seluas-luasnya keran partisipasi publik, sehingga hubungan
antara pemerintah dengan masyarakat berjalan lebih intens atau lebih
interpersonal tanpa sekat-sekat birokrasi yang kaku dan lamban. Birokrasi itu
dipersonifikasikan oleh para pejabatnya, dan para pejabat itu adalah manusia
biasa yang butuh sentuhan humanisme dalam hubungan dengan sesamanya, tidak
berada dalam baju birokrasi yang formalistik dan berjarak.
Bagi saya,
blusukan adalah gagasan yang sangat cerdas, original, dan jenius. Meskipun
selama ini para pejabat sudah menerapkan “sidak” (inspeksi mendadak), namun
anatominya sangat berbeda dibanding blusukan. Sidak lebih bernuansa mencari
kelengahan seseorang untuk menemukan atau membuktikan kesalahannya, sedangkan
blusukan lebih dimaksudkan untuk mendengar langsung dari sumber masalah serta
menangkap aspirasi dari pihak-pihak yang memiliki masalah tersebut. Jika sidak
lebih menonjolkan nuansa kekuasaan, maka dalam blusukan justru dilandasi
filosofi bahwa pemimpin memiliki tugas pokok melayani. Dan karena blusukan ini
menjalin hubungan langsung dengan masyarakat, maka hilanglah budaya ABS (Asal
Bapak Senang = As far as our Boss is Satisfied).
Atas dasar itulah saya pribadi menilai bahwa blusukan adalah sebuah inovasi
besar dalam manajemen pemerintahan.
Mengapa saya
berani mengatakan demikian? Dalam banyak hal, blusukan ini mampu memangkas jalur
birokrasi yang panjang dan melelahkan. Untuk mengetahui sebuah masalah yang
riil, seorang kepala daerah atau siapapun pelaku blusukan tidak perlu
menugaskan bawahannya secara berjenjang untuk melakukan pengumpulan data
tentang masalah yang terjadi, yang seringkali disertai dengan kekurangcermatan
dalam tahap interpretasi dan analisis. Akibatnya, selain membuang waktu
percuma, rekomendasi kebijakan yang diajukan juga berpotensi keliru. Nah,
kemungkinan seperti ini akan dapat diperkecil melalui blusukan. Seorang pejabat
yang melakukan blusukan dapat melihat dengan mata kepala sendiri, dan bisa
secara langsung mengambil kesimpulan tentang penyebab permasalahan dan solusi
yang dibutuhkan. Dengan demikian, blusukan juga akan memperbaiki kualitas
perencanaan program karena benar-benar sesuai dengan kebutuhan, bukan sekedar
keinginan dari instansi pemegang anggaran untuk melakukan sesuatu yang tanpa
dasar yang jelas.
Masih banyak
lagi manfaat yang bisa diidentifikasikan dari aktivitas blusukan ini. Namun
secara umum dapat diklasifikasikan menjadi empat manfaat besar, yakni: 1)
mendekatkan pemerintah dengan masyarakat yang harus dilayani; 2) memperkuat
dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah; 3) meningkatkan
efektivitas dan efisiensi sistem perencanaan dan penganggaran; serta 4)
mewujudkan kinerja pemerintahan yang lebih solid dan berdampak positif terhadap
masyarakat.
Manfaat
seperti itu paling tidak sudah tervalidasi oleh Jokowi dengan kemampuannya
memindahkan PKL (pedagang kaki lima) tanpa kekerasan sama sekali, bahkan diarak
dengan prosesi budaya tradisonal. Pada saat memimpin Jakarta-pun, Jokowi mampu
mengubah salah satu wajah kumuh Jakarta, khususnya Waduk Ria Rio di wilayah
Jakarta Timur, menjadi lebih sehat, modern, dan berwawasan lingkungan. Tidak
ada lagi sampah menumpuk, rumah-rumah kumuh, bahkan cap sebagai sarang penyamun
juga turut hilang seiring dengan penataan yang dilakukan. Pertanyaannya,
mengapa sekian puluh tahun kawasan itu tidak dapat ditata dengan baik dan
damai, mungkin sekali jawabannya adalah pendekatan yang digunakan pada pemimpin
di masanya yang lebih menonjolkan otoritas formal. Dengan pendekatan informal,
adaptif, dan interpersonal, terbukti masalah-masalah perkotaan dapat dikurangi
sedikit demi sedikit. Kasus yang sama juga terjadi di Surabaya dibawah
kepemimpinan Rismaharini, yang tidak malu-malu langsung terjun menyapu jalanan,
memadamkan api, mengatur lalu lintas, mengangkat batang pohon yang tumbang, dan
seterusnya.
Memang ada
peluang blusukan ini disalahgunakan untuk pencitraan seseorang dan menaikkan
elektabilitasnya dalam musim Pilkada atau Pilpres. Namun sepanjang hal itu terbukti
mampu memberi solusi konkrit bagi masyarakat, maka kita tetap harus
menghilangkan praduga dan prasangka yang tidak proporsional. Dan agar blusukan
ini bisa menghasilkan dampak yang lebih luas, lebih nyata, dan lebih sistemik,
maka perlu dilembagakan menjadi kebijakan sekaligus model kepemimpinan yang
bukan saja partisipatif namun juga transformasional. Salah satu cara
pelembagaan blusukan tadi adalah dengan mewajibkan setiap pejabat pada setiap
level agar menetapkan agenda kerja untuk berkomunikasi secara langsung dengan
segmen masyarakat yang harus dilayani.
Jika dimasa
lalu ada kisah raja yang menyamar sebagai rakyat dan hidup di tengah-tengah
rakyat untuk merasakan penderitaannya, maka di jaman modern ini para pejabat
tidak perlu lagi menyamar, namun pada hakekatnya melakukan peran yang sama
sebagaimana para raja-raja arif bijaksana di masa silam. Jika almarhum Sri
Sultan Hamengku Buwana IX memiliki filosofi “Tahta Untuk Rakyat”, maka para
pejabat jaman modern sudah sepantasnya menggunakan wibawa, kuasa, dan sumber
dayanya juga untuk rakyat.
Jakarta 14 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar