Pada
hakekatnya, analisa kebijakan publik memiliki dua wilayah konsepsional, yakni
pada wilayah makro (proses politis) dan wilayah mikro (proses
administratif). Artinya, jika kebijakan publik diartikan sebagai penetapan
landasan yuridis bagi penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas
pembangunan, maka pada dimensi makro (proses politis), kebijakan publik
mempermasalahkan bagaimana membentuk kerangka kelembagaan serta menciptakan
sistem dan mekanisme bagi terlaksananya tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas
pembangunan tersebut. Sedangkan pada dimensi mikro (proses administratif),
kebijakan publik mempermasalahkan bagaimana memberikan wewenang dan tanggung
jawab, atau bagaimana memberikan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dalam
rangka menjalankan wewenang dan tanggungjawabnya.
Selanjutnya
yang perlu disepakati juga adalah bahwa analisa kebijakan publik yang meliputi
dua dimensi tadi pada akhirnya ditujukan untuk mencapai sebesar mungkin
kesejahteraan publik (masyarakat).
Jika
dua hal ini telah disepakati, barulah kita akan dapat menerangkan mengapa
timbulnya analisa kebijakan publik harus selalu dikaitkan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan pribadi. Artinya, manusia sebagai makhluk pribadi maupun
sebagai makhluk sosial yang hidup bersama-sama dalam suatu komunitas tertentu,
memiliki nilai-nilai yang harus diakomodasikan dalam setiap kebijakan yang akan
disusun dan atau diberlakukan. Jika tidak, maka kebijakan tadi dapat dipastikan
tidak akan berlaku efektif, banyak terjadi penyimpangan, bahkan tidak menutup
kemungkinan terjadi penolakan secara nyata oleh masyarakat (public veto).
Oleh
karena itu, perumusan kebijakan publik haruslah selalu didasarkan kepada
kebutuhan-kebutuhan (needs) maupun pilihan-pilihan (choices)
masyarakat. Dengan kata lain, perumusan kebijakan publik mestilah dapat
mempertimbangkan perasaan, keyakinan, budaya serta nilai-nilai dasar
kemanusiaan yang diyakini masyarakat bersangkutan.
Pada
sisi lain, para pejabat yang memiliki otoritas untuk merumuskan kebijakan
publik hendaknya benar-benar memiliki pemahaman yang baik tentang berbagai
norma di sekitarnya yang akan dijadikan sebagai “bahan mentah” bagi
konsideransi kebijakan publik. Beberapa norma yang perlu dihayati dan diamalkan
disini antara lain adalah norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma
keluarga, norma hukum, serta norma-norma lainnya (kesusilaan, kesopanan, dan
sebagainya).
Norma
atau etika jabatan mempelajari perbuatan pegawai negeri yang memegang jabatan
tertentu dan berwenang untuk berbuat atau bertindak dalam kedudukannya sebagai
unsur pemerintah / birokrasi. Norma
sosial adalah seperangkat kaidah atau nilai-nilai yang harus ditaati oleh
seorang pejabat sebagai anggota komunitas soaial. Norma profesi adalah
peraturan-peraturan baku
yang diperuntukkan bagi anggota suatu organisasi profesi dalam rangka
berinteraksi dengan anggota intern organisasi maupun antar organisasi. Sedangkan norma keluarga merupakan suatu kondisi mental seseorang untuk
menjunjung tinggi martabat dan kehormatan keluarga.
Keseluruhan norma tersebut pada dasarnya bisa dikatakan
sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Dan nilai-nilai inilah
yang diharapkan benar-benar dipahami oleh aparatur pemerintah dengan tidak
memberikan bobot yang lebih dominan kepada salah satunya, sehingga pada
gilirannya akan dapat tertransformasikan kedalam perilaku pribadi atau individu
pejabat publik sehingga setiap kebijaksanaannya akan mampu mengakomodasikan
nilai-nilai etika dan estetika, sekaligus nilai-nilai moralitas, keadilan dan
kebenaran.
Atau
dapat dikatakan juga, manakala terdapat keseimbangan antar norma-norma
tersebut, diharapkan kebijakan publik serta praktek pelayanan publik-pun tidak
akan bersifat pilih kasih atau pandang bulu. Dalam kaitan ini, seluruh lapisan
masyarakat yang membutuhkan pelayanan tidak hanya akan merasa tercukupi secara
kuantitatif, melainkan juga secara kualitatif (dalam arti menimbulkan kepuasan
dan rasa keadilan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar