Abstrak:
Menyusul
diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, penataan kelembagaan pemerintah daerah
menjadi kebutuhan mendesak. Namun, kebijakan ini harus dipandang sebagai alat
untuk membangun kinerja pelayanan yang tinggi sebagaimana diamanatkan dalam UU
Pemerintahan Daerah yang baru; bukan sebagai tujuan dari otonomi daerah.
Dilihat dari logika yang digunakan, tulisan ini mendeteksi adanya kesalahan
paradigmatik, dimana banyak daerah melakukan penataan kelembagaan hanya
berdasarkan cara berpikir “jika – maka”. Padahal, menata organisasi bukanlah
sebuah proses yang linier atau searah, namun lebih mencerminkan sebuah
lingkaran yang terdiri dari titik-titik yang saling tergantung atau terkait
satu sama lain (conditional
circle). Oleh karenanya, logika “bagaimana jika” lebih dianjurkan dalam
membangun sosok kelembagaan daerah yang efektif dan efisien, tanggap dan cekatan, terbuka dan
bertanggungjawab, serta inklusif dan demokratis. Untuk alasan itulah, makalah
ini menawarkan beberapa pertimbangan dan alternatif model kelembagaan daerah
yang mungkin dapat dikembangkan untuk memacu kinerja pelayanan birokrasi dimasa
mendatang.
Latar Belakang
Seiring dengan adanya perubahan landasan
yuridis penyelenggaraan pemerintahan daerah, restrukturisasi kelembagaan
menjadi sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, restrukturisasi kelembagaan harus
dipahami sebagai salah satu upaya kebijakan untuk membentuk sebuah sistem
pemerintahan daerah yang efektif dan efisien (effective and efficient),
tanggap dan cekatan (quick and responsive), terbuka dan bertanggungjawab
(transparent and accountable), membuka seluas mungkin partisipasi publik
(inclusive and democratic), serta berkinerja tinggi dalam bidang
pembangunan dan pelayanan (developmental).
Sayangnya, terdapat indikasi bahwa
penataan kelembagaan baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota sering
dilakukan secara tergesa-gesa dengan orientasi dan pendekatan yang sangat
beragam, bahkan tanpa disertai pertimbangan dan pengkajian yang matang. Di
berbagai daerah, sering terjadi perubahan dan atau penggantian Perda tentang
SOTK yang masih berusia muda antara 1 hingga 3 tahun. Perombakan organisasi
yang terburu-buru atau “asal-asalan” seperti ini, bisa dikatakan sebagai
kebijakan yang tidak matang (immature
policy), sehingga kemampuan lembaga publik untuk menghasilkan kinerja
tinggi menjadi sangat diragukan. Disisi lain, keberanian daerah untuk melakukan
perombakan organisasi dengan frekuensi yang tinggi berdasarkan prinsip trial and error, dikhawatirkan akan menghabiskan energi pemerintah daerah
sekaligus menjauhkan daerah dari hakekat dan filosofi desentralisasi itu
sendiri.
Oleh karena itu, harus disepakati bahwa
restrukturisasi kelembagaan pasca kebijakan desentralisasi luas hanyalah
sebuah alat untuk menjamin agar tujuan utama pemberian otonomi, yakni
peningkatan kualitas pelayanan umum, dapat dicapai secara optimal. Dengan kata
lain, restrukturisasi kelembagaan bukanlah tujuan akhir dari otonomi daerah,
melainkan hanya sasaran antara untuk menciptakan kinerja pelayanan yang prima.
Tulisan ini mencoba mengelaborasi lebih dalam berbagai pertimbangan dan logika
yang mestinya dipakai dalam melakukan restrukturisasi kelembagaan, serta menawarkan
beberapa alternatif model kelembagaan daerah yang potensial untuk dikembangkan
dimasa mendatang.
Pertimbangan dan Logika Restrukturisasi
Wacana restrukturisasi kelembagaan hampir
selalu menyangkut dimensi “besaran organisasi”. Artinya, restrukturisasi tidak
selalu berkonotasi perampingan (downsizing), namun bisa juga pembesaran
(upsizing). Dengan kata lain, kebijakan restrukturisasi adalah sebuah
proses mencari ukuran yang sesuai dan seimbang antara beban tugas / kewenangan
pemerintahan disatu pihak, dengan kemampuan dan kebutuhan obyektif di pihak
lain. Oleh karena itu, format kelembagaan dapat mengalami pengembangan (expansion)
ataupun pengecilan (contraction), tergantung dari perubahan dinamis
variabel-variabel yang mempengaruhinya. Dan dalam prakteknya, penataan
kelembagaan memang selalu membentuk kekuatan tarik-menarik antara expansion dan
contraction, serta bergerak diantara dua titik ekstrem pada kontinuum
tersebut.
Dalam konteks mencari dan menempatkan titik
ideal sekaligus membangun figur / format kelembagaan yang memenuhi kriteria
seperti dikemukakan diatas, maka perlu dilakukan berbagai pertimbangkan secara
matang. Beberapa pertimbangkan tersebut antara lain menyangkut hal-hal sebagai
berikut:
1.
Besaran
kewenangan.
Untuk daerah
Kabupaten / Kota ,
kewenangannya mencakup seluruh kewenangan pemerintahan kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, serta agama. Sedangkan kewenangan
Propinsi telah ditetapkan secara limitatif dalam PP No. 25 tahun 2000.
Berbagai kasus di daerah mengilustrasikan bahwa kewenangan ini dijadikan
sebagai dasar utama dalam menentukan formasi dan besaran organisasi. Artinya,
jumlah dan jenjang organisasi akan dibentuk sesuai dengan jumlah dan beban
kewenangan. Disamping itu, ketika PP No. 25 tahun 2000 menetapkan kewenangan
berdasarkan bidang-bidang, maka bidang-bidang tersebut diterjemahkan sebagai
nama lembaga di daerah, baik yang berbentuk dinas maupun lembaga teknis.
Penataan organisasi berdasarkan kewenangan ini memang paling sederhana dan
paling mudah dilakukan. Namun, hasil yang diperoleh tidak akan optimal,
terlebih jika mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
2.
Penyelenggaraan
fungsi-fungsi pemerintahan.
Kewenangan daerah
pada dasarnya dapat diklasifikasikan berdasarkan bidang dan fungsi. UU Nomor 22
Tahun 1999 sendiri dan seluruh peraturan pelaksanaannya menganut klasifikasi
berdasarkan bidang.
Disisi lain,
klasifikasi berdasarkan fungsi-fungsi pemerintahan sesungguhnya perlu sekali
dilakukan. Dalam hal ini, paling tidak akan terdapat kewenangan yang
berhubungan dengan pemberian layanan (service delivery), kewenangan
untuk merumuskan perencanaan pembangunan daerah (development planning and
policy making), kewenangan untuk memberdayakan sumber daya daerah (distributional
of resources), serta kewenangan untuk melakukan pengawasan atas
penyelenggaraan kewenangan-kewenangan lainnya (controlling). Keempat
jenis kewenangan ini bisa dikatakan sebagai kewenangan pokok atau core
functions pemerintahan daerah yang terdapat disemua bidang / sektor
pembangunan.
Ketika kewenangan
pemerintahan dibagi hanya berdasarkan bidang (misalnya pertanian, pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya), dapat disimak bahwa tiga kewenangan terakhir
sangatlah terabaikan. Dalam fungsi perencanaan, misalnya, hanya ada sebuah
lembaga, yaitu Bappeda. Inipun diperparah dengan fakta bahwa perencanaan
pembangunan yang dihasilkan Bappeda tidak memiliki kekuatan mengikat bagi
lembaga-lembaga lainnya. Demikian pula Bawasda yang kurang memiliki “taring”
untuk menjamin pemerintahan daerah yang bersih dan professional. Dan lemahnya
fungsi-fungsi perencanaan dan pengawasan, jelas akan berdampak pada rendahnya
kinerja pemerintahan daerah secara umum.
Adanya pemetaan
yang jelas tentang fungsi-fungsi pemerintahan akan memudahkan daerah dalam
menyusun perangkat kelembagaannya. Sebaliknya, pembentukan kelembagaan yang
kurang mengindahkan fungsi-fungsi pemerintahan akan menghasilkan efisiensi dan
efektivitas yang rendah. Dalam konteks ini, Desi Fernanda dalam forum diskusi
terbatas di PKDA I LAN Bandung (12-5-2004), memberi ilustrasi menarik bahwa
kelembagaan Puskesmas sesungguhnya tidak cukup efisien dan oleh karena itu
sebaiknya “dijual” kepada dokter-dokter swasta agar dapat berkembang menjadi
klinik-klinik kesehatan swasta. Sebab, pelayanan Puskesmas pada dasarnya
merupakan “barang privat” (private goods) yang harus disediakan oleh
sektor privat pula. Barang publik (public goods) di bidang kesehatan
seperti pencegahan penyakit (menular), penanggulangan wabah, atau perbaikan
gizi sendiri menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan, bukannya
Puskesmas. Lagi pula, jika Puskesmas di privatisasi, jelas akan menghemat
anggaran pemerintah, dapat menjadi sumber baru pendapatan daerah, sekaligus
dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
3.
Tingkat
kemitraan, tingkat aplikasi teknologi, tingkat kemampuan personil, serta
tingkat kemandirian / partisipasi masyarakat.
Faktor-faktor ini
akan sangat menentukan pola penyelenggaraan sebuah kewenangan dan/atau pelayanan.
Ketika sektor swasta telah memiliki kemampuan yang memadai untuk “mengambil
alih” peran pemerintah dalam penyediaan layanan publik, maka kelembagaan
pemerintah-pun harus diminimalisir sesuai dengan peningkatan kapasitas mitra
kerja. Demikian pula dalam hal aplikasi teknologi. Jika program e-government
(Inpres No. 3 tahun 2003) dapat dioptimalkan dan program pemberian layanan
melalui internet dapat diteruskan, hal ini akan membawa implikasi
langsung terhadap efisiensi kelembagaan sektor publik. Pada kasus lain, adanya
peningkatan pengetahuan dan keterampilan pegawai secara normatif akan mendorong
produktivitas dan efisiensi organisasi. Akhirnya, swadaya masyarakat yang
tinggi menggambarkan ketergantungan yang rendah kepada birokrasi.
4.
Syarat-syarat
teknis lain sebagaimana diatur oleh PP No. 8/2003.
Dalam lampiran PP
No. 8/2003 disebutkan adanya faktor-faktor umum dan faktor-faktor khusus dalam
penataan kelembagaan daerah. Faktor umum mencakup luas wilayah, jumlah
penduduk, rasio belanja aparatur (rutin) dalam APBD, jumlah kabupaten/kota
(untuk penataan propinsi) atau jumlah kecamatan dan desa / kelurahan (untuk
penataan kabupaten/kota), serta aspek karakteristik daerah pengembangan /
pertumbuhan.
Sedangkan jumlah
dan jenis indikator untuk kategori “faktor khusus” sangat bervariasi secara
sektoral. Dalam hal ini, sektor-sektor yang diatur meliputi 19 sektor atau
bidang, masing-masing yakni: pertanian, kelautan dan perikanan, pertambangan
dan energi, kehutanan, perindustrian dan perdagangan, koperasi dan UKM,
penanaman modal, tenaga kerja dan trasmigrasi, kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial, pekerjaan umum, perhubungan, pengendalian dampak
lingkungan, informasi dan komunikasi, kebudayaan dan pariwisata, kesbang dan
linmas, pemberdayaan masyarakat, dan pendapatan daerah.
Untuk mengelaborasi faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pembentukan kelembagaan tersebut, dapat dianalisis dengan
menggunakan dua jenis logika, yakni logika “jika – maka” dan logika “bagaimana
jika”.
Logika “jika – maka” dapat disebut
sebagai cara berpikir yang bersifat linier dan paling sederhana dalam menata
kelembagaan sektor publik. Sebagai contoh, jika kewenangan suatu daerah besar,
maka struktur organisasi yang dibutuhkan juga harus besar agar dapat mewadahi
kewenangan yang dimiliki. Contoh lainnya, semakin besar jumlah penduduk dan
luas wilayah sebuah daerah, maka semakin besar atau banyak pula lembaga yang
dibutuhkan untuk melayaninya. Selanjutnya, semakin besar kelembagaan yang
terbentuk, semakin besarlah jumlah pegawai dan sumber daya yang dibutuhkan
untuk menjalankan organisasi tersebut.
Logika ini cukup logis, namun mengandung
kelemahan yang sangat mendasar, jika tidak disebut sebagai bahaya. Dalam hal
terjadi penambahan kewenangan misalnya, otomatis harus dilakukan penambahan
atau pembesaran struktur organisasi. Padahal, penambahan kewenangan tidak
selamanya disertai dengan transfer sumber daya yang seimbang. Oleh karena itu,
pandangan yang meyakini bahwa besaran organisasi berhubungan secara tegak lurus
dengan besaran kewenangan, tidak memiliki kerangka konseptual yang kuat
sehingga dapat diabaikan. Sayangnya, logika ini cukup umum diterapkan di
berbagai daerah sebagai “alasan pembenar” untuk menggemukkan struktur
organisasi mereka. Pada kasus lainpun terlihat bahwa logika ini sesungguhnya
tidak cukup rasional. Misalnya, jika terjadi pemekaran wilayah (pemecahan suatu
daerah menjadi dua atau lebih) yang berimplikasi pada menyusutnya luas wilayah
dan jumlah penduduk, maka format kelembagaan perlu dikurangi atau diperkecil.
Sebaliknya, dalam logika “bagaimana jika”,
pertanyaan seperti bagaimana jika kondisi X terjadi?, bagaimana jika
variable Y berubah?, bagaimana jika alternatif Z dipilih?, dan
berbagai pertanyaan kritis lainnya, lebih diutamakan. Dengan kata lain, analisis
kualitatif ini berpijak pada berbagai kemungkinan yang muncul dalam
tahapan awal dari proses pembentukan kelembagaan, serta berbagai alternatif untuk
menjawab berbagai kemungkinan tersebut. Dengan demikian, opsi kebijakan yang
mungkin diambilpun juga cukup beragam.
Selanjutnya, dari beragam alternatif dan
opsi kebijakan tadi, perlu dikerucutkan menjadi alternatif dan pilihan yang
lebih spesifik. Untuk ini, ketajaman untuk mengenali faktor-faktor strategis
daerah, kemampuan untuk melakukan analisis silang atau sebab akibat antar
faktor, kejelian untuk mengoptimalkan potensi yang ada, kemampuan untuk
memprediksikan trend pada masa depan, serta kecermatan untuk menentukan solusi
atas masalah yang dihadapi, sangat dibutuhkan guna menghasilkan putusan (dalam
hal ini format kelembagaan) yang benar-benar berbasis pada prinsip ramping,
efektif, efisien, rasional, dan operasional.
Untuk menjawab pertanyaan “bagaimana
jika terjadi penambahan kewenangan” misalnya, jawabannya tidak selalu harus
berupa penambahan atau pembesaran organisasi. Sebelum sampai pada keputusan
akhir, berbagai opsi bias dikembangkan seperti dengan cara membebankan
kewenangan tersebut kepada unit kerja yang serumpun atau memiliki kedekatan
karakteristik, menjalin kerjasama dengan pihak swasta, memacu kualitas dan
produktivitas SDM, dan sebagainya. Demikian pula, perubahan dalam jumlah
penduduk dan luas wilayah dapat disiasati dengan pengembangan perangkat
teknologi informasi, penambahan frekuensi layanan “jemput bola”, pemangkasan
prosedur kerja, dan sebagainya. Dengan demikian, penambahan kewenangan bisa
berjalan terus, sementara variabel-variabel pembentukan daerahpun dapat
berubah-ubah tanpa harus diikuti oleh penambahan unit kerja tertentu.
Harus diakui bahwa PP No. 8 tahun 2003 masih
lebih menganut logika “jika – maka”. Hal ini nampak sekali dari dipergunakannya
angka-angka untuk menentukan skala nilai, bobot dan skor suatu indikator
tertentu. Jika total skor suatu bidang (misalnya pertanian) berarti belum dapat
dibentuk organisasi perangkat daerah yang berdiri sendiri, dan fungsinya
digabung dengan fungsi yang sejenis dan serumpun. Namun jika
tercapai total skor antara 500 sampai dengan 750, dapat dibentuk
organisasi yang berdiri sendiri, berbentuk Kantor. Adapun jika total skor lebih dari 750, maka dapat dibentuk organisasi perangkat daerah
yang berdiri sendiri berbentuk Dinas atau Badan.
Inilah kekurangan utama PP No. 8 tahun
2003, dimana keputusan membentuk sebuah lembaga sangat ditentukan oleh
pertimbangan kuantitatif semata. Dengan kata lain, pada saat perhitungan
“matematis” menunjukkan hasil pada skala tertentu, maka harus dibentuk
organisasi sesuai dengan kriteria skala tertentu pula. Dengan logika berpikir
seperti ini, urgensi sebuah lembaga akan hilang manakala skor yang dijadikan
dasar pembentukannya telah berkurang. Lagi pula, penetapan skor melalui
perhitungan angka-angka seperti itu sangat membuka peluang terjadinya
manipulasi data.
Penggunaan metode kuantitatif dengan sistem
skor sesungguhnya sangat bermanfaat dalam proses penataan kelembagaan sepanjang
tidak dijadikan sebagai metode tunggal. Pengabaian terhadap faktor-faktor lain
akan mengakibatkan falsifikasi dalam menentukan alternatif dan opsi kelembagaan
yang harus dipilih. Itulah sebabnya, dalam menjalankan program restrukturisasi
kelembagaan sangat dianjurkan untuk menerapkan pertimbangan dan logika yang
komprehensif.
Model Alternatif Kelembagaan Daerah
Sesuai dengan semangat desentralisasi dalam
UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah Propinsi dan terutama daerah Kabupaten/Kota
memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan format kelembagaannya, termasuk
lembaga yang non-konvensional. Selama ini, perangkat (konvensional) daerah
terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas, dan Lembaga Teknis. Namun diluar itu,
tetap dimungkinkan adanya pemunculan bentuk dan model baru kelembagaan daerah
seperti kawasan otorita, lembaga semi publik, joint management, dan
sebagainya. Dengan kewenangan yang ada, pemerintah Kabupaten / Kota dapat mengembangkan asas dekonsentrasi
dan/atau ko-administrasi di wilayahnya, antara lain melalui pembentukan
lembaga-lembaga alternatif atau non-konvensional ini.
Dengan demikian, penentuan alternatif
kelembagaan di daerah pada hakekatnya ditujukan untuk memberi pilihan yang
lebih leluasa kepada daerah untuk dapat menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan
secara lebih optimal. Dapat dikatakan pula bahwa pengembangan model-model
alternatif ini bukan dimaksudkan untuk merombak kelembagaan yang ada saat ini.
Artinya, model-model baru ini sifatnya komplementer (pelengkap) terhadap
kelembagaan yang telah ada, bukan bersifat subsitutif (pengganti).
Sebagai fungsi pelengkap-pun, model-model tadi hanya merupakan sebuah tawaran
dan tidak ada prinsip kemutlakan / keharusan untuk diterapkan di daerah.
Penerapan model alternatif kelembagaan ini
tetap harus didasarkan pada kebutuhan riil dan kemampuan operasionalnya.
Disamping itu, penerapan lembaga alternatif ini hendaknya juga tidak menjadikan
struktur organisasi pemerintah daerah membesar secara tidak terkontrol. Justru
sangat disarankan bahwa ketika lembaga alternatif ini dibentuk, sebaiknya
dibarengi oleh pengurangan atau perampingan lembaga yang telah ada sebelumnya,
sehingga memberikan efek efisiensi yang kuat.
Adapun model alternatif kelembagaan yang
ditawarkan disini meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut:
1.
Kawasan Otorita
Pengelolaan
suatu kewenangan pemerintahan berbasis otoritas khusus (authority-based
management) sesungguhnya merupakan sebuah model yang lumrah dan sering
diyakini memiliki efektivitas tinggi. Hanya saja dalam konteks Indonesia,
penetapan kawasan otorita selama ini masih menjadi wewenang pemerintah Pusat,
sebagaimana terlihat dalam pembentukan Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam, Otorita Jatiluhur, dan sebagainya.
Meskipun
demikian, pembentukan badan atau lembaga otorita ini dapat dilakukan di daerah
yang memiliki kawasan-kawasan khusus seperti pelabuhan, bandar udara, industri
(industrial estate), perkebunan, pertambangan, kehutanan, pariwisata,
jalan bebas hambatan dan sebagainya. Dan kenyataannya, kawasan-kawasan khusus
seperti itu sangat banyak yang berlokasi di wilayah Kabupaten / Kota . Pengelolaan kawasan
khusus oleh unit kerja konvensional yang terkesan asal-asalan, hanya akan
menyebabkan fungsi pengembangan kawasan dan pelayanan umum menjadi merosot
mutunya.
Sebagai contoh,
potensi wisata pantai Pangandaran di Ciamis sesungguhnya tidak kalah dengan Bali , namun sayang berbeda dalam profesionalisme
pengelolaannya. Pemkab Ciamis nampaknya cukup puas dengan kondisi Pangandaran
saat ini, sehingga tidak terlihat ada upaya konkrit untuk mempromosikannya. Hal
ini bisa dilihat dari tidak adanya fasilitas wisata bertaraf internasional
seperti rumah sakit dan super market modern, tidak lengkap dan tidak efektifnya
sistem transportasi (darat, laut dan udara), kurangnya dukungan aspek keamanan
(polisi, SAR), serta kurang tersedianya media promosi skala nasional dan
global. Jika saja Pangandaran dikelola oleh sebuah badan otorita, sangat
mungkin kawasan ini akan berkembang maksimal, sehingga menguntungkan masyarakat
pengguna jasa wisata dan pemerintah daerah setempat secara timbal balik.
Sebagai
ilustrasi lain dapat dikemukakan disini bahwa pasca pemberlakuan UU Nomor 22
Tahun 1999, terjadi konflik pengelolaan pelabuhan antara daerah-daerah pantai
seperti Cilacap, Cilegon dan Gresik dengan Pemerintah Pusat cq. Departemen
Perhubungan dan PT Pelindo. Daerah menuntut agar Pemerintah Pusat menyerahkan
pengelolaan pelabuhan, walaupun Daerah sendiri belum memiliki infrastruktur
yang memadai untuk mengambil alih manajemen pelabuhan. Dalam kasus demikian,
perlu dipikirkan adanya “desentralisasi” dari BUMN kepada unit kerja di daerah
baik BUMD maupun Badan Otorita Daerah. Jika model desentralisasi seperti ini
dapat disepakati, maka infrastruktur yang dimiliki PT Pelindo (SDM, sistem
informasi kepelabuhan, dan sumber daya lainnya) akan berubah status dan
ditransfer menjadi asset daerah.
2.
Tim / Komisi
Model tim atau
kepanitiaan sesungguhnya juga merupakan fenomena yang sangat lumrah dalam
administrasi negara modern. Bahkan harus
diakui bahwa “tim” sering kali dapat bekerja lebih cepat dan efisien dari pada
lembaga induk yang membentuknya. Disamping itu, “tim” lebih bersifat fungsional
sehingga mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan dan kendala struktural yang
menjadi ciri khas dari sistem birokrasi publik. Namun jika tradisi membentuk
satu tim untuk satu kasus (one team one case) ini berkelanjutan dan
berlebihan, dalam kaca mata administrasi negara jelas merupakan suatu bentuk
dari kegagalan birokrasi publik (bureaucracy failure), atau dapat
dipandang juga sebagai mal-administrasi.
3.
Lembaga Semi-Publik/Semi-Privat atau Government-Initiated
Private Management.
Pengertian
lembaga semi publik atau semi-privat disini dimaksudkan sebagai sebuah model
kerjasama dimana sektor publik (pemerintah daerah) dan sektor privat (swasta)
memiliki kedudukan dan peran yang berbeda, namun sinergis, dalam pengelolaan
suatu urusan atau asset tertentu. Biasanya, pemerintah memegang fungsi regulasi
dan pengawasan, sementara investor menyelenggarakan fungsi-fungsi perencanaan,
pelaksanaan dan pembiayaannya. Contoh konkrit tentang hal ini adalah Manajemen
“Kya-Kya Kembang Jepun” di Surabaya, sebuah arena pusat jajan yang sekaligus
berfungsi sebagai wisata budaya di tengah kota .
Kawasan
Kya-kya
ini dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200
pedagang (makanan dan nonmakanan), 2.000 kursi, serta 500 meja makan. Sebelum
diterapkan, ide ini didahului oleh berbagai macam studi secara terpadu yang
mencakup studi keamanan, studi perilaku warga kota, studi parkir dan
transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi
kelayakan ekonomis dan teknis seperti sistem kebersihan, utilitas (saluran air,
drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat,
kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen
bersejarah), dan sebagainya.
Dampaknya cukup
luar biasa. Disamping merangsang pertumbuhan ekonomi lokal dan ekonomi
kerakyatan, juga menjadi obyek wisata baru dan ajang pelestarian budaya.
Manajemen Kya-kya juga menghasilkan efek sosial seperti perayaan Hari Anak
Nasional dengan mengundang 300 anak yatim piatu untuk makan malam bersama,
berpesta bersama 300 pengamen dalam acara "Festival Ngamen Tjap Kya-kya Kembang
Djepoen" selama sebulan, memelihara monumen nasional Jembatan Merah, serta
memberi tali asih kepada para pejuang veteran (Pikiran Rakyat,
16-5-2004).
Bagi Pemkot
Surabaya sendiri, kehadiran Manajemen Kya-kya memberi manfaat yang signifikan.
Disamping menjadi sumber pendapatan daerah melalui penarikan retribusi, urusan
kebersihan dan keamanan di kawasan Kya-kya juga ditangani oleh Manajemen
Kya-kya, sehingga beban Pemkot menjadi jauh berkurang. Disamping itu,
pengelolaan yang professional diharapkan dapat menciptakan mutu pelayanan yang
jauh lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dari
gambaran diatas, tidaklah berlebihan kiranya untuk memasukkan model pengelolaan
kawasan seperti Manajemen Kya-kya sebagai salah satu Best Practices dalam
administrasi publik.
Model
pengelolaan kawasan oleh manajemen swasta yang dibimbing oleh regulasi Pemda
seperti ini sesungguhnya bisa diujicobakan di daerah lain. Di Kota Bandung,
misalnya, terdapat banyak sekali sentra-sentra industri kecil yang cukup
spesifik seperti Cibaduyut (sepatu dan tas), Cihampelas (pakaian), Cigondewah
(kain). Di Sidoarjo terdapat kawasan Tunggul Angin (tas dan sepatu), sementara
di Yogyakarta terdapat kawasan Malioboro
(kerajinan dan makanan), Kasongan (gerabah), dan sebagainya. Jika saja kawasan-kawasan
tadi dikelola secara baik oleh sebuah organisasi professional (professional
institution), dapat diyakini bahwa asumsi mendongkrak produktivitas kawasan
binaan dan memperbaiki pelayanan umum khususnya bagi warga yang tinggal di
sekitar kawasan binaan, akan tercapai.
4.
Pengelolaan Bersama (Joint Management)
Desentralisasi
luas yang diintrodusir oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 ternyata sering membawa
permasalahan atau konflik antar daerah. Beberapa konflik yang sempat muncul di
media antara lain:
·
Konflik
antara Pemprov DKI dengan Kota Bekasi menyangkut TPA Bantargebang, serta antara
Kota Bogor dan Kabupaten Bogor menyangkut TPA Galuga dan terminal Bubulak (Pikiran
Rakyat, 12 Juni 2002).
·
Konflik
antara Kota Bogor ke Kabupaten Bogor menyangkut kebijakan perluasan wilayah.
Pihak Kabupaten ngotot mempertahankan assetnya seperti gedung desa beserta
tanah kas desa (bengkok) yang ditarik masuk wilayah Kota (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2002).
·
Konflik
antara Pemprov Jawa Barat (cq. Perda No. 23/2000 tentang Penebangan Kayu dan
Perda No. 24/2000 tentang Usaha Pengolahan Teh) dengan Kabupaten Cianjur,
Garut, Camis, dan Tasikmalaya yang menerbitkan Perda yang mengatur hal yang
sama (Pikiran Rakyat, 19 Juni 2002).
·
Konflik
antara Pemprov Jawa Tengah dengan Kota Semarang dalam pengelolaan Sistem Polder
Kota Lama, khususnya kolam retensi didepan Stasiun KA Tawang yang menimbulkan
bau busuk (Kompas, 24 Juni 2002).
Untuk
mengantisipasi munculnya konflik yang makin beragam dan makin kompleks, maka
saling pengertian antar daerah melalui penguatan kerjasama regional sangat
diperlukan. Dan untungnya, kesadaran untuk membangun kerjasama antar daerah
melalui sistem pengelolaan bersama (joint management) ini sudah mulai
nampak, antara lain melalui kesepakatan antara beberapa Kepala Daerah di
wilayah tertentu, yakni:
·
Surat Keputusan Bersama (SKB) lima Bupati, yakni Bupati
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kabumen pada tanggal 28 Juni
2003 tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management yang
diorientasikan pada Regional Marketing yang diberi nama “Barlingmascakeb”
(lihat di http://www.barlingmascakeb.com/)
·
SKB
Walikota Surakarta, Bupati Boyolali, Bupati Sukoharjo, Bupati Karanganyar,
Bupati Wonogiri, Bupati Sragen dan Bupati Klaten tentang Kerjasama Antar Daerah
Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten.
Bahkan sebagai tindak lanjut dari SKB ini, telah dikeluarkan Keputusan
Koordinator Badan Kerjasama Antar Daerah Subosuka
Wonosraten No. 136/06/BKAD/VII/02 tentang Rincian Tugas Sekretariat
Badan Kerjasama Antar Daerah Subosuka Wonosraten
(lihat di http://www.gtzsfdm.or.id/documents/laws_n_regs/others/Subosuka_Wonosraten.pdf).
Meskipun
demikian perlu ditekankan bahwa kerjasama regional atau pengelolaan bersama
suatu urusan tidak selamanya harus terdiri dari banyak daerah dan meliputi
semua hal. Bisa jadi, joint management hanya terjadi antara 2 daerah
otonom dan untuk satu urusan tertentu. Sebagai contoh, Pemprov DKI dan Pemkot
Bekasi bekerjasama hanya dalam masalah persampahan dan TPA Bantargebang.
Demikian juga antara Pemkot Bandung dan Pemkot
Cimahi, keduanya harus bekerjasama dan memiliki kesepakatan (MoU) dalam
pengelolaan sampah kota
dan pengaturan TPA Leuwigajah.
Tentu saja, masing-masing model kelembagaan
yang ditawarkan diatas memiliki kelebihan dan kekurangan. Itulah sebabnya,
sekali lagi ditekankan bahwa pemilihan dan penerapan suatu alternatif tertentu
haruslah melalui sebuah kajian yang matang dan komprehensif sesuai kebutuhan
riil dan kemampuan operasionalnya. Adapun kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing model ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Catatan Penutup
Dari perspektif kesisteman, penyempurnaan
atau restrukturisasi kelembagaan haruslah mampu membawa perubahan budaya kerja
dari birokratisme menjadi korporatisme. Ini artinya, restrukturisasi
kelembagaan hanya dapat dikatakan berhasil jika mampu menghasilkan hallo-effect
terhadap perilaku birokrasi. Dalam hal ini, proses perubahan perilaku yang
diharapkan meliputi perubahan dari pola manajemen gotong royong menjadi
renumerasi, dari paternalistis menjadi rasionalistis, dari orientasi
kolektivitas menjadi penghargaan terhadap eksistensi dan peran individu, dari
otoriter menjadi demokratis, dari sentralistis menjadi desentralistis, dari
tertutup menjadi terbuka, dari kaku menjadi luwes, dari birokratis menjadi
debirokratis, dari “government”
menjadi “governance”, serta dari “bad governance” menjadi “good governance” yang menekankan
kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani atau civil
society.
Perubahan perilaku birokrasi adalah sebuah
keniscayaan dalam era otonomi luas dewasa ini. Sebab, sebaik apapun format
kelembagaan jika tidak ditunjang oleh perilaku yang berorientasi pada pelayanan
publik, tetap tidak akan mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar