Kamis, 02 September 2010

Pematangan Birokrat Muda Sebagai Faktor dan Aktor Kunci dalam Reformasi Birokrasi


The bureaucracy is what we all suffer from.
(Otto von Bismarck, 1891 - from a speech)

What a man actually needs is not a tensionless state but rather the striving and struggling for some goal worthy of him. What he needs is not the discharge of tension at any cost, but the call of a potential meaning waiting to be fulfilled by him.
(Victor Frankl)

He who desires or attempts to reform the government of a state... must at least retain the semblance of the old forms, so that it may seem to the people that there has been no change in the institutions, even though they are in fact entirely different from the old ones
(Nicollo Machiavelli)

Pengantar


Semenjak lebih dari satu abad yang lalu, birokrasi di seluruh belahan dunia telah memiliki stigma yang negatif. Hal ini nampak dari pernyataan Kanselir Jerman periode 1870-1890, Otto von Bismarck, pada tahun 1891 bahwa “birokrasi adalah apa yang mendatangkan kesengsaraan bagi kita”. Tidak aneh jika kemudian berbagai negara gencar melakukan program reformasi birokrasi.[1]

Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah proses dan tuntutan yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada hakekatnya adalah mesin negara (the machine of the state) yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara. Selanjutnya, inti dari birokrasi adalah SDM aparatur. Hal ini mengandung pengertian bahwa peningkatan kompetensi individual pegawai dan kompetensi jabatan (struktural maupun fungsional), serta pembenahan perilaku dan etika pejabat publik perlu mendapat perhatian serius sebagai bagian integral dari proses reformasi birokrasi. Dengan kata lain, profesionalisme birokrasi akan dapat dicerminkan dari kemampuan dan kualitas SDM aparaturnya.

Sebagai mesin birokrasi (the machine of the bureaucracy), SDM aparatur semestinya tidak diperlakukan sebagai faktor statis yang hanya menjadi obyek suatu kebijakan. Justru harus disadari bahwa dalam jiwa setiap manusia (termasuk pegawai di sektor publik) terdapat semangat perubahan serta motivasi untuk mengaktualisasikan kapasitasnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Victor Frankl bahwa:

“Apa yang diinginkan oleh seseorang bukanlah suatu keadaan yang tenang, tetapi suatu perjuangan menantang atas tujuan yang dicita-citakannya. Apa yang dibutuhkan bukanlah hilangnya ketegangan, namun justru sebuah panggilan dan pengakuan terhadap potensinya untuk mengisi suatu peran tertentu”.

Dalam konteks organisasi, potensi untuk maju dari setiap inidividu inilah yang harus dimaksimalkan untuk membangun kinerja. Secara analogis dapat dikatakan pula bahwa upaya mereformasi birokrasi harus pula berbasis pada pemantapan potensi, kapasitas, dan peran para birokratnya. Dengan demikian, para birokrat inilah yang harus difungsikan sebagai faktor pengungkit utama (key leverage) untuk menggulirkan reformasi birokrasi.

Persoalannya kemudian adalah, level birokrat manakah yang semestinya diberi kesempatan dan peranan terbesar sebagai agent of reform? Disini, penulis mengajukan birokrat muda (the middle class of the bureaucrats) sebagai aktor utama yang harus maju kedepan dan memelopori pembenahan birokrasi secara menyeluruh. Tentu saja, pemberian peran yang lebih besar kepada birokrat muda ini, tidak berarti menafikan para birokrat senior dan tatanan organisasi yang telah eksis. Sebab, reformasi birokrasi bagaimanapun harus dilakukan secara evolusioner, bukan reaksioner apalagi revolusioner. Hal ini sesuai dengan anjuran ilmuwan politik Italia pada abad 16, Nicollo Machiavelli, tentang “metode” melakukan reformasi birokrasi, sebagai berikut:

Siapa yang berkehendak atau berupaya mereformasi birokrasi sebuah negara … haruslah mempertahankan bentuk-bentuk lama, sehingga rakyat akan menilai bahwa tidak terjadi perubahan institusional, walaupun sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar dari pola birokrasi yang lama.

Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba me-review proses reformasi dan kondisi birokrasi Indonesia dewasa ini, kemudian membangun rekomendasi tentang strategi memperkuat peranan birokrat muda untuk membangun sosok birokrasi yang lebih baik.


Reformasi Birokrasi Indonesia, Mengapa Gagal?

Di Indonesia, selama ini sudah banyak sekali upaya mereformasi birokrasi dengan berbagai pendekatan teoretis / konseptual seperti privatisasi dan perubahan ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996); reinventing government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde-creating organization (Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, 1995); learning organization sebagai disiplin ke-5 (Peter Senge, 1995); banishing bureaucracy (David Osborne dan Peter Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun nampaknya, kondisi dan kinerja birokrasi masih belum menampakkan hasil positif. Ini mengisyaratkan pada kita untuk mencari metode reformasi yang benar-benar efektif dan mujarab untuk membangun sosok birokrasi yang benar-benar sehat, bersih, profesional, sekaligus demokratis dan berkinerja tinggi.

Kelemahan utama yang ada dalam proses reformasi birokrasi selama ini adalah sifatnya yang terlalu makro. Artinya, reformasi selalu diasosiasikan sebagai perubahan kesisteman dan/atau organisasional, dan bukan pembenahan komponen-komponen birokrasi yang lebih mikro. Disamping itu, reformasi yang ada selama ini juga lebih banyak berasal dari luar, serta dilakukan oleh aktor diluar birokrasi itu sendiri. Akibatnya, proses reformasi kurang sesuai dengan kebutuhan riil dan kurang dapat diimplementasikan secara optimal pula.

Meminjam analisis Spencer and Spencer (1993), birokrasi dapat diumpamakan sebagai sebuah bangunan gunung es, dan reformasi birokrasi baru menyentuh dimensi permukaan saja, yakni yang menyangkut upaya meningkatkan keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) semata. Sedangkan karakteristik lainnya yang lebih bersifat hidden (tersembunyi), deeper (berada di dalam), serta merupakan dimensi inti dari kepribadian (central to personality) seperti perilaku dan nilai-nilai individual (attitudes and values), semangat atau dorongan (motives), sifat (traits), serta konsep diri (self-concept), kurang tergarap secara sistematis dan berkesinambungan.

Strategi diklat aparatur dewasa ini agaknya juga lebih memfokuskan pada agenda membangun kemampuan kepemimpinan (managerial agenda) dan kemampuan intelektual (intellectual agenda), dengan sedikit perhatian pada kemampuan perilaku (behavioral agenda). Padahal, potensi-potensi sentral yang terdapat pada jiwa dan kepribadian seseorang inilah yang lebih menentukan kapasitas seseorang untuk mengaktualisasikan potensi dan perannya secara optimal. Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Spencer and Spencer, memang disadari bahwa membangun dimensi permukaan jauh lebih mudah dibanding membangkitkan potensi yang tersembunyi.

Disamping model Spencer and Spencer, model UNDP (1998) serta analisis Grindle (t.t) tentang tiga tingkatan kapasitas, dapat pula menjelaskan faktor kegagalan reformasi birokrasi. Menurut kajian keduanya, capacity building dapat ditempuh melalui tiga tingkatan dengan fokus dan program yang berbeda-beda, yakni individual level, organizational level, system level.

Dari ketiga level diatas, sekali lagi dapat dicermati bahwa pembenahan birokrasi selama ini masih lebih terkonsentrasi pada tingkatan organisasi dan sistem. Desentralisasi yang luas (UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999), Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN (UU Nomor 28 Tahun 1999), serta pengajuan berbagai RUU seperti Kementerian Negara, Pelayanan Publik, dan sebagainya, adalah contoh-contoh betapa para pengambil kebijakan kita masih lebih banyak berpikir global (think globally) namun kurang disertai dengan bertindak konkrit (act concretely). Sayangnya lagi, proses pembenahan pada dua tataran inipun masih belum menunjukkan hasil yang nyata.

Mengingat hal tersebut diatas, upaya reformasi mestinya dilakukan secara komprehensif, baik tataran makro maupun mikro. Dalam hubungan ini, pengembangan kompetensi SDM dapat dipahami sebagai salah satu upaya kebijakan pada level mikro untuk membentuk sebuah sistem birokrasi yang efektif dan efisien (effective and efficient), tanggap dan cekatan (quick and responsive), terbuka dan bertanggungjawab (transparent and accountable), membuka seluas mungkin partisipasi publik (inclusive and democratic), serta berkinerja tinggi dalam bidang pembangunan dan pelayanan (developmental).


Pemantapan Birokrat Muda Sebagai Key-leverage Proses Reformasi

Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah sebuah upaya yang sangat rumit (odyssey of problems), dan sulit sekali ditentukan pijakan awal untuk memulainya. Dan karena adanya faktor kesulitan inilah, justru harus ditentukan starting point untuk memulai program reformasi. Dalam hubungan ini, penulis menyarankan agar reformasi birokrasi dimulai dengan pematangan SDM terdidik pada level menengah (para birokrat muda usia 30-50, berpendidikan Sarjana keatas, pangkat minimal Penata, serta memiliki pemikiran cukup matang strategis). Pada saat yang bersamaan, reformasi juga harus dilakukan oleh para birokrat muda tersebut. Disini, paling tidak terdapat tiga alasan yang mendorong perlunya memperlakukan birokrat muda sebagai faktor dan aktor utama dalam reformasi birokrasi.

Pertama, birokrat muda diasumsikan memiliki energi dan potensi perubahan yang signifikan untuk menuju pada suatu tatanan organisasi yang lebih dinamis. Pengalaman bangsa kita semenjak revolusi kemerdekaan hingga masa reformasi pasca Orde Baru membuktikan begitu kuatnya peranan pemuda dalam menginisiasi dan mengakselerasi perubahan. Mengharapkan pegawai pada low level (golongan I dan II atau yang berpendidikan SLTA kebawah) untuk menggulirkan reformasi, jelas suatu hal yang mustahil. Sementara pegawai yang sudah menduduki posisi mapan dan memegang fungsi penting dalam pengambilan keputusan, seringkali alergi dan kurang peka terhadap tuntutan reformasi. Sebab, reformasi sering dipersepsi secara salah sebagai upaya mengganti tokoh-tokoh lama dan sistem lama dalam birokrasi. Itulah sebabnya, “kelas menengah” dalam birokrasi harus memposiikan diri sebagai pelopor reformasi, tanpa harus menunggu inisiatif dari atas atau desakan dari bawah. Gagasan seperti ini antara lain didukung oleh Sadu Wasistiono (2003) yang mengatakan bahwa hanya birokrasi kelas menengah-lah yang dapat menggulirkan reformasi birokrasi secara sukses.

Kedua, SDM dengan kompetensi unggul adalah inti dari birokrasi dan menjadi motor penggerak roda organisasi. SDM yang unggul akan dapat mengelola sumber-sumber daya aparatur secara efektif dan efisien; merumuskan kebijakan publik yang tepat dan berkualitas prima; menegakkan peraturan secara adil, jujur dan konsisten; menjalankan fungsi-fungsi manajemen secara taat azas, sekaligus mengawal organisasi untuk selalu berada pada jalur yang tepat untuk mencapai visi dan misinya. Dan harus diakui bahwa SDM yang memenuhi karakteristik tersebut, sebagian besar terdapat pada jenjang menengah (young bureaucrats). Dalam konteks ini, perubahan sebesar apapun pada tataran institusional dan kesisteman tidak akan membawa efek positif yang optimal tanpa disertai dengan pembenahan aspek SDM. Sebaliknya, kondisi institusional dan kesisteman yang kurang baik akan dapat tertutupi oleh human resources yang telah terbangkitkan seluruh potensinya.

Ketiga, birokrat muda relatif memiliki visi dan idealisme yang tinggi, dan belum banyak terpengaruh oleh patologi birokrasi seperti KKN, pemborosan sumber daya, arogansi jabatan, dan sebagainya. Keadaan para birokrat muda yang masih “bersih” ini perlu dijaga agar tidak terkontaminasi oleh lingkungan kerjanya yang sudah “kotor”. Jika generasi muda ini dapat dijamin kemurnian pemikiran dan perilakunya, maka dapat dipastikan bahwa pada saat mereka menempati posisi-posisi kunci, birokrasi akan terbebas sama sekali dari penyakit-penyakit kronisnya. Namun sekali saja mereka tercemar oleh penyakit-penyakit tadi, maka reformasi tidak akan pernah mencapai sasaran. Disinilah perlunya strategi “sterilisasi” atau bahkan “isolasi” para calon birokrat masa depan dari perilaku dan lingkungan birokrasi yang korup dan tercela. Jika diperlukan, upaya menjaga kemurnian dan idealisme birokrat muda tadi dapat dilakukan dengan cara memotong satu generasi (cut one generation). Membuang sekelompok birokrat “busuk” demi menyelamatkan “nyawa” birokrasi secara umum kiranya dapat dikategorikan sebagai langkah yang tepat dan baik.[2]

Pertanyaannya kemudian adalah, peran seperti apa yang dapat diserahkan kepada birokrat muda tadi?

Salah satu kebijakan yang perlu segera dilakukan dalam hal ini adalah memberikan kesempatan kepada para birokrat muda tadi untuk mengekspresikan ide-ide, cita-cita dan harapannya seluas dan sebebas mungkin. Dengan kata lain, perlu disosialisasikan adanya “budaya menggali ide dari bawah”. Di Jepang, misalnya, mekanisme seperti itu sudah lama diterapkan di perusahaan-perusahaan multi nasional (MNCs) seperti Toyota dan NipponExpress. Disini, upaya untuk memberdayakan staf dari level terbawah itu disebut Teian Seido. Bahkan NipponExpress sudah menerapkan Teian Seido sejak tahun th 1963, dan diperbaharui pada tahun 1990. Sementara di Toyota, setiap tahun ada sekitar 60.000-an "teian" (ide/gagasan) dari pegawai untuk perbaikan dari setiap unit kerja seperti produksi dan sebagainya. Setiap "teian" yang diterima akan dihargai dengan reward antara 500 yen hingga 200.000 yen, tergantung dari nilai gagasan tersebut.

Dengan model seperti ini, kebijakan manajer berfungsi sebagai motivator yang akan mendorong lahirnya iklim kerja yang sangat kompetitif antar staf, sehingga dapat memacu produktivitas organisasi secara menyeluruh. Disamping itu, setiap pegawai akan terbiasa berpikir analitis dan inovatif untuk menggali dan menemukan strategi-strategi terbaru dan terbaik yang harus dilakukan unit kerja atau organisasinya. Disini ada hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan / organisasi dengan SDM pendukungnya.

Sementara itu, kondisi di Indonesia pada umumnya masih dicirikan oleh pola-pola “patron – klien”, “atasan – bawahan”, ataupun “elite – massa” yang cukup menonjol. Akibatnya, banyak staf yang kurang berani berdebat dengan atasannya, dan banyak atasan yang merasa lebih pintar dan lebih baik dibanding bawahannya. Banyak staf yang nampaknya masih suka diam dan “manut” terhadap apapun yg dimaui dan ditetapkan pimpinannya. Disisi lain, karakter-karakter ortodoks dari gayabossy” atau “showbiz” hingga gaya manajemen yang determinatif dan interventif, masih banyak melekat di jajaran petinggi birokrasi. Akibatnya, ide-ide masih mengalir dari atas (top-down) dan menumpulkan pemikiran dari bawah dan dari tengah (bottom-up).

Kondisi seperti inilah yang harus segera dikikis dan dihilangkan dalam mekanisme kerja birokrasi publik di masa-masa mendatang. Terlebih lagi, dalam satu dekade kedepan, alih generasi tidak mungkin bisa dihindari apalagi diabaikan begitu saja. Pengabaian terhadap proses alami tentang regenerasi, akan berdampak secara langsung terhadap figur organisasi yang loyo dan tidak produktif (osteoporosis akut).

Meskipun demikian, perlu disadari bahwa pemantapan peran birokrat muda ini hanyalah salah satu strategi pengungkit untuk menggulirkan reformasi birokrasi. Untuk berhasilnya strategi ini, jelas diperlukan strategi-strategi lain sebagai pendukungnya. Dengan demikian, reformasi birokrasi dapat berjalan terarah namun tidak parsial.


Catatan Penutup

Esensi reformasi birokrasi pada hakekatnya adalah upaya mengembalikan birokrasi kepada fungsi aslinya, yakni melayani dan mengayomi (to serve and to preserve).[3] Dan untuk bisa mengembalikan fungsi aslinya tadi, memang diperlukan sebuah strategi inti pengungkit (key leverage). Sesuai dengan namanya, strategi pengungkit hanya berfungsi untuk “merangsang” dan memulai berlangsungnya proses reformasi birokrasi, namun bukan merupakan strategi besaran (grand strategy) dari reformasi itu sendiri.

Dalam kaitan ini, penulis meyakini bahwa keberadaan SDM aparatur yang bermutu, khususnya dari kalangan menengah, memiliki potensi besar untuk memainkan peran sebagai faktor pengungkit tadi. Kalaupun saat ini masih terkesan tidak terberdayakan, hal itu menunjukkan belum adanya upaya konkrit dan sistematis untuk mereformasi birokrasi. Dan fakta inilah yang justru mendorong kita untuk memulai proses reformasi birokrasi, SEKARANG … !!!


Daftar Pustaka

Asian Development Bank, 2000, To Serve And To Preserve: Improving Public Administration In A Competitive World, ADB Publication series. Tersedia online di http://www.adb.org/Documents/Manuals/Serve_and_Preserve/default.asp
Grindle, Merilee S., no year, “The Good Government Imperatives: Human Resources, Organizations and Institutions” in Merilee S. Grindle (ed.), Getting Good Governance: Capacity Building in the Public Sector of Developing Countries, Harvard University Press.
Nonaka, Ikujiro dan Hirotaka Takeuchi, 1995, The Knowlegde-creating Company, How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation, Oxford University Press.
Osborne, David dan Peter Plastrik, 1996, Banishing Bureaucracy, The Five Strategies for Reinventing Government, Addison Wesley.
Osborne, David dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, Addison Wesley.
Pollitt, Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A Comparative Analysis, New York: Oxford University Press.
Savas, E. S., 1987, Privatization: The Key to Better Government. Chatham, NJ: Chatham House.
Senge, Peter M., 1995, The Fifth Discipline, Bantam Doubleday Dell Publishing Group, Inc.
Spencer, Lyle M. and Signe M. Spencer, Competence at Work, Models for Superior Performance, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1993
UNDP, January 1998, “Capacity Assesment and Development In a System and Strategic Management Context”, Technical Advisory Paper No. 3, Management Development and Governance Division, Bureau for Development Policy.
Wasistiono, Sadu, 2003, Analisis Sistem Kepegawaian Dalam Rangka Otonomi Daerah Berdasarkan Perspektif Kebijakan dan Sistem Pemerintahan Daerah, makalah disampaikan pada “Workshop Pemberdayaan Aparatur di Era Otonomi”, PKP2A I – LAN, Bandung, 2 Oktober.
World Bank, 1996, World Development Report: From Plan to Market, Oxford University Press.


[1]     Untuk sebuah gambaran yang cukup komprehensif tentang pengalaman dan praktek reformasi birokrasi di negara-negara yang tergolong sebagai advanced democracy, lihat di Pollitt, Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A Comparative Analysis, New York: Oxford University Press. Lihat juga berbagai paper pada Konferensi Internasional tentang Civil Service Systems In Comparative Perspective, 1997, Indiana University, Bloomington, Indiana, April 5-8.
[2]     Sekedar ilustrasi, 4.000 orang di Cina telah dihukum mati sejak 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi. Sedangkan selama 4 bulan pada 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat tidak hanya karena menerima suap, tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas, dan kualitas di bawah standar. Bagi Perdana Menteri Zhu Rongji, inilah jalan menyelamatkan Cina dari kehancuran. Baca berita selengkapnya di Republika, Rabu, 21 Juli 2004.
[3]     Tentang trend administrasi publik di abad ke-21 dan reformasi fungsi-fungsi pelayanan dan pengayoman, baca: Asian Development Bank, 2000, To Serve and To Preserve: Improving Public Administration In A Competitive World.

Tidak ada komentar: