The
bureaucracy is what we all suffer from.
(Otto
von Bismarck, 1891 - from a speech)
What
a man actually needs is not a tensionless state but rather the striving and struggling
for some goal worthy of him. What he needs is not the discharge of tension at
any cost, but the call of a potential meaning waiting to be fulfilled by him.
(Victor Frankl)
He
who desires or attempts to reform the government of a state... must at least
retain the semblance of the old forms, so that it may seem to the people that
there has been no change in the institutions, even though they are in fact
entirely different from the old ones
(Nicollo
Machiavelli)
Pengantar
Semenjak lebih dari satu abad yang lalu,
birokrasi di seluruh belahan dunia telah memiliki stigma yang negatif. Hal ini
nampak dari pernyataan Kanselir Jerman periode 1870-1890, Otto von Bismarck,
pada tahun 1891 bahwa “birokrasi adalah apa yang mendatangkan kesengsaraan bagi
kita”. Tidak aneh jika kemudian berbagai negara gencar melakukan program
reformasi birokrasi.[1]
Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah
proses dan tuntutan yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada
hakekatnya adalah mesin negara (the machine of the state) yang berfungsi
menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka
merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara.
Selanjutnya, inti dari birokrasi adalah SDM aparatur. Hal ini mengandung
pengertian bahwa peningkatan kompetensi individual pegawai dan kompetensi
jabatan (struktural maupun fungsional), serta pembenahan perilaku dan etika
pejabat publik perlu mendapat perhatian serius sebagai bagian integral dari
proses reformasi birokrasi. Dengan kata lain, profesionalisme birokrasi akan
dapat dicerminkan dari kemampuan dan kualitas SDM aparaturnya.
Sebagai mesin birokrasi (the machine of
the bureaucracy), SDM aparatur semestinya tidak diperlakukan sebagai faktor
statis yang hanya menjadi obyek suatu kebijakan. Justru harus disadari bahwa
dalam jiwa setiap manusia (termasuk pegawai di sektor publik) terdapat semangat
perubahan serta motivasi untuk mengaktualisasikan kapasitasnya. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Victor Frankl bahwa:
“Apa yang diinginkan oleh seseorang bukanlah suatu
keadaan yang tenang, tetapi suatu perjuangan menantang atas tujuan yang
dicita-citakannya. Apa yang dibutuhkan bukanlah hilangnya ketegangan, namun
justru sebuah panggilan dan pengakuan terhadap potensinya untuk mengisi suatu peran
tertentu”.
Dalam konteks organisasi, potensi untuk maju dari setiap inidividu inilah
yang harus dimaksimalkan untuk membangun kinerja. Secara analogis
dapat dikatakan pula bahwa upaya mereformasi birokrasi harus pula berbasis pada
pemantapan potensi, kapasitas, dan peran para birokratnya. Dengan demikian,
para birokrat inilah yang harus difungsikan sebagai faktor pengungkit utama (key
leverage) untuk menggulirkan reformasi birokrasi.
Persoalannya kemudian adalah, level
birokrat manakah yang semestinya diberi kesempatan dan peranan terbesar sebagai
agent of reform? Disini, penulis mengajukan birokrat muda (the middle
class of the bureaucrats) sebagai aktor utama yang harus maju kedepan dan
memelopori pembenahan birokrasi secara menyeluruh. Tentu saja, pemberian peran
yang lebih besar kepada birokrat muda ini, tidak berarti menafikan para
birokrat senior dan tatanan organisasi yang telah eksis. Sebab, reformasi
birokrasi bagaimanapun harus dilakukan secara evolusioner, bukan reaksioner
apalagi revolusioner. Hal ini sesuai dengan anjuran ilmuwan politik Italia pada
abad 16, Nicollo Machiavelli, tentang “metode” melakukan reformasi birokrasi,
sebagai berikut:
Siapa yang berkehendak atau berupaya mereformasi
birokrasi sebuah negara … haruslah mempertahankan bentuk-bentuk lama, sehingga
rakyat akan menilai bahwa tidak terjadi perubahan institusional, walaupun
sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar dari pola birokrasi yang lama.
Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba me-review
proses reformasi dan kondisi birokrasi Indonesia dewasa ini, kemudian
membangun rekomendasi tentang strategi memperkuat peranan birokrat muda untuk
membangun sosok birokrasi yang lebih baik.
Reformasi Birokrasi Indonesia ,
Mengapa Gagal?
Di Indonesia, selama ini sudah banyak
sekali upaya mereformasi birokrasi dengan berbagai pendekatan teoretis /
konseptual seperti privatisasi dan perubahan ekonomi perencanaan menjadi
ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996); reinventing government (David
Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde-creating organization (Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, 1995); learning
organization sebagai disiplin ke-5 (Peter Senge, 1995); banishing
bureaucracy (David Osborne dan Peter Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun
nampaknya, kondisi dan kinerja birokrasi masih belum menampakkan hasil positif.
Ini mengisyaratkan pada kita untuk mencari metode reformasi yang benar-benar
efektif dan mujarab untuk membangun sosok birokrasi yang benar-benar sehat,
bersih, profesional, sekaligus demokratis dan berkinerja tinggi.
Kelemahan utama yang ada dalam proses
reformasi birokrasi selama ini adalah sifatnya yang terlalu makro. Artinya,
reformasi selalu diasosiasikan sebagai perubahan kesisteman dan/atau
organisasional, dan bukan pembenahan komponen-komponen birokrasi yang lebih
mikro. Disamping itu, reformasi yang ada selama ini juga lebih banyak berasal
dari luar, serta dilakukan oleh aktor diluar birokrasi itu sendiri. Akibatnya,
proses reformasi kurang sesuai dengan kebutuhan riil dan kurang dapat
diimplementasikan secara optimal pula.
Meminjam analisis Spencer and Spencer
(1993), birokrasi dapat diumpamakan sebagai sebuah bangunan gunung es, dan
reformasi birokrasi baru menyentuh dimensi permukaan saja, yakni yang
menyangkut upaya meningkatkan keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge)
semata. Sedangkan karakteristik lainnya yang lebih bersifat hidden (tersembunyi),
deeper (berada di dalam), serta merupakan dimensi inti dari kepribadian
(central to personality) seperti perilaku dan nilai-nilai
individual (attitudes and values), semangat atau dorongan (motives),
sifat (traits), serta konsep diri (self-concept), kurang tergarap
secara sistematis dan berkesinambungan.
Strategi diklat aparatur dewasa ini agaknya
juga lebih memfokuskan pada agenda membangun kemampuan kepemimpinan (managerial
agenda) dan kemampuan intelektual (intellectual agenda), dengan
sedikit perhatian pada kemampuan perilaku (behavioral agenda). Padahal,
potensi-potensi sentral yang terdapat pada jiwa dan kepribadian seseorang
inilah yang lebih menentukan kapasitas seseorang untuk mengaktualisasikan
potensi dan perannya secara optimal. Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan
oleh Spencer and Spencer, memang disadari bahwa membangun dimensi permukaan
jauh lebih mudah dibanding membangkitkan potensi yang tersembunyi.
Disamping model Spencer and Spencer, model
UNDP (1998) serta analisis Grindle (t.t) tentang tiga tingkatan kapasitas,
dapat pula menjelaskan faktor kegagalan reformasi birokrasi. Menurut kajian
keduanya, capacity building dapat ditempuh melalui tiga tingkatan dengan
fokus dan program yang berbeda-beda, yakni individual
level, organizational level, system level.
Dari ketiga level diatas, sekali lagi dapat
dicermati bahwa pembenahan birokrasi selama ini masih lebih terkonsentrasi pada
tingkatan organisasi dan sistem. Desentralisasi yang luas (UU Nomor 22 dan 25
Tahun 1999), Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN (UU Nomor 28
Tahun 1999), serta pengajuan berbagai RUU seperti Kementerian Negara, Pelayanan
Publik, dan sebagainya, adalah contoh-contoh betapa para pengambil kebijakan
kita masih lebih banyak berpikir global (think globally) namun kurang
disertai dengan bertindak konkrit (act concretely). Sayangnya lagi,
proses pembenahan pada dua tataran inipun masih belum menunjukkan hasil yang
nyata.
Mengingat hal tersebut diatas, upaya
reformasi mestinya dilakukan secara komprehensif, baik tataran makro maupun
mikro. Dalam hubungan ini, pengembangan kompetensi SDM dapat dipahami sebagai
salah satu upaya kebijakan pada level mikro untuk membentuk sebuah sistem
birokrasi yang efektif dan efisien (effective and efficient), tanggap
dan cekatan (quick and responsive), terbuka dan bertanggungjawab (transparent
and accountable), membuka seluas mungkin partisipasi publik (inclusive
and democratic), serta berkinerja tinggi dalam bidang pembangunan dan
pelayanan (developmental).
Pemantapan Birokrat Muda Sebagai Key-leverage
Proses Reformasi
Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah
sebuah upaya yang sangat rumit (odyssey of problems), dan sulit sekali
ditentukan pijakan awal untuk memulainya. Dan karena adanya faktor kesulitan
inilah, justru harus ditentukan starting point untuk memulai program
reformasi. Dalam hubungan ini, penulis menyarankan agar reformasi birokrasi
dimulai dengan pematangan SDM terdidik pada level menengah (para birokrat muda
usia 30-50, berpendidikan Sarjana keatas, pangkat minimal Penata, serta
memiliki pemikiran cukup matang strategis). Pada saat yang bersamaan, reformasi
juga harus dilakukan oleh para birokrat muda tersebut. Disini, paling tidak
terdapat tiga alasan yang mendorong perlunya memperlakukan birokrat muda
sebagai faktor dan aktor utama dalam reformasi birokrasi.
Pertama, birokrat muda
diasumsikan memiliki energi dan potensi perubahan yang signifikan untuk menuju
pada suatu tatanan organisasi yang lebih dinamis. Pengalaman bangsa kita
semenjak revolusi kemerdekaan hingga masa reformasi pasca Orde Baru membuktikan
begitu kuatnya peranan pemuda dalam menginisiasi dan mengakselerasi perubahan.
Mengharapkan pegawai pada low level (golongan I dan II atau yang
berpendidikan SLTA kebawah) untuk menggulirkan reformasi, jelas suatu hal yang
mustahil. Sementara pegawai yang sudah menduduki posisi mapan dan memegang
fungsi penting dalam pengambilan keputusan, seringkali alergi dan kurang peka
terhadap tuntutan reformasi. Sebab, reformasi sering dipersepsi secara salah
sebagai upaya mengganti tokoh-tokoh lama dan sistem lama dalam birokrasi.
Itulah sebabnya, “kelas menengah” dalam birokrasi harus memposiikan diri sebagai
pelopor reformasi, tanpa harus menunggu inisiatif dari atas atau desakan dari
bawah. Gagasan seperti ini antara lain didukung oleh Sadu Wasistiono (2003)
yang mengatakan bahwa hanya birokrasi kelas menengah-lah yang dapat
menggulirkan reformasi birokrasi secara sukses.
Kedua, SDM dengan
kompetensi unggul adalah inti dari birokrasi dan menjadi motor penggerak roda
organisasi. SDM yang unggul akan dapat mengelola sumber-sumber daya aparatur
secara efektif dan efisien; merumuskan kebijakan publik yang tepat dan
berkualitas prima; menegakkan peraturan secara adil, jujur dan konsisten;
menjalankan fungsi-fungsi manajemen secara taat azas, sekaligus mengawal
organisasi untuk selalu berada pada jalur yang tepat untuk mencapai visi dan
misinya. Dan harus diakui bahwa SDM yang memenuhi karakteristik tersebut,
sebagian besar terdapat pada jenjang menengah (young bureaucrats). Dalam
konteks ini, perubahan sebesar apapun pada tataran institusional dan kesisteman
tidak akan membawa efek positif yang optimal tanpa disertai dengan pembenahan
aspek SDM. Sebaliknya, kondisi institusional dan kesisteman yang kurang baik
akan dapat tertutupi oleh human resources yang telah terbangkitkan
seluruh potensinya.
Ketiga, birokrat muda
relatif memiliki visi dan idealisme yang tinggi, dan belum banyak terpengaruh
oleh patologi birokrasi seperti KKN, pemborosan sumber daya, arogansi jabatan,
dan sebagainya. Keadaan para birokrat muda yang masih “bersih” ini perlu dijaga
agar tidak terkontaminasi oleh lingkungan kerjanya yang sudah “kotor”. Jika
generasi muda ini dapat dijamin kemurnian pemikiran dan perilakunya, maka dapat
dipastikan bahwa pada saat mereka menempati posisi-posisi kunci, birokrasi akan
terbebas sama sekali dari penyakit-penyakit kronisnya. Namun sekali saja mereka
tercemar oleh penyakit-penyakit tadi, maka reformasi tidak akan pernah mencapai
sasaran. Disinilah perlunya strategi “sterilisasi” atau bahkan “isolasi” para
calon birokrat masa depan dari perilaku dan lingkungan birokrasi yang korup dan
tercela. Jika diperlukan, upaya menjaga kemurnian dan idealisme birokrat muda
tadi dapat dilakukan dengan cara memotong satu generasi (cut one generation).
Membuang sekelompok birokrat “busuk” demi menyelamatkan “nyawa” birokrasi
secara umum kiranya dapat dikategorikan sebagai langkah yang tepat dan baik.[2]
Pertanyaannya kemudian adalah, peran
seperti apa yang dapat diserahkan kepada birokrat muda tadi?
Salah satu kebijakan yang perlu
segera dilakukan dalam hal ini adalah memberikan kesempatan kepada para
birokrat muda tadi untuk mengekspresikan ide-ide, cita-cita dan harapannya
seluas dan sebebas mungkin. Dengan kata lain, perlu disosialisasikan adanya
“budaya menggali ide dari bawah”. Di Jepang, misalnya, mekanisme seperti itu
sudah lama diterapkan di perusahaan-perusahaan multi nasional (MNCs) seperti Toyota dan NipponExpress.
Disini, upaya untuk memberdayakan staf dari level terbawah itu disebut Teian
Seido. Bahkan NipponExpress sudah menerapkan Teian Seido sejak tahun
th 1963, dan diperbaharui pada tahun 1990. Sementara di Toyota, setiap tahun
ada sekitar 60.000-an "teian" (ide/gagasan) dari pegawai untuk
perbaikan dari setiap unit kerja seperti produksi dan sebagainya. Setiap
"teian" yang diterima akan dihargai dengan reward antara 500
yen hingga 200.000 yen, tergantung dari nilai gagasan tersebut.
Dengan model seperti ini, kebijakan
manajer berfungsi sebagai motivator yang akan mendorong lahirnya iklim kerja
yang sangat kompetitif antar staf, sehingga dapat memacu produktivitas
organisasi secara menyeluruh. Disamping itu, setiap pegawai akan terbiasa
berpikir analitis dan inovatif untuk menggali dan menemukan strategi-strategi
terbaru dan terbaik yang harus dilakukan unit kerja atau organisasinya. Disini
ada hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan / organisasi dengan
SDM pendukungnya.
Sementara itu, kondisi di Indonesia
pada umumnya masih dicirikan oleh pola-pola “patron – klien”, “atasan –
bawahan”, ataupun “elite – massa ”
yang cukup menonjol. Akibatnya, banyak staf yang kurang berani berdebat dengan
atasannya, dan banyak atasan yang merasa lebih pintar dan lebih baik dibanding
bawahannya. Banyak staf yang nampaknya masih suka diam dan “manut” terhadap
apapun yg dimaui dan ditetapkan pimpinannya. Disisi lain, karakter-karakter
ortodoks dari gaya “bossy” atau “showbiz”
hingga gaya
manajemen yang determinatif dan interventif, masih banyak melekat di jajaran
petinggi birokrasi. Akibatnya, ide-ide masih mengalir dari atas (top-down)
dan menumpulkan pemikiran dari bawah dan dari tengah (bottom-up).
Kondisi seperti inilah yang harus
segera dikikis dan dihilangkan dalam mekanisme kerja birokrasi publik di
masa-masa mendatang. Terlebih lagi, dalam satu dekade kedepan, alih generasi
tidak mungkin bisa dihindari apalagi diabaikan begitu saja. Pengabaian terhadap
proses alami tentang regenerasi, akan berdampak secara langsung terhadap figur
organisasi yang loyo dan tidak produktif (osteoporosis akut).
Meskipun demikian, perlu disadari
bahwa pemantapan peran birokrat muda ini hanyalah salah satu strategi
pengungkit untuk menggulirkan reformasi birokrasi. Untuk berhasilnya strategi
ini, jelas diperlukan strategi-strategi lain sebagai pendukungnya. Dengan
demikian, reformasi birokrasi dapat berjalan terarah namun tidak parsial.
Catatan Penutup
Esensi reformasi birokrasi pada hakekatnya
adalah upaya mengembalikan birokrasi kepada fungsi aslinya, yakni melayani dan
mengayomi (to serve and to preserve).[3] Dan
untuk bisa mengembalikan fungsi aslinya tadi, memang diperlukan sebuah strategi
inti pengungkit (key leverage). Sesuai dengan namanya, strategi
pengungkit hanya berfungsi untuk “merangsang” dan memulai berlangsungnya proses
reformasi birokrasi, namun bukan merupakan strategi besaran (grand strategy)
dari reformasi itu sendiri.
Dalam kaitan ini, penulis meyakini bahwa
keberadaan SDM aparatur yang bermutu, khususnya dari kalangan menengah,
memiliki potensi besar untuk memainkan peran sebagai faktor pengungkit tadi.
Kalaupun saat ini masih terkesan tidak terberdayakan, hal itu menunjukkan belum
adanya upaya konkrit dan sistematis untuk mereformasi birokrasi. Dan fakta
inilah yang justru mendorong kita untuk memulai proses reformasi birokrasi,
SEKARANG … !!!
Daftar Pustaka
Asian
Development Bank, 2000, To Serve And To Preserve: Improving Public
Administration In A Competitive World, ADB Publication series. Tersedia
online di http://www.adb.org/Documents/Manuals/Serve_and_Preserve/default.asp
Grindle,
Merilee S., no year, “The Good Government Imperatives: Human Resources,
Organizations and Institutions” in Merilee S. Grindle (ed.), Getting Good
Governance: Capacity Building in the Public Sector of Developing Countries,
Harvard University Press.
Nonaka, Ikujiro dan Hirotaka Takeuchi, 1995, The
Knowlegde-creating
Company, How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation, Oxford University
Press.
Osborne,
David dan Peter Plastrik, 1996, Banishing Bureaucracy, The Five Strategies
for Reinventing Government, Addison Wesley.
Osborne,
David dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government, How the Entrepreneurial
Spirit Is Transforming the Public Sector, Addison Wesley.
Pollitt,
Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A
Comparative Analysis, New York : Oxford University
Press.
Savas,
E. S., 1987, Privatization: The Key to Better Government. Chatham , NJ : Chatham House.
Senge,
Peter M., 1995, The Fifth Discipline, Bantam Doubleday Dell Publishing
Group, Inc.
Spencer,
Lyle M. and Signe M. Spencer, Competence at Work, Models for Superior
Performance, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1993
UNDP,
January 1998, “Capacity Assesment and Development In a System and Strategic
Management Context”, Technical Advisory Paper No. 3, Management
Development and Governance Division, Bureau for Development Policy.
Wasistiono,
Sadu, 2003, Analisis Sistem Kepegawaian Dalam Rangka Otonomi Daerah
Berdasarkan Perspektif Kebijakan dan Sistem Pemerintahan Daerah, makalah
disampaikan pada “Workshop Pemberdayaan Aparatur di Era Otonomi”, PKP2A I – LAN,
Bandung , 2
Oktober.
World
Bank, 1996, World Development Report: From Plan to Market, Oxford University
Press.
[1] Untuk
sebuah gambaran yang cukup komprehensif tentang pengalaman dan praktek
reformasi birokrasi di negara-negara yang tergolong sebagai advanced
democracy, lihat di Pollitt, Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public
Management Reform: A Comparative Analysis, New York : Oxford University Press. Lihat
juga berbagai paper pada Konferensi Internasional tentang Civil Service
Systems In Comparative Perspective, 1997, Indiana
University , Bloomington , Indiana ,
April 5-8.
[2] Sekedar
ilustrasi, 4.000 orang di Cina telah dihukum mati
sejak 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi. Sedangkan
selama 4 bulan pada 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat tidak
hanya karena menerima suap, tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata
di luar tugas, dan kualitas di bawah standar. Bagi Perdana Menteri Zhu Rongji,
inilah jalan menyelamatkan Cina dari kehancuran. Baca berita selengkapnya di
Republika, Rabu, 21 Juli 2004.
[3] Tentang
trend administrasi publik di abad ke-21 dan reformasi fungsi-fungsi pelayanan
dan pengayoman, baca: Asian Development Bank, 2000, To Serve and To
Preserve: Improving Public Administration In A Competitive World.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar