Mungkin tidak banyak yang
membantah bahwa struktur organisasi pemerintahan kita saat ini sudah terlalu
gemuk. Kementerian Dalam Negeri, misalnya, memiliki 13 unit Eselon I, sedangkan
di Kementerian Hukum dan HAM terdapat 11 unit utama / Eselon I. Kementerian
yang lain seperti ESDM, Keuangan, atau Perhubungan juga cenderung memiliki
struktur yang tambun.
Sesungguhnya tidak ada yang salah
dengan struktur yang besar, asal urusan yang dijalankan juga besar. Kalaupun
benar bahwa urusannya besar, sepanjang masih satu rumpun sebenarnya tidak harus
diwadahi dalam struktur yang besar, namun bisa disatukan dalam sebuah struktur
yang sama. Selain hemat struktur dan sumber daya, penyatuan beberapa fungsi
serumpun dalam wadah yang sama juga akan mengurangi problem koordinasi,
mempermudah perencanaan hingga pengawasan kegiatan, serta menghindarkan dari
kemungkinan tumpang tindih wewenang, tugas, kegiatan, hingga pembiayaan yang
sering terjadi selama ini.
Dengan demikian, perampingan
struktur dan penambahan fungsi organisasi sepanjang tidak menimbulkan problem
baru pencapaian visi organisasi secara efektif dan efisien, dapat dikatakan
sebagai sebuah inovasi kelembagaan. Artinya, tidak selalu organisasi yang
ramping itu baik dan inovatif, atau sebaliknya organisasi yang yang gemuk itu
selalu buruk. Banyak variabel, faktor, atau pertimbangan yang bersifat
situasional untuk menentukan apakah sebuah inisiatif restrukturisasi organisasi
itu sebagai inovasi atau bukan. Besaran beban kerja, perumpunan urusan,
dukungan sumber daya, adalah beberapa hal yang biasa dijadikan pertimbangan
dalam penataan kelembagaan instansi pemerintah.
Meminjam teori ekonomi, maka
sebuah organisasipun bisa mengukur economic
of scale-nya. Baik penambahan maupun pengurangan struktur, jika berdampak
pada terciptanya economic of scale
yang terbaik, maka itu kita katakan sebagai sebuah inovasi. Sebaliknya, jika
penambahan struktur ternyata mengakibatkan pemborosan sumber daya,
memperpanjang prosedur kerja, memperlemah span
of control, atau menimbulkan fragmentasi antar divisi dalam organisasi
tersebut, maka hal itu jauh dari spirit inovasi. Begitu juga, perampingan
struktur yang berakibat pada membengkaknya beban kerja yang menurunkan kinerja,
menjadikan tidak jelasnya distribusi tugas dan tanggung jawab antar pegawai,
atau memunculkan kecemasan di kalangan pegawai tentang jaminan karir dan masa
depannya, itupun sulit dikatakan sebagai sebuah inovasi.
Salah saru opsi restrukturisasi
organisasi yang dapat dikategorikan sebagai inovasi menurut saya adalah
peleburan antara Biro Kepegawaian dengan Badan Diklat di suatu kementerian. Menurut
saya, kedua unit tersebut memiliki obyek tugas yan sama, sedangkan urusannyapun
relatif setumpun. Meskipun selama ini dipahami bahwa Badan Diklat menjalankan
fungsi technostructure sedangkan Biro
Kepegawaian menjalankan fungsi supporting,
namun dengan perubahan Biro Kepegawaian menjadi Biro SDM, sesungguhnya telah
mencerminkan perubahan orientasi dari pengelola administrasi personalia yang
menempatkan pegawai sebagai human
resource belaka menjadi
pengembangan kompetensi pegawai sebagai human
capital. Dalam konteks pegawai sebagai human
capital itulah fungsi dan program diklat menjadi sangat relevan, sehingga
fungsi kepegawaian dan diklat lebih menyerupai sebiji koin mata uang dengan dua
sisinya.
Dengan adanya penggabungan antara
Badan Diklat Kementerian dan Biro Kepegawaian itu akan diperoleh beberapa
manfaat, misalnya lebih terintegrasinya perencanaan kebutuhan dan pengembangan
pegawai, meningkatnya efisiensi sumber daya khususnya anggaran, berkurangnya mis-koordinasi
antar satuan kerja, meningkatnya fokus dan efektifivas kerja, dan sebagainya.
Disisi lain, boleh jadi merger antara kedua satuan kerja tadi akan menimbulkan
beberapa pertanyaan. Pertanyaan pertama mungkin terkait nasib dan kedudukan
Widuaiswara yang selama ini ada lembaga induknya yakni Badan Diklat apakah bisa
ditempatkan dibawah naungan Biro SDM? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan
menganalogikan dengan jabatan fungsional lain seperti Analis Kebijakan dan
Penerjemah, kedua jabatan ini juga tidak diwadahi dalam unit kerja tertentu,
melainkan tersebar di berbagai unit sesuai kebutuhan. Dalam hal ini, aspek administratif
seperti pengumpulan angka kredit, kenaikan pangkat, penugasan dalam diklat dan
sejenisnya dikelola langsung oleh Biro SDM, sedangkan aspek substantif seperti
penetapan kontrak kerja, penilaian kinerja, dan pembinaan profesi dijalankan
oleh unit kerja dimana mereka ditempatkan. Selain itu, LAN sebagai instansi
Pembina Widyaiswara tetap bisa menjalankan tugas pembinaannya meski mereka
berada dibawah Biro SDM, sebagaimana halnya LAN tetap bisa membina pada Analis
Kebijakan dimanapu mereka ditempatkan. Pengalaman di berbagai daerah terutama
di level kabupaten/kota yang masih menggabungkan fungsi kepegawaian dengan
diklat, memberi argumentasi tambahan bahwa hal yang sama dapat pula diterapkan
di tingkat K/L.
Analisis perumpunan urusan tadi
dapat pula diterapkan untuk menganalisis kebutuhan perampingan sebuah
kementerian. Di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, misalnya, fungsi
pembinaan hukum yang selama ini dijalankan BPHN boleh jadi lebih efektif jika
disatukan dengan Badan Litbangnya. Demikian pula, Ditjen Otonomi Daerah dan
Ditjen Pembangunan Daerah di Kementerian Dalam Negeri nampaknya tidak akan
menimbulkan banyak persoalan jika diintegrasinya menjadi satu.
Logika integrasi fungsi dalam
satu kementerian seperti ini dapat pula dilakukan untuk integrasi fungsi lintas
kementerian. Sebagai contoh, Ditjen Perimbangan Keuangan di Kementerian
Keuangan dan Ditjen Bina Keuangan Daerah di Kementerian Dalam Negeri akan lebih
baik disatukan dan fungsi perumusan kebijakan keuangan dikembalikan kepada
Kementerian Keuangan. Bahkan restrukturisasi organisasi bisa dilakukan untuk
level yang lebih strategis lagi mencakup penggabungan beberapa kementerian yang
menjalankan fungsi serumpun seperti perdagangan, perindustrian, koperasi, UKM,
dan investasi menjadi cukup satu kementerian saja.
Kendala yang lebih sering ditemui
dalam restrukturisasi justru adalah aspek non-teknis berupa resistensi para
pejabat dengan berbagai argumen pembenarannya. Memang langkah restrukturisasi
akan selalu menimbulkan pro dan kontra. Namun jika semua pihak mengedepankan
kepentingan organisasi dan masyarakat yang dilayani, dan bersedia menurunkan
egonya, maka inovasi kelembagaan akan lebih mudah silakukan. Dengan kesadaran
untuk memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, maka restrukturisasi tidak
perlu dilakukan dengan cara ekstrem sebagaimana pernah dilakukan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid yang membubarkan beberapa kementerian. Pertanyaannya, maukah
dan siapkah kita semua, pegawai di seluruh instansi pemerintah pusat dan
daerah, untuk menempatkan kepentingan organisasi sebagai prioritas utama? Jawabannya
kembali kepada kesadaran diri dan orientasi masing-masing pegawai.
Serpong, 16 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar