Di tengah keasyikan saya buang
air besar, tiba-tiba terlintas pemikiran bahwa telah terjadi kesalahan dalam
menafsirkan UUD 1945 sehingga berujung pada amandemen. Hal ini terkait dengan
Penjelasan UUD 1945 terkait Sistem Pemerintahan Negara romawi IV yang berbunyi:
“Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah
Majelis.” Kalimat ini disusul dengan penjelasan lebih lanjut berbunyi: “Di
bawah MPR, Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam
menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan
Presiden (concentration of power and
responsibility upon the President).”
Frasa inilah yang kemudian
ditafsirkan banyak orang bahwa Konstitusi kita menganut paham executive heavy, yang bermakna bahwa
kekuasaan eksekutif yang dipegang Presiden lebih tinggi kedudukannya dibanding cabang
kekuasaan negara lainnya, sehingga cenderung terjadi dominasi Presiden terhadap
pejabat tinggi negara lainnya. Hal ini sesuai pernyataan Lord Acton bahwa
kekuasaan akan cenderung disalahgunakan (power
tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely). Kalimat Acton
inilah yang menjadi dasar analisis bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang
berlangsung selama 32 tahun rezim Orde Baru terjadi karena Konstitusi
memberikan kewenangan sangat besar kepada Presiden sehingga tidak terbangun
sistem checks and balances yang sehat
dan seimbang. Wajarlah jika dalam proses amandemen kalimat pada Penjelasan UUD
1945 tadi dihapus, bahkan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara dan
Mandataris Presiden juga dihapus. Atas nama demokrasi, tidak ada lagi
penyebutan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara; melainkan semua
berkedudukan sama sebagai lembaga negara.
Nah, inilah yang saya maksudkan
sebagai kesalahan menafsirkan (mis-interpretasi) dalam pemikiran saya tadi.
Meskipun saya mengatakan hal ini sebagai sebuah kekhilafan sejarah, namun saya
juga tidak berani memastikan bahwa pendapat sayalah yang benar. Sebab, saya
tidak mengikuti Sidang BPUPKI yang menetapkan UUD 1945 sebagai dasar negara,
sehingga sayapun tidak bisa menangkap semangat dan suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) para perumus
UUD 1945. Namun saya juga tidak yakin bahwa para politisi di Senayan yang
merancang amandemen memiliki suasana kebatinan yang sama dengan para
pendahulunya. Karena sama-sama tidak memiliki semangat kebatinan itu, maka
pendapat saya dan pendapat pendukung amandemen memiliki probabilitas yang sama untuk
benar ataupun salah,
Saya sendiri berpendapat bahwa
UUD 1945 sama sekali tidak menganut paham executive
heavy, melainkan presidential heavy.
Jika pada konsep executive heavy itu
kedudukan Presiden adalah sebagai Kepala Pemerintahan, maka pada konsep presidential heavy Presiden berkedudukan
selaku Kepala Negara. Jangankan dalam sebuah negara, dalam rumah tangga-pun
harus ada seseorang yang berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi. Agak janggal
rasanya sebuah negara dipimpin secara kolegial, dimana diantara para pemimpin
tadi memiliki kedudukan yang sama meski beban tanggungjawabnya berbeda.
Konkritnya, UUD 1945 sesungguhnya telah menempatkan Presiden (dalam kapasitas
sebagai Kepala Pemerintahan) relatif sederajat dengan DPR maupun kekuasaan
negara yang lain. Hal ini misalnya dapat disimak dari Penjelasan UUD 1945 yang
berbunyi: “Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa
dibubarkan oleh Presiden”. Klausul ini dengan jelas sekali menjamin posisi DPR
yang independen, sekaligus menjamin interaksi antara Presiden dengan DPR
berlangsung dalam koridor demokrasi yang “sejajar” dan independen pada tugasnya
masing-masing. Namun sebagai Kepala Negara memang harus memiliki kewenangan
yang lebih luas dan lebih tinggi, tidak sekedar menjadi simbol negara,
Sayangnya, batas-batas kewenangan
antara Kepala Negara dengan Kepala Pemerintahan tidak terdefinisikan dengan
jelas dan rinci. Wilayah abu-abu yang berlangsung selama 32 tahun telah
menjadikan kedudukan Presiden semakin kabur dan semakin sulit untuk dibedakan
kapan dia bertindak selaku Kepala Negara dan kapan menjalankan tugas Kepala
Pemerintahan. Meskipun sebenarnya bisa dibuat garis batas yang jelas, namun
karena tidak ada hukum positif maupun konvensi yang mengatur tentang hal ini,
maka Presiden menjadi sosok yang seolah-olah dapat berbuat apapun (the president can do no wrong). Kalaupun
benar bahwa Soeharto memang melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang, itu
juga ada kontribusi sistem yang abu-abu tadi, Hal serupa akan bisa berulang
pada periode kepemimpinan siapapun sepanjang batas-batas ini tidak segera
dirumuskan dengan seksama.
Dalam perspektif kedepan, jika kita
konsisten dengan sistem presidensil yang dianut oleh UUD 1945, maka kedudukan
Presiden harus diperkuat. Jangan sampai terulang pengalaman selama ini dimana
hak prerogative Presiden terganggu karena terlalu memperhatikan aspirasi partai
politik. Lebih cilaka lagi jika jabatan menteri atau jabatan politis lainnya hanya
dijadikan ajang bagi-bagi jatah untuk partai polirik sebagai “balas budi”
karena telah bersedia masuk dalam barisan “koalisi” partai pemenang Pemilu. Penggunaan
istilah koalisi saja sudah adanya mengindikasikan kekeliruan dalam penerapan sistem
politik berdasar konstitusi, apalagi jika Presiden sampai kehilangan keberanian
dan kewibawaan untuk memilih dan mengangkat para pembantunya.
Kalaupun UUD 1945 sudah terlanjur
diamandemen, paling tidak kita harus meluruskan penafsiran terhadap spirit
konstitusi kita dengan mengembalikan kewibawaan jabatan Presiden dalam
dwi-fungsinya yang bersifat manunggal. Executive
heavy yang dianggap menciptakan hubungan tidak seimbang antar cabang
kekuasaan negara bolehlah ditinggalkan, namun presidential heavy yang menempatkan Presiden sebagai
penanggungjawab terbesar dari sistem penyelenggaraan pemerintahan negara
beserta segala akibatnya, janganlah dilupakan. Sebagai Kepala Pemerintahan
memang Presiden berada dalam sistem checks
and balances dengan lembaga penyelenggara kekuasaan negara lainnya, namun
sebagai Kepala Negara, Presiden tentu saja berada diatas semua kekuasaan yang
ada.
Jakarta, 8 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar