Kamis, 02 September 2010

Etika Jabatan Publik


Pada hakekatnya, analisa kebijakan publik memiliki dua wilayah konsepsional, yakni pada wilayah makro (proses politis) dan wilayah mikro (proses administratif). Artinya, jika kebijakan publik diartikan sebagai penetapan landasan yuridis bagi penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan, maka pada dimensi makro (proses politis), kebijakan publik mempermasalahkan bagaimana membentuk kerangka kelembagaan serta menciptakan sistem dan mekanisme bagi terlaksananya tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan tersebut. Sedangkan pada dimensi mikro (proses administratif), kebijakan publik mempermasalahkan bagaimana memberikan wewenang dan tanggung jawab, atau bagaimana memberikan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dalam rangka menjalankan wewenang dan tanggungjawabnya.

Selanjutnya yang perlu disepakati juga adalah bahwa analisa kebijakan publik yang meliputi dua dimensi tadi pada akhirnya ditujukan untuk mencapai sebesar mungkin kesejahteraan publik (masyarakat).

Jika dua hal ini telah disepakati, barulah kita akan dapat menerangkan mengapa timbulnya analisa kebijakan publik harus selalu dikaitkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pribadi. Artinya, manusia sebagai makhluk pribadi maupun sebagai makhluk sosial yang hidup bersama-sama dalam suatu komunitas tertentu, memiliki nilai-nilai yang harus diakomodasikan dalam setiap kebijakan yang akan disusun dan atau diberlakukan. Jika tidak, maka kebijakan tadi dapat dipastikan tidak akan berlaku efektif, banyak terjadi penyimpangan, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi penolakan secara nyata oleh masyarakat (public veto).

Oleh karena itu, perumusan kebijakan publik haruslah selalu didasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan (needs) maupun pilihan-pilihan (choices) masyarakat. Dengan kata lain, perumusan kebijakan publik mestilah dapat mempertimbangkan perasaan, keyakinan, budaya serta nilai-nilai dasar kemanusiaan yang diyakini masyarakat bersangkutan.

Pada sisi lain, para pejabat yang memiliki otoritas untuk merumuskan kebijakan publik hendaknya benar-benar memiliki pemahaman yang baik tentang berbagai norma di sekitarnya yang akan dijadikan sebagai “bahan mentah” bagi konsideransi kebijakan publik. Beberapa norma yang perlu dihayati dan diamalkan disini antara lain adalah norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma keluarga, norma hukum, serta norma-norma lainnya (kesusilaan, kesopanan, dan sebagainya).

Norma atau etika jabatan mempelajari perbuatan pegawai negeri yang memegang jabatan tertentu dan berwenang untuk berbuat atau bertindak dalam kedudukannya sebagai unsur pemerintah / birokrasi.  Norma sosial adalah seperangkat kaidah atau nilai-nilai yang harus ditaati oleh seorang pejabat sebagai anggota komunitas soaial. Norma profesi adalah peraturan-peraturan baku yang diperuntukkan bagi anggota suatu organisasi profesi dalam rangka berinteraksi dengan anggota intern organisasi maupun antar organisasi. Sedangkan norma keluarga merupakan suatu kondisi mental seseorang untuk menjunjung tinggi martabat dan kehormatan keluarga.

Keseluruhan norma tersebut pada dasarnya bisa dikatakan sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Dan nilai-nilai inilah yang diharapkan benar-benar dipahami oleh aparatur pemerintah dengan tidak memberikan bobot yang lebih dominan kepada salah satunya, sehingga pada gilirannya akan dapat tertransformasikan kedalam perilaku pribadi atau individu pejabat publik sehingga setiap kebijaksanaannya akan mampu mengakomodasikan nilai-nilai etika dan estetika, sekaligus nilai-nilai moralitas, keadilan dan kebenaran.

Atau dapat dikatakan juga, manakala terdapat keseimbangan antar norma-norma tersebut, diharapkan kebijakan publik serta praktek pelayanan publik-pun tidak akan bersifat pilih kasih atau pandang bulu. Dalam kaitan ini, seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan pelayanan tidak hanya akan merasa tercukupi secara kuantitatif, melainkan juga secara kualitatif (dalam arti menimbulkan kepuasan dan rasa keadilan).

Tidak ada komentar: