Selasa, 06 Mei 2014

SPM Diklat


SPM adalah singkatan dari Standar Pelayanan Minimal. Selama ini istilah SPM sering digunakan dalam konteks urusan wajib pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, tenaga kerja, dan sebagainya. Artinya, bidang-bidang pelayanan itulah yang selama ini wajib memiliki SPM, sedangkan urusan pemerintahan pilihan seperti pariwisata, pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, perdagangan dan perindustrian, dan sebagainya, tidak diwajibkan memiliki SPM.  

Namun dalam perkembangannya, SPM tidak lagi hanya terkait dengan pelayanan pemerintahan dasar saja, namun juga merambah ke bidang lain misalnya pelayanan jalan tol. Hal ini tentu sangat positif dalam perspektif memberikan pelayanan prima dan meningkatkan kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, saya pribadi berpendapat bahwa jenis urusan apapun dan lembaga apapun yang memberikan pelayanan kepada pelanggan, yakni pihak manapun diluar dirinya sendiri, semestinya memiliki jaminan pemenuhan hak-hak pelanggan melalui penetapan SPM. Maka, pelayanan air bersih dan listrik, pelayanan jasa telekomunikasi, hingga urusan persampahan dan pemakaman-pun idealnya harus dilandaskan pada SPM ini. Termasuk dalam urusan yang perlu memiliki SPM ini menurut saya adalah urusan pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi aparat pemerintah. 

Mengapa SPM Diklat penting? Saya mencermati sebuah fenomena maraknya pembentukan Badan Diklat atau Kantor Diklat yang tidak memiliki cukup urusan untuk diselenggarakan sehingga beban kerjanya sangat minim. Coba perhatikan, berapa banyak lembaga diklat pemerintah (terutama di daerah) yang tidak dapat terakreditasi karena ketiadaan sarana dan prasarana, kekurangan jumlah tenaga pengajar (widyaiswara), dan memiliki program diklat yang sangat sedikit dalam satu tahun anggaran? Defisiensi dalam program diklat, widyaiswara, dan sarana kediklatan sendiri disebabkan oleh terbatasnya jumlah pegawai dan jumlah jabatan fungsional tertentu, yang berakibat pada rendahnya kebutuhan diklat atau program pengembangan kompetensi lainnya. Dan karena volume urusan (baca: program diklat) teramat kecil dibanding dengan struktur organisasi dan jumlah SDM, maka hal ini mencerminkan adanya pemborosan sumber daya secara sia-sia.  

Akan jauh lebih baik jika lembaga yang hanya memiliki sedikit urusan seperti ini dihapuskan saja, sementara kewajiban mendiklatkan pegawainya cukup ditempuh dengan cara mengirimkan ke lembaga diklat lain yang telah terakreditasi. Itu pula yang pernah saya sarankan kepada seorang pejabat struktural di Badan Diklat di kampung halaman saya. Saat itu saya mengatakan: “jika anda tidak memiliki rencana pengembangan organisasi yang jelas seperti kapan target untuk mendapat sertifikat akreditasi, kapan dan berapa jumlah ideal widyaiswara dapat dipenuhi, bagaimana skema penganggaran untuk mendukung analisis kebutuhan diklat, dan sebagainya, maka lebih baik lembaga ini dihapuskan”. Tentu, logika ini berlaku pula untuk lembaga selain diklat yang memiliki kemiripan situasi seperti diuraikan diatas. 

Lantas, apa standar minimal yang harus dicapai oleh sebuah lembaga diklat, atau apa substansi SPM Diklat itu dan bagaimana merumuskannya? Dalam pemikiran sederhana saya, hal pertama yang harus dipahami oleh para penyelenggara atau pengelola diklat adalah luasnya tanggungjawab dan beratnya beban kerja yang harus diemban. Dalam hal ini, mereka harus mampu mengidentidikasi beberapa informasi dasar seperti berapa jumlah pegawai yang harus mengikuti diklat, jenis-jenis diklat apa saja yang harus dijalankan, berapa satuan waktu (hari atau jam pelatihan) yang harus tersedia dalam satu tahun anggaran, berapa biaya yang harus dialokasikan, berapa widyaiswara atau tenaga kediklatan yang dibutuhkan, berapa ruang kelas harus disediakan, dan seterusnya.  

Dari informasi dasar inilah dapat disusun standar minimal yang harus dipenuhi, misalnya dengan membuat persentase, rasio (perbandingan) minimal antara satu variabel dengan variabel lain, atau teknik perhitungan lainnya. Contoh: 80 persen pegawai harus sudah mengikuti diklat yang dipersyaratkan; rasio jumlah widyaiswara terhadap jumlah pegawai yang harus mengikuti diklat adalah 1 : 50; rasio jumlah ruang kelas / ruang diskusi terhadap jumlah program diklat adalah 2 : 1; 90 persen pengelola / penyelenggara diklat telah mengikuti diklat teknis fungsional (TOT, TOC, MOT, TOF); dan sebagainya. Selain itu, SPM Diklat juga bisa menyangkut aspek kualitas seperti 80 persen peserta mengalami peningkatan pengetahuan sebesar 60 persen; 30 persen bahan ajar mengalami revisi / pebaikan setiap tahunnya; 20 persen metode belajar baru diterapkan setiap tahunnya; dan seterusnya. 

Dengan begitu, maka SPM Diklat akan sangat memudahkan LAN selaku instansi Pembina diklat aparatur untuk melakukan langkah-langkah pembinaan, misalnya untuk pemberian akreditasi, monitoring dan evaluasi kinerja lembaga diklat, dan sebagainya. Dalam hal akreditasi, misalnya, LAN dapat melihat apakah lembaga diklat telah memiliki SPM? Jika sudah, seberapa logis lembaga diklat tadi merumuskan SPM, dalam arti apakah target pada SPM itu tidak terlalu rendah? Bagaimana pula pemenuhan dari SPM itu, berapa persen mereka mampu merealisasikannya? Apakah terjadi peningkatan SPM Diklat dari tahun ke tahun? Nah, dari berbagai pertayaan seperti inilah, LAN dapat menentukan derajat akreditasi sebuah lembaga diklat. Demikian pula dalam hal evaluasi kinerja lembaga diklat, LAN dengan sangat mudah dapat mengukur capaian kinerja sebuah lembaga diklat, untuk dijadikan sebagai feedback apakah akreditasi yang telah diberikan akan dipertahankan, dicabut, atau justru dinaikkan kelasnya? 

Keuntungan lain jika ada SPM Diklat adalah bahwa kebijakan pembinaan tidak akan berlaku seragam atau one size fits all. Sebagai contoh, lembaga diklat di kabupaten yang memiliki widyaiswara sebanyak 10 orang bisa jadi akan mendapatkan akreditasi yang lebih baik dibanding lembaga diklat provinsi yang memiliki widyaiswara sebanyak 20 orang. Hal itu bisa terjadi karena 10 orang widyaiswara di kabupaten telah memenuhi kebutuhan seluruh program diklat, sementara 20 orang widyaiswara di provinsi tadi masih kurang jauh untuk memenuhi kebutuhan program diklat di lingkup provinsi. Ini hanya sekedar ilustrasi tentang bagaimana memanfaatkan informasi dalam SPM Diklat untuk menentukan kebijakan tertentu. Harapannya adalah adanya keadilan dalam menilai performa sebuah lembaga diklat. 

Pertanyaan kecil yang menggelitik adalah, jika pengelola jalan tol mampu merumuskan SPM, mengapa pengelola diklat tidak? Semua kembali kepada kemauan dan keyakinan terhadap manfaat dari SPM itu sendiri. Bagi saya pribadi, ini adalah sebuah inovasi yang layak dipertimbangkan secara serius untuk memperkuat kinerja lembaga diklat yang selama ini banyak diragukan. 

Jakarta, 7 Mei 2014

Tidak ada komentar: