SPM adalah
singkatan dari Standar Pelayanan Minimal. Selama ini istilah SPM sering
digunakan dalam konteks urusan wajib pemerintahan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, sosial, pekerjaan umum,
perhubungan, tenaga kerja, dan sebagainya. Artinya, bidang-bidang pelayanan
itulah yang selama ini wajib memiliki SPM, sedangkan urusan pemerintahan
pilihan seperti pariwisata, pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan,
perdagangan dan perindustrian, dan sebagainya, tidak diwajibkan memiliki SPM.
Namun dalam
perkembangannya, SPM tidak lagi hanya terkait dengan pelayanan pemerintahan
dasar saja, namun juga merambah ke bidang lain misalnya pelayanan jalan tol.
Hal ini tentu sangat positif dalam perspektif memberikan pelayanan prima dan
meningkatkan kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, saya pribadi berpendapat
bahwa jenis urusan apapun dan lembaga apapun yang memberikan pelayanan kepada
pelanggan, yakni pihak manapun diluar dirinya sendiri, semestinya memiliki
jaminan pemenuhan hak-hak pelanggan melalui penetapan SPM. Maka, pelayanan air
bersih dan listrik, pelayanan jasa telekomunikasi, hingga urusan persampahan
dan pemakaman-pun idealnya harus dilandaskan pada SPM ini. Termasuk dalam
urusan yang perlu memiliki SPM ini menurut saya adalah urusan pendidikan dan
pelatihan (Diklat) bagi aparat pemerintah.
Mengapa SPM
Diklat penting? Saya mencermati sebuah fenomena maraknya pembentukan Badan
Diklat atau Kantor Diklat yang tidak memiliki cukup urusan untuk
diselenggarakan sehingga beban kerjanya sangat minim. Coba perhatikan, berapa
banyak lembaga diklat pemerintah (terutama di daerah) yang tidak dapat
terakreditasi karena ketiadaan sarana dan prasarana, kekurangan jumlah tenaga
pengajar (widyaiswara), dan memiliki program diklat yang sangat sedikit dalam
satu tahun anggaran? Defisiensi dalam program diklat, widyaiswara, dan sarana
kediklatan sendiri disebabkan oleh terbatasnya jumlah pegawai dan jumlah
jabatan fungsional tertentu, yang berakibat pada rendahnya kebutuhan diklat
atau program pengembangan kompetensi lainnya. Dan karena volume urusan (baca:
program diklat) teramat kecil dibanding dengan struktur organisasi dan jumlah
SDM, maka hal ini mencerminkan adanya pemborosan sumber daya secara sia-sia.
Akan jauh lebih baik
jika lembaga yang hanya memiliki sedikit urusan seperti ini dihapuskan saja,
sementara kewajiban mendiklatkan pegawainya cukup ditempuh dengan cara
mengirimkan ke lembaga diklat lain yang telah terakreditasi. Itu pula yang
pernah saya sarankan kepada seorang pejabat struktural di Badan Diklat di
kampung halaman saya. Saat itu saya mengatakan: “jika anda tidak memiliki
rencana pengembangan organisasi yang jelas seperti kapan target untuk mendapat
sertifikat akreditasi, kapan dan berapa jumlah ideal widyaiswara dapat
dipenuhi, bagaimana skema penganggaran untuk mendukung analisis kebutuhan
diklat, dan sebagainya, maka lebih baik lembaga ini dihapuskan”. Tentu, logika
ini berlaku pula untuk lembaga selain diklat yang memiliki kemiripan situasi
seperti diuraikan diatas.
Lantas, apa
standar minimal yang harus dicapai oleh sebuah lembaga diklat, atau apa
substansi SPM Diklat itu dan bagaimana merumuskannya? Dalam pemikiran sederhana
saya, hal pertama yang harus dipahami oleh para penyelenggara atau pengelola diklat
adalah luasnya tanggungjawab dan beratnya beban kerja yang harus diemban. Dalam
hal ini, mereka harus mampu mengidentidikasi beberapa informasi dasar seperti
berapa jumlah pegawai yang harus mengikuti diklat, jenis-jenis diklat apa saja
yang harus dijalankan, berapa satuan waktu (hari atau jam pelatihan) yang harus
tersedia dalam satu tahun anggaran, berapa biaya yang harus dialokasikan,
berapa widyaiswara atau tenaga kediklatan yang dibutuhkan, berapa ruang kelas
harus disediakan, dan seterusnya.
Dari informasi
dasar inilah dapat disusun standar minimal yang harus dipenuhi, misalnya dengan
membuat persentase, rasio (perbandingan) minimal antara satu variabel dengan
variabel lain, atau teknik perhitungan lainnya. Contoh: 80 persen pegawai harus
sudah mengikuti diklat yang dipersyaratkan; rasio jumlah widyaiswara terhadap
jumlah pegawai yang harus mengikuti diklat adalah 1 : 50; rasio jumlah ruang
kelas / ruang diskusi terhadap jumlah program diklat adalah 2 : 1; 90 persen
pengelola / penyelenggara diklat telah mengikuti diklat teknis fungsional (TOT,
TOC, MOT, TOF); dan sebagainya. Selain itu, SPM Diklat juga bisa menyangkut
aspek kualitas seperti 80 persen peserta mengalami peningkatan pengetahuan
sebesar 60 persen; 30 persen bahan ajar mengalami revisi / pebaikan setiap
tahunnya; 20 persen metode belajar baru diterapkan setiap tahunnya; dan
seterusnya.
Dengan begitu,
maka SPM Diklat akan sangat memudahkan LAN selaku instansi Pembina diklat
aparatur untuk melakukan langkah-langkah pembinaan, misalnya untuk pemberian
akreditasi, monitoring dan evaluasi kinerja lembaga diklat, dan sebagainya.
Dalam hal akreditasi, misalnya, LAN dapat melihat apakah lembaga diklat telah
memiliki SPM? Jika sudah, seberapa logis lembaga diklat tadi merumuskan SPM,
dalam arti apakah target pada SPM itu tidak terlalu rendah? Bagaimana pula
pemenuhan dari SPM itu, berapa persen mereka mampu merealisasikannya? Apakah
terjadi peningkatan SPM Diklat dari tahun ke tahun? Nah, dari berbagai
pertayaan seperti inilah, LAN dapat menentukan derajat akreditasi sebuah
lembaga diklat. Demikian pula dalam hal evaluasi kinerja lembaga diklat, LAN
dengan sangat mudah dapat mengukur capaian kinerja sebuah lembaga diklat, untuk
dijadikan sebagai feedback apakah
akreditasi yang telah diberikan akan dipertahankan, dicabut, atau justru
dinaikkan kelasnya?
Keuntungan lain
jika ada SPM Diklat adalah bahwa kebijakan pembinaan tidak akan berlaku seragam
atau one size fits all. Sebagai
contoh, lembaga diklat di kabupaten yang memiliki widyaiswara sebanyak 10 orang
bisa jadi akan mendapatkan akreditasi yang lebih baik dibanding lembaga diklat
provinsi yang memiliki widyaiswara sebanyak 20 orang. Hal itu bisa terjadi
karena 10 orang widyaiswara di kabupaten telah memenuhi kebutuhan seluruh
program diklat, sementara 20 orang widyaiswara di provinsi tadi masih kurang
jauh untuk memenuhi kebutuhan program diklat di lingkup provinsi. Ini hanya
sekedar ilustrasi tentang bagaimana memanfaatkan informasi dalam SPM Diklat
untuk menentukan kebijakan tertentu. Harapannya adalah adanya keadilan dalam
menilai performa sebuah lembaga diklat.
Pertanyaan kecil
yang menggelitik adalah, jika pengelola jalan tol mampu merumuskan SPM, mengapa
pengelola diklat tidak? Semua kembali kepada kemauan dan keyakinan terhadap
manfaat dari SPM itu sendiri. Bagi saya pribadi, ini adalah sebuah inovasi yang
layak dipertimbangkan secara serius untuk memperkuat kinerja lembaga diklat
yang selama ini banyak diragukan.
Jakarta, 7 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar