Pengantar
Tidak dapat dibantah bahwa desentralisasi
pada dekade terakhir ini menjadi trend global yang banyak diterapkan di
berbagai negara berkembang. Kebijakan ini bahkan telah diyakini sebagai obat
mujarab untuk mengatasi berbagai permasalahan pembangunan seperti kesenjangan
antar daerah, issu ketidakkeadilan dalam sharing of resources antara
Pusat dan Daerah, kemiskinan, bahkan persoalan-persoalan “berat” seperti
konflik rasial, separatisme, dan sebagainya. Namun yang terjadi sesungguhnya
tidaklah selalu demikian.
Dari kajian lintas negara terlihat bahwa
dalam beberapa hal, desentralisasi dapat pula melahirkan dampak yang tidak
diinginkan. Demikian pula yang terjadi di Indonesia . Proses desentralisasi
yang telah berlangsung efektif sejak 1 Januari 2001, ternyata belum
menghasilkan kemajuan yang nyata-nyata dapat dinikmati oleh masyarakat. Bahkan
ide dasar dari desentralisasi itu sendiri masih belum terimplementasikan dengan
optimal, yang diindikasikan oleh masih banyaknya ketentuan pasal-pasal dalam UU
Nomor 22 Tahun 1999 yang belum diatur lebih lanjut, adanya tarik ulur
kepentingan dalam upaya revisi, adanya perbedaan penafsiran yang melahirkan
konflik antar unit pemerintahan (baik Pusat maupun Daerah), dan sebagainya.
Secara konseptual, paradigma yang
terkandung dalam kebijakan desentralisasi memang sangat baik. Namun,
implementasi desentralisasi ini membutuhkan prakondisi untuk dapat berhasil
dengan baik, diantaranya harus didukung oleh perencanaan yang matang dan
ditopang oleh kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya.
Guna menggambarkan dampak riil
desentralisasi diberbagai negara termasuk Indonesia , serta berbagai kondisi
yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan desentralisasi inilah, tulisan ini
disajikan.
Konsep
Desentralisasi dan
Perlunya
Pemerintahan yang Terdesentralisasi
Pengertian dan penafsiran terhadap
desentralisasi sangat beragam antar negara, antar ilmuwan, maupun antar
praktisi pemerintahan. Sebagaimana dinyatakan oleh Devas (1997: 351-352),
istilah desentralisasi memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda,
dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang
satu ke negara yang lain (the term
decentralization means different things to different people, and the approach to decentralization has varied widely between countries). Turner
dan Hulme (1997: 152-153) juga mengungkapkan bahwa berbagai penulis mengajukan
pengertian yang sangat berbeda tentang desentralisasi sehingga muncul
ambiguitas yang begitu besar disekitar konsep tersebut.
Meskipun demikian, terdapat sebuah
kesepakatan umum bahwa desentralisasi sangat diperlukan untuk mempromosikan
sosok pemerintahan yang lebih baik, lebih efektif, dan lebih demokratis. Baik
di negara maju maupun berkembang, desentralisasi merupakan salah satu elemen
kunci terhadap agenda reformasi yang dijalankan.[1]
Sebagai sebuah konsep, Rondinelli (1999: 2)
mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer kewenangan dan tanggungjawab
fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada unit dibawahnya atau
organisasi pemerintahan semi independen (the transfer of authority and
responsibility of public functions from the central government to subordinate
or quasi-independent government organizations). Sementara itu, Turner dan
Hulme (1997: 152) berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara
mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada
pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus
dilayani (a transfer of authority to perform some service to the public from
an individual or an agency in central government to some other individual or
agency which is ‘closer’ to the public to be served).
Dengan demikian jelaslah bahwa wacana
desentralisasi selalu berkaitan dengan hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, baik di bidang politik maupun sosial ekonomi. Dengan kata
lain, desentralisasi yang muncul di sebagian besar negara di dunia lebih banyak
dipicu oleh alasan-alasan politik dan ekonomi.
Dari perspektif politik, Ford (1999: 6-8)
dan Javier (2000: 2-3) memberikan ilustrasi menarik tentang pertimbangan
politis perlunya desentralisasi di beberapa negara. Mereka mengungkapkan temuan
bahwa di Amerika Latin, desentralisasi adalah bagian dari proses demokratisasi
dimana rezim autokrasi digantikan oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat
berdasarkan konstitusi yang baru. Di Afrika, penyebaran sistem politik multi
partai telah mengakibatkan tuntutan diakomodasikannya suara rakyat dalam
pengambilan keputusan. Sedangkan di beberapa negara seperti Ethiopia ,
desentralisasi ditempuh sebagai reaksi terhadap tuntutan dari daerah atau
kelompok-kelompok etnik terhadap sebuah kontrol partisipasi yang lebih besar
dalam proses politik.
Dalam bentuknya yang lebih ekstrim,
desentralisasi menggambarkan suatu upaya yang serius agar sebuah negara mampu
mengelola berbagai tekanan dan tuntutan tadi secara lebih baik melalui
pemberian otonomi yang lebih besar. Di Mozambique atau Uganda ,
desentralisasi juga merupakan hasil dari sebuah perang saudara yang panjang,
dimana politik lokal telah memungkinkan partisipasi yang lebih luas bagi
faksi-faksi yang bertikai.
Disisi lain, dari perspektif ekonomi,
desentralisasi dapat dilihat sebagai kebutuhan intrinsik bagi pemerintah.
Kebutuhan ini lahir sebagai akibat kegagalan pasar (market failures)
yang pada gilirannya merangsang timbulnya ide sentralisasi dalam pemerintahan.
Dalam hubungan ini, terdapat dua alasan ekonomis yang kuat tentang perlunya
desentralisasi. Pertama, adanya variasi dalam preferensi individual
tentang barang (dan jasa) privat dan publik, serta kemanfaatannya yang secara
umum dicirikan oleh keterbatasan spasial (Owens and Panella, ed., 1991: 6).
Lebih jauh Ford (1999: 6) menambahkan alasan ekonomis yang mendukung
desentralisasi, yakni pertimbangan efisiensi dalam alokasi sumber-sumber
ekonomi. Alasan kedua, desentralisasi penting untuk meningkatkan daya
saing (competitiveness) pemerintah dan memacu inovasi usaha, sehingga
pemerintah dapat berbuat sesuatu untuk memuaskan harapan masyarakat.
Tentu saja, masih banyak argumen-argumen
yang mendukung upaya negara untuk mempercepat kebijakan desentralisasi. Sebagai
contoh, Litvack, Ahmad, dan Bird (1998: 5) memberi uraian tentang alasan-alasan ekonomi politik atas
kebijakan desentralisasi. Demikian pula, Rondinelli dan Cheema (1983: 15-16)
mengajukan 14 keuntungan spesifik yang dapat diperoleh dari kebijakan
desentralisasi, yakni:
·
Decentralization can be a means of
overcoming the severe limitations of centrally controlled national planning.
·
Decentralization can cut through
the enormous amounts of red tape and the highly structured procedures.
·
Officials’ knowledge of and
sensitivity to local problems and needs can be increased.
·
Decentralization can allow better
political and administrative “penetration” of national government policies into
areas remote from the national capital.
·
Decentralization might allow
greater representation for various political, religious, ethnic, and tribal
groups in development decision making that lead to greater equity in the
allocation of resources.
·
Decentralization could expand
local governments’ and private institutions’ capacity to take over functions
that are not usually performed well by central ministries.
·
The efficiency of the central
government could be increased.
·
Decentralization can provide a structure
through which activities of various central government ministries and agencies
could be coordinated more effectively.
·
Decentralization is needed to
institutionalize participation of citizens in development planning and
management.
·
Decentralization might offset the
influence or control over development activities by entrenched local elites.
·
Decentralization can lead to more
flexible, innovative, and creative administration.
·
Decentralization allows local
leaders to locate services and facilities more effectively within communities.
·
Decentralization can increase
political stability and national unity by giving groups the ability to
participate more directly in development decision-making.
·
Decentralization can increase the
number of public goods and services and the efficiency with which they are
delivered at lower cost.
Seiring dengan alasan tentang perlunya
desentralisasi tersebut, maka desentralisasi secara umum dapat dikelompokkan
menjadi 4 (empat) tipologi, yaitu (a) desentralisasi politik, (b) desentralisasi
administratif, (c) desentralisasi fiskal dan (d) desentralisasi pasar atau
desentralisasi ekonomi.
Desentralisasi politik bertujuan
untuk memberikan kepada rakyat akses terhadap pengambilan keputusan publik,
sedangkan desentralisasi administratif lebih berfokus pada redistribusi
kewenangan dan tanggung jawab dalam penyediaan jasa layanan umum antara jenjang
pemerintahan yang berbeda. Dalam hal ini, desentralisasi administratif memiliki
3 (tiga) bentuk utama, yakni dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi.
Selanjutnya, desentralisasi fiskal bertujuan untuk memberi kewenangan kepada
lembaga-lembaga lokal untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diserahkan /
dilimpahkan, sekaligus merumuskan keputusan tentang pengeluaran anggaran, serta
kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri. Adapun
desentralisasi ekonomi atau pasar diarahkan pada terjadinya alih
tanggungjawab dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah dari sektor publik
kepada sektor privat. Desentralisasi pasar ini merupakan bentuk sempurna dari
desentralisasi, yang secara konkrit dapat berupa kebijakan privatisasi attau
deregulasi (Rondinelli, 1999: 2-4).
Pada tataran global, trend desentralisasi
ini tidak hanya banyak diterapkan oleh negara maju, namun juga hampir diseluruh
negara berkembang di dunia. Dan trend ini sejalan dengan trend besar lain,
yakni perubahan dari konsepsi government kepada governance.
Pada konsep “government”, pemerintah (baik
Pusat maupun Daerah) ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan, baik pada
tahap perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi. Pemerintah juga menjadi
penyandang dana terbesar sekaligus sebagai penerima benefit (beneficiary)
terbesar.
Dengan berkembangnya paradigma governance,
pola hubungan antar sektor (publik – privat) dan juga hubungan Pusat – Daerah
berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan demokratis. Pada pola seperti itu,
penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi pemerintahan tertentu tidak lagi di
dominasi oleh satu pihak (cq. Pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses
kemitraan dan kerjasama harus lebih digalakkan melalui pengurangan peran
pemerintah pada satu sisi, dan penguatan peran swasta pada sisi lain.
Adapun pertimbangan atau alasan-alasan
perlunya mendorong pemerintahan yang desentralistik sekaligus memperkuat
kerjasama publik – privat, paling tidak dapat dilihat dari 3 dimensi sebagai
berikut:
·
Alasan
politis: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian
governance) serta untuk mendorong perwujudan good governance and good
society.
·
Alasan
administratif: adanya keterbatasan sumber daya pemerintah (government
resources), baik dalam hal anggaran, SDM, asset, maupun kemampuan
manajemen.
·
Alasan
ekonomis: mengurangi kesenjangan (disparity) atau ketimpangan (inequity),
memacu pertumbuhan (growth) dan produktivitas, meningkatkan kualitas dan
kontinuitas (quality and continuity), serta mengurangi resiko.
Uraian dibawah ini akan lebih
memperlihatkan berbagai manfaat langsung di berbagai bidang pembangunan yang
bisa dinikmati oleh masyarakat tingkat lokal (grassroot).
Dampak
Desentralisasi: Perspektif Internasional
Dari pengalaman dan
hasil studi lintas negara dapat ditunjukkan bahwa desentralisasi ternyata
berdampak secara positif terhadap kinerja yang lebih tinggi pada suatu bidang
pembangunan tertentu. McLean dan King (1999: 55) misalnya, telah melakukan penelitian tentang dampak
desentralisasi di bidang pendidikan. Bukti awal yang ditemukan mengindikasikan bahwa desentralisasi telah
meningkatkan kemandirian masyarakat dan aktor sekolah sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan meningkatnya partisipasi orang tua, setiap sekolah yang dikelola masyarakat (community-managed school) di El Salvador
menunjukkan tingkat absensi (meninggalkan kewajiban) yang
semakin rendah. Di Nikaragua, dengan cara melakukan pengawasan terhadap latar belakang
keluarga, murid-murid sekolah diberi hak membuat sendiri keputusan
yang berhubungan dengan sekolah mereka, ternyata mampu meraih nilai yang lebih
baik dalam setiap tes atau ujian.
Sejalan dengan hasil temuan tersebut, Anne Mills (dalam Kolehmainen-Aitken, 1999: 57) juga menemukan dampak
positif desentralisasi di bidang kesehatan. Beberapa manfaat nyata
desentralisasi di bidang kesehatan adalah:
·
More rational and unified health service that
caters to local preferences.
·
Improvement of health programs implementation.
·
Lessened duplication of services as the target
of populations is defined more specifically.
·
Reduction of inequalities between rural and
urban areas.
·
Cost containment from moving to streamlined,
targeted programs.
·
Greater community financing and involvement of
local communities.
·
Greater integration of activities of different
public and private agencies.
·
Improvement of inter-sectoral coordination, particularly in local government and rural development activities.
Walaupun demikian, beberapa kasus menunjukkan bahwa tanpa disertai dengan perencanaan yang
matang serta penentuan peran organisasi yang jelas, desentralisasi kesehatan dapat menimbulkan hasil yang justru kontra
produktif. Hal ini antara lain terjadi di
Pilipina , Zambia ,
dan Papua Nugini (Kolehmainen-Aitken, 1999: 59).
Sementara itu dalam
bidang infrastruktur, Jessica Seddon (1999: 70) telah melakukan studi yang menunjukkan bahwa desentralisasi menghasilkan efek yang cukup bervariasi di bidang infrastruktur. Sebagai contoh, pengeluaran untuk infrastruktur meningkat
seiring dengan pemberian desentralisasi, khususnya di negara berkembang. Hal ini sekaligus dapat mengindikasikan bahwa pemerintah daerah lebih suka
melaksanakan sendiri program pembangunan infrastruktur dari pada disediakan
langsung oleh pemerintah pusat. Disamping itu, secara umum indikator kinerja sedikit mengalami
peningkatan atau tetap manakala sektor infrastruktur ini diserahkan ke
pemerintah daerah.
Pada beberapa hal, desentralisasi juga memberi kinerja yang lebih baik di bidang pertumbuhan
ekonomi, sebagaimana diungkapkan Seddon (1999: 93). Dengan mengutip beberapa sumber, Seddon menyatakan bahwa
desentralisasi memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di India. Namun, beberapa masalah metodologis melahirkan hasil yang lebih
beragam, sehingga banyak hal yang harus diteliti lebih jauh untuk meyakinkan
adanya hubungan yang terukur antara desentralisasi dengan pertumbuhan. Dalam hal ini, kurangnya bukti empiris yang kuat mendorong para peneliti
untuk menetapkan 3 (tiga) hipotesis antara desentralisasi dengan pertumbuhan. Dalam setiap hipotesis, pertumbuhan hanya merupakan hubungan sekunder
terhadap desentralisasi; sementara bentuk-bentuk hubungan, apakah itu
meningkatkan pertumbuhan, menghambat pertumbuhan, atau mensyaratkan pertumbuhan, sangat tergantung kepada variabel yang
dikelompokkan sebagai hubungan primer terhadap desentralisasi.
Ketiga hipotesis itu
adalah: 1) desentralisasi meningkatkan efisiensi ekonomi di sector pengeluaran
pemerintah, sehingga efek dinamisnya berbentuk percepatan terhadap
pertumbuhan (growth-enhancing); 2) desentralisasi dapat mengantarkan pada instabilitas makro ekonomi, yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan; dan 3) negara berkembang memiliki kelembagaan dan lingkungan
ekonomi yang sangat berbeda dibanding negara-negara maju, sehingga negara-negara berkembang ini tidak akan meraih keuntungan yang banyak
tetapi tidak pula akan menderita sebagai akibat dari kebijakan desentralisasi (Seddon, 1999: 93-95).
Ringkasan yang padat
tentang dampak pemerintahan yang terdesentralisasi terhadap pelayanan umum
untuk rakyat miskin di 9 (sembilan) negara telah didokumentasikan oleh Work
(2002). Ia melaporkan bahwa desentralisasi membawa dampak berupa peningkatan
layanan kesehatan di Belo Horizonte, Brazil; peningkatan layanan
perkotaan di Sinuapa, Honduras; keberhasilan pelaksanaan berbagai
proyek dii Jamunia Tank Gram Panchayat, India; peningkatan layanan
pendidikan di Ma’n dan Irbid, Jordan; perbaikan kualitas pemukiman di Pakistan; peningkatan layanan kesehatan dii 3 (tiga) kota di Pilipina; menggerakkan pembangunan ekonomi lokal di 3 (tiga) kota Polish; peningkatan pendapatan rumah tangga di Ivory Park, South Africa; serta peningkatan jasa-jasa pasar melalui kemitraan dengan sektor swasta
di Jinja, Uganda.
Temuan lain yang cukup
menarik tentang dampak desentralisasi adalah studi yang dikembangkan Moore dan Putzel (1999:
12) mengungkapkan bahwa desentralisasi adalah obat yang populer untuk mengatasi masalah-masalah pemerintahan, khususnya
di negara berkembang. Desentralisasi juga dipercaya sebagai kebijakan yang pro
penduduk miskin. Argumen paling umum adalah, karena definisi desentralisasi berarti membawa pemerintah lebih dekat kepada
masyarakat baik dalam pengertian spasial maupun institutional, maka pemerintah
akan menjadi lebih paham dan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Meskipun demikian,
agak sulit untuk mengevaluasi argumen seperti ini, terutama karena desentralisasi mencakup fenomena yang sangat beragam. Inilah alasannya, mengapa desentralisasi dapat menimbulkan dampak positif
di sebagian wilayah (seperti Bengal Barat), tetapi justru berdampak negatif di
wilayah lain (wilayah India
lain selain Bengal Barat).
Dalam menyimpulkan
dampak desentralisasi, UNDP Poverty Report 2000 (UNDP, 2000: 60-61) secara
sangat tegas menulis bahwa:
“Decentralized governance, when carefully planned, effectively
implemented, and appropriately managed, can lead to significant improvement in
the welfare of people at the local level, the cumulative effect of which can
lead to enhanced human development. In addition, if decentralization involves
real devolution of power to local levels, the enabling
environment for poverty reduction is likely to be stronger. On the contrary, badly
planned decentralization can worsen regional inequalities. Left to their own devices, richer regions are likely to develop faster than poor ones. And a system of matching grants, intended by central government to motivate local government to raise funds, typically exacerbates regional disparities. The richer regions can raise more funds – and thus receive more in matching grants”.
Di bidang politik,
Hadiz (2003: 16) mengemukakan hubungan langsung antara desentralisasi dan
demokrasi. Ia berasumsi bahwa desentralisasi mencitakan meningkatnya level
transparansi dan akuntabilitas serta berkembangnya praktek good governance. Inti gagasannya adalah bahwa kebutuhan daerah akan terpenuhi secara lebih
baik sebagai akibat diberikannya otonomi, dan bahwa para penguasa akan dapat
diawasi secara langsung oleh masyarakat setempat. Selain itu, inisiatif
penduduk lokal dan kreativitas publik akan berkembang bebas karena
mengendornya pengawasan Pusat yang terlalu kuat pada berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
Dampak
Desentralisasi: Pengalaman Indonesia
Dalam konteks desentralisasi di Indonesian, IRDA (2002a: 10) menemukan bukti bahwa desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi sebagai
berikut:
Pertama, meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat
dalam proses politik di tingkat lokal. Di wilayah yang di survey, terdapat indikasi kuat menguatnya partisipasi,
transparansi dan akuntabilitas publik. Masyarakat makin menuntut kinerja pemerintah yang semakin baik, dan dalam
merespon tuntutan masyarakat ini, banyak Pemda yang menjadi berorientasi pada
masyarakat (customer oriented) serta membuka dialog publik tentang kinerja pemerintahan dan upaya
mewujudkannya. Di Kabupaten Bandung, misalnya, Bupati dan jajarannya selalu mengadakan diskusi terbuka mingguan untuk seluruh
masyarakat yang diselenggarakan pada tingkat kecamatan. Dialog semacam ini memberi kesempatan kepada publik untuk menyampaikan
usulan ataupun umpan balik terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan
sosial, serta permasalahan diberbagai bidang baik politik, ekonomi, lingkungan, dan sebagainya. Forum-forum semacam ini secara langsung akan mempengaruhi
persepsi masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah secara
keseluruhan.
Temuan kedua adalah
bahwa perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam
pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat
agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Oleh karena fungsi pelayanan berada di tangan pemerintah daerah yang
secara spasial lebih dekat dan mudah diakses oleh masyarakat, maka adalah hal
yang wajar ketika masyarakat menjadi lebih mudah untuk mengekspresikan perasaan
dan tuntutannya terhadap pelayanan publik ini. Di bidang pelayanan ini, ditemukan fakta bahwa kualitas dan kuantitas
pelayanan makin meningkat di beberapa daerah, dan ada pula yang menurun di
sebagian daerah lainnya. Meskipun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah mampu menjaga tingkat
kualitas pelayanan minimal sama seperti pada saat pelayanan itu diberikan oleh
pemerintah pusat. Di Pontianak, misalnya, pada bulan April 2001 telah diundangkan Perda yang secara khusus
dirancang untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum. Dengan memperhatikan potensi lokal, kebutuhan masyarakat, dan efisiensi kerja, Pemerintah Kota Pontianak menetapkan bahwa minimal 5,6 jam kerja sehari (dari total 8 jam kerja) harus dialokasikan untuk pemberian layanan kepada
masyarakat. Waktu yang lain (2,4 jam sehari) digunakan untuk urusan
teknis administratif. Dinas dan lembaga daerah lain yang tidak mentaati standar waktu pelayanan ini akan dievaluasi kembali dan dipertimbangkan untuk
digabung dengan unit / lembaga lainnya (IRDA, 2002a: 14).
Selanjutnya, temuan ketiga
berkaitan dengan prospek kerjasama regional adalah bahwa antar pemerintah
Kabupaten / Kota dan antara Kabupaten / Kota dengan pemerintah Propinsi saling
bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama
mereka hadapi. Adanya kepentingan bersama untuk meningkatkan pelayanan
publik dan pendapatan daerah, serta hasrat untuk menyelesaikan konflik yang
muncul dari kebijakan desentralisasi, telah mendorong pemerintah daerah untuk
saling membantu. Walaupun batas-batas kewenangan antara Propinsi dengan
Kabupaten / Kota masih belum jelas benar, dan walaupun pemerintah Pusat memberikan bantuan sumber daya yang kurang
memadai, namun banyak pemerintah daerah yang makin proaktif dalam membentuk asosiasi atau forum kerjasama untuk
saling berbagai informasi, mendekatkan permasalahan yang dihadapi, serta untuk
mendorong advokasi bagi reformasi kebijakan.
Bupati Indramayu, misalnya, telah mendirikan sebuah asosiasi yang terdiri dari para
pejabat berbagai daerah yang kaya dengan sumber daya alam, khususnya minyak dan
gas bumi. Asosiasi ini membentuk sebuah forum bagi daerah anggotanya untuk
melakukan negosiasi dengan pemerintah Pusat tentang proporsi bagi hasil
minyak dan gas bumi yang semestinya dikembalikan kepada daerah. Asosiasi ini juga telah melobi pemerintah Pusat agar lebih terbuka dalam
perhitungan DAU (dana alokasi umum) kepada pemerintah Kabupaten / Kota (IRDA, 2002a: 22).
Dalam laporan kedua,
IRDA (2002b) juga menemukan banyak terjadi praktek-praktek baik (good
practices) dari manajemen pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan,
pertanian, lingkungan, serta investasi. Seiring dengan hasil temuan tadi, dalam
laporan ketiganya IRDA (2003) menyajikan pencapaian utama dari desentralisasi
dalam tiga aspek, yakni proses pengambilan keputusan pada level daerah,
pembangunan sumber daya manusia dan keuangan, serta peningkatan sistem
akuntabilitas.
Walaupun demikian, beberapa dampak negatif nampaknya tidak dapat dihindari. Dalam laporan penelitian berjudul “Regional Autonomy
and the Business Climate: Three Kabupaten Case from West Java”, SMERU (2002: 21-22) mengungkap fakta bahwa
Kabupaten Cirebon tengah menyiapkan kebijakan tentang pemberlakuan 18 jenis pajak dan retribusi baru; sementara Kabupatenn Garut telah mengeluarkan 24 pajak dan retribusi baru. Kondisi serupa ditemukan di Ciamis yang memiliki 35 jenis pendapatan daerah, terdiri dari 6 pajak, 27 retribusi, dan 2 sumbangan pihak ketiga.
Berbagai fenomena ini
memiliki potensi yang cukup besar untuk menghambat iklim investasi dan gairah
bisnis domestik / lokal pada masa mendatang, jika pemerintah tidak
mengantisipasi melalui kebijakan yang tepat. Menurut Soesastro
(2001), salah satu dari dampak yang paling berbahaya dari peraturan seperti itu
adalah hancurnya perdagangan antar daerah dan melemahnya daya saing komoditi
lokal.
Seiring dengan hal
diatas, Hadiz (2003: 16) telah melakukan pengamatan bahwa desentralisasi di Indonesia telah membawa dampak berupa korupsi yang
terdesentralisasi dan tersebar, aturan yang dijalankan
oleh pejabat yang berjiwa “maling” (predatory local officials), serta merebaknya money politics dan konsolidasi politik gangster. Dalam konteks ini, pertanyaan pokoknya adalah ‘siapa yang mendapat manfaat terbesar dari desentralisasi?’ dan ‘siapa yang menjadi penerima manfaat terbesar dari
munculnya sistem demokrasi yang pada hakikatnya didasari oleh logika money politics dan politik kekerasan’?
Fakta menunjukkan
bahwa tidaklah sulit sama sekali untuk mengidentifikasikan siapa mereka. Secara umum, mereka adalah individu dan kelompok yang pada masa sebelumnya telah menjadlani
fungsi sebagai operator Orde Baru, usaha kecil dan
menengah (UKM) yang secara politis terhubung kepada pengusaha dengan ambisi
besar, serta sederet pendukung rejim lama.
Akan tetapi, kasus Indonesian tidaklah unik. Banyak ditemukan kasus di berbagai negara yang menawarkan
program demokrasi dan desentralisasi dengan pemain utamanya para predator
(maling dan gangster) tersebut. Rejim Post-Soviet adalah contoh terbaik, disamping Pilipina dan Thailand (Hadiz, 2003: 17).
Oleh karena kebijakan desentralisasi di Indonesia melahirkan dampak positif dan negatif, adalah penting
untuk mempertimbangkan prakondisi yang dapat memperkuat peranan UU No. 22/1999 dalam mempertahankan sekaligus meningkatkan rejim daerah
yang demokratis dan membangun (democratic developmental
regime). Dalam hubungan ini, persyaratan berikut ini harus dipenuhi untuk membangun negara pembangunan
(developmental state or regime), yaitu:
A dedicated developmental elite; relative autonomy for the state apparatus; a
competent and insulated economic
bureaucracy; an empowered civil society; a capacity to manage effectively local and foreign economic interest; and a varying balance of repression,
legitimacy and performance (Leftwich, 2000: 160-167).
Sayangnya, adalah suatu hal yang sangat sulit – jika tidak dikatakan mustahil – untuk
membentuk persyaratan ideal tersebut. Dalam hal ini, kita membutuhkan strategi pembangunan yang akurat. Dan untuk kepentingan ini, Kimura (1999: 37-50) menawarkan 6 (enam) poin kunci untuk membangun kapasitas
pemerintah daerah (local government capacity building). Keenam hal tersebut adalah:
Establishing
nation-wide minimum standard of services, improving policy formulation capacity, modernizing bureaucracy, reorganizing boundary between LGUs,
promoting check and balance system in local level, and
strengthening financial basis (standarisasi
pelayanan pemerintah secara nasional, kapasitas kebijakan pembangunan dan
proses implementasinya, modernisasi birokrasi dalam rangka reformasi
administrasi, reorganisasi batas wilayah pemerintah daerah, sistem check and
balance dalam pemerintah daerah serta penguatan basis keuangan).
Pada beberapa hal,
baik pemerintah Pusat maupun Daerah di Indonesia telah menerapkan keenam prinsip diatas, namun banyak pula yang belum menjalankannya.
Dalam kondisi seperti
ini, dapat dibangun sebuah hipotesis bahwa semakin efektif implementasi keenam
prinsip pengembangan kapasitas tersebut, semakin kuat kapasitas suatu pemerintah daerah dalam merealisasikan
program pembangunan, sehingga semkin besar pula peluangnya untuk menjadi rejim
lokal yang demokratis. Dengan demikian, kapasitas daerah adalah kunci
keberhasilan desentralisasi. Sebab, tanpa ditopang oleh kapasitas yang memadai,
desentralisasi justru akan dapat menjadi sumber kegagalan proses pembangunan di
daerah.
Penutup
Desentralisasi boleh
jadi merupakan terobosan kebijakan yang efektif. Namun, banyak kasus
menunjukkan pula bahwa kebijakan ini melahirkan masalah-masalah baru. Dalam
konteks Indonesia ,
format
desentralisasi yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan otonomi luas
kepada Kabupaten/Kota dan otonomi yang terbatas kepada Propinsi. Disatu sisi,
kebijakan desentralisasi ini telah membawa banyak kemajuan yang berarti, baik
secara politis maupun sosio-ekonomis. Namun disisi lain, harus diakui bahwa
masih banyak agenda yang belum terlaksana, yang mengindikasikan kemungkinan
gagalnya otonomi daerah.
Dalam tujuan akhirnya,
desentralisasi diharapkan berdampak pada munculnya sosok pemerintah daerah yang
berperan sedikit dan hemat (less and cheap government) karena tidak
harus selalu membuat perencanaan pembangunan baru yang memakan biaya besar.
Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini juga dapat diharapkan dapat melahirkan
benih tumbuhnya demokrasi lokal dalam konteks mewujudkan rezim kepemerintahan
daerah yang demokratis (democratic infrastructure of local governance).
Tujuan mulia ini hanya dapat dicapai jika implementasi desentralisasi dilakukan
secara hati-hati disertai dengan upaya pemenuhan terhadap persyaratan untuk
keberhasilannya.
Referensi:
Devas,
Nick, 1997, “Indonesia : what do we mean by decentralization?”, dalam Public Administration and Development Journal, Vol. 17, p. 351-367.
Ford, James, 1999,
“Rationale for Decentralization”, dalam Jennie Litvack and Jessica Seddon
(ed.), Decentralization Briefing Notes. World Bank Institute. Dapat
dilihat di http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf
Hadiz,
Vedi R., 2003, Decentralization
and Democracy in Indonesia : A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives, Working Papers Series No. 47, City
University of Hong Kong: Southeast Asia Research Center .
Dapat dilihat di http://www.gtzsfdm.or.id/documents/dec_ind/o_pa_doc/Hadiz_Decentralization_May2003.pdf
IRDA, 2002a, Mei, Decentralization
and Local Governance in Indonesia :
First Report on the Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA), Jakarta : Asia Foundation.
_______________,
2002b, November, Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Second
Report, Jakarta : Asia
Foundation. Dapat dilihat di http://www.asiafoundation.org/pdf/IRDA_Report2_english.PDF
Javier,
Aser B., 2000, New Politics and Governance in an Era of Decentralized
Polity: the Local Government of The Philippines, makalah di presentasikan
di “The Decentralization Training Program for Trainers of the Indonesian Public
Administration Agency” di GSID Nagoya University, 20 September-12 Oktober.
Kolehmainen-Aitken,
Riitta-Liissa, 1999, “Decenttralization of the Health Sector”, dalam Jennie
Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes. World
Bank Institute.
Leftwich, Adrian , 2000, States of Development: On The Primacy of
Polictics in Development, Cambridge :
Polity Press.
Litvack, Jennie,
Junaid Ahmad, Richard Bird, 1998, Rethinking Decentralization in Developing
Countries, The World Bank, Washington DC
McLean, Keith and
Elizabeth King, 1999, “Decentralization of the Education Sector”, dalam Jennie
Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes. World
Bank Institute.
Moore, Mick and James Putzel, 1999, Politics And Poverty: A
Background Paper For The World Development Report 2000/1. Paper tidak dipublikasikan. Dapat
dilihat di http://www.worldbank.org/poverty/wdrpoverty/dfid/synthes.pdf
Owens, Jeffrey and
Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International Perspective,
North-Holland.
Rondinelli, Dennis,
1981, “Government Decentralization in Comparative Perspective”, International
Review of Administrative Sciences, vol. 47 (2).
_______________,
1999, “What is Decentralization?”, dalam Jennie Litvack and Jessica Seddon
(ed.), Decentralization Briefing Notes. World Bank Institute. Dapat
dilihat di http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf
Rondinelli, Dennis
and G. Shabbir Cheema, 1983, “Implementing Decentralization Policies: An
Introduction” dalam Cheema and Rondinelli (ed.), Decentralization and
Development, Policy Implementation in Developing Countries, California , Sage
Publication in cooperation with UNCRD.
Seddon, Jessica,
1999, “Decentralization of Infrastructure”, dalam World Bank Institute (ed.), Decentralization
Briefing Notes, WBI Working Papers. Dapat dilihat di http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf
SMERU, 2002, Regional
Autonomy and Investment Opportunity: the Case in Three Districts in West Java Province,
(Indonesian version), Laporan Penelitian, Jakarta . Dapat dilihat di www.smeru.or.id/report/field/otdaiklusahajabar/iklimusahajabar.pdf
dan www.smeru.or.id/report/workpaper/regautofieldexpchall/regautofieldexpchall.pdf
Turner, Mark and
David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development: Making the
State Work, London :
Macmillan Press Ltd.
UNDP, 2000, Overcoming
Human Poverty, UNDP Poverty Report. Dapat dilihat di http://www.undp.org/povertyreport/ENGLISH/ARfront.pdf
atau http://www.undp.org.np/publications/pr2000/
Work, Robertson,
ed., 2002, The Role
of Participation and Partnership in Decentralized Governance: A Brief Synthesis of Policy
Lessons and Recommendations of Nine Country Case Studies on Service Delivery for
the Poor,
New York :
UNDP. Dapat dilihat
di http://www.undp.org/governance/docsdecentral/participationandpartnershippdf.pdf
[1] Di Jepang, misalnya, desentralisasi dipandang sebagai
reformasi besar ke-3 (the third major reform) di era modern, setelah
Restorasi Meiji pada pertengahan abad 19 dan reformasi administratif setelah
berakhirnya PD II. Lihat: JLGG Newsletter, Decentralization: New Legislation Boosts Japan 's
Local Authorities, Issue No. 31, Summer 1999. Sementara di Indonesia,
kebijakan baru desentralisasi juga dipersepsi sebagai salah satu bentuk
reformasi politik disamping amendemen UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, dan
pemberantasan KKN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar