Rabu, 07 Mei 2014

Menafsirkan Executive Heavy Dalam UUD 1945



Di tengah keasyikan saya buang air besar, tiba-tiba terlintas pemikiran bahwa telah terjadi kesalahan dalam menafsirkan UUD 1945 sehingga berujung pada amandemen. Hal ini terkait dengan Penjelasan UUD 1945 terkait Sistem Pemerintahan Negara romawi IV yang berbunyi: “Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis.” Kalimat ini disusul dengan penjelasan lebih lanjut berbunyi: “Di bawah MPR, Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).”

Frasa inilah yang kemudian ditafsirkan banyak orang bahwa Konstitusi kita menganut paham executive heavy, yang bermakna bahwa kekuasaan eksekutif yang dipegang Presiden lebih tinggi kedudukannya dibanding cabang kekuasaan negara lainnya, sehingga cenderung terjadi dominasi Presiden terhadap pejabat tinggi negara lainnya. Hal ini sesuai pernyataan Lord Acton bahwa kekuasaan akan cenderung disalahgunakan (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely). Kalimat Acton inilah yang menjadi dasar analisis bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang berlangsung selama 32 tahun rezim Orde Baru terjadi karena Konstitusi memberikan kewenangan sangat besar kepada Presiden sehingga tidak terbangun sistem checks and balances yang sehat dan seimbang. Wajarlah jika dalam proses amandemen kalimat pada Penjelasan UUD 1945 tadi dihapus, bahkan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara dan Mandataris Presiden juga dihapus. Atas nama demokrasi, tidak ada lagi penyebutan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara; melainkan semua berkedudukan sama sebagai lembaga negara.

Nah, inilah yang saya maksudkan sebagai kesalahan menafsirkan (mis-interpretasi) dalam pemikiran saya tadi. Meskipun saya mengatakan hal ini sebagai sebuah kekhilafan sejarah, namun saya juga tidak berani memastikan bahwa pendapat sayalah yang benar. Sebab, saya tidak mengikuti Sidang BPUPKI yang menetapkan UUD 1945 sebagai dasar negara, sehingga sayapun tidak bisa menangkap semangat dan suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) para perumus UUD 1945. Namun saya juga tidak yakin bahwa para politisi di Senayan yang merancang amandemen memiliki suasana kebatinan yang sama dengan para pendahulunya. Karena sama-sama tidak memiliki semangat kebatinan itu, maka pendapat saya dan pendapat pendukung amandemen memiliki probabilitas yang sama untuk benar ataupun salah,

Saya sendiri berpendapat bahwa UUD 1945 sama sekali tidak menganut paham executive heavy, melainkan presidential heavy. Jika pada konsep executive heavy itu kedudukan Presiden adalah sebagai Kepala Pemerintahan, maka pada konsep presidential heavy Presiden berkedudukan selaku Kepala Negara. Jangankan dalam sebuah negara, dalam rumah tangga-pun harus ada seseorang yang berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi. Agak janggal rasanya sebuah negara dipimpin secara kolegial, dimana diantara para pemimpin tadi memiliki kedudukan yang sama meski beban tanggungjawabnya berbeda. Konkritnya, UUD 1945 sesungguhnya telah menempatkan Presiden (dalam kapasitas sebagai Kepala Pemerintahan) relatif sederajat dengan DPR maupun kekuasaan negara yang lain. Hal ini misalnya dapat disimak dari Penjelasan UUD 1945 yang berbunyi: “Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden”. Klausul ini dengan jelas sekali menjamin posisi DPR yang independen, sekaligus menjamin interaksi antara Presiden dengan DPR berlangsung dalam koridor demokrasi yang “sejajar” dan independen pada tugasnya masing-masing. Namun sebagai Kepala Negara memang harus memiliki kewenangan yang lebih luas dan lebih tinggi, tidak sekedar menjadi simbol negara,

Sayangnya, batas-batas kewenangan antara Kepala Negara dengan Kepala Pemerintahan tidak terdefinisikan dengan jelas dan rinci. Wilayah abu-abu yang berlangsung selama 32 tahun telah menjadikan kedudukan Presiden semakin kabur dan semakin sulit untuk dibedakan kapan dia bertindak selaku Kepala Negara dan kapan menjalankan tugas Kepala Pemerintahan. Meskipun sebenarnya bisa dibuat garis batas yang jelas, namun karena tidak ada hukum positif maupun konvensi yang mengatur tentang hal ini, maka Presiden menjadi sosok yang seolah-olah dapat berbuat apapun (the president can do no wrong). Kalaupun benar bahwa Soeharto memang melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang, itu juga ada kontribusi sistem yang abu-abu tadi, Hal serupa akan bisa berulang pada periode kepemimpinan siapapun sepanjang batas-batas ini tidak segera dirumuskan dengan seksama.

Dalam perspektif kedepan, jika kita konsisten dengan sistem presidensil yang dianut oleh UUD 1945, maka kedudukan Presiden harus diperkuat. Jangan sampai terulang pengalaman selama ini dimana hak prerogative Presiden terganggu karena terlalu memperhatikan aspirasi partai politik. Lebih cilaka lagi jika jabatan menteri atau jabatan politis lainnya hanya dijadikan ajang bagi-bagi jatah untuk partai polirik sebagai “balas budi” karena telah bersedia masuk dalam barisan “koalisi” partai pemenang Pemilu. Penggunaan istilah koalisi saja sudah adanya mengindikasikan kekeliruan dalam penerapan sistem politik berdasar konstitusi, apalagi jika Presiden sampai kehilangan keberanian dan kewibawaan untuk memilih dan mengangkat para pembantunya.

Kalaupun UUD 1945 sudah terlanjur diamandemen, paling tidak kita harus meluruskan penafsiran terhadap spirit konstitusi kita dengan mengembalikan kewibawaan jabatan Presiden dalam dwi-fungsinya yang bersifat manunggal. Executive heavy yang dianggap menciptakan hubungan tidak seimbang antar cabang kekuasaan negara bolehlah ditinggalkan, namun presidential heavy yang menempatkan Presiden sebagai penanggungjawab terbesar dari sistem penyelenggaraan pemerintahan negara beserta segala akibatnya, janganlah dilupakan. Sebagai Kepala Pemerintahan memang Presiden berada dalam sistem checks and balances dengan lembaga penyelenggara kekuasaan negara lainnya, namun sebagai Kepala Negara, Presiden tentu saja berada diatas semua kekuasaan yang ada.

Jakarta, 8 Mei 2014

Tidak ada komentar: