Jumat, 16 Mei 2014

Restrukturisasi Organisasi Sebagai Sebuah Inovasi



Mungkin tidak banyak yang membantah bahwa struktur organisasi pemerintahan kita saat ini sudah terlalu gemuk. Kementerian Dalam Negeri, misalnya, memiliki 13 unit Eselon I, sedangkan di Kementerian Hukum dan HAM terdapat 11 unit utama / Eselon I. Kementerian yang lain seperti ESDM, Keuangan, atau Perhubungan juga cenderung memiliki struktur yang tambun.

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan struktur yang besar, asal urusan yang dijalankan juga besar. Kalaupun benar bahwa urusannya besar, sepanjang masih satu rumpun sebenarnya tidak harus diwadahi dalam struktur yang besar, namun bisa disatukan dalam sebuah struktur yang sama. Selain hemat struktur dan sumber daya, penyatuan beberapa fungsi serumpun dalam wadah yang sama juga akan mengurangi problem koordinasi, mempermudah perencanaan hingga pengawasan kegiatan, serta menghindarkan dari kemungkinan tumpang tindih wewenang, tugas, kegiatan, hingga pembiayaan yang sering terjadi selama ini.

Dengan demikian, perampingan struktur dan penambahan fungsi organisasi sepanjang tidak menimbulkan problem baru pencapaian visi organisasi secara efektif dan efisien, dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi kelembagaan. Artinya, tidak selalu organisasi yang ramping itu baik dan inovatif, atau sebaliknya organisasi yang yang gemuk itu selalu buruk. Banyak variabel, faktor, atau pertimbangan yang bersifat situasional untuk menentukan apakah sebuah inisiatif restrukturisasi organisasi itu sebagai inovasi atau bukan. Besaran beban kerja, perumpunan urusan, dukungan sumber daya, adalah beberapa hal yang biasa dijadikan pertimbangan dalam penataan kelembagaan instansi pemerintah.

Meminjam teori ekonomi, maka sebuah organisasipun bisa mengukur economic of scale-nya. Baik penambahan maupun pengurangan struktur, jika berdampak pada terciptanya economic of scale yang terbaik, maka itu kita katakan sebagai sebuah inovasi. Sebaliknya, jika penambahan struktur ternyata mengakibatkan pemborosan sumber daya, memperpanjang prosedur kerja, memperlemah span of control, atau menimbulkan fragmentasi antar divisi dalam organisasi tersebut, maka hal itu jauh dari spirit inovasi. Begitu juga, perampingan struktur yang berakibat pada membengkaknya beban kerja yang menurunkan kinerja, menjadikan tidak jelasnya distribusi tugas dan tanggung jawab antar pegawai, atau memunculkan kecemasan di kalangan pegawai tentang jaminan karir dan masa depannya, itupun sulit dikatakan sebagai sebuah inovasi.

Salah saru opsi restrukturisasi organisasi yang dapat dikategorikan sebagai inovasi menurut saya adalah peleburan antara Biro Kepegawaian dengan Badan Diklat di suatu kementerian. Menurut saya, kedua unit tersebut memiliki obyek tugas yan sama, sedangkan urusannyapun relatif setumpun. Meskipun selama ini dipahami bahwa Badan Diklat menjalankan fungsi technostructure sedangkan Biro Kepegawaian menjalankan fungsi supporting, namun dengan perubahan Biro Kepegawaian menjadi Biro SDM, sesungguhnya telah mencerminkan perubahan orientasi dari pengelola administrasi personalia yang menempatkan pegawai sebagai human resource belaka menjadi pengembangan kompetensi pegawai sebagai human capital. Dalam konteks pegawai sebagai human capital itulah fungsi dan program diklat menjadi sangat relevan, sehingga fungsi kepegawaian dan diklat lebih menyerupai sebiji koin mata uang dengan dua sisinya.

Dengan adanya penggabungan antara Badan Diklat Kementerian dan Biro Kepegawaian itu akan diperoleh beberapa manfaat, misalnya lebih terintegrasinya perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai, meningkatnya efisiensi sumber daya khususnya anggaran, berkurangnya mis-koordinasi antar satuan kerja, meningkatnya fokus dan efektifivas kerja, dan sebagainya. Disisi lain, boleh jadi merger antara kedua satuan kerja tadi akan menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan pertama mungkin terkait nasib dan kedudukan Widuaiswara yang selama ini ada lembaga induknya yakni Badan Diklat apakah bisa ditempatkan dibawah naungan Biro SDM? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan menganalogikan dengan jabatan fungsional lain seperti Analis Kebijakan dan Penerjemah, kedua jabatan ini juga tidak diwadahi dalam unit kerja tertentu, melainkan tersebar di berbagai unit sesuai kebutuhan. Dalam hal ini, aspek administratif seperti pengumpulan angka kredit, kenaikan pangkat, penugasan dalam diklat dan sejenisnya dikelola langsung oleh Biro SDM, sedangkan aspek substantif seperti penetapan kontrak kerja, penilaian kinerja, dan pembinaan profesi dijalankan oleh unit kerja dimana mereka ditempatkan. Selain itu, LAN sebagai instansi Pembina Widyaiswara tetap bisa menjalankan tugas pembinaannya meski mereka berada dibawah Biro SDM, sebagaimana halnya LAN tetap bisa membina pada Analis Kebijakan dimanapu mereka ditempatkan. Pengalaman di berbagai daerah terutama di level kabupaten/kota yang masih menggabungkan fungsi kepegawaian dengan diklat, memberi argumentasi tambahan bahwa hal yang sama dapat pula diterapkan di tingkat K/L.

Analisis perumpunan urusan tadi dapat pula diterapkan untuk menganalisis kebutuhan perampingan sebuah kementerian. Di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, misalnya, fungsi pembinaan hukum yang selama ini dijalankan BPHN boleh jadi lebih efektif jika disatukan dengan Badan Litbangnya. Demikian pula, Ditjen Otonomi Daerah dan Ditjen Pembangunan Daerah di Kementerian Dalam Negeri nampaknya tidak akan menimbulkan banyak persoalan jika diintegrasinya menjadi satu.

Logika integrasi fungsi dalam satu kementerian seperti ini dapat pula dilakukan untuk integrasi fungsi lintas kementerian. Sebagai contoh, Ditjen Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan dan Ditjen Bina Keuangan Daerah di Kementerian Dalam Negeri akan lebih baik disatukan dan fungsi perumusan kebijakan keuangan dikembalikan kepada Kementerian Keuangan. Bahkan restrukturisasi organisasi bisa dilakukan untuk level yang lebih strategis lagi mencakup penggabungan beberapa kementerian yang menjalankan fungsi serumpun seperti perdagangan, perindustrian, koperasi, UKM, dan investasi menjadi cukup satu kementerian saja.

Kendala yang lebih sering ditemui dalam restrukturisasi justru adalah aspek non-teknis berupa resistensi para pejabat dengan berbagai argumen pembenarannya. Memang langkah restrukturisasi akan selalu menimbulkan pro dan kontra. Namun jika semua pihak mengedepankan kepentingan organisasi dan masyarakat yang dilayani, dan bersedia menurunkan egonya, maka inovasi kelembagaan akan lebih mudah silakukan. Dengan kesadaran untuk memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, maka restrukturisasi tidak perlu dilakukan dengan cara ekstrem sebagaimana pernah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang membubarkan beberapa kementerian. Pertanyaannya, maukah dan siapkah kita semua, pegawai di seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah, untuk menempatkan kepentingan organisasi sebagai prioritas utama? Jawabannya kembali kepada kesadaran diri dan orientasi masing-masing pegawai.

Serpong, 16 Mei 2014.

Tidak ada komentar: