Kompas online edisi 23/5/2014 memuat berita
menarik terkait penetapan status tersangka kepada Menteri Agama, SDA. Dalam
berita itu disebutkan bahwa selama tiga tahun menjabat jadi Menteri Agama,
harta SDA melonjak Rp 7 miliar, yakni sebesar Rp 24 milyar pada tahun 2012,
sedangkan pada tahun 2009 saat dilantik menjadi menteri masih sebesar Rp 17
milyar. Ironisnya, meskipun memiliki harta miliaran rupiah, SDA hanya
melaporkan kepemilikan satu Honda Jazz yang bernilai sekitar Rp 190 juta.
Kebetulan
sekali, sehari sebelumnya saya berada dalam satu forum dengan Wakil Ketua KPK
Busyro Muqoddas dalam rangka seminar proyek perubahan peserta Diklatpim I. Pak
Busyro menjadi mentor bagi salah seorang Deputi KPK, sementara saya menjadi
nara sumber. Pada kesempatan itu beliau mengemukakan bahwa LHKPN (Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara) tidak sama dengan harta yang secara riil
dimiliki oleh pelapor. Hal ini biasanya diketahui setelah seseorang menjadi
tersangka, dan KPK melakukan penelusuran terhadap harta/asset orang tersebut.
Fakta ini
menyiratkan adanya ketidakjujuran dari para penyelenggara negara. Dan
ketidakjujuran selalu menyiratkan ada sesuatu yang disembunyikan karena
berhubungan dengan pelanggaran hukum atau etika. Nah, jika ada penyelenggara
negara yang tidak melaporkan hartanya karena indikasi pelanggaran hukum atau
etika, itu adalah problem besar tentang rendahnya integritas para pejabat
publik kita. Selain dengan tidak melaporkan hartanya secara lengkap, problem
integritas juga dapat dilihat dari tingkat ketaatan penyelenggara negara untuk
menyetorkan LHKPN kepada KPK.
Berdasarkan
data yang ada, pejabat publik yang telah memenuhi kewajiban melaporkan harta
kekayaannya adalah sebanyak 17,87 persen pada tahun 2011, dan meningkat menjadi
22,14 persen (2012), dan meningkat lagi 25,57 persen (2013). Ini artinya,
kenaikan dalam hal ketaatan pejabat publik sangat rendah, hanya berkisar 4
persen (dari 2011 ke 2012). Memasuki tahun 2013, kenaikan tingkat ketaatan
menurun menjadi hanya sekitar 3,5 persen. Jika dikaitkan dengan pembentukan KPK
pada tahun 2003 atau lebih dari satu dekade yang lalu, ketaatan sebesar 25
persen adalah sebuah capaian yang sangat rendah.
Itulah
sebabnya, harus dipikirkan strategi yang lebih inovatif untuk meningkatkan
tingkat ketaatan oejabat publik dalam melaporkan hartanya, sekaligus strategi
memperkuat integritas. LHKPN sendiri menurut pengalaman saya sudah sangat baik
dan tidak serumit pada saat awal diperkenalkan. Petugas yang melayani pelaporan
LHKPN juga cukup gesit, ramah, dan terampil, meski masih perlu ditingkatkan
dalam hal komitmen terhadap SOP dan upaya menjaga kedekatan dengan pelapor.
Artinya, inovasi itu bukan dimaksudkan untuk memperbaiki format LHKPN-nya,
melainkan lebih kepada strategi komunikasi dan instrumentasinya.
Dalam kaitan
itu, saya mengusulkan beberapa gagasan yang saya yakin akan menjadi cara baru
yang lebih efektif dan inovatif untuk memperkuat integritas pejabat publik
dalam pelaporan LHKPN. Pertama, perlu
diciptakan sistem (baca: aturan) yang lebih memaksa pejabat untuk melaporkan.
Saat ini pelaporan harta kekayaan hanya berada pada ranah etika dan himbauan,
sehingga tidak ada sanksi bagi pejabat yang tidak menyerahkan KHKPN. Untuk itu,
dalam perspektif kedepan LHKPN harus menjadi instrumen wajib bagi pejabat di
seluruh tingkatan. Ketidakpatuhan dalam melaporkan LHKPN harus disertai dengan
sanksi tertentu misalnya penundaan kenaikan pangkat, pemberian teguran
tertulis, nahkan jika perlu penghentian tunjangan jabatan.
Kedua,
KPK tidak boleh menjaga jarak dengan pejabat yang wajib lapor. LHKPN adalah
instrumen dalam pencegahan korupsi, bukan penindakan. Maka, pendekatan yang
diperlukan tentu juga harus berbeda. Dalam aspek penindakan, petugas KPK harus
menjaga jarak dengan saksi, tersangka, atau siapapun yang terlibat dalam dugaan
tindak pidana korupsi, bahkan jika perlu selalu mengedepankan praduga bersalah
(assumption of guilty). Namun dalam
aspek pencegahan, semestinya KPK lebih menerapkan pendekatan yang persuasif dan
interpersonal, jika perlu dilakukan kontak secara pribadi dengan si wajib
lapor. Strategi humanisme yang mengedepankan prinsip praduga tidak bersalah (assumption of innocence) ini saya yakin
sangat ampuh untuk menggugah kesadaran dan kesukarelaan untuk melaporkan harta
kekayaannya. Strategi ini sekaligus akan mengurangi kesan KPK sebagai lembaga
yang angker, seram, tidak ramah, kaku, dan tidak bersahabat.
Selanjutnya,
strategi untuk melibatkan berbagai pihak adalah pilihan yang patut ditempuh.
Sebagai contoh, perlu dibuat sistem dimana KPK akan memberikan penghargaan
kepada masyarakat yang mau melaporkan pejabat di sekitar tempat tinggalnya yang
diindikasikan memiliki harta kurang wajar. Saat ini ada keengganan masyarakat
untuk melapor karena malas berhubungan dengan KPK, atau takut dianggap sebagai
fitnah, atau khawatir akan berdampak buruk bagi diri dan keluarganya, dan
sebagainya. Oleh karena itu, KPK harus memastikan bahwa setiap partisipasi akan
dihargai dengan insentif tertentu. Selain itu, agar imbang maka perlu dibuka
sistem pelaporan tentang pejabat yang hidup serba pas-pasan. Pejabat seperti
ini harus diangkat, diapresiasi, diberi perhatian khusus, serta dijadikan
sebagai contoh bagi pejabat lainnya (khususnya yang hidup melebihi kepatutan)
untuk menumbuhkan rasa malu.
Pada saat yang
bersamaan, stakeholder dari
pemerintah, yakni K/L dan Pemda juga harus menumbuhkan sistem internal untuk
menumbuhkan kejujuran, keterbukaan, dan budaya kerja berbasis integritas. Dalam
kaitan ini, saya menyarankan agar KPK fokus untuk menciptakan champions pada level instansional,
misalnya dengan memilih 10 persen instansi pusat dan daerah sebagai proyek
percontohan pengembangan integritas. Instansi yang terpilih inilah yang diberi
target dalam waktu tertentu (2-3 tahun) untuk mampu menunjukkan integritas
total berupa 100 persen pejabatnya telah menyerahkan LHKPN. Setelah terbukti
ada instansi yang mampu mencapai target integritas 100 persen, barulah
ditularkan kepada instansi lainnya.
Tentu masih
banyak ruang-ruang inovasi untuk memperkuat integritas para penyelenggara
negara. Beberapa poin diatas hanyalah tawaran yang belum dirumuskan secara
akademis melalui kajian yang mendalam, melainkan hanya sebuah common sense belaka. Paling tidak,
ide-ide sederhana ini diharapkan dapat memancing diskusi lebih jauh tentang
perlunya langkah-langkah yang lebih cerdas, lebih jitu, dan lebih inovatif
untuk membangun integritas bangsa. Sebab, integritas bukan hanya urusan etika
atau urusan hukum saja, namun juga terkandung didalamnya urusan inovasi. Dengan
menginovasi strategi penguatan integritas, maka tugas sistem hukum dan etika
juga akan menjadi lebih mudah dijalankan, karena tidak ada lagi orang yang
berani membuat LHKPN yang berbeda dengan harta yang dimiliki secara nyata.
Jakarta, 23
Mei 2014
*lepas
terdengar adzan isya’ dari ruang kerja, saatnya kemas-kemas menuju baiti
jannati*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar