DALAM iklim kebebasan baru di daerah
sebagai akibat pemberlakuan otonomi luas, kemampuan membaca dan mengoptimalkan
potensi sangatlah penting. Sebab, meskipun terdapat konsep perimbangan sumber
daya antara Pusat dan Daerah, namun semangat otonomi lebih menghendaki agar
daerah dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya.
Bantuan Pusat ke Daerah baik yang berbentuk
dana, personalia maupun prasarana, semestinya hanya merupakan komponen
pelengkap untuk mendukung kapasitas daerah. Namun dalam prakteknya, kapasitas
asli daerah (terutama dibidang keuangan) sangatlah jauh dibanding kucuran yang
diperoleh dari pemerintah pusat. Hal ini dapat diamati dari proporsi PAD
(pendapatan asli daerah) terhadap APBD, yang ironisnya, sebagian besar daerah
otonom di Indonesia
hanya memiliki PAD dibawah 20% dari total APBD.
Dari kacamata positif dan optimis, harus
dikatakan bahwa rendahnya kemampuan tadi bukan disebabkan oleh kenyataan bahwa
daerah tersebut terbelakang, miskin sumber daya alam, terisolasi secara
geografis, tidak ditopang oleh partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha,
dan sebagainya. Seabrek alasan klasik itu hanyalah kambing hitam untuk menutupi
kegagalan suatu daerah dalam membangun kompetensi dirinya. Faktor penyebab yang
lebih rasional justru adalah kekurangmampuan daerah menemukenali dan memberi
nilai tambah terhadap setiap potensi yang ada di wilayahnya.
Dalam hubungan ini, ada dua bentuk ekstrim
kekurangmampuan yang sering dialami oleh banyak daerah. Pertama, state of
disorientation yaitu kondisi kurang tajamnya visi dan orientasi suatu
daerah terhadap asset potensial yang dimiliki sehingga memberi kontribusi yang
tidak signifikan terhadap pemasukan daerah. Kedua, state of uncontrolled
exploitation yaitu pengelolaan asset secara berlebihan untuk memaksimalkan
pendapatan namun berdampak buruk pada sektor atau pihak lain (negative
spillover). Kasus pertama direpresentasikan oleh Kabupaten Ciamis, sedang
kasus kedua direpresentasikan oleh Kota Bandung (Tulisan ini hanya akan
membahas kasus pertama).
CIAMIS adalah wilayah yang berciri agraris
dan sangat kaya dengan keindahan alam. Di kabupaten ini terdapat asset wisata
andalan untuk meraup pendapatan, yakni pantai Pangandaran. Potensi Pangandaran
sesungguhnya tidak kalah dengan Bali , namun
sayang berbeda dalam profesionalisme pengelolaannya. Pemkab Ciamis nampaknya
cukup puas dengan kondisi Pangandaran saat ini, sehingga tidak terlihat ada
upaya konkrit untuk mempromosikannya. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya
fasilitas wisata bertaraf internasional seperti rumah sakit dan super market
modern, tidak lengkap dan tidak efektifnya sistem transportasi (darat, laut dan
udara), kurangnya dukungan aspek keamanan (polisi, SAR), serta kurang
tersedianya media iklan skala nasional dan global, dan sebagainya.
Sementara di sektor perikanan, Ciamis
memiliki potensi pembenihan dan pembudidayaan ikan Gurame Soang. Gurame jenis ini
memiliki pertumbuhan yang sangat cepat hingga bisa mencapai 10-15 kg per ekor.
Sayangnya, sejak saat pembenihan, pengorganisasian melalui koperasi hingga
pemasarannya, kurang ditangani secara profesional. Jangankan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi kota-kota lain di Jawa, masyarakat setempat-pun rasanya
masih butuh penyadaran untuk ikut mempromosikan komoditi ini.
Kedua potensi tadi sesungguhnya bersifat complementary
(saling melengkapi) dan enforcing (saling memperkuat). Artinya, gurame
soang dapat saja dibudidayakan disekitar kawasan pantai Pangandaran, sekaligus
dibbina sebagai salah satu unsur wisata. Sayang sekali, Pemkab Ciamiis
nampaknya tidak melihat adanya interkoneksi antar kedua potensi
ini. Padahal, andai saja Ciamis dapat mengoptimalkan kedua potensi diatas,
bukan tidak mungkin pendapatan daerah ini akan menyamai daerah lain yang lebih
maju, misalnya Bandung .
PERLU dicatat disini bahwa meskipun Ciamis
memiliki kelemahan dalam pengolahan potensi atau assetnya, tidak menutup
kemungkinan bahwa mereka juga memiliki cerita sukses tentang penguatan sumber
pendapatan daerah. Disamping itu, kondisi disorientasi (kekurangmampuan bentuk
ke-1) seperti pada kasus Ciamis ini hanya merupakan case-study, yang
dapat saja terjadi di semua daerah di Indonesia .
Apa yang perlu dilakukan selanjutnya adalah
membuat analisa potensi dan pemetaan komoditas unggulan beserta strategi yang
dapat menjamin keseimbangan antara kepentingan ekonomis (target PAD) dengan
kebutuhan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Disamping itu,
otonomi hendaknya tidak dimaknakan sempit sebagai kewenangan mutlak suatu
daerah. Dalam kasus Ciamis misalnya, jika memang daerah tidak mampu mengelola
Pangandaran, maka akan lebih baik jika kewenangan pengelolaan kawasan wisata
ini diserahkan kembali kepada Pusat yang memiliki sumber daya
lebih baik. Demikian pula untuk mendorong produktivitas petani Gurame Soang,
pembinaan langsung dari departemen teknis sangat layak dipertimbangkan.
Dalam hubungan ini, dekonsentrasi mestinya
tidak selalu diartikan proses transformasi kewenangan DARI atas KE bawah.
Sebuah Kabupaten, bisa saja mendekonsentrasikan suatu urusan kepada Propinsi
atau Pusat. Misalnya, Kab. Ciamis yang kaya dengan potensi wisata (khususnya
pantai Pangandaran), namun memiliki sumber daya yg sangat terbatas untuk
mengelolanya. Akibatnya, potensi ini tidak bisa menghasilkan income sebagaimana
seharusnya. Maka, tidak ada salahnya urusan ini didekonsentrasikan ke
Prop. Jabar atau Pusat.
Mungkin ada pertanyaan, apakah dekonsentrasi
model ini tidak berbeda dengan Sentralisasi? Menurut saya, jelas berbeda. Dalam
sentralisasi, bukan hanya pengeloaan yang diserahkan, tetapi juga ownership dan
tanggungjawab utuh terhadap asset tersebut. Sedang dalam dekonsentrasi ini,
yang terjadi hanyalah upaya membagi tugas pengelolaan, pembiayaan dan
pertanggungjawaban kepada lebih dari satu unit organisasi. Artinya, manajemen
Pangandaran tidak terkonsentrasi di/oleh Kab. Ciamis.
Akhirnya, perlu kiranya dilakukan
“penyadaran” bagi daerah, bahwa tingginya PAD tidak secara serta merta berarti
tingginya kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tidak berada pada aras
material semata. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana Pemda bersama rakyat
membangun potensi daerah demi kemajuan bersama pula. Inilah hakikat otonomi
daerah yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar