Abstract
Following the
commencement of democratic and decentralized era in Indonesia , both political and
socio-economic climate has tented to be more dynamic in the grassroots level.
‘Change’ is the most prominent term found in local politics, covering three
fundamental aspects, i.e. political, public administration, and constitutional
law. Such changes bring about the conscience to recognize their implication and
the needs to readjust the current system in line with the spirit of reform.
This paper analyses five essential issues faced by local government and local
people, i.e. direct election of Local Government Head, institutional
arrangement, development planning system and documents, evaluation of
inappropriate regional regulations, and perplexing issue on legal hierarchy. It
also provides some recommendations could be taken in dealing with those issues.
Pendahuluan
Denyut
nadi politik lokal di berbagai daerah di Indonesia berjalan begitu dinamis
pasca terbukanya era demokrasi dan desentralisasi. Perubahan kebijakan di
tingkat nasional serta tuntutan reformasi di tingkat akar rumput, telah
menjadikan proses interaksi antar aktor dalam masyarakat bekerja dalam “tempo”
yang tinggi. Dalam bidang politik, administrasi publik maupun hukum, masyarakat
(termasuk kalangan aparat) saat ini tengah menghadapi pola baru yang muncul
sebagai akibat semangat reformasi tadi.
Di
bidang politik, misalnya, Pemilihan Presiden secara langsung segera disusul
dengan “desentralisasi politik” berupa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) langsung. Kebijakan ini merombak secara total posisi rakyat yang
sebelumnya menjadi obyek politik menjadi pelaku aktif sistem demokrasi lokal.
Namun sebagai suatu sistem yang baru, wajar bila pola pemilihan Kepala Daerah
secara langsung menyisakan berbagai persoalan yang cukup rumit, dan oleh
karenanya perlu disikapi dengan pemahaman dan kesiapan yang matang dari seluruh
jajaran terkait.
Sementara
dalam bidang administrasi publik, perubahan format kelembagaan dan kewenangan
menjadi pilihan yang tidak terelakkan. Sebab, perubahan UU No. 22/1999 menjadi
UU No. 32/2004 juga membawa perubahan terhadap konsep kewenangan serta konsep
perangkat daerah. Oleh karena itu, UU Pemerintahan Daerah yang baru juga perlu
diikuti dengan revisi PP No. 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah. Disisi lain, sistem dan dokumen perencanaan pembangunan juga mengalami
penyempurnaan. Paling tidak, saat ini ada 4 (empat) payung hukum yang telah
terbit yang mengatur tentang sistem, mekanisme dan instrumen perencanaan, yakni
UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, PP No. 20/2004
tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dan Keputusan Kepala LAN No.
239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan AKIP (sebagai
penyempurnaan dari Keputusan Kepala LAN No. 589/IX/6/Y/1999). Lahirnya berbagai
peraturan tersebut harus dipersepsi sebagai upaya untuk memperkuat fungsi
perencanaan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Adapun
di bidang hukum (HTN/HAN), munculnya Tap MPR No. III/2000 sebagai pengganti Tap
MPRS No. XX/1966, yang kemudian disusul dengan lahirnya UU No. 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, cukup banyak menimbulkan kebingungan
mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan. Harus diakui bahwa
ketidaksinkronan kedua produk hukum tadi banyak menimbulkan multi tafsir dan
beragam pandangan. Selain itu, banyaknya Perda bermasalah yang menghambat
investasi dan iklim kompetisi usaha di daerah juga merupakan “pekerjaan rumah”
bidang hukum yang perlu segera diselesaikan.
Mengingat
banyaknya perubahan-perubahan pada dimensi politik, administrasi publik, serta
hukum diatas, maka tulisan ini mencoba menguraikan anatomi persoalan strategis
di daerah pada jangka pendek serta beberapa langkah yang dapat ditempuh sebagai
bentuk antisipasi kebijakan atas berbagai implikasi yang timbul dari permasalahan
tersebut.
1.
Persiapan
Penyelenggaraan Pilkada (PP No. 6/2005) dan Implikasi pasca Pilkada.[1]
Semenjak
dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, pemilihan Kepala Daerah harus
dilakukan secara demokratis (pasal 18 ayat 4).[2] Atas
dasar amanat UUD 1945 inilah, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
direvisi, yang disusul dengan lahirnya PP No. 6/2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, atau lebih dikenal dengan PP Pilkada Langsung. Sayangnya, dalam
prakteknya aturan ini masih menimbulkan banyak sekali kebingungan baik
dikalangan masyarakat, partai politik, maupun pemerintah daerah dan KPUD
sebagai lembaga penyelenggara Pilkada Langsung. Semenjak lahirnya UU No.
32/2004, banyak pihak menyangsikan bahwa Pilkada Langsung akan benar-benar
menumbuhkan demokratisasi di tingkat akar rumput, serta bermanfaat bagi proses
pembangunan daerah secara menyeluruh. Beberapa hal yang menjadi sumber keraguan
tersebut antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut:
- Pilkada
Langsung dinilai kurang demokratis karena tidak membuka peluang bagi calon
independen untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah dan Wakilnya. Dalam
pasal 56 UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa hanya partai politik atau
gabungan partai politik yang memiliki hak untuk mengajukan calon. Dengan
demikian, rakyat sesungguhnya hanya memiliki hak pilih “pasif” (memilih
diantara calon yang tersedia), namun belum memiliki hak inisiatif aktif
untuk mengajukan dirinya guna berkompetisi dalam ajang Pilkada Langsung
tersebut (Utomo, 2004a).
b.
Pilkada
Langsung masih membuka peluang terjadinya money politics. Penyebabnya
adalah, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan
peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics.
Meskipun demikian, pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun
kebelakang. Justru ada kecenderungan bahwa money politics ini
lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, money
politics akan mengikuti dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya UU
5/1974, pemerintah pusat memiliki hak untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga
5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian terbesar
kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada era UU
22/1999, korupsi dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena memang
DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika suara (hak
pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan
korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut (Utomo, 2004a).
c.
Keterbatasan dana
Pilkada yang berakibat pada ancaman penundaan dan bahkan batalnya
penyelenggaraan Pilkada. Menurut Mendagri, Pilkada kali ini secara nasional
membutuhkan dana sebesar Rp. 929,3 miliar, yang Rp. 744,3 miliar
diantaranya dialokasikan ke 226 daerah termasuk pemberian insentif khusus bagi
35 daerah pemekaran, yakni dua provinsi dan 33 kabupaten/kota. Sedangkan
sisanya sebesar Rp. 185 miliar akan digunakan untuk mendukung pemerintah pusat
dalam melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembinaan teknis, pemutakhiran data
administrasi kependudukan, dan monitoring serta evaluasi pelaksanaan pilkada.
Dalam prakteknya, pencairan dana tersebut mengalami hambatan, sehingga banyak
daerah mengeluh kekurangan dana. Untuk mengatasi hal tersebut, Mendagri meminta
agar Pemda memberikan dana talangan dari APBD, namun banyak daerah yang menolak
melakukan hal itu. Kondisi ini masih diperparah dengan tidak jelasnya mekanisme
alokasi dana Pilkada, kekurangakuratan dalam menghitung kebutuhan riil, dan
sebagainya.
d.
Masalah logistik juga
menjadi aspek yang krusial. Misalnya mengenai pengadaan barang, apakah akan
dilakukan oleh KPU, KPUD, ataukah Depdagri. Sementara dalah hal metode yang
digunakan juga belum terdapat kesamaan pandangan, apakah harus dengan tender
atau dapat dengan penunjukkan langsung. Jika mengingat besaran anggaran, maka
semestinya pengadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui proses tender
(Keppres No. 80/2003).
e.
Pilkada Langsung juga
menyimpan potensi konflik yang tinggi. Dari hasil inventarisasi Depdagri
ditemukan ada 76 daerah dari 222 daerah yang akan menyelenggarakan Pikada
sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai sebab. Faktor penyebab
terjadinya konflik itu di antaranya salah memahami peraturan Pilkada dan
kondisi daerah yang belum kondusif (Suara Karya, 15 Maret 2005).
Sementara di Medan, berbagai elemen mengancam akan memboikot pilkada karena
adanya informasi bahwa hanya dua pasang kandidat yang akan maju dalam pemilihan
tersebut (Suara Pembaruan, 14 Maret 2005). Lebih jauh Iskandar (2005)
mengidentifikasi beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu
konflik politik di daerah, yakni: 1) terdapatnya peraturan Pilkada langsung
yang menutup munculnya calon independen, 2) kuatnya hubungan emosional antara
kandidat dengan konstituen, 3) UU 32/2004 memberi peluang dan dominasi kepada
partai dalam proses pencalonan, 4) kerancuan peran DPRD dalam Pilkada, dan 5) potensi
konflik pasca Pilkada.
f.
Masalah baru muncul
ketika pada tanggal 22 Maret 2005 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan tuntutan
judicial review terhadap beberapa pasal dalam UU No. 32/2004.
Pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 57
(1), 66 (3) dan 67 (1) dinyatakan batal oleh MK. Sebagai gantinya, MK
menetapkan bahwa KPUD bertanggungjawab kepada “publik”. Disinilah masalah baru
muncul: pertama, pengertian publik tidaklah jelas dan juga tidak ada
penjelasan tentang lembaga apa yang dapat merepresentasikan publik tersebut; kedua,
mekanisme dan instrumen pertanggungjawaban kepada publik juga tidak jelas.
Oleh karena serba tidak jelas, bahaya yang lebih besar sesungguhnya tengah
mengancam kita, yakni kegagalan untuk melihat sosok KPUD yang bertanggungjawab.
Dan jika KPUD tidak lagi bertanggungjawab kepada siapapun (karena sumirnya
pengertian “publik”), maka bisa dibayangkan seperti apa kualitas
penyelenggaraan Pilkada nanti. Disamping itu, kondisi ini juga mencerminkan
adanya kekacauan dan carut-marutnya sistem administrasi negara kita.
Sehubungan dengan adanya setumpuk persoalan diatas, maka perlu adanya
pemahaman secara benar terhadap berbagai fenomena dan perkembangan situasi yang
ada. Pada saat yang bersamaan, perlu pula dilakukan berbagai persiapan teknis
maupun konseptual yang dapat mendukung pelaksanaan Pilkada secara optimal.
Adapun beberapa langkah antisipasi yang dapat ditawarkan disini meliputi
hal-hal sebagai berikut:
- Mengenai sumber pembiayaan,
disamping dana pokok yang berasal dari APBD masing-masing kabupaten/kota,
pendanaan Pilkada sebaiknya juga mendapat pendampingan dari anggaran APBD
Propinsi dan anggaran KPU, disamping alokasi yang sudah dipersiapan oleh
Depdagri. Bahkan perlu didorong adanya dana pihak ketiga yang tidak
mengikat seperti bantuan atau hibah dari partai politik, simpatisan,
pengusaha, lembaga donor, dan lain-lain.
b.
Para politisi lokal
hendaknya bersikap dewasa dan mampu menunjukkan sikap kenegarawanan guna
menciptakan iklim politik yang sejuk, harmonis, dan kondusif untuk berjalannya
program-program pembangunan sosial ekonomi. Dengan kata lain, perlu diusahakan
agar upaya membangun demokrasi tidak menjadi trade-off bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
c.
Sebagai negara yang
berasas hukum (rechtsstaat), setiap lembaga dan anggota masyarakat
dituntut untuk taat hukum. Dan oleh karena keputusan MK telah memiliki kekuatan
hukum yang pasti, maka kontroversi terhadap amar putusan harus dikesampingkan.
Disini yang jauh lebih penting adalah memikirkan bagaimana melakukan
penyesuaian terhadap implikasi dari putusan MK tersebut. Dalam hubungan ini, PP
No. 6/2005 tetap harus dijadikan pedoman teknis dalam penyelenggaraan Pilkada
Langsung, sepanjang tidak menyangkut aspek pertanggungjawaban KPUD.
d.
Dalam perspektif
kedepan, KPUD harus ditempatkan secara hierarkhis dibawah KPU, dan bukan lagi
sebagai penyelenggara Pilkada tersendiri yang terpisah dari struktur KPU serta
sistem Pemilu nasional. Sementara upaya tadi diproses, saat ini KPU tetap harus
merasa bertanggungjawab – paling tidak secara moral – atas keberhasilan
penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah. Wujud tanggung jawab moral ini
adalah dengan ikut melakukan monitoring/supervisi, fasilitasi, serta konsultasi
dan pembinaan teknis kepada institusi penyelenggara Pilkada Langsung.
e.
Depdagri perlu segera
menerbitkan surat edaran yang menjabarkan pengertian “publik” sebagai penerima
tanggungjawab KPUD. Dalam hal ini, pertanggung jawaban kepada publik bisa
dimaknakan dalam beberapa cara atau metode, misalnya menetapkan dan/atau
membentuk asosiasi kemasyarakatan yang menjadi representasi “publik”;
menyampaikan laporan pertanggungjawaban tertulis kepada DPRD setempat dan
Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat; serta pertanggungjawaban (pengumuman)
melalui media massa cetak dan elektronik. Inti gagasannya adalah, bagaimana
proses dan hasil pelaksanaan Pilkada dapat dikontrol oleh sebanyak mungkin
komponen kemasyarakatan atau pihak-pihak lain yang merasa berkepentingan dengan
penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut.
Dalam banyak hal, pengaturan aspek
kelembagaan pada UU No. 32/2004 tidak berbeda jauh dibanding pada aturan yang
ada sebelumnya. Sebagai contoh, dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah.
Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan
dan koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat; unsur pendukung tugas kepala
daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat
spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah; serta unsur pelaksana urusan
daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah.
Namun dalam beberapa hal lainnya, ternyata dimensi kelembagaan ini mengalami
perubahan yang cukup signifikan dalam UU No. 32/2004. Jika dalam UU No 22/1999
dinyatakan bahwa Perangkat Daerah terdiri atas
Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan lembaga teknis Daerah lainnya sesuai
dengan kebutuhan Daerah (pasal 60), maka dalam pasal 120 UU No. 32//2004
terdapat penambahan perangkat daerah, baik di tingkat propinsi maupun
kabupaten/kota. Untuk propinsi, penambahan perangkat daerah tadi adalah
sekretariat DPRD Propinsi, sedangkan untuk kabupaten/kota ada dua perangkat
daerah yang baru, yakni Sekretariat DPRD dan Kelurahan.
Perubahan perangkat daerah tersebut berimplikasi logis terhadap kedudukan
dan pola pertanggungjawaban dari lembaga yang bersangkutan. Untuk Sekretariat
DPRD, misalnya, menurut pasal 29 UU Nomor 22/1999, Sekretaris DPRD dalam
melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan
DPRD. Namun dengan kedudukan barunya sebagai perangkat daerah, maka Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya secara teknis
operasional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah (pasal 123).
Demikian pula dengan lurah / kelurahan. Dalam pasal
67 UU Nomor 22/1999 disebutkan bahwa Kelurahan
merupakan perangkat Kecamatan, dan oleh karena itu bertanggungjawab kepada
camat. Sementara dalam pasal 120 UU Nomor 32/2004 ditegaskan bahwa kelurahan
adalah perangkat daerah kabupaten/kota. Implikasinya jelas bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat (pasal 127). Selain itu, ketentuan baru ini akan merombak total
kewenangan kelurahan. Sebab, selama ini dianut paham bahwa kelurahan menerima
pelimpahan kewenangan dari camat (pasal 67 UU Nomor 22/1999). Namun dengan
statusnya yang baru sebagai “perangkat daerah”, maka kelurahan menerima
pelimpahan tugas/urusan pemerintahan langsung dari bupati/walikota (pasal 127
UU Nomor 32/2004). Status kelurahan dan disamakan dengan kecamatan sebagai
perangkat daerah ini sekaligus menegaskan bahwa kedudukan kecamatan dan
kelurahan dalam konteks daerah otonom adalah sama.
Hal lain yang perlu dicermati sehubungan dengan
perubahan perangkat daerah adalah pergeseran asas pemerintahan yang diemban /
dijalankan kecamatan. Berdasarkan UU Nomor 5/1974, kecamatan adalah unsur
kewilayahan yang menyelenggarakan asas dekonsentrasi. Sedangkan dalam UU Nomor
22/1999, secara implisit camat diposisikan sebagai unsur desentralisasi. Hal
ini nampak dari bunyi pasal 66 (4) yakni “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari
Bupati/Walikota”. Adapun dalam UU Pemda yang baru, kedua unsur tadi
(desentralisasi dan dekonsentrasi) dilekatkan pada kecamatan.
Dalam tingkatan kebijakan yang
lebih teknis, perubahan aspek perangkat daerah juga diatur dalam draft PP
pengganti PP No. 8/2003.[4] Dalam aturan ini dimunculkan adanya 3 (tiga) jenis atau karakteristik
perangkat daerah, yaitu:
- Perangkat Daerah yang
melaksanakan urusan wajib, terdiri dari 11 bidang yakni bidang
perencanaan, kesehatan, pendidikan, sosial, prasarana dan sarana umum,
lingkungan hidup, perekonomian, kependudukan, pertanahan dan pemerintahan
umum, pendapatan dan keuangan daerah, serta ketentraman dan ketertiban
umum.
b.
Perangkat Daerah yang
melaksanakan urusan pilihan, terdiri dari 8 bidang yakni bidang
pertanian, kelautan dan perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan dan
perkebunan, perindustrian dan perdagangan, transmigrasi, pengembangan pekerjaan
umum, serta kebudayaan dan pariwisata.
c.
Perangkat Daerah yang
melaksanakan fungsi pendukung, terdiri dari 10 bidang yakni bidang
pengawasan, pendidikan dan pelatihan, pelayanan kesehatan, penelitian dan
pengembangan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat, pemberdayaan
masyarakat, informasi dan komunikasi dan telematika, perpustakaan, kearsipan,
serta koordinasi wilayah.
Dari pengklasifikasian diatas dapat diprediksikan bahwa perangkat daerah
yang dapat dibentuk paling banyak adalah 29 buah. Hal ini dengan asumsi bahwa
satu jenis urusan atau fungsi pendukung, dilaksanakan oleh satu perangkat
daerah. Namun mengingat adanya pembatasan jumlah perangkat daerah (sebagaimana
diatur pula dalam PP No. 8//2003), maka harus ada analisis dan pertimbangan
yang matang dalam penyusunan format kelembagaan di daerah. Satu hal yang harus disepakati yakni mengenai prinsip kewenangan
maksimal dengan kelembagaan minimal. Artinya, seluruh urusan harus
dapat dijalankan meskipun tidak dengan jumlah kelembagaan yang banyak.
“Kewenangan maksimal” dimaksudkan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat, sementara “kelembagaan minimal” ditujukan untuk mencapai efisiensi
sebesar mungkin. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa satu perangkat daerah
akan mendapat beban untuk menyelenggarakan lebih dari satu urusan.
Dilihat dari aspek kewenangan /
urusan, pengklasifikasian urusan diatas berarti pula merubah 11
kewenangan/urusan wajib yang diatur dalam pasal 11 UU No. 22/1999. Dari 11
kewenangan tadi, hanya bidang kesehatan, lingkungan hidup, pendidikan, dan
pertanahan yang masih dipertahankan sebagai urusan wajib bagi daerah. Sementara
bidang-bidang pekerjaan umum, pertanian, kebudayaan (disatukan dengan
pariwisata), serta industri dan perdagangan, dimasukkan sebagai urusan pilihan.
Ironisnya, urusan-urusan perhubungan, penanaman modal, koperasi, dan tenaga
kerja tidak masuk dalam kategori manapun. Hal ini menyiratkan bahwa
sesungguhnya masih terdapat bidang-bidang urusan lain, diluar ketentuan dalam
draft pengganti PP No. 8/2003. Implikasinya jelas bahwa daerah masih memiliki
peluang untuk membentuk perangkat daerah guna melaksanakan urusan-urusan yang
belum diatur tadi.
Paparan diatas sekaligus
menggambarkan pada kita bahwa draft pengganti PP No. 8/2003 masih memiliki
banyak sekali kelemahan. Dalam hal ini, beberapa kelemahan lain yang dapat
diidentifikasikan antara lain adalah:
- Draft pengganti PP No. 8/2003
lebih banyak mengatur mengenai kedudukan serta tugas pokok dan fungsi
perangkat daerah, dan kurang menyediakan pedoman-pedoman teknis, baik
kuantitatif maupun kualitatif, tentang tata cara dan persyaratan rinci pembentukan,
penggabungan, pemekaran, dan pembubaran sebuah perangkat daerah.
b.
Draft pengganti PP No.
8/2003 juga masih banyak memberikan kewenangan atribusi kepada Menteri Dalam
Negeri. Sebagai contoh, criteria pembentukan organisasi perangkat daerah (pasal
4), pedoman pembentukan organisasi kecamatan (pasal 16), pedoman pembentukan
organisasi kelurahan (pasal 17), harus ditetapkan dengan Keputusan Mendagri.
Disamping itu, Mendagri (bersama-sama Menpan) juga diberi wewenang untuk
memberikan persetujuan terhadap penetapan perangkat daerah di daerah yang belum
memiliki DPRD (pasal 25). Padahal, sebuah PP semestinya sudah dapat mengatur
suatu materi secara operasional.
c.
Salah
satu kritik terhadap PP No. 8/2003 dahulu adalah pengaturan yang terlalu rigid
dan kaku, sehingga menyulitkan jajaran aparat di daerah dalam mendesain format
kelembagaan yang diperlukan. Sekarang, pengaturan dalam draft pengganti PP No.
8/2003 nampaknya terlalu sumir dan makro, sehingga sulit dijadikan sebagai
sebuah pedoman.
Menyikapi
adanya peraturan yang demikian, maka penyusunan SOTK (struktur organisasi dan
tata kerja) daerah harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Selain itu,
perubahan perilaku birokrasi adalah sebuah keniscayaan dalam era otonomi luas
dewasa ini. Sebab, sebaik apapun format kelembagaan jika tidak ditunjang oleh
perilaku yang berorientasi pada pelayanan publik, tetap tidak akan mampu
menghasilkan produktivitas yang tinggi.
3.
Penyusunan RPJP Daerah dan RPJM Daerah (UU No. 25/2004;
PP No. 20/2004).
Hingga saat ini, ystem
semua daerah dan instansi setingkat eselon II sudah memiliki Rencana Strategis.
Namun dengan lahirnya UU No. 25/2004, daerah memiliki kewajiban baru untuk
menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Jangka Pendek (RPJM).
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana hubungan antara Renstra dengan RPJP
Daerah dan RPJM Daerah? Atau, apakah Renstra tadi secara otomatis tidak berlaku
dengan lahirnya peraturan tentang RPJP dan RPJM Daerah?
UU 25/2004
menegaskan bahwa RPJM Kementerian/Lembaga atau disebut juga Rencana
Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen
perencanaan untuk periode 5 tahun, yang harus dijabarkan dalam
Rencana Kerja Tahunan yang disebut Renja-KL. Di tingkat Daerah, RPJM Satuan
Kerja Pemerintah Daerah disebut juga Renstra-SKPD, dan harus dijabarkan dalam
Rencana Kerja Tahunan yang disebut Renja-SKPD. Dari pengertian tersebut dapat ditarik beberapa
kesimpulan dan tambahan penjelasan sebagai berikut:
- Yang wajib menyusun dan
memiliki RPJP dan RPJM adalah pemerintah NKRI serta Pemerintah Daerah
sebagai sebuan entitas otonom. Sementara bagi Kementerian/Lembaga dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah
hanya wajib menyusun RPJM yang berkaitan dengan tupoksi unitnya, dan
sekaligus berfungsi sebagai Rencana Strategis bagi masing-masing unit
tersebut.
b.
Berkaitan dengan butir
diatas, Rencana Strategis Daerah yang telah ada saat ini secara otomatis hanya
berlaku sebagai RPJM Daerah. Meskipun demikian, sistematika Renstra yang lama
perlu dimodifikasi sesuai aturan penyusunan RPJM. Sebagai contoh, dalam Renstra
lama terdapat komponen Visi dan Misi. Pada model perencanaan yang baru,
komponen Visi dan Misi merupakan bagian dari RPJP. Namun, Renstra-KL maupun
Renstra-SKPD masih harus mencantumkan visi dan misi organisasinya. Sebab, Kementerian/Lembaga
maupun SKPD tidak memiliki RPJP tersendiri.
c.
Oleh
karena Renstra hanya berfungsi sebagai RPJM, maka Daerah juga harus segera
menyusun dokumen perencanaan untuk periode 20 tahun kedepan, yakni RPJP Daerah.
Selain berisi visi dan misi, RPJP juga harus mengatur tentang arah pembangunan
daerah secara umum.
d.
RKP
Nasional, RPJM Daerah, Renstra-KL maupun Renstra-SKPD harus berisi program dan
kegiatan pembangunan (beserta pendanaannya) yang bersifat indikatif. Pengertian
indikatif adalah bahwa informasi, baik tentang sumber daya yang diperlukan maupun keluaran dan dampak yang tercantum di dalam dokumen
rencana ini, hanya merupakan indikasi yang hendak dicapai
dan tidak kaku.
e.
Mengingat
lahirnya UU No. 25/2004 dan PP No. 20/2004 membawa implikasi terhadap sistem
perencanaan pembangunan di daerah serta penyusunan Renstra, maka Keputusan
Kepala LAN No. 239/2003 harus direvisi ulang. Beberapa hal yang perlu direvisi
adalah:
·
Pengaturan ulang
tentang unit kerja wajib Renstra. Dalam hal ini, Kementerian/Lembaga dan SKPD
yang masih harus menyusun Renstra; sementara Daerah sebagai entitas otonom
tidak lagi wajib menyusun Renstra, tapi wajib menyusun RPJM.
·
Penyesuaian
peristilahan sebagaimana diatur dalam UU No. 25/2004 dan PP No. 20/2004.
Sebagai contoh, istilah RKT (Rencana Kerja Tahunan) berubah menjadi Renja
(Rencana Kerja).
·
Pengaturan ulang
mengenai sifat / tingkatan program dan kegiatan. Selama ini program dan
kegiatan dalam Renstra adalah sesuatu yang sudah sangat terukur, namun menurut
ketentuan UU No. 25/2004 dan PP No. 20/2004 cukup bersifat indikatif. Artinya,
terhadap program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam Renstra dapat
dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan tahun berjalan.
Dengan demikian, Renstra bukan lagi menjadi dokumen mati, kaku dan rigid, yang
justru menyulitkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi suatu instansi.
4.
Evaluasi dan Revisi Perda Bermasalah
Demi alasan
menggenjot PAD, banyak daerah yang lantas memberlakukan Perda yang berisi
pungutan atau pembebanan finansial atas kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih
meningkatkan kemampuan keuangan daerah, kebijakan tadi justru banyak
menimbulkan biaya tinggi (high cost economy) yang menghambat masuknya
investasi ke daerah. pada gilirannya, aktivitas ekonomi yang seret atau terganggu
justru menjadi kurang mampu menjadi sumber pendapatan daerah. Dengan kata lain,
logika berpikir yang diterapkan banyak daerah saat ini adalah “ingin untung
secara cepat dan mudah”, namun sesungguhnya mengandung bahaya pada jangka
panjang. Logika ini semestinya diubah, yakni dengan menciptakan
kemudahan-kemudahan (seperti pengurangan campur tangan, peningkatan subsidi,
pemberian pemutihan dan dispensasi, bahkan pengampunan pajak bila diperlukan),
namun akan merangsang aktivitas ekonomi yang secara akumulatif menjadi sumber
baru yang dapat diandalkan pada masa mendatang.
Beberapa ahli dan
lembaga telah mengkaji dampak buruk dari penerapan Perda retribusi yang
berlebihan ini. Sebagai contoh, Susastro (t.t.) menyatakan bahwa Perda semacam
itu mengakibatkan meningkatnya hambatan perdagangan antar daerah, dari propinsi
yang satu ke propinsi yang lain atau dari kabupaten/kota yang satu ke
kabupaten/kota yang lain. Sementara itu, dari banyak kasus yang diteliti
Akatiga (t.t.) pada industri konveksi, logam dan kerajinan, tingkat keuntungan
pengusaha yang masih bertahan, akan lebih kecil ketimbang biaya kelancaran
alias pungutan resmi maupun siluman yang dikeluarkan. Sebuah industri logan di Klaten pada
penjualan 1997, mengeluarkan biaya pungutan 12 persen, sedang keuntungannya
hanya 2,18 persen. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi pengusaha kecil,
apalagi dalam menghadapi pasar bebas era globalisasi. Dipastikan bakal tak mampu bersaing
dengan produk impor. Tidak hanya bersifat ekonomis, pungutan pun berdampak juga
pada terjadinya erosi moral dan rusaknya etika bisnis, yang tidak hanya
di instansi pemerintah, tetapi juga merambah dunia usaha.
Pemerintah
sesungguhnya sudah berupaya maksimal untuk mengatasi masalah ini. Pada tahun
2002 yang lalu, misalnya, pemerintah telah melakukan penilaian atas 1.183 perda
yang diterima Depdagri dalam kurun waktu 7 Mei 1999 hingga Mei 2002. Diantara
sekian Perda tersebut, 80 diantaranya dinyatakan dicabut (Media Indonesia, 21
Nopember 2002). Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengontrol seluruh Perda
sangatlah terbatas. Belum lama ini, pemerintah melalui Kepala Badan Pengkajian
Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui kesulitan untuk mengawasi
atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan pengusaha telah menyebabkan
ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak menyampaikan perda tersebut ke pusat.
Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku, baru 4 ribu perda yang disampaikan ke
pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang tidak disampaikan ke pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).
Mengingat kondisi
sebagaimana tersebut diatas, maka alangkah baiknya jika daerah dapat
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
- Penyusunan
Perda hendaknya dilakukan seselektif mungkin, dalam arti benar-benar
sesuai kebutuhan riil daerah dan masyarakat di wilayahnya. Disamping itu,
penyusunan sebuah Perda hendaknya juga dilakukan dengan mekanisme normatif
yang berlaku, seperti penyusunan naskah akademik, pengkajian dan analisis
dampak yang mungkin timbul, dan sebagainya.
b.
Daerah
hendaknya juga berbesar hati untuk menyampaikan setiap Perda yang ditetapkan
kepada pemerintah Pusat. Sebab, walaupun daerah memiliki otonomi yang luas dan
pengawasan represif pemerintah Pusat sudah mulai berkurang, namun
penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap harus ditempatkan dalam kerangka
NKRI. Dengan demikian, penyampaian Perda bukan dimaksudkan untuk mengundang
intervensi Pusat, melainkan wujud solid dan harmonisnya hubungan Pusat –
Daerah.
c.
Evaluasi
secara periodik terhadap Perda-perda yang ada perlu dilakukan dengan melibatkan
seluruh komponen masyarakat yang terlibat khususnya para pebisnis lokal.
d.
Orientasi
legislator perlu dibenahi agar dalam proses regulation drafting tidak
hanya berpikir memperbesar pemasukan bagi kas daerah, tetapi lebih kepada upaya
meningkatkan mutu pelayanan publik.
5.
Ketidakjelasan Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan
Perundang- Undangan.
Dewasa ini terdapat indikasi adanya
pertentangan antara materi Tap MPR No. III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan, dengan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pasal 2 Tap MPR No. III/2000 dinyatakan
bahwa Tap MPR dan Keputusan Presiden termasuk dalam tata urutan peraturan
perundangan, namun ternyata tidak diatur dalam UU No. 10/2004 (pasal 7).
Perbedaan materi pengaturan diantara kedua produk hukum tersebut menimbulkan
beberapa kebingungan, antara lain:
a. Apakah Tap MPR
masih diakui sebagai bentuk peraturan perundangan dibawah UUD 1945 atau tidak.
b.
Apakah
UU No. 10/2004 merupakan lex specialis (hukum khusus) dari Tap MPR No.
III/2000 yang merupakan hukum umum (lex generalis) atau tidak.
c.
Apakah Keputusan
Presiden masih berlaku dan dapat dibentuk pada waktu sekarang dan yang akan
datang, ataukah tidak. Pada pasal 7 (4) UU No. 10/2004 disebutkan bahwa “Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.
Klausul ini mengandung pengertian bahwa Keputusan Presiden masih dapat berlaku
dan Presiden masih memiliki kewenangan sah untuk membentuk Keputusan Presiden.
Namun dalam pasal 56 (Ketentuan Penutup) UU ini ditegaskan bahwa “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur,
Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku,
harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”. Ketentuan ini menyiratkan bahwa Keputusan Presiden
merupakan produk hukum yang tidak dikenal lagi, sementara fungsi pengaturan dan
penetapan oleh Presiden pada masa setelah berlakunya UU ini, harus dituangkan
dalam bentuk Peraturan Presiden.
Terhadap ketidakjelasan aturan diatas, dapat ditarik beberapa penafsiran
hukum (rechts interpretatie) sebagai berikut:
a.
Dilihat dari waktu
pengundangannya, Tap MPR No. III/2000 memang merupakan hukum yang mendahului (lex
anteriori) UU No. 10/2004 (lex posteriori). Namun dilihat dari
tingkatannya, Tap MPR No. III/2000 merupakan hukum yang lebih tinggi (lex
superiori) dibanding UU No. 10/2004 (lex inferiori). Dengan
demikian, UU No. 10/2004 tidak dapat dan tidak mungkin membatalkan muatan yang
telah diatur dalam Tap MPR No. III/2000. Ini berarti pula bahwa Tap MPR No.
III/2000 secara yuridis harus ditafsirkan masih terus berlaku. Dan oleh
karenanya, aturan-aturan dalam Tap MPR No. III/2000 tersebut masih memiliki
kekuatan hukum yang kuat dan pasti.
b.
Jika UU No. 10/2004 berfungsi
sebagai lex specialis, maka Tap MPR No. III/2000 ini secara otomatis
menjadi tidak berlaku. Namun jika “tidak”, maka Tap MPR No. III/2000 masih
terus berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Disamping itu, pasal 57 (Ketentuan Penutup) UU ini juga tidak secara
eksplisit menyatakan tidak berlaku terhadap Tap MPR No. III/2000. Dua produk hukum yang dicabut secara tegas adalah UU
No. 1 Tahun 1950 tertang Jenis dan Bentuk Peraturan
yang Dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat, serta UU No. 2 Tahun 1950 tentang
Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara dan Berita
Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya
Undang-Undang Federal. Itupun
masih disertai klausul bahwa UU tersebut dicabut sepanjang yang telah diatur dalam UU No. 10/2004 ini.
Dengan kata lain, UU No. 10/2004 merupakan hukum yang melengkapi (lex complementaire) ketentuan yang telah ada sepanjang tidak
bertentangan. Secara analog hal ini dapat digunakan sebagai dasar pembenar
bahwa Tap MPR No. III/2000 masih terus berlaku dan memiliki
kekuatan hukum mengikat.
c.
Mengacu
kepada kedua interpretasi hukum diatas, maka produk hukum berbentuk Keputusan
Presiden masih dapat dibuat dan tetap memiliki kekuatan hukum yang setingkat
dengan Peraturan Presiden. Justru munculnya produk hukum berbentuk Peraturan
Presiden dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan, karena akan terjadi kejelasan
bahwa Peraturan Presiden adalah produk hukum yang bersifat pengaturan secara
umum (regeling), sedang Keputusan Presiden adalah produk hukum yang
bersifat penetapan secara konkrit dan individual (beschikking). Dalam
aturan lama, Keputusan Presiden dapat berisi baik pengaturan maupun penetapan.
Dengan kata lain, Keputusan Presiden saat itu berkedudukan sebagai peraturan
perundang-undangan, sekaligus sebagai peraturan kebijaksanaan. Kondisi seperti
ini dapat menimbulkan kebingungan, perbedaan interpretasi, serta peluang untuk
disalahgunakan oleh Presiden. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan ini (UU
No. 10/2004), Keputusan Presiden hanya akan menyangkut hal-hal tertentu seperti
penunjukan / pengangkatan Menteri atau pejabat negara lainnya, pembentukan
panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan sebagainya.
Dalam konteks implementasi sumber
hukum dan tata urutan peraturan perundangan di tingkat daerah, dapat
disimpulkan bahwa baik Tap MPR No. III/2000 maupun UU No. 10/2004 masih
memiliki kekuatan hukum yang kuat, dan oleh karenanya harus tetap dipedomani
dalam penyusunan peraturan perundangan di daerah. Selain itu, dalam perspektif
kedepan, lahirnya UU No. 10/2004 ini harus ditindaklanjuti dengan reformasi
hukum di tingkat daerah, yakni perlunya dimunculkan produk hukum baru yaitu
Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota. Sebab, Keputusan Gubernur dan
Keputusan Bupati/Walikota saat ini juga masih ambivalen (bersifat mengatur
sekaligus menetapkan).
Argumentasi hukum diatas juga dapat
dipergunakan untuk menafsirkan adanya pertentangan materi hukum antara UU
Pemerintahan Daerah (baik No. 22/1999 maupun 32/2004) dengan Keppres No.
34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Menurut pasal 11 UU
22/1999, bidang pertanahan adalah salah satu urusan pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota disamping pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, Industri dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi, dan tenaga kerja.
Sedangkan dalam pasal 14 UU 32/2004 ditegaskan pula bahwa urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi 16 rincian urusan, yang
salah satunya adalah pelayanan pertanahan.
Namun berdasarkan Keputusan Presiden
No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, kewenangan bidang
Pertanahan pada dasarnya masih dipegang oleh Pemerintah, terutama yang mencakup
fungsi-fungsi perencanaan, perumusan kebijakan, dan fungsi-fungsi strategis
lainnya. Sedangkan Daerah hanya dapat menjalankan urusan-urusan teknis
operasional. Anehnya, meskipun tingkatan Keppres berada dibawah UU, namun
justru Keppres inilah yang secara de facto dijalankan secara efektif. Dalam
hal ini, beberapa opsi dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Meskipun
tingkatannya lebih rendah, namun Keppres ini berfungsi sebagai lex specialis
dari UU Pemerintahan Daerah. UU hanya mengatur bahwa kewenangan pertanahan
merupakan urusan wajib, namun ketentuan semacam ini masih memerlukan penjabaran
kedalam butir-butir yang lebih terinci. Dengan penafsiran ini, maka tidak dapat
dikatakan bahwa Keppres No. 34/2003 bertentangan secara penuh dengan UU
Pemerintahan Daerah.
b.
Secara
obyektif berbagai daerah kurang mampu menjalankan kewenangan pertanahan,
sehingga penyelenggaraan kewenangan pertanahan sendiri selama ini masih
dipegang oleh BPN sebagai perangkat Pusat. Oleh karena itu, lebih baik
kewenangannya-pun “dikembalikan” kepada Pusat atau Provinsi sebagai wakil
pemerintah Pusat. Apabila kemampuan daerah telah meingkat, maka urusan
pertanahan ini dapat dikembalikan kepada daerah berdasarkan prinsip otonomi
luas yang dimilikinya. Kasus pertanahan ini sekaligus menyadarkan kita bahwa
desentralisasi dan otonomi daerah tidak berarti pengalihan secara tiba-tiba
seluruh kewenangan dan sumber daya dari Pusat kepada Daerah. Prinsip
kemanfaatan dan efektivitas penyelenggaraan suatu urusan juga harus
dipertimbangkan dengan seksama sebelum terjadinya proses pengalihan tersebut.
Catatan Penutup
Kelima issu krusial yang dikemukakan diatas
hanyalah sebagian kecil dari “gunung es” permasalahan riil yang dihadapi oleh
jajaran pemerintah daerah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tantangan terbesar
adalah bagaimana menyelesaikan masalah tersebut melalui langkah-langkah yang
sistematis, sehingga dapat dicapai hasil yang optimal dan mampu menjadi sinergi
bagi pembangunan di daerah.
Dalam proses transisi menuju pemerintahan
daerah yang bersih, amanah, akuntabel, dan demokratis (good local governance),
adalah hal yang wajar jika praktek penyelenggaraan pemerintahan diwarnai dengan
berbagai masalah dan kekurangan. Namun, adanya berbagai masalah tadi bukanlah
merupakan pembenar terhadap kinerja pemerintah daerah yang rendah. Oleh karena
itu, yang harus segera dilakukan sekarang adalah membenahi berbagai dimenasi
manajemen pemerintahan daerah, baik pada tahap perencanaan, koordinasi, dan
pengawasan. Penyempurnaan aspek-aspek administrasi tersebut diyakini dapat
menjadi prasyarat dasar berlangsungnya pembangunan daerah secara optimal,
sekaligus mampu mengantarkan masa transisi menuju terwujudnya good local
governance.
Referensi
Iskandar, Israr,
2005, Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung, dalam Suara
Karya edisi 10 Maret.
Soesastro, Hadi,
tanpa tahun, Otonomi Daerah Dan Free
Internal Trade, tersedia online di http://www.pacific.net.id/pakar/hadisusastro/010522.html
Utomo,
Tri Widodo W., 2004a, Pilkada Langsung Dalam Kerangka Reformasi
Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis, dalam Jurnal Online “Inovasi”, PPI
Jepang, Vol. 2/XVI, November 2004, hal. 10 – 12
_____________,
2004b, “Implikasi Perubahan UU Pemerintahan Daerah Terhadap Aspek Kewenangan
dan Kelembagaan (Sebuah Pengamatan Awal)”, dalam Jurnal Ilmu Administrasi, STIA LAN Bandung Vol. 1 No. 4, 2004, hal.
353-364.
_____________, 2005, “Disorientasi Pelaksanaan Pilkada Langsung”, dalam Kaltim
Post tanggal 28-29 Maret 2005.
[1] Sebagian
besar paparan pada bagian ini pernah dipublikasikan di harian Kaltim Post
tanggal 28-29 Maret 2005 dengan judul “Disorientasi Pelaksanaan Pilkada
Langsung” (Utomo, 2005).
[2] Pengertian
“demokratis” diartikan bahwa pemilihan Kepala Daerah harus dilakukan secara langsung. Sistem
pemilihan melalui lembaga perwakilan (DPRD) sebagaimana yang terjadi pada masa
Orde Baru hingga periode berlakunya UU No. 22/1999, dinilai sudah tidak sesuai
dengan semangat demokratisasi dan desentralisasi. Terlebih lagi, pemilihan
Presiden juga sudah dilaksanakan secara langsung, sehingga pemilihan Kepala
Daerah-pun juga harus mengikuti model demokrasi di tingkat nasional. Selain
itu, dalam pasal 62 dan 78 UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD, maka DPRD tidak lagi memiliki tugas dan wewenang untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
[3] Beberapa
bagian dari paparan ini disadur dari tulisan penulis berjudul “Implikasi
Perubahan UU Pemerintahan Daerah Terhadap Aspek Kewenangan dan Kelembagaan
(Sebuah Pengamatan Awal)”, dalam Jurnal Ilmu Administrasi, STIA LAN Bandung Vol. 1 No. 4, 2004b, hal. 353-364.
[4] Analisis
pada makalah ini didasarkan pada draft pertama PP pengganti PP No. 8/2003, tanggal 8 Desember 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar