Abstract
The dispute on
Ambalat block between Indonesia
and Malaysia
has encouraged government institutions to pay more vigilance on promoting
development programs of border areas. There is a shift of paradigm posing
border-areas as ‘front yard’, instead of border-areas as ‘backyard’. It implies
that attempt on promoting border development along North
Kalimantan region constitutes an emergency policy or catch-up strategy.
This comprises efforts of establishing specific institution, providing
exceptional funds, and designing integrated action plan on the hastening of
border development. This paper portrays some essential dimensions of border
areas such as general description and problems of border areas, nature of
Ambalat conflict, legal framework of border areas, and recommended strategies
to redevelop the North Kalimantan region.
Pengantar
Sebagaimana diketahui, belum lama ini
terjadi sengketa perbatasan antara Indonesia
dan Malaysia .
Kasus ini membawa pelajaran dan hikmah yang sangat penting bagi Indonesia ,
paling tidak dalam 2 (dua) hal. Pertama, kasus tadi memberikan bukti
empirik masih tingginya kecintaan dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia
terhadap tanah airnya. Kedua, munculnya kesadaran dan komitmen baru
pemerintah -- meskipun sudah sangat terlambat -- atas pentingnya pembangunan
sosial ekonomi, infrastruktur, serta sistem pertahanan dan keamanan di wilayah
tersebut.
Saat ini, pemerintah telah bertekad untuk
mengubah image kawasan perbatasan dari halaman belakang (backyard) menjadi
halaman depan (front yard) bangsa. Perubahan orientasi dan arah
kebijakan ini jelas bukan hal yang mudah dan dapat dituntaskan dalam waktu
relatif singkat. Sebab, disamping membutuhkan biaya yang sangat besar, kawasan
perbatasan sudah terlanjur sangat tertinggal baik dibanding wilayah lain di
Indonesia, terlebih lagi dibanding wilayah negara lain yang berbatasan dengan
wilayah RI. Dengan demikian, upaya membangun dan mengembangkan kawasan
perbatasan harus benar-benar didesain secara cermat, berdasarkan analisis yang
mendalam dan komprehensif terhadap karakteristik, potensi, permasalahan serta
kebutuhan nyata wilayah tersebut.
Disamping itu, kebijakan memperbaharui
wajah perbatasan ini tidak dapat lagi diklasifikasikan sebagai kebijakan
pembangunan yang normal, namun harus diposisikan sebagai kebijakan khusus (emergency
policy) dalam rangka mengejar ketertinggalan pembangunan di segala bidang (catch-up
strategy). Termasuk dalam emergency plan antara lain perlunya
pembentukan tim / kelembagaan khusus yang menangani masalah perbatasan,
penyediaan anggaran secara khusus, serta penyusunan rencana aksi (khususnya
jangka pendek) yang terintegrasi antar sektor dan antar lembaga. Asumsi yang
dipakai adalah bahwa jika pengembangan wilayah perbatasan ditempatkan pada
kerangka kelembagaan, skema anggaran, serta perencanaan makro yang telah ada,
maka hasilnya tidak akan optimal.
Pada kenyataannya, hingga saat ini
pemerintah belum memiliki dokumen perencanaan yang matang guna mengakselerasi
pembangunan wilayah perbatasan. Sementara disisi lain, tuntutan masyarakat
lokal tentang perlunya percepatan wilayah utara Kalimantan
semakin menguat. Dalam rangka menjembatani gap antara tuntutan di
lapangan dengan kebutuhan untuk menetapkan kebijakan itulah, tulisan ini
disusun. Namun sebelum membahas lebih detil mengenaii usulan strategi
pengembangan wilayah perbatasan, tulisan ini terlebih dahulu akan memetakan
kondisi dan permasalahan yang ada.
Kondisi dan Potensi Perbatasan di Wilayah Kaltim
Luas Wilayah Kaltim adalah 245.237,80 km atau 1,5 kali pulau Jawa dan
Madura; terletak pada 1130 44’ – 110 59’ BT dan 040
25’ – 020 25’ LS; dengan panjang garis pantai (water front) Kalimantan Timur 1.185 km. Kaltim memiliki wilayah yang berbatasan langsung baik darat dan laut dengan
wilayah Sabah dan Serawak , Malaysia Timur. Batas administrasi
Indonesia dan Malaysia yang bersentuhan dengan 3 (tiga) Kabupaten di Kalimantan
Timur yaitu Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Kutai Barat;
adalah sepanjang 1.038 km meliputi:
a. Batas wilayah
Kabupaten Nunukan dengan Malaysia
sepanjang 689 km;
b. Batas wilayah
Kabupaten Malinau dengan Malaysia
sepanjang 299 km;
c. Batas wilayah
Kabupaten Kubar dengan Malaysia
sepanjang 50 km.
Panjang wilayah perbatasan di wilayah utara Kalimantan dari Tanjung Datu
Kalbar s.d Sebatik Kaltim adalah 2.004 km, dengan jumlah patok seluruhnya
19.328 buah terdiri dari type A sebanyak 7 buah; type B sebanyak 76 buah; type
C sebanyak 535 buah dan type D sebanyak 18.710 buah. Sementara itu, jumlah pos penjagaan ada 30 (17 pos berada di wilayah Kalbar, dan 13 lainnya
di wilayah Kaltim), ditambah dengan 4 pos gabungan milik TNI dan tentara Malaysia . Disepanjang
wilayah perbatasan antar negara di Kalimantan Timur berdampingan 3 (tiga)
Kabupaten dan terdapat 11 (sebelas) Pos Lintas Batas pada 8 (delapan) Kecamatan.
Kawasan perbatasan memiliki sumberdaya hutan, sumber hayati di Hutan
Lindung dan Taman Nasional Kayan Mentarang yang membentang di sepanjang kawasan
perbatasan dan pertambangan yang belum optimal dalam pengelolaannya. Sangat potensial untuk jasa dan perdagangan, terutama kawasan Sebatik dan
Nunukan yang letaknya strategis berbatasan dengan Negara Malaysia. Beberapa
potensi yang terdapat di kawasan perbatasan antara lain: Potensi hutan seluas 7.855.168 Ha yang terdapat di
Kabupaten Nunukan 1.236.836 Ha, Malinau 4.205.000 Ha dan Kabupaten Kutai Barat
2.413.322 Ha. Selain menghasilkan kayu alam, kawasan hutan di wilayah
perbatasan juga menghasilkan hasil hutan ikutan yang mempunyai nilai ekonomi
cukup tinggi seperti kayu gaharu, sarang burung walet, damar, rotan dan
tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat untuk obat-obatan. Potensi tambang yang
dimiliki antara lain emas, uranium, batubara, batu permata dan lain-lainnya.
Dengan kondisi tanah yang rata-rata podzolik serta curah hujan yang cukup,
kawasan perbatasan sangat ideal bila dijadikan kawasan perkebunan khususnya
tanaman kelapa sawit, kakao, karet dan hutan tanaman industri.
Dilihat dari aspek topografis, Seman (2005)
memberi gambaran yang menarik, bahwa topografi
kawasan perbatasan Kalimantan Timur dicirikan oleh wilayah dataran yang sangat
terbatas dan berada tidak jauh dari pantai atau daerah aliran sungai, yaitu
daerah yang berada di kawasan pantai di Kecamatan Sebatik, Nunukan dan Sebuku.
Sedangkan kondisi topografi kawasan perbatasan pedalaman sebagian besar
merupakan daerah perbukitan dan pegunungan yang terjal dengan kelerengan
rata-rata diatas 40%, yaitu meliputi Kecamatan Lumbis, Mentarang, Kayan Hilir
dan Hulu, Long Pahangai dan Long Apari.
Disamping perbatasan darat, wilayah Kalimantan Timur juga dicirikan oleh
adanya perbatasan laut dengan negara tetangga (Malaysia).[1] Dalam
hal ini, Kabupaten Berau, Kota Tarakan, dan Kabupaten Nunukan adalah wilayah
yang berbatasan laut dengan yurisdiksi kelautan negara asing. Hal ini membawa
implikasi bahwa penataan dan pengembangan kawasan perbatasan juga harus
diarahkan untuk mempertegas / memperkokoh batas-batas teritorial laut,
sekaligus menetapkan program-program prioritas dalam rangka pengelolaan wilayah
perbatasan (laut) termasuk pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar yang masih
belum tersentuh pembangunan.
Permasalahan dan Kendala Penataan Wilayah
Perbatasan
Menurut Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Depdagri, permasalahan di
perbatasan antar negara dapat dikelompokan kedalam dua masalah utama,
yaitu: permasalahan yang menyangkut kedaulatan bangsa dan negara dan
mekanisme pengelolaan kawasan perbatasan, serta permasalahan yang menyangkut
kepentingan langsung masyarakat perbatasan. Sementara itu menurut LAN
(2004), permasalahan perbatasan dapat diklasifikasikan menjadi tiga dimensi,
yaitu:
1.
Permasalahan yang berdimensi
lokal dan domestik, yaitu gambaran kemiskinan sebagai akibat dari tidak
fokusnya intervensi kebijakan di masa lalu sehingga terabaikannya pembangunan
infrastruktur, SDM, dan kemudian diikuti dengan penanganan perbatasan yang
masih kental dengan nuansa sentralistik.
2.
Permasalahan yang berdimensi nasional, yaitu munculnya kegiatan ekonomi illegal diantaranya illegal
logging, TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in persons),
eksploitasi SDA secara tidak beraturan, lemahnya sistem pengawasan, semangat
otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta gejala degradasi
nasionalisme.
3.
Permasalahan yang berdimensi regional antar-bangsa, yaitu lebarnya kesenjangan sosial ekonomi
antara penduduk negeri sendiri dengan negeri tetangga, pergeseran atau
hilangnya patok tapal batas negara sehingga menimbulkan konflik mengenai garis
batas, dan kasus-kasus lainnya.
Secara lebih terinci, permasalahan yang menyangkut
kedaulatan bangsa dan negara serta mekanisme pengelolaan kawasan perbatasan
adalah sebagai berikut:
1.
Adanya
fenomena lunturnya rasa nasionalisme baik yang disebabkan oleh sulitnya
jangkauan pembinaan maupun dipicu oleh orientasi dan peluang kegiatan ekonomi
di wilayah seberang (negara lain).
2.
Penanganan
kawasan dengan pendekatan sentralistik telah memperlambat proses pembangunan
daerah dan tidak ada kejelasan kewenangan pemerintah daerah, kecamatan dan
desa.
3.
Minimnya
jumlah pos perbatasan bila dibandingkan dengan garis perbatasan yang begitu
panjang.
4.
Dampak
pemekaran beberapa kabupaten membawa implikasi diperlukannya penataan zona-zona
potensi yang ada.
5.
Belum
tersusunnya tata ruang wilayah perbatasan dan tata ruang kawasan pintu gerbang
lintas batas.
6.
Masih
adanya kegiatan pelanggaran hukum seperti pemindahan patok batas negara,
penyelundupan kayu, penyelundupan bayi dan pengiriman TKI illegal.
7.
Belum
dimanfaatkannya potensi SDA, budaya dan pariwisata.
8.
Minimnya
sarana dan prasarana untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
sosial serta ketahanan budaya.
9.
Terjadinya
degradasi hutan yang disebabkan oleh adanya kegiatan-kegiatan eksploitasi SDA
yang dikelola secara illegal.
10. Kesenjangan tingkat
kesejahteraan penduduk perbatasan dibandingkan penduduk negeri seberang.
11. Rendahnya kualitas
SDM di wilayah perbatasan dibandingkan penduduk negeri seberang.
12. Adanya kesenjangan
sosial antara masyarakat asli perbatasan dengan masyarakat pendatang.
13. Kurangnya informasi
yang dimiliki masyarakat terutama pengetahuan tentang peraturan
perundang-undangan.
14. Terbatasnya
infrastruktur dan fasilitas umum untuk memennuhi pelayanan dasar sosial kepada
masyarakat kawasan perbatasan.
Sementara itu, Bappeda dan Biro Pemerintahan Pemprop Kalimantan Timur dalam
salah satu laporannya (2005) mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi selama
ini dalam penanganan perbatasan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
Secara yuridis belum
ada pengaturan yang menyeluruh yang mengatur mengenai penanganan perbatasan.
2.
Kondisi masyarakat di
wilayah perbatasan belum memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas mengenai
perbatasan bahkan sebagian cenderung marginal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan.
3.
Kondisi geografis
Kalimantan Timur, secara fisik terdiri dari wilayah pulau pulau kecil di laut
lepas, pegunungan, bukit, sungai-sungai, jeram dan rawa-rawa, sehingga
aksesibilitas ke perbatasan sulit dijangkau.
4.
Terbatasnya sarana dan
prasarana dasar, transportasi dan telekomunikasi berdampak pada rendahnya
tingkat aksesibilitas serta keterisolasian dari wilayah sekitarnya, sehingga
mempersulit pengawasan dan pengelolaan wilayah perbatasan di wilayah darat
maupun wilayah laut termasuk pulau-pulau kecil.
5.
Belum adanya lembaga
khusus yang menangani perbatasan antar negara di daerah; sementara itu banyak
lembaga fungsional yang menangani perbatasan antar negara, sehingga hasil yang
dicapai belum efektif.
Pokok Sengketa Perbatasan Indonesia – Malaysia
Sengketa perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia
sesungguhnya hanya menyangkut blok Ambalat di lepas laut Sulawesi, dan bukan
wilayah perbatasan secara keseluruhan. Berdasarkan peta TNI-AL, Karang Unarang
berada di Teluk Siboko, menempel persis di perbatasan kedua negara. Indonesia
menglaim Karang Unarang adalah wilayahnya, dengan menarik garis lurus 12 mil
dari perbatasan Sebatik Indonesia sebagai titik pangkal. Versi Malaysia
berbeda. Mereka mengukur dari titik Sebatik Indonesia langsung kebawah, tanpa
tambahan 12 mil garis teritorial. Malaysia mengklaim hingga 70 mil laut atau
129,6 km kearah selatan Laut Sulawesi, dihitung dari pantai Sipadan dan Ligitan
saat surut terendah. Dari sudut pandang ini, Karang Unarang adalah milik Malaysia
(TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005).
Secara historis, blok Ambalat dan bahkan sebagian besar wilayah Sabah
memang memiliki hubungan emosional maupun kultural yang sangat dekat dengan
bangsa Indonesia, khususnya Kasultanan Bulungan. Sebagaimana dilaporkan oleh TEMPO (Edisi 14-20 Maret 2005),
Kasultanan Bulungan telah memiliki hubungan diplomatik dengan Belanda. Secara
politis, Kesultanan Bulungan diakui Belanda sebagai negara merdeka pada tahun
1844. Kedua negara ini kemudian mengadakan kerjasama membentuk pemerintahan
semi otonom (zelfbestuurende lanschappen)
dengan Sultan sebagai kepala negara dibantu oleh dua orang pejabat (landsgrote). Perjanjian pembagian
kekuasaan Belanda-Bulungan ini terus diperbaharui. Terakhir, perjanjian itu
direvisi pada 1928 dan dimuat dalam Staatsblad
No. 86/1928 dan Gouvernements-besluit
No. 17 dan 25 tahun 1928. Pada November 1949, Kesultanan Bulungan menyatakan
bergabung dengan Republik Indonesia.
Atas dasar perjanjian-perjanjian tersebut, maka perjanjian perbatasan yang
dilakukan antara Belanda dan BNBC (British
North Borneo Company) pada tahun 1891 dan 1915 yang berisi kesepakatan
membagi wilayah Kalimantan Utara menjadi dua, yakni milik Inggris dan Belanda,
dianggap menyalahi perjanjian-perjanjian dengan kesultanan setempat sebelumnya.
Perjanjian antara dua negara kolonial itu diprotes keras oleh Kesultanan
Bulungan karena membuat wilayah Bulungan yang terbentang dari Tarakan, Tidung
sampai Lahat Datu, Sabah, menjadi terbelah. Terlebih lagi, perjanjian tersebut
dilakukan tanpa persetujuan Sultan sebagai pemilik kedaulatan. Itulah sebabnya,
Sultan Bulungan saat ini, Maulana Muhammad Al Ma’mun tidak pernah mengakui
perjanjian semacam itu. Klaim pemerintah Malaysia atas sebagian wilayah Sabah –
sebagaimana perjanjian perbatasan yang ditinggalkan Inggris tersebut – selain
mendapat tentangan dari Kesultanan Bulungan juga dari Sultan Sulu di Filipina
Selatan. Sultan Filipina ini juga mengklaim wilayah darat, antara lain meliputi
Kota Kinabalu, ibukota Negara bagian Sabah sendiri (TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005).
Selain itu, TEMPO juga melaporkan
bahwa Indonesia menamakan wilayahnya Blok Ambalat, dengan luas sekitar 6.700
km2. Bagian barat dikelola oleh ENI Ambalat Ltd. (Itaia) dan bagian timur
diperasikan Unocal Indonesia Venture Ltd. (AS). Penguasaan Malaysia mencakup
daerah yang lebih luas, 25.700 km2 atau hampir seluas Propinsi
Sulawesi Utara. Namanya Blok ND 6 dan ND 7, yang dulu sempat dinamakan Blok Y
dan Z. Saat ini, kedua blok itu dioperasikan oleh Shell (Belanda) bersama
Petronas Carigali Sdn. Bhd.[2]
Hukum Internasional Tentang Perbatasan
Dalam khazanah hukum internasional, pengaturan tentang
laut diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Namun sebelum UNCLOS ini muncul, terdapat 4 (empat) Konvensi Jenewa tahun 1958
yang mengatur laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan sumber hayati di
laut, landas kontinen, dan laut lepas. Konvensi ini pada waktu selanjutnya
dianggap kurang memadai, sebab banyak negara merdeka baru yang menuntut kedaulatan
lautnya. Dalam Konferensi Hukum Laut PBB ke-3 tahun 1982 di Montego Bay,
Jamaika, disepakati United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS),
yang mengatur perihal hukum laut. Konvensi ini efektif berlaku pada 16 November
1994. Penggerak konvensi ini adalah negara kepulauan seperti Indonesia,
Filipina, Fiji dan Mauritius.
Dalam konvensi tersebut diatur cara menentukan batas teritorial di laut,
yakni maksimal 12 mil laut atau 22,2 km dari muka laut terendah. Bila dua
negara tetangga memiliki garis pantai kurang dari 24 mil, batas laut
teritorial antar dua negara adalah median atau garis tengah (equidistance). Bila sebuah negara
berbentuk kepulauan, batas laut teritorialnya diukur dari pulau-pulau terluar
sewaktu air surut.[3]
Titik-titik ini kemudian dihubungkan sehingga membentuk garis batas teritoral.
Dalam batas teritoral ini berlaku penuh kedaulatan negara.
Selain laut teritorial, terdapat juga zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi
eksklusif, dan batas landas kontinen. Zona tambahan tidak
boleh lebih dari 24 mil laut atau 44,4 km dari batas laut terendah sebuah
negara. Dalam zona tambahan ini, suatu negara berhak melakukan pengawasan di
bidang pabean, imigrasi, dan fiskal. Selanjutnya di zona ekonomi eksklusif
(ZEE), sejauh 200 mil atau 370 km, negara memiliki hak berdaulat atas kekayaan
alam maupun mineral yang berada di jalur tersebut. Sedangkan wilayah landas
kontinen adalah dasar laut dan tanah dibawahnya (seabed and seasoil) dari daerah yang masih kepanjangan alamiah dari
daratan pantainya hingga tepi kontinen (continental
margin). Lazimnya batas landas kontinen ini tak lebih dari 200 mil dari
garis pangkal pantai. Dalam landas kontinen, negara pantai berhak melakukan
eksplorasi kekayaan alam yang ada di bawahnya (TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005).
Dalam pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional disebutkan, jika
sengketa antara dua negara tidak bisa diselesaikan secara bilateral, ada
beberapa alternatif penyelesaian seperti mediator, arbitrator, dan mekanisme
regional (multilateral). Bila masih menemui jalan buntu, bisa ditempuh solusi
berupa joint development. Pada tahun
1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, Indonesia sepakat membuat
garis batas dengan Australia di Celah Timor. Konsep serupa akhirnya ditiru
negara-negara lain. Sementara Malaysia saat ini punya dua joint development di Laut Cina Selatan dengan Thailand dan Vietnam.
Itu karena mereka tak sepakat dalam hal garis batas selama bertahun-tahun
(Hasyim Djalal, Malaysia Tak Bersikap
Sebagai Tetangga Baik, wawancara dengan TEMPO,
Edisi 14-20 Maret 2005).
Ketentuan berdasarkan zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan batas
landas kontinen nampaknya sudah tidak berlaku secara efektif. Terbukti, pada
sengketa Indonesia – Malaysia memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah
Internasional (International Court of Juctice) menggunakan pertimbangan
lain yang lebih rasional, yakni continuous
presence (kehadiran etrus menerus), effective
occupation (penguasaan / pendudukan efektif), serta maintenance and ecology preservation (pelestarian alam). Meskipun
Hakim Shigeru Oda dalam putusan Mahkamah Internasional (MI) tanggal 17 Desember
12002 menegaskan bahwa putusan MI ini hanya menyangkut kedaulatan Pulau Sipadan
dan Ligitan dan tidak menyangkut landas kontinen, nampaknya putusan ini
cenderung menjadi sumber hukum laut yang baru (yurisprudensi). MI sendiri tetap
menegaskan bahwa pengaturan mengenai landas kontinen, harus diatur berdasarkan
UNCLOS 1982 (Gatra, No. 18 Tahun XI,
19 Maret 2005).
Sementara itu, produk hukum nasional sesungguhnya juga telah mengakomodir
mengenai batas-batas wilayah ini. Sebagai contoh, dasar hukum bagi perundingan
batas wilayah Negara baik darat maupun laut yang dilakukan Pemerintah adalah
mengacu kepada sejumlah hukum nasional tentang wilayah perairan nasional (UU
No. 4/Prp/1960 yang kini telah direvisi dengan UU No. 6 tahun 1996), yurisdiksi
atas landas kontinen (UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen) dan
yurisdiksi eksklusif atas ZEE berdasarkan UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEE. Dalam pasal 3 UU
No. 1 tahun 1973, misalnya disebutkan bahwa “dalam hal landas kontinen Indonesia
berbatasan dengan Negara lain, penetapan garis batas tersebut dilakukan dengan
cara melakukan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan”. Mandat serupa
juga ditegaskan dalam pasal 3 UU No. 5 tahun 1983 untuk penetapan batas ZEE RI
dengan Negara tetangga yang berhadapan / berdampingan (Biro Pemerintahan Setda
Prop Kaltim, 2005).
Kerangka Yuridis Pengembangan Wilayah Perbatasan
Secara
nasional, pemerintah telah menyediakan payung hukum yang cukup komprehensif
tentang pengembangan wilayah perbatasan. Berdasarkan Bab 26 Peraturan Presiden
No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, hal. IV.26-7,
misalnya, program pengembangan wilayah perbatasan ditujukan untuk: 1) menjaga
keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh
hukum internasional, 2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan
menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis
yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Kegiatan pokok
yang akan dilakukan untuk memfasilitasi pemerintah daerah adalah:
1.
Penguatan
pemerintah daerah dalam mempercepat peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat melalui: a) peningkatan pembangunan sarana dan
prasarana sosial dan ekonomi, b) peningkatan kapasitas SDM, c) pemberdayaan
kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan, d) peningkatan mobilisasi
pendanaan pembangunan.
2.
Peningkatan
keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, terutama untuk
pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau
kecil, antara lain melalui penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan
seperti pemberian prioritas Dana Alokasi Khusus (DAK), public service
obligation (PSO), dan keperintisan untuk transportasi, penerapan universal
service obligation (USO) untuk telekomunikasi, serta program listrik masuk
desa.
3.
Percepatan
pendeklarasian dan penetapan garis perbatasan antar negara dengan tanda-tanda
batas yang jelas serta dilindungi oleh hukum internasional.
4.
Peningkatan
kerjasama masyarakat dalam memelihara lingkungan (hutan) dan mencegah
penyelundupan barang, termasuk hasil hutan (illegal logging) dan
perdagangan manusia (human trafficking). Namun demikian perlu pula
diupayakan kemudahan pergerakan barang dan orang secara sah, melalui
peningkatan penyediaan fasilitas kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta
keamanan dan pertahanan.
5.
Peningkatan
kemampuan kerjasama kegiatan ekonomi antar kawasan perbatasan dengan kawasan
negara tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu
gerbang lintas negara. Selain itu, perlu pula dilakukan pengembangan wilayah
perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam lokal melalui
pengembangan sektor-sektor unggulan.
6.
Peningkatan
wawasan kebangsaan masyarakat, dan penegakan supremasi hukum serta aturan
perundang-undangan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah
perbatasan.
Selain itu, pemerintah tengah merancang beberapa produk hukum setingkat UU
atau dibawah UU yang mengatur beberapa dimensi pengelolaan perbatasan, yakni
sebagai berikut (Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri):
1.
RUU Batas Wilayah
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diprakarsai oleh Departemen
Dalam Negeri.
2.
Rancangan
Keppres tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar yang diprakarsai oleh
Departemen Kelautan dan Perikanan.
3.
Rancangan
Keppres tentang Dewan Pengembangan Kawasan Perbatasan Antar Negara yang
merupakan prakarsa dari Meneg PPKTI.
4.
Rancangan
Keppres tentang Penanganan Masalah (Perundingan) Perbatasan yang diprakarsai
oleh Departemen Luar Negeri.
5.
Rancangan
Keppres tentang Rencana Induk Pengembangan Wilayah Perbatasan Negara RI
yang diprakarsai RI oleh Ditjen PUM, Departemen Dalam Negeri.
6.
Kebijakan
Strategi Nasional Pengembangan Pulau-pulau Kecil (Buku Putih) yang diprakarsai
oleh Bappenas bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan.
7.
Rancangan
Keppres Tata Ruang Kawasan Perbatasan di Kalimantan yang di prakarsai oleh
Ditjen. Tata Ruang, Departemen KIMPRASWIL.
8.
Penyusunan
“Buku Putih Perbatasan” (Isi terutama menyangkut border management) yang
diprakarsai oleh Menko Perekonomian. Saat ini pembahasan masih pada tahap
penjajagan melalui wadah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) dimana
Menko Perekonomian sebagai ketua.
Secara kelembagaan, penanganan masalah
perbatasan dewasa ini dilakukan secara ad-hoc oleh berbagai instansi
teknis yang berbeda-beda sesuai dengan materi pokok permasalahannya. Pola
penanganan tersebut membawa implikasi penanganan yang kurang terpadu dan kurang
komprehensif sebagai ilustrasi, masalah demarkasi batas darat dan kerjasama
perbatasan, termasuk penanganan masalah yang timbul di perbatasan,
dikoordinasikan oleh berbagai instansi, misalnya:
1. General Border
Committee (GBC)
RI-Malaysia diketuai oleh PanglimaTNI;
2. Joint Border
Commite (JBC)
RI-PNG diketuai oleh Menteri Dalam Negeri;
3. Joint Border
Committee (JBC)
RI-RDTL diketuai oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam
Negeri;
4. Tim Penetapan Batas
landas Kontinen diketuai oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral;
5. Border Committee
Indonesia – Philipina diketahui oleh Panglima Kodam VII/Wirabuana (Tingkat
Ketua) dan oleh Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah Timur (Tingkat Wakil
Ketua).
Sementara itu di tingkat daerah, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur
(2005) telah menetapkan kebijakan perencanaan pengembangan kawasan perbatasan
kedepan sebagai berikut:
1.
Penguatan struktur
ekonomi kawasan perbatasan Kalimantan Timur melalui antara lain pengembangan
sektor perkebunan terutama kelapa sawit di sepanjang garis perbatasan dengan
memanfaatkan para TKI yang selama ini bekerja di Malaysia serta menempatkan
para prajurit TNI dan keluarga.
2.
Perluasan ketersediaan
sarana dan prasarana/infrastruktur dasar wilayah, transportasi dan
telekomunikasi.
3.
Penyiapan kemampuan
aparat kawasan perbatasan Kalimantan Timur dalam rangka pengelolaan dan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efisien.
4.
Perlindungan
kelestarian hutan secara berkelanjutan.
5.
Peningkatan rasa
nasionalisme dan pemahaman politik bagi masyarakat perbatasan Kalimantan Timur.
6.
Penguatan fungsi
pertahanan dan keamanan untuk menjaga batas-batas wilayah RI secara konsisten.
7.
Peningkatan kesadaran
hukum masyarakat perbatasan dan peningkatan pengawasan dan pengamanan terhadap
pelanggar lintas batas, terutama untuk kegiatan illegal logging, illegal
fishing, dan illegal trading.
8.
Peningkatan ekonomi
masyarakat dengan pembentukan kawasan-kawasan sentra produksi, kegiatan
industri dan perdagangan, dan pengelolaan sumberdaya lokal secara profesional
dan bertanggung jawab.
9.
Peningkatan kualitas
kehidupan sosial budaya masyarakat perbatasan di bidang kesehatan, pendidikan
dan keterampilan penduduk.
Kebijakan yang telah ditetapkan tadi pada kenyataannya kurang berjalan
secara optimal, khususnya karena kondisi geografis di Kalimantan Timur yang
sangat berat dan luas, termasuk keberadaan pulau-pulau kecil yang tersebar
dengan tingkat pembangunan yang masih amat rendah.
Sebagaimana mengacu kepada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 125.1/236/PUM
tanggal 5 Maret 2003 perihal Pulau Bernama dan Belum Bernama Setiap Propinsi di
Indonesia, di Kalimantan Timur terdapat
sebanyak 386 pulau dan 138 pulau diantaranya belum bernama. Hal ini apabila
tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah, akan berdampak negatif
terhadap eksistensi perairan kepulauan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat
dimasa yang akan datang; terutama adanya upaya penguasaan pulau oleh pihak
luar. Sebagai contoh pulau terluar yang perlu menjadi perhatian dan perlu
dilindungi dari intervensi pihak luar yaitu (Biro Pemerintahan Pemprop
Kalimantan Timur, 2005):
1.
Sebatik pada koordinat
04.09.10 LU; 117.47.50 BT di wilayah Kabupaten Nunukan.
2.
Batu Unarang / Karang
Unarang pada koordinat 04.00.30 LU; 118.04.00 BT di Kabupaten Nunukan.
3.
Sambit pada koordinat
01.46.53 LU; 119.02.26 BT di wilayah Kabupaten Berau.
4.
Maratua pada koordinat 02.15.12 LU; 118.38.41 BT di wilayah
Kabupaten Berau.
Upaya yang
telah dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Kaltim terhadap penanganan pulau pulau
tersebut yaitu (Syachruddin, 2005):
1.
Pemerintah Propinsi
telah meminta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera menginventarisir
dan sekaligus memberikan nama pulau pulau yang belum bernama sejak tahun 2002
dan terakhir melalui Surat Gubernur No.125/2207/Pem.D/2005 tanggal 24 Maret
2005; perihal Percepatan Penamaan dan Inventarisasi Pulau.
2.
Pemerintah
Kabupaten/Kota diharapkan lebih intensif melakukan kegiatan administrasi
pemerintahan di pulau pulau yang berpenghuni seperti pelayanan KTP pelayanan
fasilitas sosial dan lain lain; sementara untuk pulau pulau yang belum
berpenghuni perlu dilakukan pengontrolan secara kontinyu bersama aparat Polri
dan TNI.
Strategi Percepatan Pembangunan Perbatasan dan
Wilayah Utara kalimantan
Harus diakui bahwa baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah
mengambil lanngkah-langkah penting dalam rangka pengembangan wilayah
perbatasan. Departemen Kelautan dan Perikanan, misalnya, telah mengajukan dua
agenda yang perlu dilakukan Indonesia. Pertama,
pengembangan wilayah perbatasan berbasis pulau kecil. Artinya, pulau-pulau
kecil di wilayah perbatasan yang dihuni penduduk Indonesia, harus diperhatikan
kesejahteraannya, teristimewa pulau-pulau terluar. Sebagai contoh Pulau Wetar
di Maluku Tenggara Barat dimana saat Timor Leste masih menyatu dengan Indonesia
pasokan kayu untuk pembangunan disana berasal dari pulau ini, tetapi
masyarakatnya amat miskin. Contoh lain, Pulau Miangas di Kabupaten Talaud,
Sulawesi Utara, seluas 3,15 km2 dan dihuni sekitar 600 jiwa dan berprofesi
nelayan dan petani kelapa. Pemasaran komoditas disana bukannya ke Sulawesi
Utara, tetapi ke Davao (Filipina).
Kedua, penegasan mengenai
garis batas (delimitasi dan demarkasi). Masalah ini membutuhkan dukungan
seperti survei dan pemetaan wilayah perbatasan, penamaan (toponimi) pulau yang pada akhirnya membantu Deplu melakukan
tugasnya dalam kaitan dengan border
diplomacy, sampai upaya pengakuan PBB terhadap apa yang sudah disetujui
Indonesia dengan negara-negara tetangga. Agar tidak terjadi lagi klaim oleh
negara lain, perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan 92 pulau terluar.
Terhadap 92 pulau terluar ini, negara meletakkan titik dasar (TD) yang
dilegalkan melalui PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi
Titik-Titik Pangkal Kepulauan Indonesia (Forum
Keadilan, No. 45, 20 Maret 2005).
Sementara itu, Pemprop Kaltim telah mengalokasikan dana yang cukup besar
untuk pembangunan infrastruktur maupun peningkatan kapasitas SDM dan penguatan
sistem ekonomi lokal, dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan di utara
Kalimantan. Dalam hal ini, Pemprop Kaltim menganggarkan sebanyak Rp 1,59
Triliun untuk pembangunan wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Total anggaran
itu mencakup Rp 785,37 miliar untuk Kabupaten Kutai Barat, Rp 443,92 untuk
Kabupaten Malinau, dan Rp 361,8 miliar untuk Kabupaten Nunukan. Anggaran bagi
tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan dengan Malaysia itu akan
dialokasikan untuk pembangunan ekonomi lokal, peningkatan SDM, pengembangan
kelembagaan, sarana dan prasarana serta pencegahan konflik dan rehabilitasi
bencana. Selain itu, Pemerintah Propinsi Kaltim dalam
tahun 2004 telah menyediakan dana untuk kepentingan TNI sebesar Rp. 350.000.000,-
sebagian untuk membangun 4 (empat) Unit Pos Perbatasan.
Meskipun demikian, perlu diakui pula bahwa berbagai strategi diatas belum
mampu mengatasi permasalahan di wilayah perbatasan secara tuntas. Hal ini
terutama disebabkan oleh adanya indikasi belum terpadunya berbagai kebijakan
tadi. Oleh karena itu, perlu dirumuskan strategi kebijakan yang lebih bersifat
lintas sektoral, lintas lembaga (pusat dan daerah), serta lintas pandang dan
lintas pendekatan. Dalam kaitan ini, strategi yang disarankan dalam rangka
mempercepat pembangunan wilayah utara Kalimantan, khususnya kawasan perbatasan,
paling tidak mencakup tiga kelompok strategi sebagai berikut:
1.
Strategi
Perubahan Paradigma Pembangunan
- Menerbitkan
Keppres tentang Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (modifikasi
Keppres 44/1994), dari yang menggunakan pendekatan keamanan (security
approach) menjadi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).
- Pemberdayaan pulau-pulau
kecil, melalui pengembangan wilayah perbatasan berbasis pulau kecil, serta
penegasan mengenai garis batas (delimitasi dan demarkasi).
- Upaya
melibatkan masyarakat dan kalangan usaha / bisnis secara langsung dalam
proses pengembangan wilayah perbatasan. Untuk masyarakat, misalnya perlu
dibentuk pola-pola family / community based forestry yang diberi
tugas ikut memantau dan menjaga wilayahnya dari aksi pencurian kayu dan
perusakan hutan / lingkungan. Atau dapat pula dibentuk “kelompok
masyarakat transmigran peduli pembangunan daerah” yang berfungsi untuk
mendinamisir sekitar kawasan transmigran. Sedangkan untuk para pengusaha
(khususnya HPH dan pertambangan), perlu didorong untuk menunjukkan
semangat CSR (corporate social responsibility) yang tinggi.
2.
Strategi
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Perbatasan
- Pembangunan
sentra-sentra IKM berbasis produksi pertanian yang berorientasi pada
peningkatan ekonomi masyarakat perbatasan, misalnya melalui budi daya
tanaman kelapa sawit.
- Pengembangan
armada nelayan tradisional untuk menggarap perairan diatas 12 mil laut
dengan dukungan sarana kapal diatas 30 ton (GT) serta peralatan navigasi
dan kompas.
- Penyediaan subsidi bagi
masyarakat di wilayah yang terisolir untuk mengurangi dampak isolasi
seperti disparitas harga yang terlalu tinggi, akibat kelangkaan bahan
bakar, kalangkaan alat transportasi, dan shortage dalam penawaran bahan kebutuhan pokok sehari-hari.
- Peningkatan
kapasitas nelayan tradisional dalam hal pembacaan peta, komunikasi,
navigasi, serta pemanfaatan alat meteorologi dan geofisika.
- Pembukaan
lahan baru dan pembinaan masyarakat asli maupun pendatang (transmigran).
3.
Strategi
Penguatan Kelembagaan
- Penetapan
dann pengaturan ulang mengenai batas-batas kewenangan baru antara
pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan wilayah
perbatasan.
- Pembentukan
kelembagaan khusus (semacam Badan Otorita) yang menangani aspek
perencanaan, pengembangan dan pengawasan wilayah perbatasan, baik dalam
dimensi ekonomi, sosial, pemerintahan, maupun pertahanan dan keamanan.
- Peningkatan
Anggaran, baik untuk pembangunan infrastruktur fisik, peningkatan
kemampuan pertahanan, maupun sebagai stimulan kegiatan ekonomi rakyat.
- Pengembangan
kerjasama pembangunan dan pelayanan publik dengan negara asing, khususnya
dengan pemerintahan daerah yang berbatasan secara langsung.
- Peningkatan
kapasitas kesisteman dalam bidang bidang keamanan dan pertahanan, termasuk
memperkuat personil dan armada dalam rangka patroli wilayah laut dan
perbatasan darat.
Berbagai strategi yang ditawarkan diatas
memang masih bersifat makro, dan memerlukan penjabaran dan elaborasi lebih
detil dalam bentuk program-program dan kegiatan yang lebih konkrit. Dengan kata
lain, strategi tadi belum mencerminkan agenda program sektoral, namun dapat
diterjemahkan menjadi program-program sektoral. Untuk itu, komunikasi dan
koordinasi yang harmonis antar instansi dan antar sektor akan menjadi kunci
utama keberhasilan pembangunan wilayah perbatasan, baik pada dimensi sosial,
ekonomi maupun administrasi pemerintahan, politik dan hankam. Ini berarti pula
bahwa sinergi kebijakan dan integrasi program antar lembagalah yang mampu
menjawab tantangan, apakah upaya mengatasi ketertinggalan pembangunan di
kawasan perbatasan dapat terwujud ataukah tidak.
Catatan Penutup
Secara umum, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagos)
yang memiliki batas wilayah sangat panjang. Batas wilayah tadi bukan hanya
darat namun juga laut, bukan hanya antar negara namun juga antar daerah
(propinsi maupun kabupaten/kota). Kondisi ini jelas mengandung potensi
permasalahan yang sangat besar, dan oleh karenanya perlu diantisipasi secara
matang dengan menyusun konsep manajemen perbatasan yang modern, komprehensif,
akurat, serta efektif dan efisien.
Disisi lain, jika segalanya berjalan lancar sesuai rencana yang ada, maka
pada tahun 2007 akan lahir propinsi baru di Indonesia, yakni Propinsi
Kalimantan Utara (Kaltara) yang terdiri dari Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan,
Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Malinau.[4] Meskipun telah ada kajian tentang kelayakan pembentukan propinsi baru,
namun kebijakan ini jelas bukan pilihan yang mudah. Untuk itu, salah satu upaya
untuk mendukung program nasional tersebut adalah dengan menyusun konsep
manajemen perbatasan yang modern, komprehensif, akurat, serta efektif dan
efisien tadi. Dengan demikian, kebijakan pembentukan Propinsi Kaltara diharapkan
dapat berjalan seiring dan saling memperkuat dengan kebijakan penataan dan
pengembangan wilayah perbatasan secara keseluruhan. Tanpa adanya “blue print”
pengembangan wilayah perbatasan, dikhawatirkan pembentukan Propinsi Kaltara
justru akan menimbulkan masalah dan beban baru, baik bagi propinsi induk
(Kalimantan Timur) maupun bagi masyarakat secara umum.
Pola pikir seperti diatas pada dasarnya menempatkan kebijakan pengembangan
wilayah perbatasan hanya untuk mengatasi issu perbatasan semata (border
policy for border areas), namun lebih ditujukan untuk mencapai tujuan yang
lebih luas dan strategis, yakni memajukan wilayah Kalimantan melalui
peningkatan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya
(border policy for the improvement of regional development and people’s
prosperity).
Referensi:
Bappeda
Kalimantan Timur, 2005, Rencana Pembangunan Kawasan Perbatasan Kalimantan
Timur, bahan presentasi pada Semiloka “Penyerasian Program Penelitian dan
Pengembangan Dalam Optimalisasi Wilayah Perbatasan”, diselenggarakan oleh Forum
Komunikasi Kelitbangan (FKK) dengan Balitbang Propinsi Kalimantan Timur, 10-11
Mei.
Biro
Pemerintahan Setda Propinsi Kalimantan Timur, 2005, Laporan Penataan Batas
Wilayah, Pemekaran Daerah, Toponimi dan Kerjasama
di Kalimantan Timur Tahun 2004,
Samarinda.
Dammen, NT., 2005, Peranan Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan (BPPK) Departemen Luar Negeri Dalam Pengkajian Masalah
Perbatasan, bahan
presentasi pada Semiloka “Penyerasian Program Penelitian dan Pengembangan Dalam
Optimalisasi Wilayah Perbatasan”, diselenggarakan oleh Forum Komunikasi
Kelitbangan (FKK) dengan Balitbang Propinsi Kalimantan Timur, 10-11 Mei.
Djalal, Hasyim, 2005, Malaysia
Tak Bersikap Sebagai Tetangga Baik, wawancara dengan TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005
Dirjen
Pemerintahan Umum Depdagri, tanpa tahun, Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Kewenangan Provinsi
dan Kabupaten / Kota Dikaitkan Dengan Pengelolaan Wilayah Perbatasan, makalah disampaikan pada Rakerda BKTRN Wilayah Timur Indonesia.
LAN, 2004, Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara,
Laporan Akhir Penelitian, Jakarta.
Pemerintah
Propinsi Kaltim, 2005, Laporan Gubernur Kalimantan Timur Dalam Rangka
Kunjungan Kerja Presiden RI Ke Kalimantan Timur, Tarakan, 7-8 Maret
.
Pemerintah
Propinsi Kaltim, 2005, Jawaban Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur Terhadap Pertanyaan Komisi I
DPR-RI.
Seman, M. Tarno, 2005, Kebijakan Pemekaran Wilayah di
Kalimantan Timur, dalam Jurnal Borneo Administrator, Vol. 1 No. 1,
Samarinda: PKP2A III LAN.
______________ , 2005, Permasalahan dan Rencana
Pengembangan Kawasan Perbatasan di Kalimantan Timur, dalam Jurnal Borneo
Administrator, Vol. 1 No. 2, Samarinda: PKP2A III LAN.
Syachruddin,
2005, Implementasi Pembinaan Wilayah
Serta Penataan Geografis Terhadap Pulau-Pulau Kecil di Kalimantan Timur, dalam Jurnal Borneo Administrator Vol. 1
No. 2, Samarinda: PKP2A III LAN
Forum Keadilan, No. 45, 20 Maret 2005
Gatra, No. 18 Tahun XI, 19 Maret 2005
TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005
[1] Sebelum
lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, Kalimantan Timur memiliki batas laut dengan
Filipina, namun sekarang hanya berbatasan laut dengan Malaysia .
[2] Sebagai
catatan, potensi di Blok Ambalat (Barat dan Timur) mencapai 62 juta barrel
minyak dan 348 miliar kaki kubik gas bumi. Bila dibandingkan dengan produksi
lapangan minyak tua di sekitarnya, potensi Blok Ambalat memang menjanjikan.
Ladang minyak Tarakan di Nunukan yang dioperasikan Medco E&P hanya
memproduksi 666 barrel minyak dan 363 ribu kaki kubik gas per hari. Sedangkan
Pertamina Bunyu hanya menghasilkan 3.000 barrel minyak dan 5.000 kaki kubik gas
per hari. Namun dibandingkan dengan cadangan Cepu, perkiraan Ambalat masih
kalah besar. Menurut Kepala Divisi Eksploitasi BP Migas, Kuswo Wahyono,
cadangan minyak Cepu yang telah terbukti dan diverifikasi mencapai 85 juta
barrel. Jika ditambah dengan cadangan yang masih terduga, keseluruhannya setara
dengan 250 juta barrel minyak (TEMPO,
Edisi 14-20 Maret 2005).
[3] Pengertian
pulau sendiri menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau UNCLOS adalah suatu
daratan alami (Landmass dapat berupa batu, karang, tanah atau pasir) yang
senantiasa berada diatas permukaan air laut pada garis air tinggi (air pasang).
[4] Kabupaten
Berau sebelumnya juga merupakan salah satu daerah yang mendukung dan/atau akan
menjadi bagian dari Propinsi Kaltara. Menurut salah seorang anggota DPD asal
Kalimantan Timur, Luther Kombong, Kabupaten Berau mengundurkan diri dari
keanggotaan Kaltara, karena tersinggung tidak diikutsertakan dalam Dewan
Presidium Kaltara. Lihat, Tribun Kaltim, 21 Maret 2005. Dengan demikian,
jumlah kabupaten/kota di calon Propinsi Kaltara saat ini hanya ada 4 (empat),
padahal UU No 32 Tahun 2004 menentukan bahwa persyaratan pembentukan daerah
(propinsi) harus memenuhi syarat fisik kewilayahan minimal 5 (lima ) daerah Kabupaten/Kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar