Oleh: Tri Widodo W. Utomo
(Sekretaris PPI Komisariat Nagoya Periode
2003-2004)
Abstrak:
Adalah sebuah
kenyataan bahwa sebagai sebuah organisasi sukarela (voluntary organization),
PPI-Jepang masih menghadapi banyak kelemahan. Oleh karena itu, tanpa mengubah
sifatnya sebagai organisasi sukarela, segenap anggota, pengurus, ataupun para
simpatisan PPI-Jepang perlu melakukan pembenahan internal yang menyangkut
format dan strategi organisasi di era baru. Terlebih lagi, adanya perubahan
lingkungan global yang turbulen semakin meniscayakan kebutuhan untuk
merevitalisasi peran organisasi agar dapat berkontribusi secara maksimal bagi
pembangunan bangsa. Beberapa dimensi “reformasi” yang perlu disentuh disini
meliputi lima
aspek, yaitu: manajerial makro, pelaksanaan tugas harian, sistem keanggotaan,
cakupan program, dan mekanisme penggalangan sumber daya, khususnya keuangan.
Kelima kegiatan ini perlu dilakukan secara sinergis dengan mengoptimalkan
potensi PPI-Jepang sebagai knowledge-based organization. Pada saat bersamaan,
upaya reformasi tadi perlu dibarengi dengan mendesain ulang format organisasi
dan strategi manajemennya. Format organisasi pada masa mendatang hendaknya
lebih bersifat organik virtual yang berbasis sistem
jaringan, sedangkan strategi
manajemen yang ditawarkan untuk diterapkan meliputi relationship management, knowledge
management, dan reputation management.
Pengantar
Dibandingkan
50 tahun yang lalu, kondisi dunia pada umumnya dan bangsa Indonesia
khususnya dewasa ini, jelas telah banyak berubah. Ohmae (1990, 2000) misalnya,
menandai akhir abad 20 sebagai “dunia tanpa batas” (the borderless world), dan menjuluki dunia diawal abad 21 sebagai
sebuah “kontinen yang tidak terlihat” (the
invisible continent). Sementara itu, Huntington
(1991) mengatakan bahwa semenjak 25 April 1974, negara-negara di dunia
mengalami proses yang disebutnya “demokrasi gelombang ketiga” (third wave of democratization).
Intinya,
perubahan pada ranah politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan teknologi telah
menerpa setiap organisasi atau kelompok masyarakat pada level lokal, nasional
hingga global. Dan berbagai perubahan tadi jelas membawa konsekuensi yang
sangat mendasar, baik dalam hal struktur hubungan antara pemerintah (sektor
publik) dengan komponen organisasi privat, maupun dalam hal kebutuhan melakukan
koreksi internal terhadap visi, misi, strategi serta peran dari suatu
organisasi agar dapat bertahan di era baru yang turbulen dan kompetitif.
Dalam
konteks inilah, segenap anggota, pengurus, ataupun para simpatisan PPI-Jepang
seyogyanya melakukan refleksi sekaligus introspeksi atas kiprah yang telah
dilakukan dimasa lalu dan peran baru yang mesti diemban dikemudian hari.
Tuntutan untuk melakukan revitalisasi peran ini adalah hal yang sangat lumrah,
mengingat PPI-Jepang akan genap berusia 50 tahun pada bulan Juni 2003, sebuah
usia yang sangat matang untuk ukuran manusia. Pada tahap “kematangan”nya ini,
sudah selayaknya jika PPI-Jepang juga dapat memainkan peran dan memberikan
sumbangsih yang “matang” bagi pembangunan bangsa tercinta.
Upaya
membangun organisasi PPI yang lebih mampu berkontribusi secara konkrit terhadap
pembangunan bangsa inilah yang menjadi fokus tulisan ini. Namun sebelumnya akan
dipaparkan tentang korelasi perubahan lingkungan global dengan tuntutan untuk
mereformulasi desain internal organisasi. Hal ini dirasa penting untuk menjamin
bahwa format dan peran PPI-Jepang dimasa depan cukup adaptif dan efektif untuk
menjawab dinamika lingkungan strategisnya. Selanjutnya akan diuraikan juga
tentang karakteristik organisasi dan anggota PPI-Jepang. Hal inipun penting
mengingat karakteristik organisasi dan
anggotanya akan menentukan peran apa yang harus dijalankan.
Perubahan Global dan Reformulasi Organisasional PPI-Jepang
Diatas telah disinggung bahwa perubahan skala global akan
mengakibatkan
berubahnya struktur hubungan antar sektor. Salah satu perubahan yang sangat
mudah diamati adalah berkurangnya peran atau melemahnya kemampuan pemerintah
untuk mengatur atau terlibat langsung dalam segala urusan kemasyarakatan. Baik
di negara maju maupun negara berkembang, terdapat trend pengurangan belanja
negara untuk subsidi atau kegiatan pelayanan sosial secara langsung. Di Kanada
misalnya, belanja pemerintah federal untuk pelayanan sosial per orang menurun
sebesar lebih dari 25% semenjak tahun 1986 (Pinney, 2003). Sementara di
Indonesia, secara bertahap pemerintah terus mengurangi subsidi BBM (bahan baker
minyak), TDL (tariff dasar listrik), sembako, pupuk, dan sebagainya.
Fakta
semakin menyusutnya peran pemerintah
dalam menciptakan kesejahteraan umum ini sesungguhnya telah menjadikan konsep Welfare State (negara kesejahteraan)
tidak relevan lagi. Sebagai gantinya, kekuatan masyarakat warga (civil society) perlu lebih dibangkitkan,
tidak saja agar mampu mengatur kepentingan dan memenuhi kebutuhannya secara
mandiri, namun sekaligus juga berfungsi sebagai pilar demokrasi yang menjadi
mitra sejajar pemerintah dalam pembangunan.
Oleh
karena itu, penurunan peranan pemerintah bukanlah hal yang perlu dicemaskan.
Sebaliknya, kondisi ini berdampak positif pada terbentuknya hubungan antar
sektor (publik-privat) yang lebih egaliter dan demokratis. Artinya, pemerintah
tidak lagi merupakan pemain tunggal dalam proses pembangunan bangsa sebagaimana
pada masa silam. Saat ini, sektor pemerintah telah terintegrasi dalam hubungan
segitiga (mekanisme triangulasi) dengan dua sektor lainnya yaitu sektor
privat/bisnis dan sektor kemasyarakatan (termasuk LSM dan organisasi voluntir).
Dengan kata lain, struktur hubungan yang terbangun tidak lagi bersifat
monolitik, tetapi lebih dialektik. Dan inilah salah satu ciri dari prinsip
kerja “governance”. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah “kontrak sosial” baru yang
menegaskan peran dan tanggungjawab baru masing-masing sektor selaku agen
pembangunan.
Dalam hubungannya dengan PPI-Jepang, pertanyaan mendasar
yang kemudian muncul adalah: dimanakah posisi PPI-Jepang dalam hubungan segitiga
tadi, serta format dan strategi organisasi yang bagaimana yang perlu didesain
untuk mampu berkontribusi secara konstruktif dalam pembangunan bangsa?
Ditilik dari karakteristiknya (baca bagian berikutnya
dari tulisan ini), PPI-Jepang jelas merupakan salah satu komponen dari
masyarakat madani. Keberadaan dan peran unsur kemasyarakatan dalam proses
pembangunan tidaklah bisa disepelekan. Secara asumtif dapat dikatakan bahwa
makin besar peran yang dapat dimainkan kelompok ini, makin partisipatif-lah
mekanisme pembangunan. Dan makin partisipatif sebuah pembangunan, makin tinggi
pulalah kualitas hasil pembangunan yang dapat dicapai.
Dalam rangka mengambil bagian yang lebih aktif dan
positif dalam proses pembangunan tadi, setiap organisasi (tidak terkecuali PPI-Jepang)
perlu melakukan perubahan dalam bentuk reformulasi, revitalisasi atau
re-engineering atas format dan strategi organisasinya.
Pentingnya
perubahan organisasional ini misalnya ditekankan oleh Morgan (1996) dengan
menyatakan bahwa organisasi selalu menghadapi metamorfosa seperti
metamorfosanya ulat menjadi kupu-kupu. Artinya, hanya ada dua pilihan bagi
organisasi, yaitu berubah atau mati. Namun pilihan untuk berubah
merupakan pilihan yang tepat, sebab bagi organisasi yang tidak memiliki
fleksibilitas yang tinggi, tidak mungkin akan dapat bertahan hidup kecuali
mereka mengubah atau menstruktur kembali organisasinya.
Mengenai
format organisasi PPI-Jepang mendatang, proses reformulasi, revitalisasi atau
re-engineering tadi harus mampu mengubah proses dan kendali internal dari suatu
hierarki vertikal fungsional yang tradisional, menjadi struktur pipih yang
horizontal, lintas-fungsional dan berlandaskan kerjasama tim. Ini artinya,
organisasi yang berbentuk “cerobong” harus secepatnya diubah menjadi berbentuk
“jaringan”, yakni suatu tim-tim yang dapat terbentuk dan terurai lagi sementara
orang bekerja di lebih dari satu tim, dengan berbagai peran berbeda pada saat
yang bersamaan. Dalam redaksional yang senada, O’Sullivan (2002) mengungkapkan
bahwa dalam era jaringan kerja (networked era) sekarang ini, organisasi
modern harus merubah struktur manajemennya from
hierarchical and mechanistic structures to more organic virtual and networked
arrangements.
Seiring dengan perubahan format organisasi, maka amandemen AD/ART
PPI-Jepang menjadi suatu conditio sine qua non. Pokok-pokok amandemen
perlu difokuskan kepada upaya untuk mengembangkan kerjasama dan mengakomodir
pihak luar untuk secara langsung maupun tidak langsung berkolaborasi
dengan PPI-Jepang. Hasrat untuk
membangun jaringan kerja sesungguhnya sangat kuat diantara anggota yang ada.
Sebagai contoh, terdapat organisasi IPDF yang dimotori oleh sekelompok
mahasiswa di Tokyo Institute of Technnology yang mencoba memoderatori
terjadinya dialog kebijakan lintas sektor. Ada pula ISTECS yang memiiliki komitmen
mempromosikan iptek melalui kegiatan akademis dan penerbitan. Tidak ketinggalan
pula organisasi keagamaan seperti KAMMI, KMII, KMI dan sejenisnya. Bahkan ada
pula organisasi yang lebih memprioritaskan warga Jepang sebagai anggota seperti
PKIN (Perkumpulan Keluarga Indonesia Nagoya) dan SAI (Senyum Anak Indonesia ) yang juga berdomisili di Nagoya . Tentu masih
banyak lagi organisasi yang dapat ditunjuk untuk menggambarkan betapa besarnya
potensi membangun network antar mahasiswa Indonesia di Jepang ini.
Dalam kerangka kesisteman, sangat disayangkan bahwa berbagai
organisasi tadi tidak lahir atas inisiatif PPI, atau minimal ikut
memfasilitasi. Lebih sayang lagi, antar organisasi tadi terlihat kurang saling
terintegrasi secara sinergis satu sama lain.
Adapun mengenai strategi manajemen yang harus dipilih, O’Sullivan
(2002) menawarkan dua hal yakni relationship management dan knowledge
management. Relationship management menyiratkan perlunya mengelola
hubungan internal dalam organisasi dan hubungan antar organisasi dalam
masyarakat dalam iklim yang kolaboratif. Sedangkan knowledge management
menekankan pentingnya mengelola penciptaan, pembagian dan pemanfaatan
pengetahuan dalam iklim yang kompetitif namun kolaboratif. Disisi lain, Pinney
(2003) menawarkan model manajemen yang dinamakan reputation management.
Model ini lebih menonjolkan perbaikan atau penguatan prestasi dan akuntabilitas
organisasi untuk menarik kepercayaan dari kalangan stakeholders atau mitra
kunci.
Salah satu implikasi dari perubahan strategi manajemen ini adalah
kebutuhan untuk mengokohkan hubungan kerja antara PPI Pusat disatu pihak dengan
PPI Daerah (Korda dan Komsat) di pihak lain. Disini dapat diambil sebuah
analogi bahwa organisasi semacam PPI pada dasarnya merupakan miniatur dari
organisasi kenegaraan. Pada keduanya perlu dijamin adanya hubungan Pusat-Daerah
yang harmonis, resiprokal, seimbang, terbuka dan kolaboratif. Meskipun hubungan
PPI Pusat – PPI Daerah selama ini berjalan mulus dan harmonis, namun aspek
kolaborasinya kurang nampak. Sebagai contoh, diluar mekanisme Konggres tidak
ada forum seperti Rakernas yang membahas program kerja tahunan PPI Pusat.
Padahal semestinya, program PPI Pusat adalah hasil akumulasi dan seleksi dari
proposal program kerja yang dibuat PPI Daerah. Hanya dengan demikian, PPI
Jepang dapat mencerminkan aspirasi dan representasi dari seluruh anggotanya
yang tersebar di penjuru Jepang.
Karakteristik Organisasi dan Anggota PPI-Jepang
Dilihat dari aspek-aspek mekanisme kerja, cakupan
program, keterikatan anggota terhadap organisasi, serta penggalangan sumber
daya, PPI-Jepang dapat dikategorikan sebagai organisasi sukarela (voluntary organization). Sementara jika
dicermati dari karakteristik anggota yang relatif homogen, PPI-Jepang bisa
disebut sebagai organisasi yang berbasis pada pengembangan pengetahuan (knowledge-based organization). Dua
karakter inilah yang menurut penulis merupakan ciri utama PPI-Jepang, yang
hendak dielaborasi lebih dalam dalam tulisan ini.
1. PPI-Jepang sebagai Voluntary Organization.
Pada umumnya, motif
sebuah organisasi dapat diketahui dari berbagai sub-sistem yang bekerja dalam
organisasi tersebut, misalnya aspek manajemen dan mekanisme kerja, sistem
rekrutmen anggota dan hubungan timbal baliknya dengan organisasi, dan
sebagainya.
a. Dari sisi
manajerial makro, sebuah organisasi formal dan terlebih lagi yang mengejar
keuntungan (profit orientation),
manajemen organisasi dilakukan seefektif dan seprofesional mungkin sejak tahap
perencanaan, pengawasan hingga evaluasi hasil-hasil kerja.
PPI-Jepang
sendiri telah mencoba mengaktualisasikan diri sebagai organisasi modern,
meskipun hasil yang dicapai masih sangat jauh dari harapan. Sebagaimana
tersirat dalam AD/ART, siklus manajemen PPI-Jepang diawali dari adanya Konggres
sebagai forum tertinggi yang meletakkan mandat kepada pengurus terpilih.
Selanjutnya, pengurus berkewajiban menyusun dan melaksanakan program kerja dua
tahunan, serta mempertanggungjawabkan di akhir masa tugasnya. Dalam kurun waktu
kepengurusan tertentu, anggota berhak memberikan saran dan kritik sebagai wujud
mekanisme pengawasan atau check and
balance. Ini semua menunjukkan bahwa PPI-Jepang telah menerapkan
prinsip-prinsip dasar organisasi modern.
Namun
ada yang kurang dibalik berbagai formalitas tadi. Salah satu yang paling
menonjol adalah kurangnya semangat untuk memberi makna secara konsisten kepada
prinsip-prinsip yang bagus tadi. Akibatnya, manajemen PPI-Jepang tidak lebih
dari sekedar manajemen rumah tangga (household
management). Dalam sebuah rumah tangga, hubungan antara ibu, bapak, dan
anak-anaknya tidak hanya bersifat yuridis semata, namun lebih kearah ikatan
kebatinan (emosi) yang didasari oleh nilai-nilai primordial. Yang terjadi
kemudian adalah munculnya banyak kendala dalam proses komunikasi (barriers to communication) antar
anggota, seperti: anak tidak boleh
“melawan” kehendak orang tua, anak harus mendapat ijin untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu, dan lain-lain. Nilai-nilai paternalisme lebih menonjol dari
pada rasionalisme, dan mufakat bulat jauh lebih disukai dibanding diskusi
berbasis argumen logis. Disamping itu, individualisme dianggap bertentangan
dengan semangat kolektivisme, sehingga gotong royong menjadi pilihan utama
dibanding sistem “renumerasi” atau “reward and punishment”.
Ini
pula yang agaknya tengah terjadi di tubuh PPI-Jepang. Tuntutan diadakannya
pertanggungjawaban akhir masa kepengurusan sering dipersepsi sebagai upaya
mencari kekurangan dan kelemahan. Program kerja yang disusun pengurus selalu ditelan
bulat-bulat tanpa sikap kritis dari anggota. Iklim pemilihan ketua baru tidak
pernah menarik minat anggota, sehingga tidak satupun Korda yang antusias
menyosialisasikan calonnya untuk posisi ketua. Eksesnya, terpilihnya ketua
seringkali dihasilkan dari proses lobby segelintir “elite” PPI-Jepang,
sementara sebagian besar anggota hanya bersikap taken for granted. Itulah sebabnya, forum setinggi Konggres tidak
memiliki “greget” karena lebih sering berfungsi sebagai forum formalisasi dari
lobby-lobby di belakang layar yang terjadi sebelumnya.
b. Dari sisi
keanggotaan, organisasi dimanapun dalam bentuk apapun selalu melakukan proses
rekrutmen atau seleksi sesuai dengan kebutuhan organisasi yang bersangkutan.
Pada
kasus PPI-Jepang, sistem keanggotaan bersifat otomatis dan pasif. Otomatis,
karena siapapun yang berstatus pelajar di Jepang, maka dia langsung mendapat
hak untuk menjadi anggota. Pasif, karena keanggotaan ini didasarkan pada
kesukarelaan, kesadaran dan kebutuhan dari individu yang bersangkutan untuk
bergabung atau tidak bergabung. Dengan kata lain, meskipun setiap pelajar di
Jepang berhak menjadi anggota PPI, namun keanggotaannya baru menjadi aktif jika
ada “permohonan” menjadi anggota (meskipun hal ini tidak diatur dalam AD/ART).
Kondisi ini pulalah yang agaknya menjadi sumber kesulitan pengurus di tingkat
pusat, daerah maupun komisariat untuk mengetahui secara tepat jumlah
anggotanya.
c. Dari sisi
pelaksanaan tugas harian (day-to-day
operation).
Secara
umum, 25% dari seluruh organisasi yang ada di dunia memiliki SDM yang digaji
secara penuh (full time paid staffs),
dan sekitar 35% terdiri dari karyawan kontrak atau part-time workers. Sementara hampir setengahnya mengandalkan pada
pekerja sukarela (Bruce, 1999). Fenomena organisasi sukarela dan pekerja
sukarela di Indonesia
sendiri bukan hal yang baru, seperti digalakkannya program TKS-BUTSI (Tenaga
Kerja Sukarela – Badan Urusan Tenaga Sukarela Indonesia ), penempatan
sarjana-sarjana (pengangguran) di pelosok pedesaan secara “sukarela”, dan
sebagainya. Demikian pula, banyak sekali terdapat organisasi sukarela, dari
yang berbentuk koperasi, advokasi, penanggulangan bencana, pelestarian
lingkungan, sampai dengan yang bergerak di bidang-bidang pelayanan dasar
seperti kesehatan dan pendidikan.
Dalam
konteks PPI-Jepang, tidak satupun pengurus yang mendapat imbalan finansial (zero paid staffs). Pekerjaan sebagai
pengurus lebih merupakan pengabdian dan komitmen pribadi untuk membesarkan
organisasi. Itulah sebabnya, sering muncul sindiran bahwa anggota tidaklah pantas
menuntut sesuatu secara berlebihan kepada pengurus. Pada saat yang bersamaan,
beberapa pengurus juga berpikiran serupa bahwa komitmen dia sebagai pengurus
hanya sebatas waktu luang yang dimilikinya. Antara pengurus dan anggota
dituntut adanya saling pengertian dan sikap TST (tahu sama tahu). Dengan
situasi seperti ini, wajarlah jika berkembang pola “manajemen kekeluargaan”
sebagaimana digambarkan pada butir (1a) diatas. Bahkan kerap terjadi ide atau
usulan seorang anggota melalui milis berlalu begitu saja karena tidak mendapat
respon yang secukupnya dari pengurus.
d. Dari sisi cakupan
program, sebuah organisasi suka rela dapat mengarahkan kegiatannya untuk
memenuhi kebutuhan sendiri (inward-looking)
maupun mendedikasikannya kepada komponen kemasyarakatan diluar dirinya sendiri
(outward-looking). Sebagaimana dapat
disimak dari laporan European Commission on Promoting the Role of Voluntary Organizations and Foundations, sebuah
organisasi voluntir dapat bergerak atau berkiprah di empat bidang, yakni: 1)
penyediaan layanan tertentu (service
delivery and provision), 2) advokasi, 3) organisator atau koordinator
kegiatan atau event tertentu (intermediary
bodies), serta 4) pemenuhan kepentingan sendiri (self-help or mutual aid).
Apa
yang telah dilakukan dan dicapai oleh PPI-Jepang, pada hakekatnya baru menyetuh
bidang yang terakhir. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peran yang
dimainkan oleh organisasi ini masih sangat kecil atau sedikit (minimalis). Namun jika PPI-Jepang dapat
mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan bertindak professional, bukan
tidak mungkin ketiga bidang garapan yang lain dapat dilakukan pula. Paling
tidak, bidang garapan yang perlu diincar dalam jangka pendek adalah memainkan
peran sebagai intermediary body, dan
dalam jangka panjang dapat dilebarkan lagi hingga ke bidang advocacy dan service delivery.
e. Dari sisi
penggalangan sumber daya khususnya keuangan, organisasi yang “normal” memiliki
sumber pembiayaan yang jelas dan teratur. Bahkan untuk organisasi sukarela
seperti koperasi, iuran anggota memegang peran penting sebagai “motor
penggerak” organisasi disamping SDM dan faktor-faktor lainnya.
Dalam
hal keuangan PPI-Jepang, sumber dana merupakan salah satu masalah abadi yang
sangat krusial. Sebab, jumlah dana yang diterima dalam tahun anggaran berjalan
tidaklah dapat diprediksi karena sumber-sumbernya yang tidak pasti. Walaupun
AD/ART mengatur bahwa “harta benda PPI-Jepang adalah segala milik organisasi
yang didapat dari iuran anggota, sumbangan-sumbangan yang tidak mengikat dan
usaha lain yang sah”, namun mekanisme iuran sama sekali tidak dapat berjalan.
Akibatnya, jajaran pengurus-pun tidak mampu menyusun rencana kerja lengkap
dengan rincian pembiayaannya.
Meskipun dihadapkan
pada berbagai permasalahan, namun organisasi voluntir pada umumnya dan
PPI-Jepang pada khususnya tidak berarti menjadi tidak penting. Dalam salah satu
publikasinya, Bruce (1999) menekankan pentingnya organisasi voluntir ini dengan
mengatakan bahwa organisasi ini merupakan inti dari sebuah komunitas dan
menjadi perekat bagi berbagai bagian masyarakat yang terpisah. Lebih lanjut ia
mencatat bahwa “… the overriding importance and pervasiveness of voluntary
presence in community activities is a strong indicator of the importance of
social infrastructure in the community – those elements which collectively
articulate a community’s abilities and desires to provide for itself”.
Kenyataannya,
disadari atau tidak, PPI-Jepang juga telah berfungsi sebagai perekat mahasiswa
dari berbagai daerah, berbagai instansi, berbagai jenjang kepangkatan, berbagai
profesi dan berbagai golongan. Yang perlu dilakukan bukan merubah karakteristik
organisasi dari sukarela menjadi organisasi yang lebih berorientasi input
(baca: keuntungan finansial), tetapi melakukan perbaikan kesisteman dan pola ketatalaksanaan
yang setidaknya mencakup lima
butir / dimensi diatas.
2. PPI-Jepang sebagai Knowledge-based Organization.
Dalam pasal 3 butir
2 AD/ART ditegaskan bahwa “organisasi ini bersifat sebagai masyarakat ilmiah
dan kekeluargaan”. Pernyataan ini tidaklah berlebihan, mengingat homogenitas
anggota PPI-Jepang sebagai kaum terdidik atau intelektual. Bahkan tidak
berlebihan pula jika dikatakan bahwa potensi utama PPI-Jepang terletak pada
anggotanya yang memiliki disiplin ilmu sangat beragam. Adanya interaksi antar
anggota yang lintas-disiplin ini mampu mengakselerasi terjadinya ekses
pengayaan (enrichment) dalam “bursa
opini” di kalangan anggota. Oleh sebab itu, tidaklah salah jika PPI-Jepang
diklasifikasikan sebagai organisasi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge-based organization).
Meskipun demikian
perlu disadari bahwa interaksi anggota selama di Jepang hanya terjadi untuk
sementara waktu. Sedangkan kiprah mereka yang nyata lebih diharapkan ketika
kembali ke tanah air untuk membangun organisasi induk dan bangsanya. Ibarat
seorang cantrik yang sedang menuntut ilmu di sebuah pesanggrahan atau pesantren
di puncak gunung, ia dituntut untuk turun gunung dan mengamalkan ilmunya di
dunia ramai. Oleh karenanya, pengetahuan teoretis, kekayaan konseptual maupun kaidah-kaidah
normatif saja tidaklah memadai. Kiranya perlu dipikirkan juga agar anggota
PPI-Jepang juga memiliki kompetensi keahlian (practical skills) yang
mumpuni setelah menjadi alumni. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi gap atau missing-link antara ilmu yang didapat di rantau dengan tuntutan
riil di lapangan. Disinilah PPI-Jepang dapat mengambil peran baru sebagai
penghubung (bridge creator) antara
dunia keilmuan dengan aplikasi kebutuhan nyata di lapangan.
Peran Baru
PPI-Jepang bagi Pembangunan Bangsa
Mengingat
karakteristik organisasi dan anggota PPI-Jepang sebagaimana dipaparkan diatas,
dan mengingat pula bidang garapan yang mungkin dimasuki oleh organisasi
voluntir, maka peran baru PPI-Jepang yang paling prospektif adalah sebagai
lembaga mediasi atau penghubung (intermediary body). Pemahaman sebagai
“lembaga penghubung” sendiri perlu ditafsirkan dalam beberapa makna sebagai
berikut:
·
PPI-Jepang
sebagai penghubung antara dunia keilmuan dengan aplikasi kebutuhan nyata di
lapangan. Seperti telah disinggung diatas, sebagian besar anggota adalah
pelajar (cantrik) yang tengah menimba ilmu di pusat-pusat pendidikan
(universitas atau pesantren/pesanggrahan pada masa silam). Ini berarti bahwa
universitas merupakan “kawah candradimuka” yang sesungguhnya bagi seseorang
untuk menempa diri menjadi sosok manusia yang tidak hanya berilmu tinggi, namun
juga bijaksana (waskita pinandhita). Namun harus diakui bahwa segunung
ilmu saja tidaklah cukup, karena masih dibutuhkan adanya seni untuk
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, disamping kemampuan untuk
menganalisa struktur permasalahan riil yang kerapkali berbeda dengan yang
tercantum di buku atau kitab-kitab. Sayangnya, kedua hal ini jarang sekali
diperoleh lembaga pendidikan modern. Untuk itu, PPI-Jepang dapat memainkan
peran pada wilayah yang kosong (blank areas) ini. Artinya, interaksi
dalam organisasi PPI-Jepang perlu diintensifkan seolah-olah sebagai dunia nyata
yang akan dihadapi para cantrik seusai ngangsu kawruh di kawah
candradimuka.
·
PPI-Jepang
sebagai penghubung antar disiplin ilmu yang sejenis atau serumpun, sehingga
dapat dibangun sebuah pemahaman keilmuan yang lebih komprehensif. Seorang dosen
ilmu pertanian misalnya, hendaknya tidak hanya menguasai teknik-teknik bertani
di Indonesia
dan perkembangan terkini dari ilmu pertanian itu sendiri, namun juga mesti
paham tentang bagaimana membangun pertanian yang maju di Jepang atau
negara-negara lain. Sebaliknya, perlu pula dipromosikan tentang sisi-sisi
positif dari pertanian Indonesia
yang bisa dikembangkan di negara lain. Dengan demikian, semua pihak akan
mendapat keuntungan secara timbal balik (mutual benefit). Untuk dapat
memainkan peran seperti ini, PPI-Jepang perlu menjalin hubungan dengan
instansi-instansi di Jepang. Dan jika hal ini dapat terwujud, maka secara tidak
langsung PPI-Jepang sesungguhnya telah menanamkan benih-benih yang sangat subur
bagi tumbuhnya konsorsium keilmuan, misalnya konsorsium ilmu pertanian,
konsorsium ilmu ekonomi, konsorsium ilmu administrasi, dan sebagainya.
Tuntutan
untuk belajar sesuatu yang tidak didapat di universitas melalui mekanisme
interaksi keorganisasian ini pada hakekatnya juga menunjukkan bahwa PPI-Jepang
merupakan sebuah organisasi yang tidak hanya menjdi tempat belajar secara
informal, namun sekaligus juga organisasi pembelajar (learning organization).
Selanjutnya,
peran lain yang potensial diemban adalah memperkokoh jaringan yang ada,
khususnya dengan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang riset, pendidikan dan
publikasi. Hal ini seiring dengan visi dan karakteristik organisasi,
serta ketentuan yang diatur dalam AD/ART.
Akhirnya,
peran baru PPI-Jepang juga dapat dirumuskan melalui pendalaman atau penajaman
visi yang sudah ada. Visi yang sudah ada yakni “Membuka Dunia Untuk Indonesia ”,
perlu dimantapkan. Namun perlu dibarengi dan diperkuat dengan visi baru yakni “Membuka
Indonesia Untuk Dunia”.
Catatan Penutup
Beberapa
peran baru yang diajukan disini sebenarnya masih sangat bersifat sumir dan
makro, sehingga perlu ada pengkajian lanjutan untuk membuatnya operasional.
Dengan kata lain, berbagai catatan yang tertuang dalam tulisan ini lebih
dimaksudkan sebagai sebuah lemparan untuk menggelitik rasa kepedulian (sense
of awareness) dari segenap anggota, pengurus dan simpatisan PPI-Jepang
terhadap masa depan organisasi. Sebagai sebuah komunitas terdidik, tentu
PPI-Jepang tidak ingin tampil hanya sebagai organisasi “pengisi waktu luang”
atau sekedar penghias dann pelengkap bangkitnya civil society di Indonesia. Lebih-lebih lagi, seluruh anggota PPI-Jepang
jelas tidak ingin di cap sebagai etalase persemaian elite-elite baru yang tidak
populis.
Untuk
menghindari atribut-atribut negatif tadi, maka revitalisasi peran organisasi
ke-PPI-an jelas menjadi solusi yang harus dijawab dengan semangat bulat oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Peran ini haruslah bersifat aplikatif,
inovatif, dan yang lebih penting lagi, membumi dan mampu berkontribusi untuk
ikut meringankan beban Republik tercinta yang akhir-akhir ini terlihat semakin
berat. Hanya dengan unjuk peran yang positif dan konstruktif bagi pembangunan
bangsa inilah, kita dapat memaknai peringatan 50 tahun PPI-Jepang sekaligus
peringatan 58 tahun Kemerdekaan Indonesia dalam situasi yang hikmat disertai dengan
senyum kebanggaan dan kemenangan.
Dirgahayu
PPI-Jepang,
Jayalah
PPI-Jepang ... Jayalah Negeriku Indonesia
!!!
Referensi:
Bruce, David, Paul Jordan, and Greg Halseth, 1999, The
Role of Voluntary Organization in Rural Canada : Impacts of Changing
Availability of Operational and Program Funding, Canadian Rural
Restructuring Foundation.
European Commission on Promoting the Role of
Voluntary Organizations and Foundations, (tanpa tahun), Communication from
the Commission. Lihat di
http://europa.eu.int/comm/enterprise/library/lib-social_economy/orgfd_en.pdf
Huntington, Samuel P., 1991, The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press.
Morgan,
Michael, 1996, Creating Workforce Innovation, terjem. Palupi Tyas dengan
judul Strategi Inovasi Sumber Daya Manusia, Jakarta : Elex Media Komputindo.
Ohmae, Kenichi, 1990, The Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy,
Harper Business Book.
_____________, 2000, The Invisible Continent: Four Strategic Imperatives of the New Economy,
Asia Books Co.Ltd.
O’Sullivan,
Patricia, 2002, Organization and Management in the Networked Era, Module
Lecturer 2002/22003, Dublin
City University .
Pinney, Chris, 2003, The Changing Relationship
Between the Private and Voluntary Sectors, Presentation Overview for
Chaotic Interface Conference, March 7, Toronto : Canadian Center for Philanthropy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar