Kamis, 02 September 2010

Kebijakan Perijinan dan Upaya Peningkatan Pelayanan Melalui Administratief Beroep


Abstrak

Pemberlakuan kebijakan otonomi daerah disikapi secara kurang bijaksana oleh banyak daerah dengan mengeluarkan produk hukum tentang pungutan atau retribusi yang justru memberatkan aktivitas ekonomi di daerah. Prinsip pemberian perijinan selama inipun ternyata salah kaprah, karena diberlakukan untuk semua jenis usaha dan kegiatan masyarakat. Padahal, secara filosofis tidak semua usaha dan kegiatan publik memerlukan perijinan dari instansi pemerintah. Berbagai fenomena negatif tadi mengakibatkan merosotnya kinerja pelayanan umum. Untuk itu, tulisan ini mencoba menawarkan upaya memperbaiki pelayanan (khususnya perijinan) dari perspektif HAN (hukum administrasi negara), yakni melalui pengembangan upaya hukum secara administratif (administratief beroep).

The enactment of new decentralization framework has been unwisely implemented in many regions. Districts/city governments tend to promulgate new local levies result in high cost economy for regional business activities. The principle of delivering administrative approval (perijinan) is also misgiving as it is deployed for all people’s economic facets. Philosophically, not every economic activity requires such kind of permission. This situation leads to the deprivation of public service quality. In order to restore government performance in delivering public service, this paper tries to offer a solution from the perspective of constitutional / public administration law (hukum administrasi negara), i.e. providing new mechanism of administrative legal efforts (upaya hukum secara administratif).


Pengantar


Demi alasan menggenjot PAD, banyak daerah yang lantas memberlakukan Perda yang berisi pungutan atau pembebanan finansial atas kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih meningkatkan kemampuan keuangan daerah, kebijakan tadi justru banyak menimbulkan biaya tinggi (high cost economy) yang menghambat masuknya investasi ke daerah. pada gilirannya, aktivitas ekonomi yang seret atau terganggu justru menjadi kurang mampu menjadi sumber pendapatan daerah. Dengan kata lain, logika berpikir yang diterapkan banyak daerah saat ini adalah “ingin untung secara cepat dan mudah”, namun sesungguhnya mengandung bahaya pada jangka panjang. Logika ini semestinya diubah, yakni dengan menciptakan kemudahan-kemudahan (seperti pengurangan campur tangan, peningkatan subsidi, pemberian pemutihan dan dispensasi, bahkan pengampunan pajak bila diperlukan), namun akan merangsang aktivitas ekonomi yang secara akumulatif menjadi sumber baru yang dapat diandalkan pada masa mendatang.

Beberapa ahli dan lembaga telah mengkaji dampak buruk dari penerapan Perda retribusi yang berlebihan ini. Sebagai contoh, Susastro (t.t.) menyatakan bahwa Perda semacam itu mengakitabkan meningkatnya hambatan perdagangan antar daerah, dari propinsi yang satu ke propinsi yang lain atau dari kabupaten/kota yang satu ke kabupaten/kota yang lain. Sementara itu, dari banyak kasus yang diteliti Akatiga (t.t.) pada industri konveksi, logam dan kerajinan, tingkat keuntungan pengusaha yang masih bertahan, akan lebih kecil ketimbang biaya kelancaran alias pungutan resmi maupun siluman yang dikeluarkan. Sebuah industri logam di Klaten pada penjualan 1997, mengeluarkan biaya pungutan 12 persen, sedang keuntungannya hanya 2,18 persen. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi pengusaha kecil, apalagi dalam menghadapi pasar bebas era globalisasi. Dipastikan bakal tak mampu bersaing dengan produk impor. Tidak hanya bersifat ekonomis, pungutan pun berdampak juga pada terjadinya erosi moral dan rusaknya etika bisnis, yang tidak hanya di instansi pemerintah, tetapi juga merambah dunia usaha (Utomo, 2005b).

Sebagai ilustrasi, sebelum bergulirnya otonomi daerah, terdapat 14 macam retribusi konvensional yang hampir ditemui di berbagai daerah, meliputi: retribusi penggantian biaya cetak KTP dan Akta Capil, retribusi tempat pemakaman, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, retribusi perparkiran, retribusi izin trayek, retribusi terminal, izin gangguan, retribusi IMB, retribusi pasar, retribusi pelayanan kesehatan, retribusi izin peruntukan pengunaan tanah, retribusi rumah potong hewan, retribusi tempat wisata, serta retribusi pedagang kaki lima.

Namun begitu kewenangan menggali sumber pendapatan dimiliki oleh daerah, muncullah beragam retribusi yang “inovatif” seperti retribusi susu sapi (Raperda Garut, 2002), retribusi izin tata informasi (Perda Kab. Cirebon Nomor 79 Tahun 2001), retribusi informasi dan komunikasi (Raperda Kota Makasar, 2001), retribusi / sumbangan pengumpulan dan atau pengeluaran hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan hasil laut, kehutanan, dan hasil perindustrian (Perda Kabupaten Flores Timur No. 2 Tahun 2000, 14 Juni 2000), retribusi izin komoditi keluar Propinsi Lampung (Perda Propinsi Lampung No.6 Tahun 2000, 24 April 2000), retribusi asal komoditas (Perda Kabupaten Pasaman No.2 Tahun 2001, 15 Januari 2001), retribusi atas pengangkutan dan atau penjualan hasil pertanian dan industri keluar wilayah Kab. Kapuas (Perda Kab. Kapuas No.14 Tahun 2000, 9 September 2000), dan sebagainya.

Disamping itu, ada pula retribusi menara base transceiver system (BTS) (SK Walikota Denpasar Nomor 578 Tahun 2001), retribusi angkutan batubara (Perda Kota Samarinda Nomor 20 Tahun 2000), retribusi peternakan unggas dan retribusi bibit ayam (di wilayah Jawa Barat), retribusi pohon bambu (Kab. Sumedang), retribusi kendaraan air, retribusi perkebunan Teh, Akar Wangi dan kerajinan kulit (Kab. Garut), retribusi PHK, retribusi penjualan ikan (Medan), retribusi seniman tradisional (Kab. Tuban), retribusi penyedotan kakus (Kota Depok), retribusi pemakaman mayat (Kota Semarang), dan sebagainya.

Berbagai bentuk jenis retribusi baru tadi berjumlah hingga ratusan, bahkan ribuan. Dan secara umum, lahirnya Perda atau Keputusan Bupati/Walikota tentang pungutan tadi mendapat tentangan yang sangat keras bukan saja dari kalangan masyarakat biasa dan pelaku ekonomi lokal, namun juga dari kaum cendekiawan dan lembaga riset serta lembaga donor baik skala nasional maupun internasional. Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengontrol seluruh Perda sangatlah terbatas. Belum lama ini, pemerintah melalui Kepala Badan Pengkajian Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui kesulitan untuk mengawasi atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan pengusaha telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak menyampaikan perda tersebut ke pusat. Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku, baru 4 ribu perda yang disampaikan ke pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang tidak disampaikan ke pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).

Satu hal yang pasti dari fenomena seperti itu adalah, makin buruknya kinerja pelayanan dan merosotnya kualitas pelayanan itu sendiri. Dengan demikian, asumsi bahwa perijinan identik dengan pelayanan tidak dapat diterima lagi. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan esensi dan substansi perijinan dari sudut pandang HAN (hukum administrasi negara). Selanjutnya, tulisan ini juga mengajukan rekomendasi tentang perlunya dikembangkan mekanisme administratif (administratief beroep) sebagai upaya untuk memperbaiki kinerja pelayanan, khususnya yang terkait dengan kebijakan dan pelayanan perijinan.


Perijinan Sebagai Tindakan Hukum Pemerintah


Menurut Marbun (2004), pemerintah atau pejabat / badan tata usaha negara, dapat melakukan tindakan atau perbuatan hukum dalam 3 (tiga) bentuk atau dimensi sebagai berikut:

1.      Tindakan Nyata (feitelijke handelingen). Sengketa yang timbul dari tindakan hukum ini diselesaikan melalui Peradilan Umum berdasar pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum dan merugikan orang lain.
2.      Keputusan Tata Usaha Negara atau KTUN (beschikking). Sengketa yang timbul dari tindakan hukum ini diselesaikan melalui PTUN.
3.      Peraturan (regeling). Sengketa yang timbul dari tindakan hukum ini diselesaikan melalui Hak Uji Materiil (judicial review) kepada MA (atau Mahkamah Konstitusi).
4.      Freies ermessen / beleids regel / pseudo wetgeving, misalnya dalam pembuatan Surat Edaran, Juklak dan Juknis, dan sebagainya. Produk-produk hukum seperti ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah regeling, apalagi beschikking; dan bukan pula sebuah tindakan nyata. Oleh karenanya, sengketa yang mungkin muncul dari perbuatan ini tidak dapat diselesaikan melalui Peradilan Umum, PTUN, maupun MA. Namun sebagai panduan norma dalam mengeluarkan dan/atau menetapkan suatu beleids regel, pemerintah harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).

Perijinan sendiri dapat dikelompokkan kedalam produk keputusan (beschikking). Sebab, suatu perijinan memenuhi kriteria atau komponen-komponen dari sebuah keputusan, yakni bersifat konkrit, individual dan final. Disamping itu, perijinan juga adalah KTUN yang bersegi satu (bersifat istimewa). Artinya, substansi dan butir-butir klausul dalam perijinan bukan merupakan kesepakatan antara pemerintah dan penerima perijinan. Disini, pihak penerima (surat) perijinan dianggap menundukkan diri terhadap ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.

Selain itu, dalam melakukan suatu tindakan hukum (termasuk mengeluarkan keputusan tentang perijinan tertentu), pemerintah atau pejabat/badan TUN harus dianggap benar menurut hukum (asas het vermoeden van rechtmatigheid). Dalam khazanah hukum pidana, asas ini sama dengan asas praduga tak bersalah. Itulah sebabnya, sepanjang belum dinyatakan sebaliknya (bersalah / melanggar hukum / menyalahgunakan kewenangan), tindakan hukum pejabat / badan TUN memiliki akibat hukum yang sah. Dengan kata lain, keputusan pemerintah tentang perijinan langsung memiliki kekuatan hukum yang pasti pada saat dikeluarkan, hingga ada keputusan lain yang menyatakan sebaliknya. Asas seperti ini adalah bentuk adanya jaminan hukum terhadap perbuatan / tindakan hukum yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah.

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa suatu keputusan perlu dipertimbangkan secara matang sebelum ditetapkan. Selama ini terdapat kebiasaan dalam penyusunan keputusan dengan menyertakan klausul yang berbunyi: “jika dalam keputusan ini ditemukan kesalahan, akan dilakukan perubahan sebagaimana mestinya” (vleigheid clausule). Menurut kaidah HAN, klausul ini tidak dapat dibenarkan dengan alasan:

1.      Suatu keputusan tidak dimaksudkan untuk ditinjau kembali setiap saat diperlukan. Justru suatu keputusan harus dapat memberi rasa kepastian hukum. Keputusan yang siap untuk diubah sewaktu-waktu, jelas tidak memiliki kepastian hukum yang kuat.
2.      Klausul seperti itu bisa menjadi faktor yang memudahkan pejabat / badan TUN untuk mengeluarkan keputusan secara sembarangan dan tidak teliti. Padahal idealnya, suatu aturan / keputusan harus dipertimbangkan secara matang dan komprehensif, sehingga tidak menimbulkan potensi konflik dan tuntutan perubahan.
3.      Pejabat/badan TUN harus bertanggungjawab atas keputusan yang dikeluarkan dan ternyata mengandung cacat / kesalahan. Perubahan / penggantian dengan keputusan baru, bukanlah wujud pertanggungjawaban yang baik dan benar.

Dalam beberapa hal, vleigheid clausule tadi justru akan membuka terjadinya sengketa dalam lapangan tertentu yang berkaitan dengan dikeluarkannya perijinan. Selain itu, vleigheid clausule tadi juga dapat mengantarkan atau menjadi sumber terjadinya tindakan hukum pejabat pemerintah yang menyimpang. Dalam hal ini, Sjachran Basah (1985) menulis bahwa secara teoretis paling tidak terdapat 3 (tiga) bentuk tindakan hukum pejabat/badan tata usaha negara (TUN) yang menyimpang, yaitu perbuatan melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad), perbuatan menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir), serta perbuatan yang sewenang-wenang (abus de droit).

Sementara itu, Utomo (2005a) mengemukakan bahwa berbagai bentuk penyimpangan tersebut dapat dipelajari dari seluk beluk tentang pemerintah, atau dari anatomi dan jenis-jenis wewenang (kewenangan) pemerintah. Dari dimensi pemerintah, entry points yang menjadi sumber penyimpangan adalah karakteristik kontrak yang struktur dan proses operasi kewenangannya bersifat sentralistis dan monopolistis, serta output kewenangan (kebijakan dan program) pemerintah yang tidak partisipatif dan demokratis. Sementara dari dimensi hukum administrasi negara (ajaran kewenangan atau competentie leer), hal-hal yang berpotensi mendorong pemerintah keluar dari rambu-rambu hukum antara lain adalah rumusan wewenang pemerintahan yang tidak bersifat limitatif, tidak adanya ketentuan dalam konstitusi tentang batas-batas / rambu-rambu kewenangan, mekanisme kontrol dari unsur kekuasaan negara yang lemah, tidak adanya atribusi dari peraturan perundang-undangan, serta kurang jelasnya proses pendelegasian kewenangan dari suatu badan/pejabat yang kepada badan/pejabat lain yang lebih rendah. Mengingat hal tersebut, maka suatu tindakan hukum pejabat pemerintah hendaknya tidak lagi mengandung unsur ketidakpastian sebagaimana terkandung pada vleigheid clausule tadi.


Esensi Kebijakan Perijinan


Dalam suatu perijinan, pada umumnya (dan semestinya) berisi 3 (tiga) hal, yaitu ketentuan / persyaratan / kewajiban, larangan, dan persetujuan. Misalnya dalam ijin investasi atau pendirian perusahaan, ke-3 hal tersebut berbentuk klausul sebagai berikut:

·          Persyaratan: perusahaan termaksud harus memperhatikan kelestarian lingkungan, mempekerjakan penduduk sekitar, serta membayar retribusi / pajak usaha kepada pemerintah (daerah). Klausul-klausul seperti ini pada dasarnya merupakan tindakan yang berupa “pembatasan”.
·          Larangan: perusahaan termaksud dilarang menyelenggarakan aktivitas selain dari tujuan pendirian perusahaan, dilarang menggunakan bahan baku dari luar negeri, dilarang memproduksi barang lebih dari ketentuan yang berlaku. Klausul-klausul seperti ini pada dasarnya merupakan tindakan yang berupa “pengendalian”.
·          Persetujuan: memberikan ijin mendirikan bangunan untuk usaha tertentu, memberikan ijin untuk menjalankan jenis usaha tertentu, dan lain-lain. Klausul-klausul seperti ini pada dasarnya merupakan tindakan yang berupa ”legalisasi”.

Secara filosofis, perijinan hanya dikeluarkan untuk hal-hal yang dilarang. Sedangkan tindakan-tindakan hukum lain yang tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan, tidak membutuhkan perijinan khusus. Sebagai contoh, jika ada aturan yang melarang pendirian bangunan di bantaran sungai, maka dengan perijinan khusus dapat dilakukan pendirian bangunan di wilayah yang semula dilarang tadi. Sedangkan mendirikan bangunan di tanah hak milik yang tidak mengganggu orang lain dan/atau kepentingan tertentu, semestinya tidak perlu disertai dengan ijin.[1]

Dalam prakteknya, praktek perijinan sudah menyimpang jauh dan dimanfaatkan sebesar mungkin untuk menggali pemasukan bagi pemerintah (daerah). Itulah sebabnya, hampir semua aktivitas ekonomi masyarakat harus mendapat ijin pemerintah sebelum dapat berjalan. Disamping itu, dalam perspektif negara demokrasi, politik perijinan telah menyalahi prinsip kebebasan. Perijinan saat ini telah menyebabkan terkonstruksinya sebuah tata kehidupan dimana kehidupan masyarakat semakin terbatas, sementara kekuasaan pemerintah makin kokoh. Padahal menurut paham demokrasi, justru kebebasan masyarakat harus didorong, sedangkan kekuasaan pemerintah haruslah dibatasi (limitation of power).

Disamping lembaga perijinan, dalam Hukum Administrasi Negara dikenal pula adanya lembaga dispensasi dan lembaga pemutihan. Contoh dari dispensasi adalah dalam kasus perkawinan. Menurut UU No. 1/1970 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, seseorang dapat melakukan pernikahan jika sudah mencapai umur tertentu. Jika ternyata orang tadi belum memenuhi syarat umur minimal, maka harus ada dispensasi terlebih dahulu, baru dapat melangsungkan pernikahan. Contoh lain adalah dispensasi akta kelahiran sebagaimana diatur dalam Instruksi Mendagri Nomor 474.1-311 tahun 1983. dalam Inmendagri ini dinyatakan bahwa dispensasi pembuatan Akta Kelahiran diberikan kepada WNI Asli yang lahir sebelum tanggal 31 Desember 1985, yakni semenjak terbentuknya secara efektif kantor Catatan Sipil diseluruh Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kotamadya.

Dengan demikian, setiap WNI asli yang lahir sebelum tanggal 31 Desember 1985 dan tidak memiliki akta kelahiran, mendapat kemudahan dalam pembuatan akta kelahiran baru. Di bidang perdagangan ada juga dispensasi yang sering dikeluarkan oleh pemerintah, misalnya dispensasi izin impor gula. Sebagaimana diketahui, BKPM dengan Surat Persetujuan PMDN No 137/1/PMDN/2001 tanggal 01 November 2002 telah memberikan fasilitas bea masuk 0-5 persen kepada PT LBS untuk membangun pabrik pengolahan gula berbahan baku raw sugar di Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Perusahaan ini diberikan izin mengimpor raw sugar dengan fasilitas tersebut dalam dua tahap, masing-masing sebanyak 540.000 ton. Fasilitas bea masuk 0-5 persen inilah yang merupakan dispensasi yang diberikan oleh pemerintah.

Adapun contoh pemutihan adalah pajak TV. Dalam hal ini, orang dianggap telah membayar pajak untuk waktu-waktu ke belakang jika telah melakukan pemutihan. Orang tersebut hanya wajib membayar pajak TV setelah dilakukannya pemutihan. Program pemutihan IMB juga pernah digulirkan oleh pemerintah, sehingga orang yang tidak memiliki IMB atas bangunan yang dimilikinya, dianggap tidak melanggar hukum sampai dengan saat dilakukannya pemutihan tersebut. Dengan demikian dapat dipahami adanya perbedaan antara lembaga dispensasi dengan lembaga pemutihan. Dispensasi diberikan sebelum suatu tindakan hukum dilakukan, sedangkan pemutihan diberikan sesudah terjadinya suatu tindakan hukum. [2]


Agenda Reformasi Pelayanan Publik Melalui Pengembangan Administrative Beroep


Tindakan atau perbuatan hukum pejabat/badan TUN baik yang berupa tindakan nyata (feitelijke handelingen), peraturan (regeling), maupun keputusan (beschikking) pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sebaik mungkin. Kebijakan otonomi daerah sendiri sesungguhnya merupakan trigger bagi pemerintah daerah untuk lebih berani melakukan perbuatan hukum yang positif untuk mensejahterakan masyarakatnya. Meskipun demikian, seringkali perbuatan hukum pejabat/badan TUN menimbulkan ketidakpuasan dan kerugian bagi masyarakat atau bagi instansi tertentu. Dalam hal muncul ketidakpuasan dan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan hukum pejabat/badan TUN ini, maka sesungguhnya telah terjadi sebuah sengketa TUN.

Sengketa TUN sendiri dapat diselesaikan melalui peradilan umum (untuk pelanggaran hukum akibat dilakukannya tindakan nyata); atau melalui PTUN (akibat dikeluarkannya suatu keputusan); atau melalui mekanisme uji material / judicial review (akibat dikeluarkannya suatu peraturan); atau melalui upaya administratif / administratief beroep (upaya hukum yang dilakukan sebelum ke pengadilan). Upaya administratif ini diatur dalam pasal 48 UU No. 5/1986[3] yang berbunyi:

(1)         Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai ganti rugi dan/atau administratif yang tersedia.
(2)         Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

Upaya administratif atau administratief beroep sendiri secara umum terdiri dari 2 (dua) jenis, yakni:

·          Prosedur Keberatan, ditempuh jika jika penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi yang sama / yang mengeluarkan keputusan.
·          Banding Administratif, ditempuh jika penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi atasan / instansi lain. Banding Administratif ini terdiri dari 2 (dua) upaya yakni Banding Vertikal (kepada instansi / pejabat atasan yang mengeluarkan keputusan), serta Banding Horizontal (kepada instansi / pejabat lain yang ditunjuk untuk itu).

Mengenai prosedur keberatan dalam bidang kepegawaian, telah diatur dalam PP Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pada pasal 15 disebutkan bahwa:

(1)         Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) tidak dapat mengajukan keberatan.[4]
(2)         Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), dapat mengajukan keberatan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai tanggal ia menerima keputusan hukuman disiplin tersebut.[5]

Selanjutnya, pasal 16 memberi pengaturan bahwa keberatan harus diajukan secara tertulis melalui saluran hirarki, serta harus disertai dengan alasan-alasan dari keberatan itu. Adapun mengenai banding administratif, contoh lembaga yang berwenang menerima banding horizontal ini adalah BAPEK (Badan Pertimbangan Kepegawaian) dan MPP atau BPSP (Majelis Pertimbangan Pajak atau Badan Penyelesaian Sengketa Pajak).

Pengaturan tentang BAPEK ditemukan dalam PP Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai, khususnya dalam Bab IV, pasal 23-24. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah yang dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf c dan huruf d dapat mengajukan keberatan kepada BAPEK.[6] Selain itu terdapat pengaturan lebih lanjut bahwa BAPEK wajib mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil kepadanya; dan keputusan yang diambil oleh BAPEK bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang bersangkutan.

Sementara itu pengaturan tentang BPSP dituangkan dalam UU Nomor 17 tahun 1997. Dalam UU ini dinyatakan bahwa BPSP adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 1994. BPSP mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Tugas dan wewenang BPSP ini berada di luar tugas dan wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.[7]

Selama ini upaya administratif belum banyak dikembangkan sebagai “jalur formal” untuk penyelesaian sengketa pada tahap awal. Padahal, jika langkah ini ditempuh, akan diperoleh beberapa manfaat antara lain:

(1)         Mengurangi beban PTUN yang sangat berat karena terlalu banyaknya perkara yang ditangani. Padahal, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa hasil akhir putusan melalui upaya administratif tidak berbeda jauh dengan putusan hakim PTUN. Oleh karena itu, upaya administratif ini akan dapat menghemat biaya, waktu (proses), serta tenaga dari pihak-pihak yang bersengketa.
(2)         Upaya administratif juga dapat menjadi daya penekan bagi pejabat / badan TUN agar benar-benar memperhatikan kualitas keputusan dan tindakan hukum lain yang diambilnya, agar tidak menimbulkan kerugian bagi dan gugatan dari pihak-pihak tertentu. Pejabat / badan TUN yang banyak diadukan melalui upaya administratif ini dapat diklasifikasikan sebagai pejabat / badan TUN yang tidak cermat atau hati-hati dalam bertindak, berkinerja rendah, serta tidak memahami persoalan hukum.

Dalam konteks peningkatan mutu pelayanan publik, mekanisme upaya administratif ini perlu diaktifkan untuk semua lembaga pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah. Selain itu, perlu diciptakan lembaga-lembaga baru yang diberi wewenang untuk menerima banding horizontal. Jika saat ini baru ada lembaga yang menangani sengketa kepegawaian dan perpajakan, maka perlu dimunculkan lembaga sejenis untuk menangani kasus-kasus lain seperti pertanahan, pengadaan barang dan jasa, perijinan, perburuhan, pelayanan umum, dan sebagainya.

Dalam menciptakan lembaga-lembaga baru sebagai penyelenggara administrative beroep tadi, UU Pemerintahan daerah (baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004) dapat dikatakan cukup maju dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya sengketa antar lembaga pemerintahan (badan tata usaha negara). Dalam pasal 198 UU No. 32/2004, misalnya, dinyatakan bahwa:

(1)         Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(2)         Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(3)         Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.

Mencermati ketentuan pasal 198 diatas, nampak sekali bahwa UU Nomor 32/2004 lebih mengedepankan banding administratif vertikal sebagai satu-satunya prosedur beracara. Hal ini dapat disimak dari bunyi ayat (3) bahwa keputusan pejabat yang diberi wewenang memutuskan sengketa itu bersifat final (tidak dapat dilakukan upaya hukum lain).[8]

Tentu saja, ketentuan seperti ini berpotensi menimbulkan adanya “permasalahan tanpa penyelesaian”. Sebab bagaimanapun juga, UU No. 5/1986 jo. UU No. 9/2004 merupakan landasan utama dalam penyelesaian sengketa administrasi / tata usaha negara. Dengan kata lain, UU No. 5/1986 jo. UU No. 9/2004 merupakan lex specialis dari UU No. 32/2004 dalam hal penyelesaian sengketa administrasi / tata usaha negara. Dan sesuai kaidah hukum, maka hukum yang lebih khusus dapat meniadakan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). Terlebih lagi, pasal 198 tadi tidak menyediakan upaya hukum lain dalam hal terjadi ketidakpuasan dari salah satu pihak yang berselisih atas putusan Gubernur atau Mendagri yang bersifat final. Dalam pandangan ilmu hukum, cara penyelesaian sengketa yang hanya ditempuh dengan satu upaya hukum saja (apalagi lembaga tersebut bukan lembaga hukum), adalah hal yang kurang masuk akal. Dalam konteks seperti ini, maka pengaturan pada UU No. 22/1999 jauh lebih baik karena masih menyediakan upaya hukum lain, yakni dalam bentuk pengajuan penyelesaian sengketa kepada Mahkamah Agung.

Oleh karena UU No. 22/1999 sekarang sudah tidak berlaku, maka perlu dipikirkan ulang bahwa sengketa antar (pemerintah) daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota, merupakan kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, walaupun hal ini belum diatur dalam UU Pembentukan MK, namun terdapat ketentuan bahwa salah satu kewenangan MK adalah mengadili sengketa antar Lembaga Negara. Unit-unit daerah otonom, yakni pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, adalah juga Lembaga Negara yang berkedudukan di daerah, dan oleh karenanya masuk dalam kompetensi MK.


Catatan Penutup


Persoalan bidang hukum (administrasi negara) yang dikemukakan diatas, tentu hanya merupakan sedikit dari setumpuk masalah yang ditemui dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Satu hal yang harus diupayakan adalah bagaimana mewujudkan supremasi hukum (rule of law) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebab, ketika rule of law telah dapat ditegakkan, maka reformasi politik dan bidang-bidang lainnya akan dapat dijalankan secara gampang dan berhasilguna.

Selanjutnya, keberhasilan reformasi bidang hukum, politik dan pemerintahan ini menjadi dasar utama bagi upaya meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat (public services). Disini nampak jelas bahwa proses pelayanan umum tidak dapat dilepaskan dari kesungguhan aparatur pemerintah untuk membenahi dimensi-dimensi yuridis dari pelayanan itu sendiri, sebagaimana dalam pelayanan perijinan yang telah dipaparkan diatas. Tanpa adanya law reform secara menyeluruh, maka janji untuk mewujudkan service excellence hanya akan menjadi lips service belaka.


Daftar Referensi


Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni.
ICW (Indonesian Corruption Watch), 2004, Pemutihan Kendaraan dan Rumah Dinas di lingkungan Pemkot Samarinda, Abaikan Kepmendagri No.12 Tahun. Tersedia online di http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=1255&PHPSESSID=49dcacada5f11ff0f5529ebdb61b2ec2
Marbun, SF., 2004, Alternatif Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, makalah disampaikan pada Diklat Peningkatan Pengetahuan SDM Aparatur Dalam Bidang HAN, diselenggarakan oleh PKP2A I LAN, 3 Desember, Bandung.
Soesastro, Hadi, tanpa tahun, Otonomi Daerah Dan Free Internal Trade, tersedia online di http://www.pacific.net.id/pakar/hadisusastro/010522.html
Utomo, Tri Widodo W., 2005 (a), “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara”, dalam Jurnal Unisia, No. 55/XXVIII/I/2005, Yogyakarta: UII Press.
______________, 2005 (b), “Beberapa Issu Strategis Jangka Pendek di Daerah dan Langkah Antisipasinya”, dalam Jurnal Borneo Administrator, Vol. 1 No. 1, Samarinda: PKP2A III LAN.


Lain-lain:
Kompas, 2003, “Pesta Anggaran Belum Berakhir dan Pemutihan Kendaraan Dinas di Sumatera Utara Dikecam” edisi 9 Agustus. Tersedia online di http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/09/daerah/



[1]     Meskipun demikian, pemerintah tetap memiliki hak untuk mengatur masalah permukiman agar tercapai ketertiban. Dalam hal ini, fungsi pengaturan tidak selamanya harus diwujudkan dalam bentuk perijinan, namun bisa saja hanya dalam bentuk “pemberitahuan”. Dengan demikian, perijinan IMB yang ada seperti saat ini semestinya lebih dimaknakan sebagai pemberitahuan saja. Disini ada perbedaan menyolok antara perijinan dan pemberitahuan. Dalam perijinan dipungut biaya tertentu, sedang dalam pemberitahuan tidak ada pungutan apapun. Selain itu, dalam perijinan, hak dasar (seolah-olah) dimiliki oleh pemerintah, sehingga tanpa adanya pelepasan hak (berupa perijinan), maka warga Negara tidak dapat melakukan suatu tindakan hukum tertentu (misalnya mendirikan bangunan). Sementara dalam “pemberitahuan”, hak dasar melekat pada pemegang hak milik atau pemilik barang (tanah, bangunan, dsb), sehingga pemegang hak milik tadi tetap dapat melakukan suatu tindakan hukum tertentu tanpa adanya ijin terlebih dahulu dari pemerintah.
[2]     Istilah pemutihan saat ini sudah banyak bergeser dari makna aslinya. Sebagai contoh, penghapusan kendaraan dinas dan rumah dinas di berbagai daerah, dipandang sebagai pemutihan. Dalam kasus ini, pemutihan identik dengan “pengalihan barang publik menjadi milik pribadi”, dan pengertian ini jelas sangat menyimpang dari makna pemutihan itu sendiri. Tentang kasus pemutihan kendaraan/rumah dinas dan indikasi adanya korupsi dibalik hal tersebut, khususnya di wilayah Sumatera Utara dan Kota Samarinda, lihat Kompas edisi 9/8/2003 Lihat juga ICW, 3/8/2004.
[3]     Telah diperbaharui dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 9/2004 ini tidak mengubah ketentuan dalam pasal 48 UU No. 5/1986, sehingga ketentuan tentang penyelesaian sengketa secara administratif tetap mengacu kepada pasal 48 UU No. 5/1986 tersebut.
[4]     Jenis hukuman disiplin ringan yang tidak dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (2) itu adalah tegoran lisan; tegoran tertulis; dan pernyataan tidak puas secara tertulis.
[5]     Jenis hukuman disiplin yang tidak dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (3) dan (4) itu adalah hukuman sedang dan hukuman berat. Hukuman sedang meliputi penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun; penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun ; dan penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 tahun. Sedangkan hukuman berat meliputi penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 tahun; pembebasan dari jabatan; pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai Negeri Sipil; dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
[6]     Hukuman disiplin yang dimaksud disini adalah pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai Negeri Sipil; dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
[7]     Berdasarkan UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka BPSP yang telah dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, berubah menjadi Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
[8]     Dibandingkan dengan UU Pemerintahan daerah sebelumnya (UU No. 2/1999), terdapat perbedaan mengenai cara penyelesaian perselisihan antar daerah. Dalam pasal 89 ayat (1) UU No. 22/1999 dikatakan bahwa “Perselisihan antar daerah diselesaikan oleh pemerintah secara musyawarah”. Sementara ayat (2) menegaskan bahwa “Apabila dalam penyelesaian perselisihan antar-Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat salah satu pihak yang tidak menerima keputusan Pemerintah, pihak tersebut dapat mengajukan penyelesaian kepada Mahkamah Agung”.

Tidak ada komentar: