PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal
22/3/2005 yang mengabulkan tuntutan judicial review terhadap beberapa
pasal dalam UU No. 32/2004 nampaknya semakin menambah panjang deretan
permasalahan yang dihadapi daerah dalam mempersiapkan Pilkada Langsung.
Sebagaimana diketahui, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD sebagaimana diatur
dalam pasal-pasal 57 (1), 66 (3) dan 67 (1) dinyatakan batal oleh MK. Sebagai
gantinya, MK menetapkan bahwa KPUD bertanggungjawab kepada “publik”. Disinilah
masalah baru muncul: pertama, pengertian publik tidaklah jelas dan juga
tidak ada penjelasan tentang lembaga apa yang dapat merepresentasikan publik
tersebut; kedua, mekanisme dan instrumen pertanggungjawaban kepada
publik juga tidak jelas. Oleh karena serba tidak jelas, bahaya yang lebih besar
sesungguhnya tengah mengancam kita, yakni kegagalan untuk melihat sosok KPUD
yang bertanggungjawab. Dan jika KPUD tidak lagi bertanggungjawab kepada
siapapun (karena sumirnya pengertian “publik”), maka bisa dibayangkan seperti
apa kualitas penyelenggaraan Pilkada nanti. Disamping itu, kondisi ini juga
mencerminkan adanya kekacauan dan carut-marutnya sistem administrasi negara
kita.
Semenjak dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, pemilihan Kepala Daerah
memang harus dilakukan secara demokratis. Atas dasar amanat UUD 1945 inilah, UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah direvisi, yang disusul dengan lahirnya PP
No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau lebih dikenal dengan PP Pilkada Langsung.
Sayangnya, dalam prakteknya aturan ini masih menimbulkan banyak sekali
kebingungan baik dikalangan masyarakat, partai politik, maupun pemerintah
daerah dan KPUD sebagai lembaga penyelenggara Pilkada Langsung. Harus diakui
bahwa sejak lahirnya UU No. 32/2004, banyak pihak menyangsikan bahwa Pilkada
Langsung akan benar-benar menumbuhkan demokratisasi di tingkat akar rumput,
serta bermanfaat bagi proses pembangunan daerah secara menyeluruh. Beberapa hal
yang menjadi sumber keraguan tersebut antara lain menyangkut hal-hal sebagai
berikut:
·
Pilkada
Langsung dinilai kurang demokratis karena tidak membuka peluang bagi calon
independen untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah dan Wakilnya. Dalam pasal
56 UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai
politik yang memiliki hak untuk mengajukan calon. Dengan demikian, rakyat
sesungguhnya hanya memiliki hak pilih “pasif” (memilih diantara calon yang
tersedia), namun belum memiliki hak inisiatif aktif untuk mengajukan dirinya
guna berkompetisi dalam ajang Pilkada Langsung tersebut (Utomo, 2004).
·
Pilkada
Langsung masih membuka peluang terjadinya money politics. Penyebabnya
adalah, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan
peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics.
Meskipun demikian, pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun
kebelakang. Justru ada kecenderungan bahwa money politics ini lebih
menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, money
politics akan mengikuti dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya UU
5/1974, pemerintah pusat memiliki hak untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga
5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian terbesar
kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada era UU
22/1999, korupsi dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena memang
DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika suara (hak
pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan korupsi-pun akan
bergerak mengikuti pemilik suara tersebut (Utomo, 2004).
·
Keterbatasan
dana Pilkada yang berakibat pada ancaman penundaan dan bahkan batalnya
penyelenggaraan Pilkada. Menurut Mendagri, Pilkada kali ini secara nasional
membutuhkan dana sebesar Rp. 929,3 miliar, yang Rp. 744,3 miliar
diantaranya dialokasikan ke 226 daerah termasuk pemberian insentif khusus bagi
35 daerah pemekaran, yakni dua provinsi dan 33 kabupaten/kota. Sedangkan
sisanya sebesar Rp. 185 miliar akan digunakan untuk mendukung pemerintah pusat
dalam melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembinaan teknis, pemutakhiran data
administrasi kependudukan, dan monitoring serta evaluasi pelaksanaan pilkada.
Dalam prakteknya, pencairan dana tersebut mengalami hambatan, sehingga banyak
daerah mengeluh kekurangan dana. Untuk mengatasi hal tersebut, Mendagri meminta
agar Pemda memberikan dana talangan dari APBD, namun banyak daerah yang menolak
melakukan hal itu. Kondisi ini masih diperparah dengan tidak jelasnya mekanisme
alokasi dana Pilkada, kekurangakuratan dalam menghitung kebutuhan riil, dan
sebagainya.
·
Masalah
logistik juga menjadi aspek yang krusial. Misalnya mengenai pengadaan barang,
apakah akan dilakukan oleh KPU, KPUD, ataukah Depdagri. Sementara dalah hal
metode yang digunakan juga belum terdapat kesamaan pandangan, apakah harus
dengan tender atau dapat dengan penunjukkan langsung. Jika mengingat besaran
anggaran, maka semestinya pengadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui
proses tender (Keppres No. 80/2003).
·
Pilkada
Langsung juga menyimpan potensi konflik yang tinggi. Dari hasil inventarisasi
Depdagri ditemukan ada 76 daerah dari 222 daerah yang akan menyelenggarakan
Pikada sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai sebab. Faktor penyebab
terjadinya konflik itu di antaranya salah memahami peraturan Pilkada dan
kondisi daerah yang belum kondusif (Suara Karya, 15 Maret 2005). Sementara di
Medan, berbagai elemen mengancam akan memboikot pilkada karena adanya informasi
bahwa hanya dua pasang kandidat yang akan maju dalam pemilihan tersebut (Suara
Pembaruan, 14 Maret 2005). Lebih jauh Iskandar (2005) mengidentifikasi beberapa
masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu konflik politik di daerah,
yakni: 1) terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon
independen, 2) kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen, 3)
UU 32/2004 memberi peluang dan dominasi kepada partai dalam proses pencalonan,
4) kerancuan peran DPRD dalam Pilkada, dan 5) potensi konflik pasca Pilkada.
Berbagai persoalan diatas, sekarang
diperburuk dengan putusan MK yang mengambang dan setengah hati. Tidaklah
berlebihann jika kita katakana bahwa saat ini telah terjadi disorientasi dalam
proses persiapan penyelenggaraan Pilkada, baik secara konseptual/pemikiran
maupun tindakan. Ironisnya lagi, disoorientasi tadi tidak hanya menghinggapi
para pelaksana di lapangan (KPUD), namun bahkan para perumus kebijakan (Depdagri)
dan pihak penengah yang semestinya dapat menjadi rujukan utama dalam mencari
jalan keluar terbaik atas berbagai polemik yang ada (MK).
Mengingat adanya setumpuk persoalan diatas,
maka perlu adanya pemahaman secara benar terhadap berbagai fenomena dan perkembangan
situasi yang ada. Pada saat yang bersamaan, perlu pula dilakukan berbagai
persiapan teknis maupun konseptual yang dapat mendukung pelaksanaan Pilkada
secara optimal. Adapun beberapa langkah antisipasi yang dapat ditawarkan disini
meliputi hal-hal sebagai berikut.
Pertama, mengenai sumber
pembiayaan. Disamping dana pokok yang berasal dari APBD masing-masing
kabupaten/kota, pendanaan Pilkada sebaiknya juga mendapat pendampingan dari
anggaran APBD Propinsi dan anggaran KPU, disamping alokasi yang sudah
dipersiapan oleh Depdagri. Bahkan perlu didorong adanya dana pihak ketiga yang
tidak mengikat seperti bantuan atau hibah dari partai politik, simpatisan,
pengusaha, lembaga donor, dan lain-lain. Kedua, para politisi lokal
hendaknya bersikap dewasa dan mampu menunjukkan sikap kenegarawanan guna
menciptakan iklim politik yang sejuk, harmonis, dan kondusif untuk berjalannya
program-program pembangunan sosial ekonomi. Dengan kata lain, perlu diusahakan
agar upaya membangun demokrasi tidak menjadi trade-off bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, dalam
negara yang berasas hukum (rechtsstaat), setiap lembaga dan anggota
masyarakat dituntut untuk taat hukum. Dan oleh karena keputusan MK telah
memiliki kekuatan hukum yang pasti, maka kontroversi terhadap amar putusan
harus dikesampingkan. Disini yang jauh lebih penting adalah memikirkan
bagaimana melakukan penyesuaian terhadap implikasi dari putusan MK tersebut.
Dalam hubungan ini, PP No. 6/2005 tetap harus dijadikan pedoman teknis dalam
penyelenggaraan Pilkada Langsung, sepanjang tidak menyangkut aspek
pertanggungjawaban KPUD. Keempat, dalam perspektif kedepan, KPUD harus
ditempatkan secara hierarkhis dibawah KPU, dan bukan lagi sebagai penyelenggara
Pilkada tersendiri yang terpisah dari struktur KPU serta sistem Pemilu
nasional. Sementara upaya tadi diproses, saat ini KPU tetap harus merasa
bertanggungjawab – paling tidak secara moral – atas keberhasilan
penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah. Wujud tanggung jawab moral ini
adalah dengan ikut melakukan monitoring/supervisi, fasilitasi, serta konsultasi
dan pembinaan teknis kepada institusi penyelenggara Pilkada.
Upaya-upaya yang disarankan diatas tentu
saja tidak dapat secara otomatis menjamin bahwa penyelenggaraan Pilkada akan
dapat berjalan sesuai harapan kita semua. Kualitas Pilkada Langsung kali ini
akan sangat tergantung pada kesungguhan berbagai pihak untuk mendahulukan
kepentingan nasional guna membangun demokrasi lokal yang benar-benar sehat.
Artikel
ini dimuat di Harian Kaltim Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar