Abstrak
Pemberlakuan
kebijakan otonomi daerah disikapi secara kurang bijaksana oleh banyak daerah
dengan mengeluarkan produk hukum tentang pungutan atau retribusi yang justru
memberatkan aktivitas ekonomi di daerah. Prinsip pemberian perijinan selama
inipun ternyata salah kaprah, karena diberlakukan untuk semua jenis usaha dan
kegiatan masyarakat. Padahal, secara filosofis tidak semua usaha dan kegiatan
publik memerlukan perijinan dari instansi pemerintah. Berbagai fenomena negatif
tadi mengakibatkan merosotnya kinerja pelayanan umum. Untuk itu, tulisan ini
mencoba menawarkan upaya memperbaiki pelayanan (khususnya perijinan) dari
perspektif HAN (hukum administrasi negara), yakni melalui pengembangan upaya
hukum secara administratif (administratief beroep).
The enactment of
new decentralization framework has been unwisely implemented in many regions.
Districts/city governments tend to promulgate new local levies result in high
cost economy for regional business activities. The principle of delivering
administrative approval (perijinan) is also misgiving as it is deployed for all
people’s economic facets. Philosophically, not every economic activity requires
such kind of permission. This situation leads to the deprivation of public
service quality. In order to restore government performance in delivering
public service, this paper tries to offer a solution from the perspective of
constitutional / public administration law (hukum administrasi
negara),
i.e. providing new mechanism of administrative legal efforts (upaya
hukum secara administratif).
Pengantar
Demi alasan menggenjot PAD, banyak daerah
yang lantas memberlakukan Perda yang berisi pungutan atau pembebanan finansial
atas kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih meningkatkan kemampuan keuangan
daerah, kebijakan tadi justru banyak menimbulkan biaya tinggi (high cost
economy) yang menghambat masuknya investasi ke daerah. pada gilirannya,
aktivitas ekonomi yang seret atau terganggu justru menjadi kurang mampu menjadi
sumber pendapatan daerah. Dengan kata lain, logika berpikir yang diterapkan
banyak daerah saat ini adalah “ingin untung secara cepat dan mudah”, namun
sesungguhnya mengandung bahaya pada jangka panjang. Logika ini semestinya
diubah, yakni dengan menciptakan kemudahan-kemudahan (seperti pengurangan
campur tangan, peningkatan subsidi, pemberian pemutihan dan dispensasi, bahkan
pengampunan pajak bila diperlukan), namun akan merangsang aktivitas ekonomi
yang secara akumulatif menjadi sumber baru yang dapat diandalkan pada masa
mendatang.
Beberapa ahli dan lembaga telah mengkaji
dampak buruk dari penerapan Perda retribusi yang berlebihan ini. Sebagai
contoh, Susastro (t.t.) menyatakan bahwa Perda semacam itu mengakitabkan
meningkatnya hambatan perdagangan antar daerah, dari propinsi yang satu ke
propinsi yang lain atau dari kabupaten/kota yang satu ke kabupaten/kota yang
lain. Sementara itu, dari banyak kasus yang diteliti Akatiga (t.t.) pada
industri konveksi, logam dan kerajinan, tingkat keuntungan pengusaha yang masih
bertahan, akan lebih kecil ketimbang biaya kelancaran alias pungutan resmi
maupun siluman yang dikeluarkan. Sebuah industri logam di Klaten pada penjualan
1997, mengeluarkan biaya pungutan 12 persen, sedang keuntungannya hanya 2,18
persen. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi pengusaha kecil, apalagi dalam
menghadapi pasar bebas era globalisasi. Dipastikan bakal tak mampu bersaing
dengan produk impor. Tidak hanya bersifat ekonomis, pungutan pun berdampak juga
pada terjadinya erosi moral dan rusaknya etika bisnis, yang tidak hanya
di instansi pemerintah, tetapi juga merambah dunia usaha (Utomo, 2005b).
Sebagai ilustrasi, sebelum bergulirnya
otonomi daerah, terdapat 14 macam retribusi konvensional yang hampir ditemui di
berbagai daerah, meliputi: retribusi penggantian biaya cetak KTP dan Akta
Capil, retribusi tempat pemakaman, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan,
retribusi perparkiran, retribusi izin trayek, retribusi terminal, izin
gangguan, retribusi IMB, retribusi pasar, retribusi pelayanan kesehatan,
retribusi izin peruntukan pengunaan tanah, retribusi rumah potong hewan,
retribusi tempat wisata, serta retribusi pedagang kaki lima.
Namun begitu kewenangan menggali sumber
pendapatan dimiliki oleh daerah, muncullah beragam retribusi yang “inovatif”
seperti retribusi susu sapi (Raperda Garut, 2002), retribusi izin tata
informasi (Perda Kab. Cirebon Nomor 79 Tahun 2001), retribusi informasi dan
komunikasi (Raperda Kota Makasar, 2001), retribusi / sumbangan pengumpulan dan
atau pengeluaran hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan hasil
laut, kehutanan, dan hasil perindustrian (Perda Kabupaten Flores Timur No. 2
Tahun 2000, 14 Juni 2000), retribusi izin komoditi keluar Propinsi Lampung
(Perda Propinsi Lampung No.6 Tahun 2000, 24 April 2000), retribusi asal
komoditas (Perda Kabupaten Pasaman No.2 Tahun 2001, 15 Januari 2001), retribusi
atas pengangkutan dan atau penjualan hasil pertanian dan industri keluar
wilayah Kab. Kapuas (Perda Kab. Kapuas No.14
Tahun 2000, 9 September 2000), dan sebagainya.
Disamping itu, ada pula retribusi menara base
transceiver system (BTS) (SK Walikota Denpasar Nomor 578 Tahun 2001),
retribusi angkutan batubara (Perda Kota Samarinda Nomor 20 Tahun 2000), retribusi
peternakan unggas dan retribusi bibit ayam (di wilayah Jawa Barat), retribusi
pohon bambu (Kab. Sumedang), retribusi kendaraan air, retribusi perkebunan Teh,
Akar Wangi dan kerajinan kulit (Kab. Garut), retribusi PHK,
retribusi penjualan ikan (Medan ),
retribusi seniman tradisional (Kab. Tuban), retribusi penyedotan kakus (Kota
Depok), retribusi pemakaman mayat (Kota Semarang), dan
sebagainya.
Berbagai bentuk jenis retribusi baru tadi
berjumlah hingga ratusan, bahkan ribuan. Dan secara umum, lahirnya Perda atau
Keputusan Bupati/Walikota tentang pungutan tadi mendapat tentangan yang sangat
keras bukan saja dari kalangan masyarakat biasa dan pelaku ekonomi lokal, namun
juga dari kaum cendekiawan dan lembaga riset serta lembaga donor baik skala
nasional maupun internasional. Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengontrol
seluruh Perda sangatlah terbatas. Belum lama ini, pemerintah melalui Kepala
Badan Pengkajian Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui kesulitan
untuk mengawasi atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan pengusaha telah
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak menyampaikan perda
tersebut ke pusat. Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku, baru 4 ribu perda
yang disampaikan ke pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang tidak disampaikan ke
pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).
Satu hal yang pasti dari fenomena seperti
itu adalah, makin buruknya kinerja pelayanan dan merosotnya kualitas pelayanan
itu sendiri. Dengan demikian, asumsi bahwa perijinan identik dengan pelayanan
tidak dapat diterima lagi. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba
menguraikan esensi dan substansi perijinan dari sudut pandang HAN (hukum
administrasi negara). Selanjutnya, tulisan ini juga mengajukan rekomendasi
tentang perlunya dikembangkan mekanisme administratif (administratief beroep)
sebagai upaya untuk memperbaiki kinerja pelayanan, khususnya yang terkait
dengan kebijakan dan pelayanan perijinan.
Perijinan Sebagai Tindakan Hukum Pemerintah
Menurut Marbun (2004), pemerintah atau
pejabat / badan tata usaha negara, dapat melakukan tindakan atau perbuatan
hukum dalam 3 (tiga) bentuk atau dimensi sebagai berikut:
1.
Tindakan
Nyata (feitelijke handelingen). Sengketa yang timbul dari tindakan hukum
ini diselesaikan melalui Peradilan Umum berdasar pasal 1365 KUH Perdata tentang
perbuatan melawan hukum dan merugikan orang lain.
2.
Keputusan
Tata Usaha Negara atau KTUN (beschikking). Sengketa yang timbul dari
tindakan hukum ini diselesaikan melalui PTUN.
3.
Peraturan
(regeling). Sengketa yang timbul dari tindakan hukum ini diselesaikan
melalui Hak Uji Materiil (judicial review) kepada MA (atau Mahkamah
Konstitusi).
4.
Freies ermessen / beleids regel / pseudo wetgeving, misalnya dalam
pembuatan Surat Edaran, Juklak dan Juknis, dan sebagainya. Produk-produk hukum
seperti ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah regeling,
apalagi beschikking; dan bukan pula sebuah tindakan nyata. Oleh
karenanya, sengketa yang mungkin muncul dari perbuatan ini tidak dapat
diselesaikan melalui Peradilan Umum, PTUN, maupun MA. Namun sebagai panduan
norma dalam mengeluarkan dan/atau menetapkan suatu beleids regel,
pemerintah harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene
beginselen van behoorlijk bestuur).
Perijinan sendiri dapat dikelompokkan kedalam
produk keputusan (beschikking). Sebab, suatu perijinan memenuhi kriteria
atau komponen-komponen dari sebuah keputusan, yakni bersifat konkrit,
individual dan final. Disamping itu, perijinan juga adalah KTUN yang bersegi
satu (bersifat istimewa). Artinya, substansi dan butir-butir klausul dalam
perijinan bukan merupakan kesepakatan antara pemerintah dan penerima perijinan.
Disini, pihak penerima (surat )
perijinan dianggap menundukkan diri terhadap ketentuan-ketentuan dan
persyaratan yang ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.
Selain itu, dalam melakukan suatu tindakan
hukum (termasuk mengeluarkan keputusan tentang perijinan tertentu), pemerintah
atau pejabat/badan TUN harus dianggap benar menurut hukum (asas het
vermoeden van rechtmatigheid). Dalam khazanah hukum pidana, asas ini sama
dengan asas praduga tak bersalah. Itulah sebabnya, sepanjang belum dinyatakan
sebaliknya (bersalah / melanggar hukum / menyalahgunakan kewenangan), tindakan
hukum pejabat / badan TUN memiliki akibat hukum yang sah. Dengan kata lain,
keputusan pemerintah tentang perijinan langsung memiliki kekuatan hukum yang
pasti pada saat dikeluarkan, hingga ada keputusan lain yang menyatakan
sebaliknya. Asas seperti ini adalah bentuk adanya jaminan hukum terhadap
perbuatan / tindakan hukum yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah.
Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa
suatu keputusan perlu dipertimbangkan secara matang sebelum ditetapkan. Selama
ini terdapat kebiasaan dalam penyusunan keputusan dengan menyertakan klausul
yang berbunyi: “jika dalam keputusan ini ditemukan kesalahan, akan dilakukan
perubahan sebagaimana mestinya” (vleigheid clausule). Menurut kaidah
HAN, klausul ini tidak dapat dibenarkan dengan alasan:
1.
Suatu
keputusan tidak dimaksudkan untuk ditinjau kembali setiap saat diperlukan.
Justru suatu keputusan harus dapat memberi rasa kepastian hukum. Keputusan yang
siap untuk diubah sewaktu-waktu, jelas tidak memiliki kepastian hukum yang
kuat.
2.
Klausul
seperti itu bisa menjadi faktor yang memudahkan pejabat / badan TUN untuk
mengeluarkan keputusan secara sembarangan dan tidak teliti. Padahal idealnya,
suatu aturan / keputusan harus dipertimbangkan secara matang dan komprehensif,
sehingga tidak menimbulkan potensi konflik dan tuntutan perubahan.
3.
Pejabat/badan
TUN harus bertanggungjawab atas keputusan yang dikeluarkan dan ternyata
mengandung cacat / kesalahan. Perubahan / penggantian dengan keputusan baru,
bukanlah wujud pertanggungjawaban yang baik dan benar.
Dalam beberapa hal, vleigheid clausule tadi
justru akan membuka terjadinya sengketa dalam lapangan tertentu yang berkaitan
dengan dikeluarkannya perijinan. Selain itu, vleigheid clausule tadi
juga dapat mengantarkan atau menjadi sumber terjadinya tindakan hukum pejabat
pemerintah yang menyimpang. Dalam hal ini, Sjachran Basah (1985) menulis bahwa
secara teoretis paling tidak terdapat 3 (tiga) bentuk tindakan hukum
pejabat/badan tata usaha negara (TUN) yang menyimpang, yaitu perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad), perbuatan menyalahgunakan
wewenang (detournement de pouvoir), serta perbuatan yang sewenang-wenang
(abus de droit).
Sementara itu, Utomo (2005a) mengemukakan
bahwa berbagai bentuk penyimpangan tersebut dapat dipelajari dari seluk beluk
tentang pemerintah, atau dari anatomi dan jenis-jenis wewenang (kewenangan)
pemerintah. Dari dimensi pemerintah, entry points yang menjadi sumber
penyimpangan adalah karakteristik kontrak yang struktur dan proses operasi
kewenangannya bersifat sentralistis dan monopolistis, serta output kewenangan
(kebijakan dan program) pemerintah yang tidak partisipatif dan demokratis.
Sementara dari dimensi hukum administrasi negara (ajaran kewenangan atau competentie
leer), hal-hal yang berpotensi mendorong pemerintah keluar dari rambu-rambu
hukum antara lain adalah rumusan wewenang pemerintahan yang tidak bersifat
limitatif, tidak adanya ketentuan dalam konstitusi tentang batas-batas /
rambu-rambu kewenangan, mekanisme kontrol dari unsur kekuasaan negara yang
lemah, tidak adanya atribusi dari peraturan perundang-undangan, serta kurang
jelasnya proses pendelegasian kewenangan dari suatu badan/pejabat yang kepada
badan/pejabat lain yang lebih rendah. Mengingat hal tersebut, maka suatu
tindakan hukum pejabat pemerintah hendaknya tidak lagi mengandung unsur
ketidakpastian sebagaimana terkandung pada vleigheid clausule tadi.
Esensi Kebijakan Perijinan
Dalam suatu perijinan, pada umumnya (dan
semestinya) berisi 3 (tiga) hal, yaitu ketentuan / persyaratan / kewajiban,
larangan, dan persetujuan. Misalnya dalam ijin investasi atau pendirian
perusahaan, ke-3 hal tersebut berbentuk klausul sebagai berikut:
·
Persyaratan: perusahaan termaksud harus memperhatikan
kelestarian lingkungan, mempekerjakan penduduk sekitar, serta membayar
retribusi / pajak usaha kepada pemerintah (daerah). Klausul-klausul seperti ini
pada dasarnya merupakan tindakan yang berupa “pembatasan”.
·
Larangan: perusahaan termaksud dilarang
menyelenggarakan aktivitas selain dari tujuan pendirian perusahaan, dilarang
menggunakan bahan baku
dari luar negeri, dilarang memproduksi barang lebih dari ketentuan yang
berlaku. Klausul-klausul seperti ini pada dasarnya merupakan tindakan yang
berupa “pengendalian”.
·
Persetujuan: memberikan ijin mendirikan bangunan untuk
usaha tertentu, memberikan ijin untuk menjalankan jenis usaha tertentu, dan
lain-lain. Klausul-klausul seperti ini pada dasarnya merupakan tindakan yang
berupa ”legalisasi”.
Secara filosofis, perijinan hanya
dikeluarkan untuk hal-hal yang dilarang. Sedangkan tindakan-tindakan hukum lain
yang tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan, tidak membutuhkan
perijinan khusus. Sebagai contoh, jika ada aturan yang melarang pendirian
bangunan di bantaran sungai, maka dengan perijinan khusus dapat dilakukan
pendirian bangunan di wilayah yang semula dilarang tadi. Sedangkan mendirikan
bangunan di tanah hak milik yang tidak mengganggu orang lain dan/atau
kepentingan tertentu, semestinya tidak perlu disertai dengan ijin.[1]
Dalam prakteknya, praktek perijinan sudah
menyimpang jauh dan dimanfaatkan sebesar mungkin untuk menggali pemasukan bagi
pemerintah (daerah). Itulah sebabnya, hampir semua aktivitas ekonomi masyarakat
harus mendapat ijin pemerintah sebelum dapat berjalan. Disamping itu, dalam
perspektif negara demokrasi, politik perijinan telah menyalahi prinsip kebebasan.
Perijinan saat ini telah menyebabkan terkonstruksinya sebuah tata kehidupan
dimana kehidupan masyarakat semakin terbatas, sementara kekuasaan pemerintah
makin kokoh. Padahal menurut paham demokrasi, justru kebebasan masyarakat harus
didorong, sedangkan kekuasaan pemerintah haruslah dibatasi (limitation of
power).
Disamping lembaga perijinan, dalam Hukum
Administrasi Negara dikenal pula adanya lembaga dispensasi dan lembaga
pemutihan. Contoh dari dispensasi adalah dalam kasus perkawinan. Menurut UU
No. 1/1970 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, seseorang dapat melakukan pernikahan
jika sudah mencapai umur tertentu. Jika ternyata orang tadi belum memenuhi
syarat umur minimal, maka harus ada dispensasi terlebih dahulu, baru dapat
melangsungkan pernikahan. Contoh lain adalah dispensasi akta kelahiran
sebagaimana diatur dalam Instruksi Mendagri Nomor 474.1-311
tahun 1983. dalam Inmendagri ini dinyatakan bahwa dispensasi pembuatan Akta
Kelahiran diberikan kepada WNI Asli yang lahir sebelum
tanggal 31 Desember 1985, yakni semenjak terbentuknya secara efektif kantor
Catatan Sipil diseluruh Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 54 Tahun 1983 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Catatan Sipil
Kabupaten/Kotamadya.
Dengan demikian,
setiap WNI asli yang lahir sebelum tanggal 31 Desember 1985 dan tidak memiliki
akta kelahiran, mendapat kemudahan dalam pembuatan akta kelahiran baru. Di
bidang perdagangan ada juga dispensasi yang sering dikeluarkan oleh pemerintah,
misalnya dispensasi izin impor gula. Sebagaimana diketahui, BKPM dengan Surat
Persetujuan PMDN No 137/1/PMDN/2001 tanggal 01 November 2002 telah memberikan
fasilitas bea masuk 0-5 persen kepada PT LBS untuk membangun pabrik pengolahan
gula berbahan baku
raw sugar di Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Perusahaan ini diberikan
izin mengimpor raw sugar dengan fasilitas tersebut dalam dua tahap,
masing-masing sebanyak 540.000 ton. Fasilitas bea masuk 0-5 persen inilah yang
merupakan dispensasi yang diberikan oleh pemerintah.
Adapun contoh pemutihan adalah pajak TV.
Dalam hal ini, orang dianggap telah membayar pajak untuk waktu-waktu ke
belakang jika telah melakukan pemutihan. Orang tersebut hanya wajib membayar
pajak TV setelah dilakukannya pemutihan. Program pemutihan IMB juga pernah
digulirkan oleh pemerintah, sehingga orang yang tidak memiliki IMB atas
bangunan yang dimilikinya, dianggap tidak melanggar hukum sampai dengan saat
dilakukannya pemutihan tersebut. Dengan demikian dapat dipahami adanya
perbedaan antara lembaga dispensasi dengan lembaga pemutihan.
Dispensasi diberikan sebelum suatu tindakan hukum dilakukan,
sedangkan pemutihan diberikan sesudah terjadinya suatu tindakan
hukum. [2]
Agenda Reformasi
Pelayanan Publik Melalui Pengembangan Administrative Beroep
Tindakan atau perbuatan hukum pejabat/badan
TUN baik yang berupa tindakan nyata (feitelijke handelingen), peraturan
(regeling), maupun keputusan (beschikking) pada hakekatnya
bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sebaik mungkin.
Kebijakan otonomi daerah sendiri sesungguhnya merupakan trigger bagi
pemerintah daerah untuk lebih berani melakukan perbuatan hukum yang positif
untuk mensejahterakan masyarakatnya. Meskipun demikian, seringkali perbuatan
hukum pejabat/badan TUN menimbulkan ketidakpuasan dan kerugian bagi masyarakat
atau bagi instansi tertentu. Dalam hal muncul ketidakpuasan dan kerugian
sebagai akibat adanya perbuatan hukum pejabat/badan TUN ini, maka sesungguhnya
telah terjadi sebuah sengketa TUN.
Sengketa TUN sendiri dapat diselesaikan
melalui peradilan umum (untuk pelanggaran hukum akibat dilakukannya tindakan
nyata); atau melalui PTUN (akibat dikeluarkannya suatu keputusan); atau melalui
mekanisme uji material / judicial review (akibat dikeluarkannya suatu
peraturan); atau melalui upaya administratif / administratief beroep
(upaya hukum yang dilakukan sebelum ke pengadilan). Upaya administratif ini
diatur dalam pasal 48 UU No. 5/1986[3] yang
berbunyi:
(1)
Dalam
hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa TUN tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai ganti rugi dan/atau administratif yang tersedia.
(2)
Pengadilan
baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan
telah digunakan.
Upaya administratif atau administratief
beroep sendiri secara umum terdiri dari 2 (dua) jenis, yakni:
·
Prosedur
Keberatan, ditempuh jika jika penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi
yang sama / yang mengeluarkan keputusan.
·
Banding
Administratif, ditempuh jika penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi
atasan / instansi lain. Banding Administratif ini terdiri dari 2 (dua) upaya
yakni Banding Vertikal (kepada instansi / pejabat atasan yang
mengeluarkan keputusan), serta Banding Horizontal (kepada instansi /
pejabat lain yang ditunjuk untuk itu).
Mengenai
prosedur keberatan dalam bidang kepegawaian, telah diatur dalam PP Nomor 30
tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pada pasal 15
disebutkan bahwa:
(1)
Pegawai
Negeri Sipil yang dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) tidak dapat mengajukan keberatan.[4]
(2)
Pegawai
Negeri Sipil yang dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), dapat mengajukan keberatan
kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari terhitung mulai tanggal ia menerima keputusan hukuman disiplin
tersebut.[5]
Selanjutnya, pasal 16 memberi pengaturan
bahwa keberatan harus diajukan secara tertulis melalui saluran hirarki, serta
harus disertai dengan alasan-alasan dari keberatan itu. Adapun mengenai banding
administratif, contoh lembaga yang berwenang menerima banding horizontal ini
adalah BAPEK (Badan Pertimbangan Kepegawaian) dan MPP atau BPSP (Majelis
Pertimbangan Pajak atau Badan Penyelesaian Sengketa Pajak).
Pengaturan tentang BAPEK ditemukan dalam PP
Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai, khususnya dalam Bab IV,
pasal 23-24. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang
berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah yang dijatuhi salah satu jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf c dan huruf
d dapat mengajukan keberatan kepada BAPEK.[6] Selain
itu terdapat pengaturan lebih lanjut bahwa BAPEK wajib mengambil keputusan
mengenai keberatan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil kepadanya; dan
keputusan yang diambil oleh BAPEK bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh
semua pihak yang bersangkutan.
Sementara itu pengaturan tentang BPSP
dituangkan dalam UU Nomor 17 tahun 1997. Dalam UU ini dinyatakan bahwa BPSP
adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 9 Tahun 1994. BPSP mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak. Tugas dan wewenang BPSP ini berada di luar tugas dan wewenang
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.[7]
Selama ini upaya administratif belum banyak
dikembangkan sebagai “jalur formal” untuk penyelesaian sengketa pada tahap
awal. Padahal, jika langkah ini ditempuh, akan diperoleh beberapa manfaat
antara lain:
(1)
Mengurangi
beban PTUN yang sangat berat karena terlalu banyaknya perkara yang ditangani.
Padahal, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa hasil akhir putusan melalui
upaya administratif tidak berbeda jauh dengan putusan hakim PTUN. Oleh karena
itu, upaya administratif ini akan dapat menghemat biaya, waktu (proses), serta
tenaga dari pihak-pihak yang bersengketa.
(2)
Upaya
administratif juga dapat menjadi daya penekan bagi pejabat / badan TUN agar
benar-benar memperhatikan kualitas keputusan dan tindakan hukum lain yang
diambilnya, agar tidak menimbulkan kerugian bagi dan gugatan dari pihak-pihak
tertentu. Pejabat / badan TUN yang banyak diadukan melalui upaya administratif
ini dapat diklasifikasikan sebagai pejabat / badan TUN yang tidak cermat atau
hati-hati dalam bertindak, berkinerja rendah, serta tidak memahami persoalan
hukum.
Dalam konteks peningkatan mutu pelayanan
publik, mekanisme upaya administratif ini perlu diaktifkan untuk semua lembaga
pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah. Selain itu, perlu diciptakan
lembaga-lembaga baru yang diberi wewenang untuk menerima banding horizontal.
Jika saat ini baru ada lembaga yang menangani sengketa kepegawaian dan
perpajakan, maka perlu dimunculkan lembaga sejenis untuk menangani kasus-kasus
lain seperti pertanahan, pengadaan barang dan jasa, perijinan, perburuhan,
pelayanan umum, dan sebagainya.
Dalam menciptakan lembaga-lembaga baru
sebagai penyelenggara administrative beroep tadi, UU Pemerintahan daerah (baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004) dapat
dikatakan cukup maju dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya sengketa antar
lembaga pemerintahan (badan tata usaha negara). Dalam pasal 198 UU No. 32/2004, misalnya, dinyatakan bahwa:
(1)
Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan
antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(2)
Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan
kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara
provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri
menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(3)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat
final.
Mencermati ketentuan pasal 198 diatas, nampak sekali bahwa UU Nomor 32/2004 lebih mengedepankan banding
administratif vertikal sebagai satu-satunya prosedur beracara. Hal ini dapat
disimak dari bunyi ayat (3) bahwa keputusan pejabat yang diberi wewenang
memutuskan sengketa itu bersifat final (tidak dapat dilakukan upaya hukum
lain).[8]
Tentu saja, ketentuan
seperti ini berpotensi menimbulkan adanya “permasalahan tanpa penyelesaian”.
Sebab bagaimanapun juga, UU No. 5/1986 jo. UU No. 9/2004 merupakan landasan
utama dalam penyelesaian sengketa administrasi / tata usaha negara. Dengan kata
lain, UU No. 5/1986 jo. UU No. 9/2004 merupakan lex specialis dari UU
No. 32/2004 dalam hal penyelesaian sengketa administrasi / tata usaha negara.
Dan sesuai kaidah hukum, maka hukum yang lebih khusus dapat meniadakan hukum
yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). Terlebih lagi,
pasal 198 tadi tidak menyediakan upaya hukum lain dalam hal terjadi
ketidakpuasan dari salah satu pihak yang berselisih atas putusan Gubernur atau
Mendagri yang bersifat final. Dalam pandangan ilmu hukum, cara penyelesaian
sengketa yang hanya ditempuh dengan satu upaya hukum saja (apalagi lembaga
tersebut bukan lembaga hukum), adalah hal yang kurang masuk akal. Dalam konteks
seperti ini, maka pengaturan pada UU No. 22/1999 jauh lebih baik karena masih
menyediakan upaya hukum lain, yakni dalam bentuk pengajuan penyelesaian
sengketa kepada Mahkamah Agung.
Oleh karena UU No.
22/1999 sekarang sudah tidak berlaku, maka perlu dipikirkan ulang bahwa sengketa
antar (pemerintah) daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota, merupakan
kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, walaupun hal ini belum
diatur dalam UU Pembentukan MK, namun terdapat ketentuan bahwa salah satu
kewenangan MK adalah mengadili sengketa antar Lembaga Negara. Unit-unit daerah
otonom, yakni pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, adalah juga
Lembaga Negara yang berkedudukan di daerah, dan oleh karenanya masuk dalam
kompetensi MK.
Catatan Penutup
Daftar Referensi
Basah,
Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia , Bandung : Alumni.
ICW (Indonesian Corruption Watch), 2004, Pemutihan Kendaraan dan Rumah Dinas di lingkungan Pemkot
Samarinda, Abaikan Kepmendagri No.12 Tahun. Tersedia online di http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=1255&PHPSESSID=49dcacada5f11ff0f5529ebdb61b2ec2
Marbun,
SF., 2004, Alternatif Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, makalah
disampaikan pada Diklat Peningkatan Pengetahuan SDM Aparatur Dalam Bidang HAN,
diselenggarakan oleh PKP2A I LAN, 3 Desember, Bandung.
Soesastro,
Hadi, tanpa tahun, Otonomi Daerah Dan
Free Internal Trade, tersedia online di http://www.pacific.net.id/pakar/hadisusastro/010522.html
Utomo,
Tri Widodo W., 2005 (a), “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan
Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara”, dalam Jurnal Unisia, No.
55/XXVIII/I/2005, Yogyakarta: UII Press.
______________,
2005 (b), “Beberapa Issu Strategis Jangka Pendek di Daerah dan Langkah
Antisipasinya”, dalam Jurnal Borneo Administrator, Vol. 1 No. 1,
Samarinda: PKP2A III LAN.
Lain-lain:
Kompas,
2003, “Pesta Anggaran Belum Berakhir” dan “Pemutihan
Kendaraan Dinas di Sumatera Utara Dikecam” edisi 9 Agustus. Tersedia online
di http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/09/daerah/
[1] Meskipun
demikian, pemerintah tetap memiliki hak untuk mengatur masalah permukiman agar
tercapai ketertiban. Dalam hal ini, fungsi pengaturan tidak selamanya harus
diwujudkan dalam bentuk perijinan, namun bisa saja hanya dalam bentuk
“pemberitahuan”. Dengan demikian, perijinan IMB yang ada seperti saat ini
semestinya lebih dimaknakan sebagai pemberitahuan saja. Disini ada perbedaan
menyolok antara perijinan dan pemberitahuan. Dalam perijinan dipungut biaya
tertentu, sedang dalam pemberitahuan tidak ada pungutan apapun. Selain itu,
dalam perijinan, hak dasar (seolah-olah) dimiliki oleh pemerintah, sehingga
tanpa adanya pelepasan hak (berupa perijinan), maka warga Negara tidak dapat
melakukan suatu tindakan hukum tertentu (misalnya mendirikan bangunan).
Sementara dalam “pemberitahuan”, hak dasar melekat pada pemegang hak milik atau
pemilik barang (tanah, bangunan, dsb), sehingga pemegang hak milik tadi tetap
dapat melakukan suatu tindakan hukum tertentu tanpa adanya ijin terlebih dahulu
dari pemerintah.
[2] Istilah
pemutihan saat ini sudah banyak bergeser dari makna aslinya. Sebagai contoh,
penghapusan kendaraan dinas dan rumah dinas di berbagai daerah, dipandang
sebagai pemutihan. Dalam kasus ini, pemutihan identik dengan “pengalihan barang
publik menjadi milik pribadi”, dan pengertian ini jelas sangat menyimpang dari
makna pemutihan itu sendiri. Tentang kasus pemutihan kendaraan/rumah dinas dan
indikasi adanya korupsi dibalik hal tersebut, khususnya di wilayah Sumatera
Utara dan Kota Samarinda, lihat Kompas edisi 9/8/2003 Lihat juga ICW, 3/8/2004.
[3] Telah
diperbaharui dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 9/2004 ini tidak mengubah
ketentuan dalam pasal 48 UU No. 5/1986, sehingga ketentuan tentang penyelesaian
sengketa secara administratif tetap mengacu kepada pasal 48 UU No. 5/1986
tersebut.
[4] Jenis
hukuman disiplin ringan yang tidak dapat diajukan keberatan sebagaimana
dimaksud pasal 6 ayat (2) itu adalah tegoran lisan; tegoran tertulis; dan pernyataan tidak puas
secara tertulis.
[5] Jenis
hukuman disiplin yang tidak dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud pasal
6 ayat (3) dan (4) itu adalah hukuman sedang dan hukuman berat. Hukuman sedang
meliputi penundaan
kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun; penurunan gaji sebesar satu
kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun ; dan penundaan kenaikan
pangkat untuk paling lama 1 tahun. Sedangkan hukuman berat meliputi penurunan
pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 tahun;
pembebasan dari jabatan; pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai pegawai Negeri Sipil; dan pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil.
[6] Hukuman
disiplin yang dimaksud disini adalah pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
sebagai pegawai Negeri Sipil; dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
[7] Berdasarkan
UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka BPSP yang telah dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, berubah menjadi Pengadilan
Pajak. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
[8] Dibandingkan
dengan UU Pemerintahan daerah sebelumnya (UU No. 2/1999), terdapat perbedaan
mengenai cara penyelesaian perselisihan antar daerah. Dalam pasal 89 ayat (1)
UU No. 22/1999 dikatakan bahwa “Perselisihan antar daerah diselesaikan oleh
pemerintah secara musyawarah”. Sementara ayat (2) menegaskan bahwa “Apabila
dalam penyelesaian perselisihan antar-Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terdapat salah satu pihak yang tidak menerima keputusan Pemerintah, pihak
tersebut dapat mengajukan penyelesaian kepada Mahkamah Agung”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar