Jumat, 30 Mei 2014

Tentang "Bertanya"



Dalam artikel sebelumnya berjudul “Kreativitas: Bawaan Lahir atau Produk Kreatif?” sudah saya jelaskan bahwa salah satu cara untuk menjadikan kreativitas sebagai sebuah tradisi atau budaya adalah dengan bertanya. Ya, kemampuan bertanya selalu menunjukkan kemampuan analisis dan aktivitas berpikir kreatif dari seseorang. Bertanya adalah situasi dimana seseorang memiliki rasa ingin tahu (curiosity) tentang sesuatu, sedangkan rasa ingin tahu itu adalah pintu gerbang pengetahuan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa segala bentuk kemajuan ilmu dan teknologi yang kita rasakan saat ini bermula dari pertanyaan kecil yang disusul oleh pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ketika kita sudah mampu menjawab sebuah pertanyaan, pada hakekatnya saat itulah kita telah mendapatkan pengetahuan baru. Bertanya juga merupakan titik awal dari sebuah perubahan besar. Inilah yang dikatakan oleh Martin B. Kormanik, Presiden dan CEO dari perusahaan OD System dengan kalimatnya “Change begins with inquiry”. Tidak ada perubahan yang terjadi tiba-tiba, melainkan didahului oleh sebuah proses identifikasi ketidakpuasan atas kondisi sebelumnya, harapan akan kondisi yang lebih baik, serta rasa penasaran tentang bagaimana perubahan tersebut dapat dilakukan.

Bahkan, bertanya juga dapat menyelamatkan sesuatu dari kehancuran. Sebagai contoh, percayakah anda atau kita semua jika disebutkan bahwa faktor penyebab tenggelamnya Titanic atau meledaknya pesawat ruang angkasa Challenger adalah ketidakberanian para insinyurnya untuk bertanya? Statement terakhir ini nampak berlebihan. Sayapun sebelumnya tidak yakin akan kehebatan bertanya (the power of asking) hingga saya menemukan buku berjudul “Leading with Question: How Leaders Find the Right Solutions by Knowing What to Ask” karya Michael J. Marquardt (2014, John Wiley and Sons).

Dalam buku itu dijelaskan panjang lebar bahwa pada kasus Titanic atau Challenger, sebagian orang merasa khawatir bahwa merekalah satu-satunya orang yang menaruh perhatian terhadap sesuatu (ternyata belakangan diketahui bahwa banyak orang yang memiliki perhatian yang sama). Sebagian yang lain ingin mengajukan pertanyaan, namun mereka merasa bahwa pertanyaannya sudah terjawab pada pikiran orang lain, sehingga jika dia tetap bertanya malah dianggap sebagai pertanyaan bodoh. Mereka khawatir dianggap tidak mampu mengikuti pemikiran koleganya. Dalam investigasi tenggelamnya Titanic terungkap bahwa para perencana dan pembuat kapal tersebut memiliki kekhawatiran dengan struktur dan sistem keselamatan kapal, namun tidak berani menyatakannya. Mereka berpikir bahwa jika para ahli dan teknisi yang lain tidak mengemukakan kekhawatiran yang sama, berarti semuanya dalam keadaan sempurna. Celakanya, kekhawatiran dan ketidakberanian mengungkapkan kekhawatiran seperti ini menghinggapi banyak orang dalam pembuatan dan pelayaran Titanic. Akibat dari itu semua adalah tragedi yang sangat fatal, yakni lenyapnya nyawa lebih dari 1.500 orang di lautan Atlantik pada tanggal 14 April 1912.

Masalah serupa terjadi pada peristiwa meledaknya pesawat ulang alik Challenger pada tanggal 28 Januari 1986, hanya 73 detik setelah diluncurkan. Ternyata, hasil penyelidikan membuktikan adanya mis-komunikasi antara NASA, Morton Thiokol Inc. (MTI), dan Marshal Space Center (MSC). MTI, kontraktor yang bertanggungjawab dalam pembuatan komponen yang gagal pada saat peluncuran, sangat tergantung pada MSC dalam kesepakatan kontrak, sementara MSC sendiri tergantung pada NASA untuk aspek pembiayaan. Sekitar dua tahun sebelum peristiwa naas itu, MTI sudah menyadari kemungkinan terjadinya masalah pada O-ring, sebuah komponen yang berfungsi untuk mencegah lepasnya booster pada roket yang mengakibatkan kebakaran pada lubang tangki bahan bakar. Para insinyur MTI sudah melakukan pengujian ulang dan menemukan bahwa O-ring tadi memang tidak layak, terutama ketika temperatur turun hingga 53 derajat. Namun mengapa Challenger tetap diluncurkan pada suhu 36 derajat? Ternyata mereka takut mengungkapkan keraguan mereka, bahkan takut untuk bertanya sekalipun.

Satu pelajaran lagi tentang arti penting bertanya dapat disimak dari invasi militer AS ke Kuba tahun 1961 yang terkenal dengan penyerangan Teluk Babi (Bay of Pigs Invasion). Invasi tersembunyi ini melibatkan lebih dari 1.400 tentara yang jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan. Kurangnya dukungan udara, amunisi, dan rute untuk pelarian, telah mengakibatkan situasi yang amat sulit bagi para penyerbu sehingga lebih dari 1.200 orang menyerah sedangkan yang lainnya tewas. Presiden JFK yang mengambil keputusan sampai mengeluarkan pernyataan: “How could I have been so stupid?” Peristiwa yang sangat memalukan bagi bangsa Amerika ini terjadi karena para penasihat utama Presiden tidak mau memberi pertimbangan yang berbeda karena takut dianggap mengganggu persetujuan kelompok. Sebelum keputusan diambil, salah seorang penasihat JFK yakni Arthur Schlesinger sebenarnya memiliki keberatan terhadap rencana penyerangan, namun hal itu ditekan dalam pertemuan tim. Jaksa Agung Robert Kennedy menegur Schlesinger untuk mendukung keputusan Presiden. Beberapa bulan setelah kekalahan AS dalam tragedi Teluk Babi itu Schlesinger menyesal dan mengatakan: “Saya begitu mengutuk diri saya sendiri karena tidak berani berbicara pada saat genting di ruang kabinet” (I bitterly reproached myself for having kept so silent during those crucial discussion in the cabinet room).

Tiga peristiwa diatas memberi pelajaran nyata betapa berharganya sebuah pertanyaan, keraguan, sikap berbeda pendapat, dan keberanian mengemukakan gagasan. Menurut saya pribadi, tidak ada pertanyaan bodoh atau pertanyaan konyol; yang ada adalah sudut pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu sehingga sebuah pertanyaan dari seseorang terdengar aneh bagi orang lain. Oleh karena itu, dari sisi individu harus dihilangkan rasa sungkan, malu, atau takut untuk bertanya. Sedangkan dari sisi lingkungan, harus diciptakan iklim kerja yang menghormati pendapat orang lain, menghargai perbedaan, serta mendorong diskusi yang saling melengkapi, saling memperkuat, dan saling mengkonfirmasi. Sejak blunder kebijakan pada peristiwa Teluk Babi tadi, JFK sendiri mengubah proses pengambilan keputusannya dengan memberi ruang tak terbatas untuk pertanyaan, perbedaan pendapat, serta evaluasi kritis dari setiap anggota timnya.

Selama ini, “bertanya” menjadi teknik dan instrumen manajemen yang terabaikan. Ada kalanya seorang pemimpin menghindari “tanya jawab” karena kekhawatiran tidak mampu memberi jawaban yang tepat sehingga mengesankan bahwa dirinya bukanlah seorang pemimpin yang hebat. Seorang pemimpin juga enggan bertanya karena takut muncul kesan tidak lebih pandai dibanding bawahannya. Bahkan tidak jarang “bertanya” lebih diposisikan sebagai sikap yang berlawanan, mencari kesalahan/kelemahan seseorang, atau malah menyerang secara pribadi. Sementara dari sisi bawahan, keengganan untuk bertanya juga didorong oleh sikap takut menyinggung atasan, takut dianggap tidak bermutu, malu dikatakan kurang belajar, minder dengan sesama temannya, dan seterusnya. Itulah sebabnya, mengapa “bertanya” menjadi tool yang tidak disukai dan cenderung dihindari. Disamping itu, sebagai sebuah teknik manajemen, “bertanya” juga belum memberi bukti yang ampuh untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas manajemen dalam sebuah organisasi. Hal ini semakin memberi banyak alasan untuk tidak mengembangkan tradisi bertanya dalam sebuah kelompok maupun organisasi.

Padahal, masih menurut Marquardt, “bertanya” memiliki banyak sekali keuntungan, misalnya: to elicit information, to encourage full participation and teamwork, to spur innovation and outside-the-box thinking, to prompt new ideas, to empower others, to wake people up, to show people new places and new ways of doing things, to build relationship with costumers, to solve problems, to help us admit that we don’t know all the answers, to help us become more confident communicators, and more. Bahkan studi dari Center for Creative Leadership terhadap 191 eksekutif menunjukkan bahwa kunci kesuksesan seorang pemimpin adalah menciptakan kesempatan untuk bertanya, dan kemudian mengajukan pertanyaan secara lebih sering.

Tentu yang dimaksud bukan pertanyaan-pertanyaan standar seperti siapa yang bertanggung jawab atas jadual ini, siapa yang tidak mengikuti instruksi, apa masalah pekerjaan anda, atau ide siapa ini? Pertanyaan seperti ini menurut Marquardt adalah pertanyaan yang tidak memberdayakan bawahan, dan cenderung mencari kesalahan seseorang. Ada pula jenis-jenis pertanyaan yang mengandung manipulasi terselubung, seperti apakah anda tidak setuju dengan saya, bukankah anda adalah pemain dalam tim ini? dan sejenisnya. Adapun jenis-jenis pertanyaan yang dianjurkan misalnya: what needs to be done, what is right for the enterprise, atau pertanyaan yang terkait dengan pengembangan rencana aksi, pemanfaatan peluang, distribusi tanggungjawab dalam pengambilan keputusan dan komunikasi, dan seterusnya.

Ternyata, bertanya bukanlah suatu hal yang sepele meski sering disepelekan. Manfaat bertanya juga tidak sekecil seperti anggapan selama ini. Untuk itu, sudah saatnya bertanya dijadikan sebagai budaya organisasi, mulai dari lingkungan terkecil di sekitar kita. Dengan rajin bertanya, maka inovasi pun akan menjadi sebuah budaya dalam sebuah organisasi. Semoga.

Villa Melati Mas Serpong, 31 Mei 2014

Tidak ada komentar: