DALAM sebuah kesempatan kampanye Capres di
Jakarta (7/9/04), SBY pernah melontarkan janji untuk mengubah mesin birokrasi
yang selama ini lambat dan tidak efisien. Sayangnya, beliau tidak menjelaskan
lebih jauh tentang strategi membangun birokrasi yang professional, target yang
harus dicapai selama masa kepemimpinannya, serta rencana detil (action plan)
dari program reformasi birokrasi tersebut.
Selama masa kampanye Pemilu lalu (baik
Legislatif maupun Presiden), isu pembenahan administrasi publik nampaknya
terkalahkan oleh isu-isu lain yang lebih aktual seperti penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi, pendidikan dan pengangguran, serta masalah pemulihan
stabilitas ekonomi makro. Namun sesungguhnya, urgensi reformasi birokrasi tidak
kalah mendesak dibanding dengan pembenahan di bidang-bidang lainnya.
Beberapa alasan yang mendasari perlunya
dilakukan reformasi birokrasi secara segera, antara lain adalah tingginya
indeks korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di
posisi ke tujuh terkorup diantara 102 negara. Sementara mengenai country
risk (indeks tingkat risiko), dari 185 negara yang di survei, Indonesia
menempati urutan ke-150. Peringkat ini hasil dari kompilasi pemeringkatan oleh
Marvin Zonish & Associate, Standard & Poors, Moody Investor Services,
Economist Intelligence Unit, dan World Market Research Centre.
Dari aspek pembangunan SDM, Human
Development Report 2003 yang dipublikasikan oleh UNDP melaporkan bahwa dari 173
negara di dunia, Indonesia ternyata berada di posisi 110, di bawah Philipina,
Cina, dan bahkan Vietnam. Selain itu, World
Investment Report (WIR) 2003 membuat peringkat indeks kinerja Foreign Direct
Investment (FDI) 1999-2000, diantara 140 negara, Indonesia ternyata
menempati urutan ke-138, dua di bawahnya adalah Gabon dan Suriname. Sedangkan
periode 1994-1996, peringkat Indonesia
masih berada di posisi ke-52.
Gambaran umum kondisi bangsa Indonesia
tersebut berakar dari permasalahan dan menjadi titik sentral yaitu antara lain
masih sangat lemahnya fungsi penyelenggara negara baik di fungsi Eksekutif,
Legislatif maupun Yudikatif. Pada gilirannya, kelemahan penyelenggara negara
tersebut telah menyebabkan tidak mampunya bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan
suatu kepemerintahan yang baik. Hal tersebut tentu saja berdampak terhadap
keseluruhan aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Secara langsung maupun tidak
langsung, kondisi diatas diakibatkan pula oleh sistem administrasi negara dan
kualitas SDM Aparatur yang rendah. Hambatan berupa jalur birokrasi yang lambat
dan berbelit-belit (red-tape), serta tingginya ‘biaya siluman’ untuk
memperlancar proses perijinan dan proses-proses administratif lainnya, adalah
sedikit contoh dari praktek birokrasi yang menghambat pembangunan nasional. Dengan
kata lain, dalam kinerja makro pembangunan nasional yang memprihatinkan tadi,
sesungguhnya terdapat kontribusi dari sektor administrasi publik. Itulah
sebabnya, pembangunan aparatur dan pembenahan sektor administrasi publik harus
dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka kerja reformasi
nasional secara menyeluruh.
Sehubungan dengan hal tersebut,
Pemilu 2004 dan terpilihnya Presiden baru mestinya dijadikan sebagai momentum
yang tepat untuk mencanangkan program reformasi nasional dalam rangka
mewujudkan kepemerintahan
yang bersih, baik, dan kuat (clean, good and strong governance). Dan
bersamaan dengan selesainya Pemilu ini, DPR telah pula menyetujui revisi UU
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu butir pokok dalam revisi tadi
adalah pengaturan tentang penyelenggaraan pemilihan Kepala dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung.
Dalam tahap implementasinya, lahirnya UU
baru tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) ini ternyata mengundang polemik
serta mendapat reaksi cukup keras dari berbagai pihak. Dari penolakan yang
disampaikan Dewan Presidium Formas (Suara Merdeka, 11/10/04) hingga
gagasan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (Kompas,
19/10/04). Lahirnya UU ini sekaligus menandai babak baru penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang selama ini masih carut-marut.
Secara sekilas, butir-butir perubahan UU
tadi nampaknya memang telah mencoba seoptimal mungkin untuk membangun tatanan
pemerintah dan masyarakat daerah yang lebih demokratis, melalui mekanisme
pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung. Namun jika dicermati
lebih dalam, aturan baru ini mengandung potensi permasalahan yang cukup
kompleks.
Dalam hal pengajuan calon Kepda, misalnya,
UU ini menentukan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang
memiliki hak untuk itu (pasal 56). Kata-kata “partai politik atau gabungan
partai politik” ini dapat menimbulkan polemik, mengingat selama ini usulan
calon Kepda datang dari Fraksi di DPRD (bukan dari partai politik). Selain itu,
dengan pola “satu pintu” ini akan tertutup peluang bagi calon independen untuk
menjadi Kepala Daerah.
Dilihat dari prinsip efektivitas, mungkin
saja pola satu pintu ini lebih baik. Namun secara filosofis hal ini tidak akan
dapat mewujudkan cita-cita untuk membabat praktek money politics di
daerah. Sebagaimana dilaporkan berbagai media, dewasa ini tersebar perilaku
korup dari para anggota dewan serta perselingkuhan politik antara DPRD dengan
Bupati/Walikota. Kondisi ini terjadi karena DPRD menurut UU 22/1999 memiliki
kekuasaan yang luar biasa, dari memilih Kepda hingga meminta
pertanggungjawabannya. Dengan model pemilihan langsung, praktek kotor tersebut
diharapkan dapat dihindari. Inilah sesungguhnya esensi dasar dari pemilihan
Kepda secara langsung.
Sayangnya, UU baru ini tidak memberi “hak
inisiatif” kepada rakyat untuk mengajukan calonnya tanpa melalui partai
politik. Dengan kata lain, rakyat hanya memiliki “hak pilih” dari calon-calon
yang telah ditentukan oleh partai politik. Akibatnya, parpol masih tetap
menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan peran sebagai “mesin
kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan
magnet terjadinya money politics. Meskipun demikian, pusaran korupsi
diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun kebelakang. Justru ada
kecenderungan bahwa money politics ini lebih menyebar dan menjangkau
langsung kepada anggota masyarakat.
Logikanya, money politics akan
mengikutii dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya UU 5/1974, pemerintah
pusat memiliki hak untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga 5 calon yang
diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian terbesar kasus korupsi
pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada era UU 22/1999, korupsi
dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena memang DPRD-lah pemegang hak
pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika suara (hak pilih) didistribusikan
secara langsung kepada perseorangan, maka medan
korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut.
Memang benar bahwa pasal 59 memerintahkan
parpol atau gabungan parpol untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi
calon perseorangan diluar kader partai. Namun pasal ini kelihatannya hanya akan
menjadi pemanis, karena hampir mustahil sebuah partai memiliki goodwill untuk
mencalonkan orang yang bukan kadernya menjadi Kepala Daerah.
Permasalahan lain yang menonjol dari UU ini
adalah tiadanya hubungan hierarkis dan koordinatif antara KPU dengan KPU
Daerah. Padahal, KPU kabupaten/kota dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
KPU propinsi, sementara KPU propinsi berhubungan secara struktural dengan KPU.
Celakanya, UU tadi justru memerintahkan KPUD untuk bertanggungjawab kepada
DPRD. Ketentuan ini jelas sekali tidak masuk akal. Pertanggungjawaban proses
pemilihan Kepda secara langsung tidak mungkin diberikan kepada institusi yang
memiliki wewenang untuk mengajukan calon Kepda.
Bayangkan, seandainya DPRD daerah tertentu
memiliki 5 fraksi, dan setiap fraksi memiliki calon Kepda tersendiri, maka di
daerah tersebut terdapat 5 pasangan calon Kepda-Wakepda. Dalam kasus seperti
ini, persaingan ketat diantara ke-5 fraksi tersebut tidak terhindarkan.
Kemenangan pasangan dari fraksi tertentu bukan tidak mungkin menimbulkan
ketidakpuasan dan protes dari fraksi lainnya. Padahal, seluruh fraksi tadi
sama-sama merupakan alat kelengkapan pada lembaga yang sama, yakni DPRD.
Bagaimana mungkin mereka dapat menerima pertanggungjawaban dari KPUD secara
kolektif, sementara mereka memiliki kepentingan yang parsial?
Disini nampak sekali bahwa klausul “KPUD
bertanggungjawab kepada DPRD” (pasal 57) membuka potensi terjadinya 2 jenis
konflik, yakni konflik internal dalam DPRD (antar fraksi), serta konflik antara
KPUD dengan DPRD itu sendiri. Potensi konflik ini semakin menguat ketika UU
Pemda tidak menyediakan aturan dalam hal pertanggungjawaban KPUD ditolak oleh
DPRD.
Disinilah sesungguhnya KPU (pusat) dapat
memainkan perannya selaku koordinator, fasilitator, pengawas / pengendali,
sekaligus penanggungjawab akhir dari seluruh proses Pilkada secara langsung.
Dengan dikebirinya peran KPU, maka ancaman terjadinya deadlock dalam
proses Pilkada semakin nyata membayangi implementasi UU baru ini.
Uniknya, peran KPUD sendiri sebenarnya juga
sudah terkebiri oleh UU Pemda ini. Sebab, meskipun KPUD masih memiliki hak
membuat Keputusan untuk menjalankan hal-hal strategis dalam pelaksanaan
Pilkada, namun substansi, tahapan, persyaratan dan hal-hal teknis lainnya telah
diatur secara amat rinci dan limitatif oleh UU ini. Tidak kurang dari 64 pasal
dialokasikan untuk mengatur masalah pemilihan Kepda secara langsung. Padahal,
aturan-aturan teknis penyelenggaraan pemilu langsung ini semestinya dilakukan
oleh (diserahkan kepada) KPUD. Dengan kata lain, RUU Pemda ini secara dini
telah membatasi discretionary of power dari KPUD.
Paparan diatas menyiratkan bahwa dinamika
politik lokal di Indonesia
dalam waktu dekat ini akan cukup panas dan bergejolak. Ketergesaan dalam
bertindak dan ketidakjelasan aturan dalam UU Pemda, adalah kontributor utama
terhadap kemungkinan munculnya dinamika tadi. Yang paling menyedihkan,
pemerintah dan masyarakat daerah nampaknya masih banyak dipandang sebagai
ladang eksperimen politik bagi elit-elit tertentu.
Pemberlakuan UU 22/1999 yang terkesan
terburu-buru dan “dipaksakan” adalah eksperimen yang pertama. Dampaknya,
persoalan muncul disana sini seperti pemekaran wilayah yang tidak terkendali,
konflik vertikal dan horisontal antar unit pemerintahan, penggelembungan
kelembagaan Pemda, korupsi legislatif, dan sebagainya. Dan ketika UU ini baru
berjalan efektif 3 tahun lebih, tiba-tiba Revisi UU 22/1999 telah ditetapkan
secara terburu-buru pula. Instrumen Pilkada secara langsung yang sarat masalah,
adalah salah satu bukti baru betapa eksperimen politik lokal itu tengah
berlangsung secara kasat mata.
Pertanyaannya, adakah eksperimen tadi mampu
menghasilkan manfaat optimal bagi masyarakat lokal, ataukah elit-elit politik
lokal dan nasional yang akan tetap bermahkotakan penderitaan rakyat? Waktulah
yang akan membuktikan segalanya, apakah kabinet SBY – Kalla mampu mewujudkan
janji-janjinya.
Artikel ini dimuat dalam Majalah Ilmiah “Inovasi”, Vol.3,
XVII Maret 2005,
PPI Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar