Sebagai sebuah negara kesatuan (unitary
state), sudah selayaknya dipahami benar makna “kesatuan” tersebut. Dengan
memahami secara benar makna kesatuan, diharapkan seluruh komponen bangsa
Indonesia memiliki pandangan, tekat, dan mimpi yang sama untuk terus
mempertahankan dan memperkuat kesatuan bangsa dan negara.
Filosofi dasar
persatuan dan kesatuan bangsa dapat ditemukan pertama kali dalam kitab Sutasoma
karya Mpu Tantular. Dalam kitab itu ada tulisan berbunyi “BhinnekaTunggal Ika tan hana
dharma mangrwa”, yang
berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu, tak ada kebenaran yang mendua”. Frasa inilah yang kemudian diadopsi sebagai semboyan yang tertera
dalam lambing negara Garuda Pancasila.
Semangat kesatuan juga
tercermin dari Sumpah Palapa Mahapatih Gajahmada. Sumpah ini berbunyi: Sira Gajah Mahapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa,
sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun
kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahan dari sumpah tersebut kutang lebih adalah: Beliau
Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada,
"Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika
mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Informasi tentang Kitab Sutasoma dan Sumpah Palapa ini bukanlah untuk
bernostalgia ke masa silam bahwa kita pernah mencapai kejayaan. Informasi ini
penting untuk menunjukkan bahwa gagasan, hasrat, dan semangat persatuan
sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang dalam akar sejarah bangsa Indonesia.
Namun dalam alam modern-pun, semangat bersatu yang ditunjukkan oleh para
pendahulu bangsa terasa sangat kuat.
Jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya, misalnya, para pemuda
pada tahun 1928 telah memiliki pandangan sangat visioner dengan mencita-citakan
dan mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang betbangsa dan bertanah air
Indoensia, serta berbahasa persatuan bahasa Indonesia. Pada saat itu, jelas
belum ada bahasa persatuan. Jika pemilihan bahasa nasional didasarkan pada
jumlah penduduk terbanyak yang menggunakan bahasa daerah tertentu, maka bahasa
Jawa-lah yang akan terpilih. Namun kenyataannya, yang terpilih menjadi bahasa
persatuan adalah bahasa Melayu. Hal ini menunjukkan tidak adanya sentimen
kesukuan atau egoisme kedaerahan. Mereka telah berpikir dalam kerangka
kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.
Dengan demikian, peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 adalah
inisiatif original dan sangat jenius yang ditunjukkan oleh kalangan pemuda pada
masa itu. Peristiwa inilah yang membentuk dan merupakan kesatuan psikologis
atau kejiwaan bangsa Indonesia.
Selain kesatuan kejiwaaan berupa Sumpah Pemuda tadi, bangsa Indonesia
juga terikat oleh kesatuan politik kenegaraan yang terbentuk dari pernyataan
kemerdekaan yang dibacakan Soekarno-Hatta atas nama rakyat Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Sejak saat itulah Indonesia secara resmi menjadi
entitas politik yang merdeka, berdaulat, dan berkedudukan sejajar dengan negara
merdeka lainnya.
Makna kesatuan
selanjutnya adalah kesatuan geografis, teritorial atau kewilayahan. Kesatuan
kewilayahan ini ditandai oleh Deklarasi Juanda tanggal
13 Desember 1957 yang menjadi tonggak lahirnya konsep Wawasan
Nusantara. Dengan adanya Deklarasi Juanda tadi, maka batas
laut teritorial Indonesia
mengalami perluasan dibanding batas teritorial sebelumnya yang tertuang dalam Territoriale Zee
Maritiem Kringen Ordonantie 1939 (Ordinasi tentang Laut Teritorial
dan Lingkungan Maritim) peninggalan Belanda. Deklarasi Juanda ini kemudian pada tanggal 18 Februari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp/1960
tentang Perairan Indonesia. Konsep Wawasan Nusantara sendiri diakui dunia internasional pada tahun
1978, khususnya pada Konferensi Hukum Laut di Geneva. Dan puncaknya, pada 10 Desember 1982 konsep Wawasan Nusantara diterima dan ditetapkan
dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau lebih dikenal dengan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan UNCLOS Dengan penegasan batas kedaulatan secara kewilayahan ini, maka ide
kesatuan Indonesia semakin jelas dan nyata.
Konsep kesatuan
psikologis (kejiwaan), kesatuan politis (kenegaraan) dan kesatuan geografis
(kewilayahan) itulah yang membentuk “ke-Indonesia-an” yang utuh, sehingga
keragaman suku bangsa, perbedaan sejarah dan karakteristik daerah, hingga
keanekaragaman bahasa dan budaya, semuanya adalah fenomena ke-Indonesia-an yang
membentuk identitas bersama yakni Indonesia. Sebagai sebuah identitas bersama, maka
masyarakat dari suku Dani di Papua, misalnya, akan turut merasa memiliki seni
budaya dari suku Batak, dan sebaliknya. Demikian pula, suku Betawi dan Jakarta
memiliki kepedulian untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi dan pranata
sosial di suku Dayak di Kalimantan, dan sebaliknya. Hubungan harmonis seperti
ini berlaku pula unruk seluruh suku bangsa di Indonesia. Ibarat tubuh manusia,
jika lengan dicubit, maka seluruh badanpun akan merasa sakit dan turut
berempati karenanya. Dengan demikian, Indonesia adalah melting pot atau tempat meleburnya berbagai keragaman yang kemudian
bertransformasi menjadi identitas baru yang lebih besar bernama Indonesia.
Indonesia adalah konstruksi masyarakat modern yang tersusun dari kekayaan
sejarah, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ideologi yang tersebar di bumi
nusantara. Gerakan separatisme atau upaya-upaya kearah disintegrasi bangsa,
adalah sebuah tindakan ahistoris yang
bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan tersebut.
Disamping kesatuan
psikologis, politis, dan geografis diatas, penyelenggaraan pembangunan nasional
juga harus didukung oleh kesatuan visi. Artinya, ada koherensi antara tujuan
dan cita-cita nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dengan visi,
misi, dan sasaran strategis yang dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional,
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Daerah, hingga Rencana Strategis Kementerian/Lembaga dan Satuan
Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dengan demikian, maka program-program pembangunan di setiap instansi pemerintah
baik pusat maupun daerah, pada hakekatnya membentuk derap langkah yang serasi menuju
kepada titik akhir yang sama. Bahkan keberadaan lembaga politik, pelaku usaha
sektor swasta, hingga organisasi kemasyarakatan (civil society) sesungguhnya harus bermuara pada tujuan dan
cita-cita nasional tadi. Ini berarti pula bahwa pencapaian tujuan dan cita-cita
nasional bukanlah tanggungjawab dari seseorang atau instansi saja, melainkan
setiap warga negara, setiap pegawai/pejabat pemerintah, dan siapapun yang
merasa memiliki identitas ke-Indonesia-an dalam dirinya, wajib berkontribusi
sekecil apapun dalam upaya mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional.
Apa yang dikemukakan diatas terasa
sangat idealis, yang mungkin hanya terjadi di alam khayalan. Faktanya, upaya
memperkokoh tali persatuan dan jiwa kesatuan Indonesia sangatlah berat. mulai
kasus GAM di Aceh, OPM di Papua, konflik antar suku dan antar agama di Poso dan
beberapa daerah lainnya, pertikaian antar elite politik, sengketa kewenangan
antar lembaga negara dan antar daerah, hingga demonstrasi anarkhis dan tawuran
antar sekolah atau antar kelompok pemuda di kampung-kampung, menjadi potret
rapuhnya fondasi kesatuan bangsa kita. Kasus-kasus meninggalnya anak kelas 5 SD
yang disiksa oleh kakak kelasnya, atau meninggalnya seorang warga yang
kelaparan ditengah gejala hedonisme dan materialisme yang semakin menguat,
menambah panjang indikasi melemahnya kontrol sosial antar anggota masyarakat,
memudarnya kepedulian sosial, serta lunturnya kolektivisme dan sikap toleran
antar anak bangsa.
Fenomena kekinian yang semakin
memprihatinkan, tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada gerakan
nasional untuk mengembalikan semangat kebatinan, ikatan kultural, dan
mentalitas masyarakat pada kondisi yang semestinya. Dalam hal ini, perilaku
elite politik dan pemerintahan menjadi sangat menentukan. Jika mereka mampu
menunjukkan dirinya sebagai figur negarawan yang layak diteladani (role model), maka bolehlah kita berharap
akan ada perubahan signifikan terhadap perilaku masyarakat dalam aktualitas
pergaulan sehari-hari. Namun ini saja tidak cukup. Pemerintah perlu merancang
sebuah program nasional tentang penanaman dan penguatan nilai-nilai kebangsaan
tanpa harus menjurus pada upaya indoktrinasi. Pada saat yang sama, masyarakat
dengan kesadaran sepenuhnya sangat diharapkan memberi partisipasi aktif dengan
meningkatkan kedisiplinan untum mentaati aturan baik di tingkat nasional maupun
di instansi dan lingkungan tempat tinggalnya.
Saya yakin, setiap orang Indonesia
memimpikan Indonesia sebagaimana Indonesia di alam mimpi. Namun, mimpi itu
tidak akan pernah datang dengan sendirinya. Semua orang Indonesia-lah yang
harus menjemput mimpi tadi dan menjadikannya sebuah realita. Jangan saling
menunggu, dan jangan berlomba menunda kebaikan untuk Indonesia. Mari kita mulai
sekarang dari diri kita masing-masing untuk mendedikasikan segenap potensi yang
ada dalam diri kita demi kemajuan dan kebaikan Indonesia.
Jakarta, 9 Mei 2014.
(Catatan:
tulisan ini adalah kontribusi penulis dalam Modul SANKRI untuk Diklat
Prajabatan Golongan III, dengan modifikasi dan penambahan informasi pada
beberapa bagian).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar