SEIRING dengan proses reformasi politik
yang terus bergulir, pembenahan dimensi yuridis dan regulasi juga memerlukan
perhatian secara serius. Sebab jika kita cermati dengan lebih teliti,
permasalahan hukum dewasa ini merupakan sumber dari berbagai persoalan yang ada
di tengah-tengah masyarakat kita. Dari aparat dan institusi hukum yang
diindikasikan kurang bersih dan kurang professional, benturan antara satu
produk hukum dengan produk hukum lainnya, penegakan hukum yang inkonsisten,
hingga perumusan produk hukum yang tidak mencerminkan kepentingan orang banyak,
adalah contoh-contoh problema di bidang hukum yang selalu menghantui kita.
Padahal, sistem hukum dan tata hukum yang
baik dan tertib adalah prasyarat utama terciptanya tertib sosial sekaligus
tertib administrasi dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpa
pembenahan yang komprehensif terhadap permasalahan bidang hukum, maka upaya
kita mewujudkan visi pembangunan yang berkeadilan menuju masyarakat sejahtera,
akan mengalami hambatan.
Untuk itu, tulisan berikut mencoba
menguraikan anatomi dua permasalahan bidang hukum, serta beberapa arah penataan
yang diperlukan. Dalam tataran empirik, kedua issu dibawah ini merupakan
persoalan yang sering diungkapkan dan dipertanyakan oleh berbagai praktisi
pemerintahan, sehingga memerlukan klarifikasi dengan segera.
Evaluasi
dan Revisi Perda Bermasalah
Demi alasan menggenjot PAD, banyak daerah
yang lantas memberlakukan Perda yang berisi pungutan atau pembebanan finansial
atas kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih meningkatkan kemampuan keuangan
daerah, kebijakan tadi justru banyak menimbulkan biaya tinggi (high cost
economy) yang menghambat masuknya investasi ke daerah. pada gilirannya,
aktivitas ekonomi yang seret atau terganggu justru menjadi kurang mampu menjadi
sumber pendapatan daerah. Dengan kata lain, logika berpikir yang diterapkan
banyak daerah saat ini adalah “ingin untung secara cepat dan mudah”, namun
sesungguhnya mengandung bahaya pada jangka panjang. Logika ini semestinya
diubah, yakni dengan menciptakan kemudahan-kemudahan (seperti pengurangan
campur tangan, peningkatan subsidi, pemberian pemutihan dan dispensasi, bahkan
pengampunan pajak bila diperlukan), namun akan merangsang aktivitas ekonomi
yang secara akumulatif menjadi sumber baru yang dapat diandalkan pada masa
mendatang.
Beberapa ahli dan lembaga telah mengkaji
dampak buruk dari penerapan Perda retribusi yang berlebihan ini. Sebagai
contoh, Susastro (t.t.) bahwa Perda semacam itu mengakitabkan meningkatnya
hambatan perdagangan antar daerah, dari propinsi yang satu ke propinsi yang
lain atau dari kabupaten/kota yang satu ke kabupaten/kota yang lain. Sementara
itu, dari banyak kasus yang diteliti Akatiga (t.t.) pada industri konveksi,
logam dan kerajinan, tingkat keuntungan pengusaha yang masih bertahan, akan
lebih kecil ketimbang biaya kelancaran alias pungutan resmi maupun siluman yang
dikeluarkan. Sebuah industri logan
di Klaten pada penjualan 1997, mengeluarkan biaya pungutan 12 persen, sedang
keuntungannya hanya 2,18 persen. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi
pengusaha kecil, apalagi dalam menghadapi pasar bebas era globalisasi.
Dipastikan bakal tak mampu bersaing dengan produk impor. Tidak hanya bersifat ekonomis,
pungutan pun berdampak juga pada terjadinya erosi moral dan rusaknya
etika bisnis, yang tidak hanya di instansi pemerintah, tetapi juga merambah
dunia usaha.
Pemerintah sesungguhnya sudah berupaya
maksimal untuk mengatasi masalah ini. Pada tahun 2002 yang lalu, misalnya,
pemerintah telah melakukan penilaian atas 1.183 perda yang diterima Depdagri
dalam kurun waktu 7 Mei 1999 hingga Mei 2002. Diantara sekian Perda tersebut,
80 diantaranya dinyatakan dicabut (Media
Indonesia, 21 Nopember 2002). Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk
mengontrol seluruh Perda sangatlah terbatas. Belum lama ini, pemerintah melalui
Kepala Badan Pengkajian Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui
kesulitan untuk mengawasi atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan
pengusaha telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak
menyampaikan perda tersebut ke pusat. Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku,
baru 4 ribu perda yang disampaikan ke pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang
tidak disampaikan ke pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).
Mengingat kondisi sebagaimana tersebut
diatas, maka alangkah baiknya jika daerah dapat memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut:
·
Penyusunan
Perda hendaknya dilakukan seselektif mungkin, dalam arti benar-benar sesuai
kebutuhan riil daerah dan masyarakat dii wilayahnya. Disamping itu, penyusunan
sebuah Perda hendaknya juga dilakukan dengan mekanisme normatif yang berlaku,
seperti penyusunan naskah akademik, pengkajian dan analisis dampak yang mungkin
timbul, dan sebagainya.
·
Daerah
hendaknya juga berbesar hati untuk menyampaikan setiap Perda yang ditetapkan
kepada pemerintah Pusat. Sebab, walaupun daerah memiliki otonomi yang luas dan
pengawasan represif pemerintah Pusat sudah mulai berkurang, namun
penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap harus ditempatkan dalam kerangka
NKRI. Dengan demikian, penyampaian Perda bukan dimaksudkan untuk mengundang
intervensi Pusat, melainkan wujud solid dan harmonisnya hubungan Pusat –
Daerah.
·
Evaluasi
secara periodik terhadap Perda-perda yang ada perlu dilakukan dengan melibatkan
seluruh komponen masyarakat yang terlibat khususnya para pebisnis lokal.
·
Orientasi
legislator perlu dibenahi agar dalam proses regulation drafting tidak
hanya berpikir memperbesar pemasukan bagi kas daerah, tetapi lebih kepada upaya
meningkatkan mutu pelayanan publik.
Ketidakjelasan Sumber Hukum dan Tata
Urut Peraturan Perundangan
Dewasa ini terdapat indikasi adanya
pertentangan antara materi Tap MPR No. III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan, dengan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pasal 2 Tap MPR No. III/2000 dinyatakan
bahwa Tap MPR dan Keputusan Presiden termasuk dalam tata urutan peraturan
perundangan, namun ternyata tidak diatur dalam UU No. 10/2004 (pasal 7).
Perbedaan materi pengaturan diantara kedua produk hukum tersebut menimbulkan
beberapa kebingungan, antara lain:
·
Apakah
Tap MPR masih diakui sebagai bentuk peraturan perundangan dibawah UUD 1945 atau
tidak.
·
Apakah
UU No. 10/2004 merupakan lex specialis (hukum khusus) dari Tap MPR No.
III/2000 yang merupakan hukum umum (lex generalis) atau tidak.
·
Apakah
Keputusan Presiden masih berlaku dan dapat dibentuk pada waktu sekarang dan
yang akan datang, ataukah tidak. Pada pasal 7 (4) UU No. 10/2004 disebutkan
bahwa “Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi”. Klausul ini mengandung pengertian bahwa Keputusan Presiden masih dapat
berlaku dan Presiden masih memiliki kewenangan sah untuk membentuk Keputusan
Presiden. Namun dalam pasal 56 (Ketentuan Penutup) UU ini ditegaskan bahwa “Semua
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku,
harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”. Ketentuan ini menyiratkan bahwa Keputusan Presiden
merupakan produk hukum yang tidak dikenal lagi, sementara fungsi pengaturan dan
penetapan oleh Presiden pada masa setelah berlakunya UU ini, harus dituangkan
dalam bentuk Peraturan Presiden.
Terhadap ketidakjelasan aturan diatas, dapat ditarik beberapa penafsiran
hukum (rechts interpretatie) sebagai berikut:
·
Dilihat dari waktu
pengundangannya, Tap MPR No. III/2000 memang merupakan hukum yang mendahului (lex
anteriori) UU No. 10/2004 (lex posteriori). Namun dilihat dari
tingkatannya, Tap MPR No. III/2000 merupakan hukum yang lebih tinggi (lex
superiori) dibanding UU No. 10/2004 (lex inferiori). Dengan
demikian, UU No. 10/2004 tidak dapat dan tidak mungkin membatalkan muatan yang
telah diatur dalam Tap MPR No. III/2000. Ini berarti pula bahwa Tap MPR No.
III/2000 secara yuridis harus ditafsirkan masih terus berlaku. Dan oleh
karenanya, aturan-aturan dalam Tap MPR No. III/2000 tersebut masih memiliki
kekuatan hukum yang kuat dan pasti.
·
Jika
UU No. 10/2004 berfungsi sebagai lex specialis, maka Tap MPR No.
III/2000 ini secara otomatis menjadi tidak berlaku. Namun jika “tidak”, maka
Tap MPR No. III/2000 masih terus berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat.
Disamping itu, pasal 57 (Ketentuan Penutup) UU ini juga tidak secara eksplisit
menyatakan tidak berlaku terhadap Tap MPR No. III/2000. Dua produk hukum yang
dicabut secara tegas adalah UU No. 1 Tahun 1950 tertang Jenis dan
Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat, serta UU No. 2 Tahun 1950 tentang
Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara dan Berita
Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal. Itupun masih
disertai klausul bahwa UU tersebut dicabut sepanjang yang telah diatur
dalam UU No.
10/2004 ini. Dengan kata lain, UU No. 10/2004
merupakan hukum yang melengkapi (lex complementaire) ketentuan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan. Secara analog hal
ini dapat digunakan sebagai dasar pembenar bahwa Tap MPR No. III/2000 masih terus
berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat.
·
Mengacu
kepada kedua interpretasi hukum diatas, maka produk hukum berbentuk Keputusan
Presiden masih dapat dibuat dan tetap memiliki kekuatan hukum yang setingkat
dengan Peraturan Presiden. Justru munculnya produk hukum berbentuk Peraturan
Presiden dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan, karena akan terjadi kejelasan
bahwa Peraturan Presiden adalah produk hukum yang bersifat pengaturan secara
umum (regeling), sedang Keputusan Presiden adalah produk hukum yang
bersifat penetapan secara konkrit dan individual (beschikking). Dalam
aturan lama, Keputusan Presiden dapat berisi baik pengaturan maupun penetapan.
Dengan kata lain, Keputusan Presiden saat itu berkedudukan sebagai peraturan
perundang-undangan, sekaligus sebagai peraturan kebijaksanaan. Kondisi seperti
ini dapat menimbulkan kebingungan, perbedaan interpretasi, serta peluang untuk
disalahgunakan oleh Presiden. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan ini (UU
No. 10/2004), Keputusan Presiden hanya akan menyangkut hal-hal tertentu seperti
penunjukan / pengangkatan Menteri atau pejabat negara lainnya, pembentukan
panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan sebagainya.
Dalam konteks implementasi sumber hukum dan
tata urutan peraturan perundangan di tingkat daerah, dapat disimpulkan bahwa
baik Tap MPR No. III/2000 maupun UU No. 10/2004 masih memiliki kekuatan hukum
yang kuat, dan oleh karenanya harus tetap dipedomani dalam penyusunan peraturan
perundangan di daerah. Sejalan dengan hal itu, di tingkat daerah harus
dilakukan perubahan pola pikir tentang budaya hukum. Selama ini, Peraturan
Daerah hanya dilaksanakan dengan Keputusan Kepala Daerah (baik Gubernur maupun
Bupati/Walikota), sedangkan Keputusan tadi sesungguhnya masih ambivalen karena
bersifat mengatur sekaligus menetapkan.
Itulah sebabnya, Pemprop maupun
Pemkab/Pemkot khususnya Bagian/Biro Hukum sudah harus memilah-milah substansi
pengaturan mana yang semestinya masuk dalam ranah pengaturan, dan mana yang
termasuk domein keputusan. Secara kebetulan, hal ini telah dimungkinkan
oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pada pasal 146 diatur
bahwa “Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah”.
Dua persoalan bidang
hukum yang dikemukakan diatas, tentu hanya merupakan sedikit dari setumpuk
masalah yang ditemui dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Satu
hal yang harus diupayakan adalah bagaimana mewujudkan supremasi hukum (rule
of law) dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ketika rule of law telah dapat ditegakkan, maka reformasi politik akan dapat dijalankan
secara gampang dan berhasilguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar