Abstract
Diskursus tentang
kaitan antara demokrasi dengan dimensi pembangunan masih terus berlangsung dan
nampaknya tidak akan menemukan titik temu. Banyak pihak masih masih kurang
yakin apakah demokrasi merupakan keluaran dari proses pembangunan atau syarat
untuk berjalannya pembangunan. Selain itu, belum ada kesepakatan apakah
demokrasi merupakan pemicu atau peredam konflik. Tulisan ini mencoba
menganalisa hubungan diantara variabel tadi, baik dari sudut pandang akademis
maupun fakta empiris di Indonesia .
Secara umum tulisan ini mengajukan kesimpulan bahwa demokrasi dan pembangunan
adalah dua hal yang berbeda namun terkait satu sama lain dan tidak perlu
dipandang secara dikotomis.
Untuk mendorong
terwujudnya kedua hal tadi secara bersamaan, kebijakan desentralisasi merupakan
pilihan yang tepat. Otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan good local
governance. Dan adalah ketika good local governance dapat diterapkan secara
luas pada seluruh jenjang struktur birokrasi dan masyarakat, maka kinerja
pembangunan akan meningkat dengan sendirinya sementara rezim demokratis juga
dapat ikut terbangun.
Academic discourses
on the relation between democracy and developmental issues are still on going.
Experts have doubted whether democracy is an outcome of
development
or democracy is a prerequisite for development. Similarly, there is no agreement whether democracy
is a trigger or a buffer for conflict. This paper examines the relation between
the two variables, both from literature viewpoint and empirical evidence with
particular reference to Indonesian case. The general feature in this paper is
that democracy and development is compatible each other, but there is no direct
correlation between the two.
In order to realize
the two variables simultaneously, decentralization framework is believed to be
the best choice. Regional autonomy policy will creates good local governance.
And when good local governance can be widely implemented, development
performance might be significantly improved while democratic regime would also
be positively constructed.
Pengantar
Hubungan antara demokrasi dan pembangunan
akhir-akhir ini kembali mendapat perhatian internasional. Pada tahun 2002,[1] UNESCO
menyelenggarakan International Panel on Democracy and Development di
Paris. Hasil pertemuan tersebut telah ditulis dalam bentuk buku oleh mantan
Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali (et.al., 2002) berjudul The Interaction
Between Democracy and Development. Boutros-Ghali mengatakan bahwa demokrasi[2] dan
pembangunan[3]
merupakan dua hal yang saling melengkapi (complementary) dan memperkuat
(reinforce). Sebagai contoh, demokrasi dan pembangunan dapat
berkontribusi secara bersama-sama dalam mencegah konflik dan menciptakan
kedamaian.
Disini nampak jelas bahwa Boutros-Ghali
berasumsi telah tercapai sinergi antara demokrasi dan pembangunan. Padahal,
contoh di berbagai negara mengilustrasikan bahwa kedua kondisi tadi tidak dapat
dicapai secara sempurna pada saat yang bersamaan. Memang di kalangan
negara-negara maju, demokrasi dan pembangunan ibarat dua sisi dari mata uang
yang sama. Namun di kalangan negara berkembang, ada satu polemik atau
pertanyaan yang belum tuntas terjawab, yaitu: apakah demokrasi dan pembangunan
merupakan dua variabel yang saling mendukung dan dapat berjalan seiring
(fungsional/ komplementer), ataukah keduanya saling meniadakan dan tidak
mungkin dicapai secara bersamaan (trade-off)? Dengan kata lain, ada satu
hipotesa yang belum terjawab secara tuntas hingga saat ini, yaitu apakah
variabel demokrasi dan variabel pembangunan merupakan dua hal yang konvergen
ataukah divergen?
Kalau kita amati fakta-fakta empiris bidang
sosial dan ekonomi, nampaknya demokrasi dan pembangunan lebih merupakan dua kutub
yang saling berseberangan dan saling menolak (trade-off). Artinya, jika
kita ingin berkonsentrasi pada pembangunan sosial ekonomi dalam rangka
peningkatan standar hidup masyarakat, maka dinamika politik dan demokrasi perlu
dibatasi. Sebaliknya jika demokrasi yang diperjuangkan, maka kita harus siap
untuk membayarnya dengan penurunan kinerja pembangunan.
Pola pikir yang mengkaitkan antara
demokrasi dengan pembangunan selama ini diterapkan pada konteks negara (state),
namun sebenarnya dapat pula dipakai untuk menganalisis kondisi di tingkat
daerah di wilayah Indonesia ,
terutama pasca pemberlakuan desentralisasi secara luas. Salah satu contoh,
otonomi daerah memberi legitimasi dilakukannya pemilihan Kepala Daerah secara
langsung (Pilkadal). Tujuan Pilkadal tidak lain untuk menggairahkan kehidupan
demokrasi di tingkat akar rumput. Namun ekses dari Pilkadal (bahkan jauh
sebelum Pilkadal itu dimulai) sudah diiringi dengan berbagai peristiwa yang
merugikan proses pembangunan di daerah, seperti demonstrasi berlebihan dan
pertentangan antar kelompok. Ilustrasi tadi menggambarkan bahwa upaya membangun
rezim demokrasi di daerah tidaklah sesederhana yang dikemukakan Boutros-Ghali.
Pada bagian berikut akan dicoba dikemukakan
kerangka makro teoretis tentang rezim pembangunan yang demokrasi, disusul
dengan analisa mikro empiris tentang keterkaitan antara demokrasi dengan
pelaksanaan pembangunan dan munculnya konflik-konflik sosial di Indonesia .
Konsepsi Developmental Regime dan
Democratic Regime
Pada awalnya, konsep developmental state
(negara pembangunan) dikemukakan oleh Chalmers Johnson (1982) dengan merujuk
pada kasus Jepang. Konsep ini dapat dikatakan sebagai bentuk ideal birokrasi
Weberian yang menempatkan posisi birokrasi tidak dalam konteks negara sosialis
(yang dicirikan oleh perencanaan dan manajemen yang terpusat oleh negara) namun
tidak pula dalam konteks pasar bebas (yang dicirikan oleh aktivitas ekonomi
yang tanpa rencana). Suatu negara yang mengakui hak kepemilikan individual (private
ownership) berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah (administrative
guidance atau gyōsei shidō) seperti itulah, yang disebut sebagai
rezim negara pembangunan (plan-rational capitalist developmental state).
Menurut Woo-Cumings (1999: 1), munculnya negara seperti ini merupakan respon
wilayah negara tertentu terhadap dominasi dunia oleh Barat.
Sementara itu, Leftwich (1996: 284)
mendefinisikan developmental states sebagai suatu negara yang sistem
politik domestik serta hubungan luar negerinya membentuk sebuah kekuatan,
otoritas, otonomi dan kemampuan yang memadai di tingkat pusat untuk menentukan
dan mendorong terwujudnya tujuan-tujuan pembangunan, baik melalui penciptaan
dan perbaikan kondisi-kondisi bagi pertumbuhan ekonomi, pelaksanaan
fungsi-fungsi ekonomi secara langsung, maupun gabungan dari dua hal tersebut (states
whose internal politics and external relations have served to concentrate
sufficient power, authority, autonomy, competence and capacity at the center to
shape, pursue and encourage the achievement of explicit developmental
objectives, whether by establishing and promoting the conditions of economic
growth, or by organizing it directly, or a varying combination of both).
Sementara dalam tulisannya yang lain, Leftwich (2000: 167, 175-176) menulis
bahwa:
The
developmental state (or developmental regime) is a state whose political and
bureaucratic elites have generally achieved relative autonomy from
socio-political forces in the society and have used this in order to promote a
program of rapid economic growth with more or less rigor and ruthlessness … the
developmental regime is typically driven by an urgent need to promote
socio-economic development, and to win legitimacy by delivering steady
improvement in the material and social well being of its citizens.
Leftwich (2000: 132, 153-154; 1996: 280)
juga mengungkapkan bahwa negara-negara yang dapat digolongkan kedalam developmental
states ini adalah Singapura , Malaysia , Botswana ,
Mauritius , Thailand , Indonesia ,
China , Taiwan , dan South Korea . Sedangkan
negara-negara yang tidak termasuk kategori developmental states ini
adalah Venezuela, Costa Rica, Jamaica, India, Gambia, Africa Selatan, Zaire,
Bolivia, Argentina, Peru, Haiti, Nigeria, Philipina, dan Pakistan. Penulis
lain, Schneider (1999: 278) menambahkan negara Italia, Jerman, Perancis ,
Mexico , Brazil dan
Jepang sebagai developmental states.
Empat negara Asia Timur seperti Jepang , Korea ,
dan Taiwan
(disamping Hongkong) adalah contoh terbaik sebuah developmental state.
Negara-negara ini dapat mencapai keberhasilan yang menakjubkan karena
pemerintahannya memiliki kekuasaan untuk mengatur berbagai hal mendasar bagi
suksesnya aktivitas ekonomi, yaitu: 1) menghimpun investasi yang besar; 2)
menjalankan rencana ekonomi nasional; 3) memobilisasi peran swasta terhadap
pengelolaan sumber daya yang terbatas; 4) mensinergikan berbagai urusan bisnis
yang dikelola secara individual; 5) merealisasikan target-target spesifik dalam
dunia industri; 6) mengurangi tekanan-tekanan politik dari pihak-pihak tertentu
seperti organisasi buruh dan konsumen; 7) melindungi ekonomi dalam negeri dari
penetrasi modal asing yang berlebihan; dan 8) melaksanakan program yang
mendatangkan produktivitas secara berlanjut serta didukung oleh teknologi
canggih dan market shares yang terus meningkat (Pempel, 1999: 139).
Pempel (ibid.) dan Johnson (1999: 44) lebih
lanjut menjelaskan bahwa developmental state (hatten-shiko-kata kokka)
merupakan salah satu bentuk ideal sebuah negara, disamping regulatory state (kisei-shiko-kata
kokka); dimana keduanya diklasifikasikan berdasarkan hubungan negara dengan
proses ekonomi domestik. Amerika Serikat dan Inggris adalah contoh klasik regulatory
state. Negara dengan bentuk regulatory state ini dicirikan oleh misi
dasar mereka untuk menerapkan aturan yang adil (fair rules) dalam
kompetisi pasar, serta kedudukannya sebagai wasit dalam perselisihan usaha (private
market disputes). Produktivitas ekonomi dalam bentuk negara ini adalah
hasil dari berbagai transaksi jangka pendek. Sedangkan developmental states
lebih meletakkan misinya untuk membangun ekonomi jangka panjang. Secara aktif
dan teratur, pemerintah melakukan intervensi dalam kehidupan ekonomi pasar
dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing produk domestik di pasar global.
Paparan diatas mengilustrasikan bahwa
konsep pembangunan (development) dan negara pembangunan (developmental
states) merupakan konsep yang berhubungan dengan pertumbuhan dan kinerja
ekonomis. Namun pemahaman tentang pembangunan sendiri sesungguhnya sangat luas.
Sebagaimana diutarakan oleh Leftwich (2000: 17-59), pengertian pembangunan
dapat meliputi 12 kondisi sebagai berikut:
Mengingat cakupan yang sedemikian luas,
maka penyederhanaan definisi pembangunan sebagai pertumbuhan dan kinerja
ekonomis, cukup beralasan. Tanpa maksud untuk mengabaikan pengertian lainnya,
pertumbuhan ekonomi memang menjadi indikator yang paling lazim untuk mengukur
tingkatan kinerja pembangunan suatu negara.
Adapun ciri-ciri developmental
state menurut Leftwich (2000: 160-167) terdiri dari tujuh hal, yakni: 1) adanya elit politik
yang memiliki dedikasi kuat untuk melakukan pembangunan (a dedicated developmental elite); 2) adanya pejabat/lembaga pemerintah yang memiliki otonomi dan kewenangan
untuk menjalankan pembangunan (relative autonomy for the
state apparatus); 3) adanya birokrasi yang kompeten dan mampu merangsang
kehidupan ekonomi (a competent and insulated economic
bureaucracy); 4) adanya kemandirian dari unsur masyarakat sipil (an empowered
civil society); 5) adanya kapasitas untuk mengelola kepentingan ekonomi
lokal maupun asing (a capacity to manage effectively local and foreign economic interest); 6) adanya keseimbangan dalam penerapan fungsi represi / tekanan (a varying
balance of repression); serta 7) adanya
pemerintahan dengan legitimasi dan kinerja yang kuat (legitimacy
and performance).
Negara-negara yang tidak memenuhi definisi
dan/atau kriteria pembangunan diatas, diklasifikasikan sebagai non-developmental
states. Dalam hal ini, non-developmental states menjelma kedalam
beberapa bentuk antara lain negara maling atau predatory state (Pareto,
1966; Evans, 1995), negara lemah atau weak state (Joe Migdal, 1987,
1988, 1994), dan negara lunak atau soft state (Gunnar Myrdal, 1970).
Myrdal menggunakan konsep soft state untuk
menggambarkan lambatnya pembangunan di India selama 20 tahun semenjak
kemerdekaannya (Leftwich, 1999: 80). Disini, soft state dicirikan oleh
rendahnya disiplin sosial, buruknya kualitas legislasi dan regulasi,
ketidaktaatan terhadap hukum, kolusi antara pejabat dengan pihak-pihak
tertentu, serta penolakan masyarakat pada semua level untuk melakukan control
dalam implementasi kebijakan (a general lack of social discipline, deficiencies
in legislation, lack of obedience to rules and directives, collusion
and a general inclination of people in all strata to resist public controls and
their implementation). Termasuk juga dalam ciri-ciri soft state ini
adalah korupsi. Akibatnya, negara bercorak soft state ini tidak mampu
menjalankan pembangunan sebagaimana mestinya (ibid.).
Hal senada dapat ditemukan dalam tulisan Chang
(1999: 183). Disini, Myrdal berargumen bahwa alas an utama terjadinya stagnasi
ekonomi di berbagai negara berkembang adalah tiadanya konsep hard state
(institutionalisasi) yang dapat mengatasi kepentingan-kepentingan konservatif
dalam proses reformasi sosial dan transformasi ekonomi.
Sementara itu, Migdal mengajukan konsep
tentang weak states, yaitu negara yang memiliki kapabilitas rendah untuk
mengatur masyarakat, mengatur hubungan-hubungan sosial, menghimpun sumber daya,
dan menggunakan sumber daya tadi sesuai peruntukannya (Leftwich, 1999: 97-98).
Adapun konsep Pareto tentang predatory states berarti adanya penggunaan
suatu barang atau hak miliki dengan cara tidak sah. Dalam kondisi predatory tadi,
sekelompok kecil orang (yakni para penguasa) memperoleh keuntungan atas
kelompok orang banyak dengan menggunakan negara sebagai mesin untuk mengeruk
keuntungan (state as engine of predation) (ibid: 100).
Dari formulasi yang dikembangkan Pareto,
Evans memberikan definisi predatory states sebagai negara yang
menghimpun berbagai surplus yang tidak bersifat investasi (those that
extract such large amounts of otherwise investable surplus) dan hanya
menyediakan sedikit fasilitas untuk pemenuhan barang-barang publik (collective
goods), sehingga pada gilirannya menghambat proses transformasi ekonomi.
Mereka yang memegang kekuasaan melakukan pencurian tanpa mengindahkan nasib
rakyatnya. Situasinya tidak lebih dari seekor predator yang berhadapan dengan
mangsanya (ibid.).
Konsepsi tentang weak states dan predatory
states ini sering dijadikan sebagai contoh untuk menjelaskan kegagalan,
kemunduran, atau lambatnya proses pembangunan di suatu negara (ibid: 96). Dan
salah satu hal yang perlu dilakukan adalah merubah kondisi non-developmental
state dengan cara mempromosikan konsepsi demokrasi dan good governance (democratic
good governance).
Mengenai democratic state atau democratic
regime ini, Leftwich (2000: 173-174) memberi definisi bagi demokrasi dalam
arti minimal, yakni merujuk pada sebuah sistem politik dimana masyarakat,
partai politik, dan berbagai kelompok bebas untuk mengekspresikan dan
merealisasikan kepentingannya berdasarkan perdamaian, persaingan berbasis
peraturan, negosiasi dan kerjasama. Dalam prakteknya, pengertian demokrasi
diatas menjelma dalam bentuk pemilihan umum secara bebas dan reguler, suksesi
pemerintahan secara damai, rendahnya hambatan untuk menumbuhkan partisipasi
politik, serta adanya perlindungan terhadap hak dan kebebasan sipil maupun
politik.
Berdasarkan tingkat kemampuan menjalankan
pembangunan (kadar developmental dalam suatu negara), Leftwich membagi
negara demokratis (democratic states) menjadi 4 (empat), yaitu:
1.
Negara
demokrasi pembangunan yang didominasi oleh satu partai (Jepang , Botswana ,
Singapura).
LDP (Liberal
Democratic Party) di Jepang, PAP (People’s Action Party) di
Singapurea, dan Democratic Party di Botswana adalah partai politik yang
dominan dan menguasai baik di parlemen maupun kabinet (the rulling party).
Faktor kunci yang menjadikan mereka mampu untuk mengkonsentrasikan kekuasaan
yang dimiliki untuk kepentingan pembangunan adalah: kondisi ekonomi yang
relatif sudah maju, tidak banyaknya kelompok kepentingan dan lemahnya perbedaan
kelas dalam partai, kondisi sosio-kultural yang relatif homogen, serta tidak
adanya aparat militer di tubuh partai. Kondisi ini pada gilirannya menjadi
dasar bagi kepemimpinan nasional untuk membangun kapasitas negara dalam
pelaksanaan program pembangunan. Dengan kata lain, kadar demokrasi sangat
tergantung pada hegemoni partai yang tidak tergoyahkan (unchallenged
hegemony of the party). Dalam corak yang pertama ini, penguasa negara
memiliki otoritas dan kebebasan yang luas (the relative autonomy of the
state) untuk menentukan strategi pembangunan.
2.
Negara
demokrasi pembangunan atas dasar koalisi (Mauritius ,
Malaysia )
Di negara dengan
tipe ini terdapat asumsi bahwa jika demokrasi ingin ditegakkan, solusinya
terletak pada koalisi politik. Dan jika pembangunan ingin dipelihara dan
ditingkatkan, berbagai kesepakatan harus dicapai diantara partai-partai besar
yang ada. Tipe negara seperti ini biasanya muncul dalam masyarakat yang
dicirikan oleh perbedaan-perbedaan yang tajam dalam hal etnis, budaya dan
agama. Bahkan pengalaman menunjukkan bahwa banyak kelompok koalisi lahir
sebagai akibat dari krisis ekonomi dan politik yang mengantarkan pada
terbentuknya konsensus politik tentang strategi pembangunan. “Barisan Nasional”
di Malaysia
adalah contoh jelas tentang koalisi dan konsensus politik. Dalam corak yang
kedua ini, meskipun otoritas dan kebebasan untuk menentukan strategi
pembangunan (relative autonomy) lebih lemah dibanding corak pertama,
namun mereka dapat menghasilkan stabilitas ekonomi politik sebagai syarat
berjalannya proses pembangunan.
3.
Negara
demokrasi non-pembangunan berdasarkan kompromi kelas (Venezuela , Afrika Selatan)
Tipe negara ini
merupakan pilihan terbaik bagi masyarakat yang memiliki ciri-ciri: kelas adalah
sumber perpecahan utama, kekuatan dan kepentingan politik utama berpihak pada
kelas yang terkuat sehingga membentuk gap dengan kelas lainnya, serta
adanya perubahan sektarian akan mengancam kepentingan lain secara fundamental.
Perbedaan antara corak negara ini dengan corak kedua (negara koalisi) terletak
pada dua hal, yakni
·
Asumsi
yang mendasari demokratisasi di negara bercorak kompromi kelas adalah bahwa
“praktek politik yang demokratis tidak harus digunakan sebagai dasar terpenting
bagi kehidupan ekonomi kapitalis”.
·
Di
negara bercorak kompromi kelas telah ada kesepakatan yang jelas tentang
batas-batas kewenangan. Ini berarti, relative autonomy dari para
penguasa negara lebih lemah dibanding pada bentuk / corak kedua.
Pengalaman negara Venezuela
mengilustrasikan dengan jelas bahwa jika demokrasi ingin dipertahankan, maka
praktek politik harus didasarkan pada koalisi, kompromi dan kehati-harian,
sementara reformasi yang serius terancam menjadi tersendat. Di Venezuela, demokrasi hanya dapat bertahan
jika ada pakta dan koalisi antar elit, dimana setiap partai dijanjikan mendapat
bagian untuk posisi di pemerintahan.[4] Kompromi
semacam ini merupakan mekanisme yang jauh lebih baik sebagai media konsolidasi
demokrasi dari pada merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan peluang
usaha dan keadilan sosial ekonomi yang lebih besar. Pada tahun 1980-an,
merosotnya pendapatan negara dari minyak dan membengkaknya hutang luar negeri
membuat kemampuan anggaran pemerintah Venezuela menurun untuk membiayai
kompromi-kompromi dalam pakta kesepakatan antar elit. Akibatnya, legitimasi
politik juga merosot total. Kasus Afrika Selatan pasca era apartheid juga
mengindikasikan bahwa negara demokrasi berbasis kompromi kelas cenderung
memperlambat dan membatasi laju pembangunan.
4.
Negara
demokrasi non-pembangunan dengan pola partai pengganti atau alternating-party
(Jamaika, Kosta Rika)
Tipe negara ini
muncul dalam hal tidak adanya partai politik yang berkuasa secara tunggal,
issu-issu pluralisme etnis / budaya / agama tidak begitu menonjol dalam
politik, serta tidak terdapat corak kompromi kelas karena partai yang saling
bersaing adalah partai-partai lintas kelas (cross-class parties). Tipe
negara ini hanya dapat menyelamatkan stabilitas demokrasi ketika partai-partai
politik besar lintas kelas telah mencapai kesepakatan tentang.kebijakan
pembangunan. Di Kosta Rika, demokrasi dapat bertahan dengan kondisi seperti
ini, walaupun terjadi pertumbuhan yang melambat dan sedikit penurunan dalam
kesenjangan sosial. Namun di Jamaika, terdapat dua partai politik utama yakni Jamaica
Labor Party (JLP) dan People’s National Party (PNP) yang memiliki
ideologi politik yang sangat berlawanan. Situasi ini membawa dampak berupa
pergantian kebijakan pembangunan yang kontras, sementara kekerasan politik
selalu mewarnai pergantian partai-partai yang berkuasa.
Kaitan Antara
Demokrasi dengan Pembangunan
Walaupun tidak ada kesepakatan umum antar
ahli tentang kaitan yang jelas dan langsung antara demokrasi dan pembangunan,
namun kedua variabel tersebut jelas saling mempengaruhi satu sama lain.
Leftwich (2000: 130-131) bisa disebut sebagai salah seorang pakar yang secara
mendalam memiliki perhatian terhadap hal ini dan berhasil memberi gambaran
menarik tentang kaitan antara demokrasi dan pembangunan.
Menurut Leftwich, pada tahun 1960-an demokrasi
adalah anak kandung modernisasi atau merupakan hasil dari pembangunan sosial
ekonomi, bukan prasyarat untuk keberhasilan pembangunan. Dengan
mengutip Dahl (1971), Leftwich menjelaskan bahwa demokrasi baru dapat berjalan
jika beberapa kondisi terpenuhi, seperti tingkat pendidikan dan melek huruf
yang tinggi, adanya kelas menengah yang mapan, masyarakat sipil yang dinamis,
rendahnya kesenjangan sosial dan material, serta adanya ideologi yang sekuler.
Kondisi-kondisi tadi merupakan fungsi awal dari pembangunan ekonomi yang akan
membentuk kondisi yang diperlukan bagi demokrasi yang berkesinambungan. Sementara
Lipset (1960) sebagaimana dikutip oleh Leftwich (ibid.) menyimpulkan adanya
kaitan antara demokrasi dengan pembangunan dengan menyatakan bahwa “the more
well-to-do a nation, the greater the chances that it will sustain democracy”
(semakin makmur suatu negara, semakin besar peluangnya untuk menjadi
demokratis).
Argumen semacam itu sekarang telah berubah,
bahkan semenjak akhir tahun 1960-an. Aliran yang lebih baru berpandangan bahwa
demokrasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan. Jika ada
dampak samping berupa trade-off antara kedua variabel tadi, sedikit
penurunan laju pertumbuhan dapat terima (acceptable) sebagai
harga yang harus dibayar untuk membangun tatanan politik yang demokratis,
kebebasan warga, perlindungan terhadap hak asasi manusia. Inti gagasan yang
disampaikan adalah bahwa lebih banyak negara non-demokratis seperti Rumania,
Argentina, Haiti, Ghana, Myanmar, Peru, Ethiopia, dan Mozambique yang proses
dan kinerja pembangunannya jauh lebih parah dibanding negara-negara lain yang
lebih demokratis. Dengan kata lain, terdapat pemahaman baru bahwa demokrasi
diperlukan sebagai prasyarat awal untuk pembangunan, bukan merupakan
hasil pembangunan (Leftwich, 2000: 129).
Diantara dua pandangan ekstrim diatas,
adalah hal yang menarik ketika Leftwich (2000: 133) sampai pada kesimpulan
bahwa tidak perlu dipaksakan adanya hubungan antara demokrasi dan pembangunan,
serta antara bentuk negara/pemerintahan dengan kinerja pembangunan sosial
ekonomi. Menurut Leftwich (2000: 136-144; 1999: 58-60), yang lebih menentukan
kinerja pembangunan adalah karakter dari negara dan sistem politiknya.
Berdasarkan pemikiran ini, Lefwich mengemukakan lima syarat bagi
keberlangsungan demokrasi, yakni: 1) legitimasi terhadap rezim berkuasa, 2)
ketaatan terhadap aturan/norma hukum, 3) adanya konsensus, 4) kebijakan yang
dijalankan oleh partai pemenang, serta 5) kemampuan untuk mengatasi masalah
seperti kemiskinan, dan perpecahan etnis / budaya / agama.
Sementara itu, White (1998: 21-26) memberi
penjelasan yang lebih lengkap dengan mengajukan 4 (empat) pandangan berbeda
tentang hubungan antara demokrasi dan pembangunan, sebagai berikut:
1.
Pandangan
Optimistik.
Menurut pandangan
optimistik, demokrasi liberal merupakan stimulus yang terkuat untuk kemajuan
masyarakat. Sebab, demokrasi menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
berjalannya ekonomi pasar, serta menawarkan peluang yang lebih besar untuk
terciptanya pemerintahan yang akuntabel, efisien, dan terbuka. Pandangan ini
juga mengakui bahwa meskipun benar ada hubungan jangka panjang antara demokrasi
dan kesejahteraan, namun bukti-bukti statistik pada jangka pendek dan menengah
sangatlah kabur dan belum terbukti.
2.
Pandangan
Pesimistik.
Pandangan
pesimistik memandang demokrasi sebagai tujuan jangka panjang yang perlu diraih,
namun dapat menjadi penghalang yang potensial terhadap pembangunan sosial
ekonomi pada tahap awal di suatu negara. Dengan kata lain, demokrasi merupakan
barang mewah yang dapat membawa kesusahan bagi penduduk miskin untuk
mendapatkannya. Dalam hal ini, Lee Kuan Yew pernah menyatakan bahwa I
believe that what a country needs to develop is discipline more than democracy
(saya percaya bahwa yang lebih dibutuhkan oleh suatu bangsa adalah disiiplin
dari pada demokrasi).
3.
Pandangan
don’t expect anything (jangan berharap sesuatu).
Pendukung utama
dari pandangan ini adalah Huntington
yang berpendapat bahwa keberlanjutan dan kestabilan demokrasi sangat tergantung
dari tinggi atau rendahnya harapan serta kecewa atau puasnya masyarakat
terhadap sistem demokrasi yang ada pada saat itu. pandangan seperti ini juga
diperkuat dengan asumsi bahwa pemerintahan yang demokratis mendapatkan
keabsahannya (legitimacy) tidak dari kinerjanya, melainkan prosedur
bagaimana demorkasi itu diterapkan. Pada rezim yang otoriter, legitimasi atau
keabsahan diperoleh dari kinerja pembangunan ekonomi, sehingga sangat rentan
terhadap gejolak ekonomi.
4.
Pandangan
terakhir berpandangan bahwa issu pokok dari demokrasi bukanlah suatu rezim
politik, namun kepemerintahan yang baik dan kapasitas negara (good
governance and state capacity). Yang terpenting adalah upaya membangun
sosok negara pembangunan, tidak peduli apakah oleh rezim demokratis maupun
rezim otoriter.
Walaupun terdapat banyak keraguan bahkan
kontroversi tentang korelasi antara pembangunan dan demokrasi, namun terdapat
kesamaan bahwa keduanya sama-sama penting untuk suatu negara. Oleh karena itu,
proses menyeimbangkan kedua dimensi tersebut merupakan pilihan strategis untuk
standar hidup masyarakat sekaligus menyediakan pilihan-pilihan publik (public
choices) yang lebih beragam. Pembangunan tanpa demokrasi nampaknya
kurang bermakna, namun demokrasi tanpa pembangunan juga sangatlah ironis.
Itulah sebabnya, untuk mengakselerasi kedua
aspek tersebut secara seimbang dan proporsional, maka formulasi dan
implementasi kebijakan, khususnya mengenai otonomi daerah, memegang posisi yang
menentukan. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi merupakan salah satu
faktor determinan untuk mendorong dan mempromosikan rezim yang demokratis dan
berkinerja tinggi, baik pada tataran nasional maupun lokal. Meskipun demikian
perlu disadari bahwa desentralisasi hanyalah sebuah alat yang tidak akan
berfungsi optimal tanpa adanya kemauan dan upaya memperkuat komitmen dari para
pelaku politik serta menciptakan faktor lain secara kondusif.
Dalam kaitan ini, Kimura (2001: 9) yakin
bahwa 4 (empat) prakondisi dibawah ini merupakan jalan terbaik untuk membangun
sosok pemerintahan daerah yang demokratis dan berkinerja tinggi. Ke-4 hal
tersebut adalah:
1. Pemberantasan KKN secvara revolusioner.
2. Perubahan pola pikir dan sistem pemerintahan daerah
dari pola lama yang bersifat bureaucratic
/ technocratic top down ke pola baru yang lebih demokratis,
partisipatif, dan pemahaman bahwa tugas utama aparat lokal adalah koordinasi
dalam proses perencanaan.
3. Penciptaan iklim politik yang kondusif dalam perumusan
kebijakan pemerintah di tingkat daerah.
4. Perubahan pola pikir dan sistem pemerintahan daerah
dari pola lama yang bersifat menunggu instruksi ke pola baru yang berorientasi
pada pemenuhan pelayanan dan kepuasan masayarakat (customer satisfaction). Dalam kaitan ini, staf atau pelaksana
pada suatu organisasi tidak dapat dipandang sebagai bawahan (bottom) namun lebih sebagai ujung
tombak (front staffs) dalam
pemberian layanan dan pemantauan terhadap aktivitas kemasyarakatan. Suara dari front staffs ini merupakan awal dari
proses panjang yang bersifat bottom up
yang perlu selalu digalang, misalnya melalui pertemuan mingguan.
Apa yang disampaikan Kimura mengilustrasikan
perlunya tahapan lebih lanjut dari proses desentralisasi yang tengah
berlangsung dewasa ini. Pemikiran Kimura ini bersesuaian dengan rencana
pengembangan desentralisasi di Indonesia .
Sebagaimana dikemukakan oleh Yudhoyono (2003a), tantangan pokok dari “reformasi
gelombang kedua” (second wave of reform) adalah kemampuan untuk
mengkaitkan demokrasi dengan good governance. Yudhoyono berpendapat
bahwa demokrasi bukan tidak muncul dalam satu paket bersama kepemerintahan yang
baik. Keduanya merupakan variabel yang berbeda. Demokrasi tidak secara otomatis
dapat menghasilkan persatuan nasional, perbaikan ekonomi, stabilitas politik,
perlindungan hak asasi, serta peningkatan keadilan sosial. Demokrasi dan
reformasi hanya dapat menghasilkan hal-hal tersebut jika disertai dengan adanya
kepemerintahan yang baik dan bersih (good governance). Atas dasar
pemikiran tersebut, Yudhoyono (2003a) mengatakan bahwa good governance
perlu dijadikan sebagai tugas nasional yang diwujudkan melalui 4 (empat)
langkah pokok sebagai berikut:
1. Konsolidasi sistem demokrasi. Hal ini membutuhkan
pengembangan aturan dan norma-norma yang dapat menuntun proses demokrasi tadi,
serta mendorong lembaga politik di Indonesia untuk bekerja dalam dalam
kerangka sistem demokrasi tersebut. Pada sisi lain, hal ini juga membutuhkan
adanya proses pengambilan kebijakan yang lebih terbuka dan akuntabilitas yang
lebih besar dari unsur pemerintahan baik pusat maupun daerah.
2. Reformasi dan pemulihan krisis ekonomi. Setelah
Indonesia tidak lagi terikat oleh IMF semenjak akhir tahun 2003, tantangan
utama yang dihadapi adalah menjaga komitmen untuk menjalankan reformasi ekonomi
yang tengah berjalan.
3. Menjalankan reformasi hukum, khususnya dalam
pemberantasan korupsi dan mewujudkan
good governance.
4. Normalisasi dan menjaga stabilitas wilayah-wilayah
rawan konflik seperti Aceh, Papua, Poso, Maluku, Kalimantan
Tengah, dan NTB.
Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa
menciptakan rezim yang demokratis sekaligus berkemampuan tinggi mewujudkan
tujuan pembangunan bukanlah pekerjaan yang mudah. Upaya ini mensyaratkan adanya
proses panjang dan konsistensi baik pada tataran formulasi maupun implementasi
kebijakan. Satu hal yang pasti adalah bahwa pemberian kewenangan (otonomi) yang
luas kepada daerah merupakan salah satu langkah yang tepat untuk membentuk democratic
developmental regime ini.[5]
Kaitan Demokrasi
Dengan Konflik
Pertanyaan lain seputar demokrasi adalah:
apakah demokrasi dan konflik merupakan dua hal yang tidak terpisahkan?
Pertanyaan ini sangat logis mengingat sebelum runtuhnya rejim Orba, sangat
sulit menemukan konflik yang begitu terbuka dan berkepanjangan kecuali gerakan
separatis di Aceh dan Papua. Namun begitu keran keterbukaan dibuka, gelombang
unjuk rasa, kekerasan, hingga tindakan anarkhis menjadi pemandangan yang sangat
lumrah. Kita bisa juga membandingkan dengan kasus Uni Soviet dimana glasnots
dan perestroika ternyata menghasilkan perpecahan dan pertikaian yang
belum tuntas hingga sekarang. India
juga contoh klasik tentang negara demokratis yang sarat dengan konflik sosial.
Sekali lagi kita patut bertanya: benarkah demokrasi merupakan pemicu terjadinya
konflik?
Tentu tidak ada satu jawabanpun yang bisa
memuaskan pertanyaan tersebut. Dalam khazanah ilmu politik, terdapat dua mainstream
yang berbeda dalam memahami hubungan kedua variabel diatas. Alison Ayers
(1999) misalnya, memberi gambaran menarik mengenai kontroversi pemikiran itu.
Disatu sisi, terdapat suatu paham yang
memandang demokratisasi sebagai penyebab utama terjadinya konflik. Penganut
paham ini memiliki argumen bahwa terbukanya ruang demokrasi melahirkan banyak
kelompok dengan berbagai aliran dan tuntutan yang berbeda. Sayangnya, banyaknya
politik aliran ini berimplikasi pada sulitnya mengorganisasikan berbagai
kepentingan secara negotiable. Itulah alasannya mengapa banyak
demokratisasi yang justru menyebabkan pertikaian horizontal maupun vertikal.
Pandangan ini diwakili oleh rejim Nyerere
(Tanzania), Soekarno, dan Boigny (Ivory Coast) pada masa lampau; serta Mahathir
(Malaysia ) dan Museveni (Uganda ) pada
masa sekarang. Ketiga rejim terdahulu beranggapan bahwa hanya sistem satu
partai atau demokrasi terpimpin-lah yang dibutuhkan untuk meredam ketegangan
dan konflik sosial. Sementara rejim yang lain menyakini bahwa kompetisi
multi-partai yang berlebihan dan terlalu memberi kebebasan terhadap hak politik
dan hak sipil hanya akan menjadikan demokrasi menjadi tidak stabil.
Disisi
lain, pandangan kedua mengakui bahwa memang demokrasi bukan jaminan tidak
adanya konflik politik dalam masyarakat. Namun paling tidak, bangsa yang
demokratis akan mampu mambangun pranata sosial, sumber daya dan fleksibilitas
sistem yang lebih baik, sehingga dalam jangka panjang akan mampu mengelola
setiap perbedaan dan sengketa secara damai. Dengan kata lain, demokrasi adalah
sistem peredam konflik secara damai (peaceful management of
conflicts).
Sebab, demokrasi menyediakan metode perumusan kebijakan/pengambilan keputusan
yang anti kekerasan, forum perwakilan untuk mempertemukan berbagai perbedaan,
serta kesempatan berpartisipasi secara inklusif.
Pandangan
kedua ini terutama diyakini oleh IIDEA – International
Institute for Democracy and Electoral Assistance (2001) yang menyebutkan bahwa
“it is equally true that while democracy is often messy, incremental, and
difficult, it is also by far the best hope of building sustainable settlements
to most of the conflicts being fought around the world today”. Lebih dari
itu, IIDEA percaya bahwa demokrasi dapat difungsikan sebagai alat untuk
mengelola konflik itu sendiri. Hal ini dapat ditempuh melalui tiga teknik
analisa konflik yaitu adversarial (melihat konflik sebagai “kita melawan
mereka”), reflektif (introspeksi dan mempertimbangkan jalan keluar
terbaik), serta integratif (memahami pandangan dan kepentingan kedua
pihak).
Dalam kaitan ini, IIDEA menawarkan tujuh
agenda konsolidasi, yakni reformasi konstitusi, penguatan otonomi daerah,
peninjauan kembali hubungan sipil-militer, pembangunan masyarakat madani,
pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyetaraan gender, serta penanganan
masalah yang berkenaan dengan pluralisme agama. Sementara itu, Linz dan Stepan
(1996) menyaratkan enam prioritas dalam rangka konsolidasi demokrasi, yaitu
adanya pemilu yang bebas; masyarakat sipil yang otonom; masyarakat politik yang
bersaing secara sehat guna menjalankan kontrol atas kekuasaan; supremasi hukum;
birokrasi legal-rasional; serta terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi
perantara antara negara dan masyarakat dalam sistem perekonomian. Walaupun
pembahasan buku ini lebih ditujukan untuk kasus Amerika Selatan dan mantan
negara komunis di Eropa, namun mengandung nilai yang universal, sehingga dapat
kita adopsi untuk membangun demokrasi di Indonesia .
Bagaimana Dengan Indonesia ?
1.
Indonesia dan Cita-cita Democratic
Developmental State
Sebagaimana telah disinggung diatas,
Leftwich mengklasifikasikan Indonesia
sebagai developmental state. Sebelum tumbangnya Orba, pertumbuhan
ekonomi selalu diatas 4% dalam kurun waktu 1965-1990-an. Disamping itu, jumlah
penduduk miskin turun hingga 12% pada tahun 1996, sementara pada tahun 1984
Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Berbagai prestasi tadi
menjadikan Indonesia
memperoleh predikat miracle atau keajaiban dari Bank Dunia (1993).
Namun beberapa fakta negatif masih banyak
ditemukan seperti korupsi, kesenjangan ekonomi dan sosial, ketidakmerataan
pembangunan antar daerah, dan sebagainya. Disisi lain, pemerintah lebih
menempuh strategi represif dalam bidang politik yang ditandai oleh pengurangan
kebebasan pers dan kemerdekaan berekspresi, pembatasan jumlah dan aktivitas
parpol/ormas, penekanan atas gejolak perburuhan, dan sebagainya.
Kondisi diatas berbalik secara drastis saat
euphoria demokrasi menggema. Demonstrasi terjadi dimana-mana, sementara
jumlah media massa
menjadi berlipat. Deregulasi politik juga berakibat pada membengkaknya jumlah
parpol dengan berbagai aliran ideologisnya. Tidak itu saja, kekuasaan Presiden
juga dibatasi melalui amandemen UUD, sementara kasus-kasus yang berindikasi
pelanggaran HAM dibuka kembali dengan dibentuknya Komnas HAM dan Peradilan
ad-hoc HAM. Sayangnya, terjadi penurunan kualitas pembangunan sosial ekonomi
seperti diindikasikan oleh meningkatnya penduduk miskin lebih dari 20%,
meledaknya angka pengangguran, menurunnya index pembangunan manusia (HDI),
serta melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional. Pada saat yang
bersamaan, hasil studi yang diungkapkan Political and Economic Risk
Consultancy (2001), juga menunjukkan bahwa China, India, Indonesia,
Philipina, Thailand dan Vietnam dipersepsi sebagai negara di Asia yang paling
korup. Sejalan dengan temuan PERC tadi, Sofian Effendi, seperti dikutip oleh
Utomo (2002a), menegaskan bahwa korupsi di Indonesia sedang beralih rupa dari oligarchic
corruption (korupsi oleh segelintir elit) menjadi democratic corruption (korupsi
berjamaah yang dilakukan atas dasar kesepakatan bersama).
Mengingat realitas tersebut, wajarlah
kiranya jika kemudian banyak bermunculan suara untuk mengembalikan kondisi
sebagaimana sebelum lengsernya Soeharto. Banyak orang mempertanyakan, apa
gunanya demokrasi jika korupsi menjadi semakin merajalela sementara harga
kebutuhan pokok sehari-hari makin tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat
kalangan bawah yang terus melemah. Bahkan secara sinis sering kita dengar
ungkapan bahwa “rakyat tidak makan demokrasi”.
Hal-hal diatas hanyalah beberapa fenomena
yang menggambarkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses penyelenggaraan
pembangunan di Indonesia ,
sehingga status developmental state bagi Indonesia juga sangat layak untuk
diragukan. Dengan kata lain, ketika kondisi keterpurukan tersebut banyak
terjadi di sebuah negara, agak sulit untuk menyatakan bahwa negara tersebut
termasuk developmental state. Dengan demikian, menggolongkan Indonesia
sebagai developmental state sesungguhnya tidak terlalu meyakinkan.
Walaupun kehidupan sosial ekonomi bangsa
ini belum juga membaik, namun menuding demokrasi sebagai faktor penyebabnya
tidaklah bijaksana. Bagaimanapun, demokrasi merupakan nilai universal yang
secara normatif fungsional mempunyai manfaat penting seperti menjamin
partisipasi, aspirasi dan representasi rakyat; menjaga mekanisme pengawasan
antar lembaga pemerintahan (check and balances); serta mendorong
penghormatan terhadap hak-hak dasar semua manusia.
Dengan nilai-nilai seperti ini, maka
demokrasi dan pembangunan semestinya adalah dua hal yang kompatibel atau
fungsional. Ini berarti pula bahwa negara yang sedang berada pada masa transisi
dari non-demokrasi ke demokrasi yang pada saat bersamaan mengalami penurunan
ekonomis, menandakan belum optimalnya implementasi prinisp-prinsip demokrasi di
negara tersebut. Sebab dalam kenyataannya, jauh lebih banyak negara
non-demokratis yang tidak mampu membangun ekonominya dibanding negara
demokratis, misalnya Rumania, Argentina, Haiti, Ghana, Myanmar,
Peru, Ethiopia dan Mozambique (Leftwich, 2000).
Dalam kasus Indonesia , walaupun dilahirkan oleh
rakyat khususnya mahasiswa, namun demokrasi nyatanya masih merupakan komoditi
mahal yang hanya bisa dimainkan oleh kelompok-kelompok yang kuat secara politis
maupun ekonomis. Itulah sebabnya, hanya mereka yang berduit dan dekat dengan
poros kekuasaan-lah yang memiliki peluang merebut “kursi” melalui kendaraan
partai yang mereka dirikan.[6] Disisi
lain, kebijakan desentralisasi luas juga belum berhasil menyentuh masyarakat
secara langsung. Akibatnya, kewenangan dan asset Pemda yang melimpah lebih
banyak dimanfaatkan untuk memperkuat pengeluaran rutin, yang jelas-jelas jauh
dari upaya memberdayakan ekonomi kerakyatan. Dalam kedua kasus tersebut, rakyat
tetaplah hanya sebagai penonton pertandingan bola dimana para pemainnya adalah
elite-elite politik dan para birokrat lokal.
Untuk itu, proses demokratisasi masih
memerlukan langkah lanjutan yang lebih serius. Mau tidak mau, perumusan paket
UU Politik perlu diarahkan untuk mengakomodasi kepentingan dan keterlibatan
rakyat dalam mekanisme politik secara langsung. Dalam hal ini, meskipun perlu
dikaji lebih teliti, ide pemilu lokal dan pemilihan kepala daerah secara
langsung dapat dipertimbangkan. Sementara di bidang administrasi publik,
desentralisasi perlu diperluas dan diturunkan hingga mencapai tingkat akar
rumput. Dalam hal ini, gagasan perlunya desentralisasi tahap kedua perlu
dipopulerkan agar segera dapat diaplikasikan.
Satu hal yang tidak perlu diragukan adalah
bahwa lahirnya kebijakan desentralisasi luas adalah dalam rangka membangun
kepemerintahan daerah yang baik (good local governance). Harapan yang
disandang dari implementasi otonomi daerah ini adalah ketika good local
governance dapat diterapkan secara luas pada seluruh jenjang struktur
birokrasi dan masyarakat, maka kinerja pembangunan akan meningkat dengan
sendirinya sementara rezim demokratis juga dapat ikut terbangun. Tentu saja,
rezim demokratis yang berkinerja tinggi ini belum dapat ditemukan sekarang,
mengingat kerangka desentralisasi luas baru diterapkan secara efektif selama 4
(empat) tahun (2001-2005).
Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi,
apapun hubungan antara demokrasi dan pembangunan serta apapun bentuk demokrasi
yang kita pilih, yang terpenting sesungguhnya adalah kemampuan atau kapasitas
birokrasi untuk menjalankan program-program pembangunan secara efektif tanpa
intervensi politis secara berlebihan. Dan kinerja pembangunan yang tinggi
inilah yang seharusnya dijadikan sebagai dasar legitimasi bagi pemerintah yang
demokratis, dan bukan semata-mata atas dasar prosedural atau kemenangan secara
angka dalam sebuah pemiilihan. Dengan demikian, demokrasi dan pembangunan tidak
perlu ditempatkan sebagai sebuah dikotomi yang saling bertolak belakang, namun
lebih sebagai subyek yang bersifat komplementer. Sebab, pembangunan yang
mengabaikan demokrasi sangatlah tidak bermakna, sedangkan demokrasi tanpa
pembangunan adalah hal yang sungguh ironis.
2.
Demokrasi
dan Konflik di Indonesia
Demokrasi Indonesia yang bergulir semenjak
akhir 1990-an diharapkan tidak menjadi nominal democracy atau demokrasi
formal yang ditandai oleh banyaknya perangkat dan instrumen demokrasi namun
tidak dapat diaplikasikan secara demokratis. Sayangnya, setelah lebih 5 (lima ) tahun, ternyata
demokrasi belum mampu menjanjikan tata kehidupan yang damai dan sejahtera.
Sebaliknya, pertikaian begitu mudahnya didapat kemanapun kita palingkan muka.
Tidak hanya terjadi antar sesama komponen masyarakat seperti terjadi di Poso,
Sambas atau banyak daerah lain meski dalam skala kecil; konflik juga terjadi
antara pemerintah dengan organisasi semi-militer seperti GAM, GPK, dan RMS.
Bahkan, konflik melanda pula kalangan parpol termasuk para dedengkotnya; serta
antar lembaga pemerintahan (Utomo, 2002b).
Kebijakan otonomi daerah yang
memperkenalkan sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung (Pilkadal),
ternyata juga tidak lepas dari konflik ini. Kasus Kutai Kartanegara di
Kalimantan Timur menjadi contoh yang begitu nyata, betapa demokrasi yang datang
tiba-tiba justru mendatangkan kekagetan budaya (cultural shock) tidak
saja dikalangan rakyat kelas bawah, namun juga para elit politik maupun
birokrasinya. Ironisnya, pertikaian tadi dipicu oleh sesuatu yang sebenarnya
sangat sederhana, yakni ketidaksetujuan suatu kelompok tertentu (pendukung
mantan Bupati Syaukani HR) terhadap SK Mendagri yang mengangkat Awang Darma
Bhakti (ADB) sebagai Pj. Bupati Kutai.[7]
Padahal, Pilkadal diyakini sebagai model
asli demokrasi lokal khas nusantara, sebagai bentuk kontemporer dari Pilkades
(pemilihan Kepala Desa). Kita boleh saja berbangga dengan model pemilihan
pemimpin lokal ala Indonesia
ini. Tapi hendaknya jangan diingkari bahwa praktek Pilkades dari masa ke masa,
dari jaman Orde Baru hingga sekarang, selalu sarat dengan konflik horisontal.
Kasus terbaru terjadi di desa Bunar, Kec. Balaraja, Kab. Tangerang dimana
sebanyak 300 warga mengamuk dan membakar 10 poskamling karena tidak dapat
menerima kekalahan calon Kades yang didukungnya (Republika, 22/02/03).
Dalam kasus-kasus sebelumnya, berbagai pelanggaran dan dampak negatif dari
Pilkades antara lain berbentuk kampanye terselubung dari seorang calkades
dengan menjanjikan akan memberikan gaji Rp 250.000 kepada setiap ketua RT (PR,
16/12/02), menjadi arena perjudian dengan omzet sampai puluhan juta rupiah (kebumen.portal.dk3.com),
jual beli kartu suara oleh kader calon tertentu (Buletin Flama no. 13),
dan sebagainya. Jelaslah bahwa demokrasi model Pilkades tidak dapat terlalu
kita banggakan, apalagi untuk dipromosikan sebagai model demokrasi pada level
distrik dan propinsi.
Jika kurang hati-hati, berbagai peristiwa
diatas dapat mengantarkan pada kesimpulan bahwa demokrasi merupakan ibu kandung
dari konflik vertikal dan horizontal di Indonesia. Padahal, secara konseptual
demokrasi dapat difungsikan sebagai media untuk mendekatkan perbedaan
kepentingan antar kelompok sehingga tercipta interaksi sosial politik yang
lebih harmonis. Sayangnya Indonesia
tidak memiiliki pengalaman dalam menggunakan instrumen demokrasi untuk meredakan
konflik. Konflik yang muncul selama jaman Orde Baru dapat diredam bukan oleh
prannata demokrasi, namun lebih oleh sikap “paternalisme” yang kuat dari mantan
Presiden Soeharto.
Namun jika memang demokrasi adalah sesuatu
yang komplementer dengan upaya meredam konflik, apa yang salah dengan demokrasi
kita? Salah satu penjelasan yang dapat diajukan adalah bahwa proses
demokratisasi di Indonesia
lebih banyak dipersepsi dan disikapi sebagai proses transisi atau transformasi,
dari pada kebutuhan untuk melakukan konsolidasi. Padahal, konsolidasi inilah
yang kita perlukan untuk menjamin proses transformasi yang tidak bergejolak.
Sesungguhnya, proses demokratisasi di Indonesia
sendiri dapat dikatakan sudah berjalan pada rel yang benar. Sebagai contoh, pemerintah
telah menempuh beberapa kebijakan seperti 1) amandemen konstitusi yang
ditindaklanjuti dengan penerbitan UU No. 22, 25, dan 28 tahun 1999[8], 2)
pembentukan lembaga-lembaga advokasi seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman
Nasional, 3) penggantian paket UU Bidang Politik, 4) pengurangan dominasi
militer di lembaga legislatif, dsb. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat juga
mendukung proses demokrasi dengan mendirikan beberapa LSM yang mengawasi kiprah
pemerintah, seperti Parliament Watch, Government Watch, Media Watch, Human
Rights Watch, Corruption Watch, dan berbagai Watches yang lain. Namun,
ini saja ternyata belum cukup, banyak agenda lain yang perlu segera diwujudkan.
Dengan demikian, pekerjaan rumah kita untuk membangun
demokrasi dan masyarakat yang tertib dan damai masihlah panjang. Namun yang
harus selalu kita pedomani, hakekat demokrasi adalah upaya membangun sistem
nilai/norma, sekaligus proses perubahan sosial budaya yang membuka lebar-lebar
pintu konsensus bagi segala persoalan dan untuk semua golongan. Inilah kiranya
kunci sukses dari proses demokratisasi yang tengah kita jalani bersama.
Catatan Penutup
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa
visi membangun democratic developmental regime di tingkat daerah adalah
suatu upaya berat yang membutuhkan proses teramat panjang. Upaya ini akan
semakin sulit karena harus menyatukan dua kriteria yang berbeda, yakni developmental
dan sekaligus democratic. Disamping itu, proses transformasi dari
rezim yang kurang demokratis menjadi lebih demokratis, dan dari rezim yang
berkinerja rendah menjadi lebih kapabel dalam pembangunan, tidak dapat dicapai
dengan mudah karena tidak ada klasifikasi yang jelas tentang “rezim” itu
sendiri.
Variabel demokrasi dan variabel pembangunan
sendiri merupakan variabel yang compatible atau saling terkait dan dapat
dilaksanaan dalam waktu bersamaan. Namun bukan berarti bahwa keduanya memiliki
hubungan langsung atau korelasi tegak lurus. Hipotesis bahwa “demokrasi
merupakan hasil dari proses pembangunan” atau “demokrasi merupakan prasyarat
bagi pembangunan” adalah pola pikir yang terlalu dipaksakan, untuk tidak
menyebut menyesatkan. Kenyataannya, berbagai fenomena
empirik menunjukkan bahwa demokrasi dapat mendorong proses pembangunan namun
dapat pula menghambatnya. Pada sisi lain, demokrasi dapat dipandang sebagai
jalan terbaik menyelesaikan suatu konflik, namun dapat pula menjadi pemicu
lahirnya konflik.
Uraian tadi menyiratkan bahwa esensi
pembangunan (developmental) dan demokrasi (democratic) tidak
dapat dipahami secara hitam putih, namun lebih merupakan wilayah yang
“abu-abu”.[9] Dan gradasi atau tingkat keabu-abuan ini sangat bervariasi diantara negara
dan/atau daerah. Hal
yang terpenting adalah menjamin adanya komitmen dari jajaran birokrasi
pemerintahan dan kalangan masyarakat madani (civil society) untuk membangun sosok kepemerintahan (baca: rezim) yang demokratis dan
berkinerja tinggi. Selain itu, perlu dipikirkan secara dalam dan jernih tentang
metoda mengelola demokrasi yang kondusif untuk akselerasi pembangunan.
Dalam hubungan itu,
beberapa yang dibutuhkan
adalah membangun proses dan kelembagaan politik yang hati-hati (prudent
politics), serta menyiapkan infrastruktur ekonomi, sosial dan politik untuk
berjalannya demokrasi secara wajar. Selain itu, hal penting dari upaya
membangun demokrasi lokal adalah bagaimana memperbanyak pilihan dan memperluas
ruang bagi aspirasi masyarakat (amplifying people’s choice and voice),
serta menjaga interaksi yang positif antara pemerintah dengan warganya (in
touch with people). Tidak dapat ditinggalkan pula adalah upaya secara
kontinyu untuk meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi pemerintahan daerah.
Sebab, peluang tumbuhnya partisipasi publik dapat terhambat oleh lemahnya
kapasitas pemerintah daerah. Pada saat bersamaan, masyarakat sipil perlu terus
dibangun dengan memberi peran kepada otoritas lokal untuk membangun kerangka
penyaluran aspirasi dan kepentingan rakyat. Dengan demikian, demokrasi lokal
lebih dimaknakan sebagai interaksi institusi lokal yang berbasis pada
kepercayaan (trust) dan etika dari pada sekedar formalitas bentuk dan
proses berdemokrasi. Peran baru otoritas lokal dalam konteks keseimbangan
dengan masyarakat seperti inilah yang merupakan inti dari gagasan baru tentang green
politics dan green democracy. Dan, walaupun reformasi, demokratisasi
dan desentralisasi merupakan trend utama saat ini, alangkah manisnya jika kita
tidak terjebak kepada apa yang disebut Gerry Stoker sebagai perangkap
kedaerahan (the trap of localism).
Referensi
Ayers,
Alison (et.al.), 1999, Democratic Institutions and Politics in the Context
of Inequality, Poverty and Conflict, Working Paper, November 1.
Bardhan, Pranab, tanpa tahun, Democracy
and Development: A Complex Relationship, Berkeley: University of California .
Tersedia online di http://globetrotter.berkeley.edu/macarthur/inequality/papers/BardhanDemoc.pdf#search='democracy%20and%20development%2C%20Pranab%20Bardhan'
Boutros-Ghali, Boutros (et.al.), 2002, “The
Interaction Between Democracy and Development”, Paris: UNESCO. Tersedia
online di http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001323/132343e.pdf#search='democracy%20and%20development%2C%20boutros%20ghali'
Chang, Ha-Joon, “The Economic Theory of the
Developmental State ”, dalam Meredith Woo Cumings
(ed.), The Developmental State, Cornell University Press.
International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (IIDEA), 2001, Democracy and Deep-rooted Conflict, The International IDEA Handbook On Democracy And Deep-Rooted
Conflict:
Options
For Negotiators,
Stockholm , Sweden .
Johnson, Chalmers, 1982, MITI and the
Japanese Miracle: The Growth of Industrial Policy, 1925-1975, Stanford: Stanford University Press.
_______________, 1999, “The Developmental
State: Odyssey of a Concept”, dalam Meredith Woo Cumings (ed.), The
Developmental State, Cornell University Press.
Kimura, Hirotsune, 2001, “The Capacity
Building for Democratic Developmental Local Governance”, dalam Kimura
Hirotsune, Local Government Capacity Building and Poverty Alleviation:
Policies Within the Framework of Decentralization, Cases of The Philippines and
Indonesia, Research Report, GSID Nagoya University.
King, Desmond and Gerry Stoker,
1996, Rethinking Local Democracy, London :
Macmillan Press Ltd.
Leftwich, Adrian, 1996, “Two Cheers for Democracy?
Democracy and the Developmental
State ”, dalam Adrian
Leftwich (ed.), Democracy and Development: Theory and Practice, Polity
Press.
_______________, 1999, “Forms of the
Democratic Development State: Democratic Practises and Development Capacity”, dalam
Mark Robinson and Gordon White (ed.), The Democratic Developmental State:
Politics and Institutional Design, Oxford :
Oxford University Press.
_______________,
2000, States of Development: On The Primacy of Politics in Development, Cambridge : Polity Press.
Pempel, T.J., 1999, “The Developmental
Regime in a Changing World Economy”, dalam Meredith Woo Cumings (ed.), The
Developmental State, Cornell University Press.
Pratchett, Lawrence ,
2000, Renewing Local Democracy: The Modernization Agenda in British Local
Government, London :
Frank Cass Publ.
Schneider, Ben Ross, 1999, “The
Desarrollista State in Brazil
and Mexico ”,
dalam Meredith Woo Cumings, The Developmental State, Cornell University
Press.
Utomo, Tri Widodo W., 2002a, “Mencermati
Gejala Demokrasi Korupsi”, dalam Kompas, 9 September 2002.
_______________, 2002b, Conflicts
between Governmental Units and the Prospect of Arbitration, dalam
Indonesian Policy Dialogue Forum, Tokyo .
Tersedia online di http://www.ipdf.org
_______________, 2004a, “Trend
Desentralisasi Dalam Administrasi Publik (Sebuah Kajian Terhadap Dampak
Desentralisasi Dalam Perspektif Internasional dan Pengalaman Indonesia)”, dalam
Majalah Administrasi Pembangunan, No. 47/III/Tahun XIII, Jakarta: LAN.
_______________, 2004b, “Pilkada Langsung
Dalam Rangka Reformasi Birokrasi (Beberapa Catatan Kritis)”, dalam Jurnal
Inovasi, PPI Jepang, Vol. 2/XVI, November 2004.
White, Gordon, 1998, “Constructing a
Democratic Developmental State“, in Mark Robinson and Gordon White (ed.), The
Democratic Developmental State: Politics and Institutional Design, Oxford : Oxford
University Press.
Woo-Cumings, Meredith, 1999, “Introduction:
Chalmers Johnson and the Politics of Nationalism and Development”, in Meredith
Woo Cumings (ed.), The Developmental State, Cornell University
Press.
Yudhoyono, Susilo Bambang, 2003, A
Second Wave of Reform for Indonesia, Melbourne Business and Expert Group,
organized by The Tasman Institute and Asialink, Melbourne, October 10.
Available online at http://www.kbri-canberra.org.au/speeches/2003/031010reform_polkam.htm
[1] Pada
periode sebelumnya, hubungan antara demokrasi dan pembangunan pernah
dilontarkan oleh Sirowy and Inkeles (1991) yang mengemukakan adanya hubungan
negatif diantara keduanya. Campos
(1994) menulis sebaliknya bahwa diantara keduanya terdapat hubungan yang
positif. Adapun Przeworski and Limongi (1993) bersikap agnostic (tidak yakin apakah demokrasi
mendorong atau menghambat pertumbuhan ekonomi). Periksa: Pranab Bardhan (tanpa tahun) Democracy and
Development: A Complex Relationship, Berkeley: University of California .
[2] Demokrasi
disini oleh Boutros-Ghali diartikan sebagai “a system whereby the whole of society can
participate, at every level, in the decision-making process and keep control of it”. Definisi lain adalah a political system
that is capable of correcting its own dysfunctions.
Beberapa prasyarat demokrasi menurutnya adalah 1) keadilan serta sistem
peradilan yang mandiri dan terpercaya, serta 2) adanya partisipasi bebas dari
masyarakat.
[3] Pembangunan
dimaknakan sebagai “the whole range of economic, social and cultural progress to which peoples
aspire”.
[4] Keadaan
serupa terjadi pula di Brazil
dan Mexico ,
yang sering dikenal dengan istilah desarrollista state. Ciri-ciri dasar desarrollista
state ini adalah 1) political capitalism, 2) developmental
discourse, 3) political exclusion, 4) weakly institutionalized
bureaucracy. Lihat Schneider, Ben Ross, 1999, “The Desarrollista
State in Brazil
and Mexico ”, in Meredith Woo
Cumings, The Developmental State, Cornell University
Press.
[5] Untuk
gambaran lengkap tentang dampak positif desentralisasi baik di Indonesia maupun
berbagai negara berkembang, lihat Utomo (2004a), “Trend Desentralisasi Dalam
Administrasi Publik (Sebuah Kajian Terhadap Dampak Desentralisasi Dalam
Perspektif Internasional dan Pengalaman Indonesia)”, dalam Majalah
Administrasi Pembangunan, No. 47/III/Tahun XIII, Jakarta: LAN.
[6] UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pilkada Langsung mengatur bahwa hanya partai
politik atau gabungan partai politik yang memiliki hak untuk itu mengajukan
calon Kepala Daerah, dengan kewajiban membuka kesempatan yang seluas-luasnya
bagi calon perseorangan diluar kader partai. Pada prakteknya, rakyat hanya
memiliki “hak pilih” dari calon-calon yang telah ditentukan oleh partai
politik. Akibatnya, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju
kekuasaan. Dan peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money
politics. Lihat Utomo, 2004b, “Pilkada Langsung Dalam Rangka Reformasi Birokrasi
(Beberapa Catatan Kritis)”, dalam Jurnal Inovasi, PPI Jepang, Vol.
2/XVI, November 2004.
[7] Pertikaian
ini bahkan juga melibatkan lembaga publik seperti DPRD yang tidak mau melakukan
rapat pembahasan anggaran, serta pengunduran diri dari sejumlah anggota dari
fraksi Partai Golkar. Disamping itu, Gubernur juga dipersalahkan karena
mengusulkan ADB sebagai Pj. Bupati Kutai Kartanegara tanpa konsultasi dengan
komponen daerah yang bersangkutan. Konflik ini baru mereda setelah Mendagri
mencabut SK Penunjukan ADB dan menggantikannya dengan pejabat dari Direktorat
Jenderal Kesatuan Bangsa, Depdagri.
[8] UU
No. 22 dan 25 Tahun 1999 telah diganti lagi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Sedangkan beberapa bagian dalam UU No. 28 Tahun
1998 yang berisi tentang algemene beginselen van behoorlijkk bestuur (asas-asas
umum kepemerintahan yang baik), juga diakomodir dalam UU Pemerintahan Daerah
yang baru.
[9] Kesimpulan
serupa dikemukakan pula oleh Adam Michnik (1996) bahwa “Democracy is neither black nor red. Democracy
is gray ... It chooses banality over excellence, shrewdness over nobility, empty promise over true
competence...It is eternal imperfection, a mixture of sinfulness,
saintliness and monkey business. This is why the seekers of a moral state and of a perfectly just society do not like democracy.
Yet only democracy – having the capacity to question itself – also has the capacity to correct its own mistakes.” Lihat: Bardhan
(ibid.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar