Pengantar
Tumbangnya Orde Baru yang disusul dengan amandemen UUD
1945, menandai perubahan yang radikal dari sistem ketatanegaraan yang
sentralistik otoritarian menjadi rezim yang demokratis dan egalitarian.
Perubahan bandul pada tataran supra-struktur politik ini pada gilirannya
mendorong terjadinya perubahan pada tataran infra-struktur politik, yakni
perubahan pola manajemen pemerintahan daerah dari pendekatan top-down yang
berorientasi efisiensi, menjadi pendekatan bottom-up yang lebih
mementingkan terjadinya proses pemberdayaan segenap potensi bangsa. Dengan
demikian, tidaklah berlebihan untuk menyatakan bahwa lahirnya orde reformasi
merupakan koreksi total terhadap praktek penyimpangan konstitusional pada era
sebelumnya.
Salah satu kelemahan fundamental dalam sistem politik
Orde Baru adalah kecenderungan adanya dominasi dan konsentrasi kekuasaan pada
salah satu cabang penyelenggara pemerintahan tertentu, yakni pada lembaga
eksekutif. Bahkan dalam Penjelasan UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan bahwa “Dalam menjalankan pemerintahan negara,
kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan presiden (concentration of power
and responsibility upon the President)”. Ketentuan inilah yang sering
dipahami sebagai prinsip executive heavy dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia, yang sedikit banyak bertentangan dengan
paham pembagian dan/atau pemisahan kekuasaan (distribution of powers, separation of powers).
Ketentuan dalam Konstitusi yang “berpihak” pada satu
cabang kekuasaan tertentu seperti diatas, dapat kita kategorikan sebagai
kelemahan dalam dimensi instrumentasi. Pada tataran Undang-Undang, kelemahan
instrumentasi juga cukup menonjol, seperti yang tertuang dalam Bab III Pasal 19
UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini
menegaskan: “Demi kepentingan revolusi,
kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat mendesak, Presiden
dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. Nampaklah bahwa
Undang-Undang ini memperkuat paham executive
heavy yang dianut dalam UUD 1945.
Selain kelemahan instrumentasi, praktek ketatanegaraan
kita pada masa Orde Baru juga mengalami kelemahan dalam dimensi implementasi.
Kelemahan implementasi ini misalnya berupa terus membesarnya kekuasaan Presiden
dan cenderung kurang diimbangi dengan sistem kontrol dari kekuasaan lainnya.
Akibatnya, Presiden dengan mudah dapat menerbitkan produk hukum berupa
Keputusan (beschikking) baik yang bersifat
menetapkan (declaratory) maupun
mengatur (regulatory). Hasil kajian
MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) mungkin sangat gamblang mendeskripsikan
adanya kelemahan mendasar dalam tata hubungan antar poros kekuasaan negara.[1]
Mengingat cukup maraknya penyimpangan atau kelemahan
konstitusional pada era Orde Baru, maka wajarlah jika gerakan reformasi 1998
mengusung agenda strategis berupa amandemen UUD 1945, dimana salah satu poin
terpentingnya yakni mewujudkan pola hubungan yang lebih egaliter dan produktif
diantara poros-poros kekuasaan Negara, termasuk pembentukan lembaga-lembaga
barui negara seperti DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan MK (Mahkamah
Konstitusi). Kesemuanya tadi tidak lain adalah upaya membangun sistem check and balances yang lebih baik
berdasar prinsip saling percaya (trust)
dan saling menghormati (reciprocal honor).
Esensi Checks and
Balances
Checks and Balances pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu pada Abad
Pertengahan atau yang sering dikenal dengan abad pencerahan (enlightenment atau aufklarung). Gagasan ini
lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan (separation
of power), dan pertama kali diadopsi kedalam konstitusi negara oleh Amerika
Serikat (US Constitution 1789).
Berdasarkan ide ini, suatu negara dikatakan memiliki
sistem checks n balances yang efektif jika tidak ada satupun
cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat dipengaruhi
oleh cabang lainnya (A government is said to have an effective system of
checks and balances if no one branch of government holds total power, and can
be overridden by another).
Secara etimologis, checks and balances memiliki
dua suku kata, yakni checks dan balances. Komponen pertama mengandung
arti adanya hak untuk ikut memeriksa / menilai / mengawasi / mencari informasi
dan konfirmasi terhadap suatu keadaan (the right to check); sedangkan
komponen kedua merujuk pada alat untuk mencari keseimbangan (the means to
actively balance out imbalances). Instrumen ini dinilai sangat penting
mengingat secara alamiah manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung
menyalahgunakan, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan
menyalahgunakannya (power tends to corrupt, absolute power corrupt
absolutely).
Secara tersirat dapat ditangkap bahwa esensi pokok dari
prinsip checks and balances ini adalah menjamin adanya kebebasan dari
masing-masing cabang kekuasaan negara sekaligus menghindari terjadinya interaksi atau campur tangan dari kekuasaan
yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Dengan
kata lain, inti gagasan demokrasi konstitusional adalah menciptakan keseimbangan dalam interaksi
sosial politik. Namun, upaya menciptakan keseimbangan tersebut tidak dilakukan dengan
melemahkan fungsi, mengurangi independensi, atau atau mengkooptasi kewenangan
lembaga lain yang justru akan mengganggu kinerja lembaga yang bersangkutan.
Dengan demikian, checks and
balances sesungguhnya bukanlah tujuan dari penyelenggaraan
entitas politik bernama negara (nation-state).
Konsep ini lebih merupakan elemen pemerintahan demokratis untuk mewujudkan
cita-cita besar membangun sosok pemerintahan yang demokratis (democratic and egalitarian), bersih dan kuat (good and strong),
serta mendorong perwujudan good society, melalui penyempurnaan tata hubungan kerja yang sejajar dan
harmonis diantara pilar-pilar kekuasaan dalam negara.
Dalam rangka mewujudkan tujuan besar tersebut, maka
penerapan checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan harus
memperhatikan prinsip non-dichotomy (tidak berpikir dualistis atau
memisahkan secara tegas fungsi pilar-pilar kekuasaan); mendorong terbentuknya team-building
(semangat korps atau jiwa korsa); serta systemic and comprehensive (mencakup
semua aspek dan seluruh pihak / stakeholders).
Hakikat dari prinsip checks and balances diatas
adalah bahwa semestinya tidak ada lagi sekat-sekat psikologis, kultural maupun
struktural yang memisahkan kekuasaan Legislatif – Eksekutif – Yudikatif, atau
cabang kekuasaan lainnya. Diantara poros-poros kekuasaan tadi, terdapat saling
keterhubungan (interconnectedness), saling ketergantungan (interdependence),
dan irisan (intercourse) yang erat satu sama lain.
Walaupun implementasi checks and balances menjanjikan
manfaat yang luar biasa besar, namun hal tersebut tidak muncul dengan
tiba-tiba. Dalam hal ini, ada beberapa prasayarat atau prakondisi yang
memungkinkan berkembangnya checks and balances tadi secara optimal.
Adapun prasyarat yang dibutuhkan paling tidak meliputi empat aspek sebagai
berikut:
·
Proses
demokratisasi dari tingkat pusat hingga ke daerah tidak terputus. Artinya,
kesadaran untuk secara terus menerus melakukan perbaikan baik dari kalangan
politisi, birokrat maupun masyarakat luas, perlu dibina secara berkelanjutan
pada berbagai jenjangnya.
·
Adanya
pemahaman konsep politik kenegaraan dan kepemerintahan yang bulat dari segenap
pelaku atau penyelenggara negara. Pada saat yang sama, dibutuhkan pula adanya
kedewasaan politik para anggota DPRD serta kalangan birokrasi dan penegak
hukum, bahkan juga kalangan masyarakat pada umumnya.
·
Adanya
pemahaman fungsi dan peranan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seimbang
(asymmetric information) serta tata
hubungan kerja dinamis dan produktif diantara poros-poros kekuasaan tersebut.
Adanya kecurigaan atau kekurangpercayaan antar aparat pemegang kekuasaan
menunjukkan adanya ketimpangan dalam pola komunikasi antar pemegang kekuasaan
tersebut.
·
Adanya
kesadaran penuh untuk memangku hak dan kewajiban masing-masing secara terbuka
dan bertanggungjawab untuk mewujudkan cita-cita tertinggi pembentukan negara,
yakni mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.
Perubahan Paradigma Konstitusionalisme di Indonesia Pasca
Amandemen
Diatas telah disinggung bahwa sistem checks and balances selama periode Orde Baru berjalan kurang
seimbang, sehingga interaksi antar poros kekuasaan negara menjadi tidak lancar.
Itulah sebabnya, amandemen UUD 1945 dilakukan untuk menciptakan tata hubungan
yang lebih harmonis dan fair. Dengan
kata lain, paradigma konstitusionalisme di Indonesia sudah bergeser seiring
dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 (amandemen pertama)
hingga tahun 2002 (amandemen keempat).
Beberapa paradigma konstitusionalisme baru yang diusung
oleh UUD 1945 pasca amandemen adalah sebagai berikut:
1.
UUD 1945
lebih memperkuat paradigma yang sudah
ada, dengan diberi sifat normatif. Misalnya, pengaturan tentang pelaksanaan asas kedaulatan rakyat tidak
lagi menyangkut lembaga pelaksananya, namun fondasi normatifnya, yakni harus
dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2). Demikian juga soal asas negara hukum,
dalam Batang Tubuh dinyatakan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara
Hukum (Pasal 1 ayat 3).
2. UUD 1945 juga memberi jaminan tentang kelangsungan dasar negara, bentuk negara dan sistem
pemerintahan. Dalam
hubungan ini, Dasar Negara Pancasila tetap dipertahankan dan diperkuat dalam
Pembukaan UUD 1945. Bentuk Negara Kesatuan dan Bentuk Pemerintahan Republik
juga dimantapkan dalam Pasal 1 ayat (1). Selain itu, meskipun tidak secara
eksplisit, namun corak dari Sistem Pemerintahan Presidensiil juga sangat
dominan, seperti bisa disimak dari Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, dan Pasal 7.
3. UUD 1945 meniadakan ketentuan yang diskriminatif dan
menegaskan pentingnya prinsip persamaan antar warga negara. Sebagai
contoh, Pasal 6 ayat (1) yang mengatur tentang Calon Presiden dan Wakil
Presiden, tidak harus berasal dari etnis pribumi (WNI asli), namun terbuka
kemungkinan bagi WNI keturunan sepanjang memenuhi ketentuan Undang-Undang.
4.
UUD 1945 memberi
pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang semakin nyata dan
jauh lebih luas. Rincian HAM yang diatur meliputi hak untuk hidup serta hak
mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A); hak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, selain hak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 28A). Disamping itu, UUD 1945 juga melindungi hak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat (Pasal 28C). Selanjutnya, Pasal 28D mengatur tentang hak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum; hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; hak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan; serta hak atas status kewarganegaraan. Secara lebih lengkap, hak-hak asasi
manusia diatur dalam pasal 28 hingga huruf J.
5.
UUD 1945 menegaskan
kembali hubungan antar lembaga-lembaga negara dengan meniadakan
disfungsionalisasi lembaga. Amandemen telah menghapus lembaga DPA
(Dewan Pertimbangan Agung) yang dinilai tidak efektif disatu pihak, dan
memunculkan lembaga-lembaga baru sesuai kebutuhan kontemporer, misalnya DPD
(Dewan Perwakilan Daerah), dan MK (Mahkamah Konstitusi). Selain itu, diatur
pula tentang perubahan tugas dan fungsi lembaga negara tertentu, seperti
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 3). Dalam hal ini, MPR tidak lagi
memiliki kewenangan menetapkan GBHN atau berkedudukan sebagai mandan (yang
memberikan mandat kepada) Presiden.
6.
UUD 1945 memperkokoh
hubungan Pusat – Daerah melalui pemberian otonomi daerah yang lebih luas dalam
kerangka NKRI (Pasal 18). Pada saat yang sama, UUD 1945 juga memberikan
legalitas bagi Kepala Daerah untuk dipilih secara demokratis, yang melahirkan adanya Pemilu
langsung bagi Gubernur / Bupati / Walikota dan wakilnya.
7.
UUD 1945
juga menjamin
adanya keragaman daerah, serta mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa (Pasal 18). UUD 1945 juga memberi penguatan terhadap Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat dan Hak-hak Tradisional, sepanjang masih hidup dan tidak
bertentangan dengan prinsip NKRI (Pasal 18B ayat 2).
8.
UUD 1945
lebih menegaskan kembali paham
konstitusionalisme melalui pengaturan prinsip checks and balances. Hal ini bisa di simak dari pasal-pasal 7,
13, 14, 20, 22, 23, dan 24 (lihat uraian dibawah).
Checks and Balances di Indonesia dan Amerika Serikat
Sebagaimana telah disinggung
diatas, konsep checks and balances memungkinkan suatu cabang kekuasaan
negara tertentu untuk menjalankan fungsi (meskipun minimal) pada cabang
kekuasaan negara lainnya. Di Indonesia, konsepsi dan implementasi checks and
balances jauh lebih mudah
ditemukan pada UUD 1945 hasil amandemen. Beberapa pasal yang menggambarkan
adanya prinsip checks and balances dalam UUD 1945 (pasca amandemen)
adalah sebagai berikut:
a.
Pasal
7A: Presiden/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR
atas usul DPR.
b.
Pasal 7B:
Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR dalam 90
hari. Jika dikabulkan, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan
usul pemberhentian kepada MPR. Selanjutnya, MPR menyelenggarakan sidang dalam
30 hari setelah menerima usul DPR.
c.
Pasal 7C:
Presiden tidak dapat membekukan / membubarkan DPR.
d.
Dengan
persetujuan
DPR, Presiden dapat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
internasional (Pasal 11), serta dapat menetapkan Perpu (Pasal 22).
e.
Pasal
23E: Hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD, dan
DPRD.
f.
Pasal
24A: Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan.
g.
Dengan
pertimbangan
DPR, Presiden dapat mengangkat Duta dan Konsul (Pasal 13), serta dapat
memberikan Amnesti dan Abolisi (Pasal 14).
h.
Dengan
pertimbangan
MA, Presiden dapat mengangkat Grasi dan Rehabilitasi (Pasal 14).
i.
Pasal
20: Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.
j.
Pasal
20A: DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Hak
DPR lainnya: hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak
mengajukan pertanyaan, hal menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
k.
Pasal
22D: DPD ikut membahas dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU
mengenai otonomi daerah, pembentukan / pemekaran / penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, pelaksanaan APBN,
pajak, pendidikan, dan agama.
Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, prinsip check and balances juga terjadi di
berbagai negara, termasuk AS (lihat Tabel 1). Sebagai contoh, kekuasaan
eksekutif memiliki wewenang untuk turut mengontrol, atau mempengaruhi kekuasaan
legislatif dalam hal-hal antara lain: 1) wewenang untuk mem-veto undang-undang;
2) wewenang untuk menolak pelaksanaan undang-undang tertentu; 3) wewenang untuk
menolak penggunaan anggaran untuk kegiatan tertentu; 4) wewenang sepihak untuk
membiayai perang; tanggungjawab untuk membuat pernyataan tertentu, misalnya
keadaan darurat; dan sebagainya. Sebaliknya, kekuasaan eksekutif juga berwenang
membuat keputusan di ranah eksekutif, misalnya: 1) wewenang untuk menentukan
peraturan yang berlaku atau akan diberlakukan; 2) wewenang membuat aturan untuk
membatasi upaya penyidikan, penangkapan, dan penahanan; 3) wewenang untuk
meratifikasi traktat atau perjanjian internasional; 4) wewenang menetapkan
anggaran bagi eksekutif; 5) wewenang untuk memakzulkan atau mengganti pimpinan
eksekutif (dengan dukungan dua per tiga anggota), dan lain-lain.
Sementara itu, kekuasaan eksekutif juga dapat memainkan
peran sebagai penyeimbang terhadap kekuasaan yudikatif, misalnya wewenang untuk
menunjuk hakim agung dan memberi pengampunan (grasi/amnesti/abolisi). Sedangkan
wewenang yudikatif terhadap kekuasaan eksekutif antara lain mencakup: 1)
wewenang menyatakan tindakan tertentu dari pemerintah sebagai tindakan yang
cacat atau salah; 2) wewenang untuk menentukan aturan mana yang tepat dan harus
dipergunakan sebagai rujukan atau dasar hukum.
”Persinggungan” wewenang antara kekuasaan legislatif dan
kekuasaan yudikatif pun juga diatur dengan tegas. Dalam hal ini, wewenang
kekuasaan yudikatif di ranah legislatif misalnya wewenang menyatakan
undang-undang tidak sah dan menyimpang dari konstitusi, atau wewenang untuk
menentukan aturan mana yang tepat dan harus dipergunakan sebagai rujukan atau
dasar hukum. Sedangkan wewenang kekuasaan eksekutif terhadap fungsi yudikatif
antara lain: 1) wewenang untuk melakukan amandemen konstitusi (dengan dukungan
2/3 suara di parlemen dan dukungan 3/4 negara bagian); 2) wewenang untuk
menentukan struktur dan besaran pengadilan (termasuk Mahkamah Agung); 3)
wewenang untuk mengalokasikan anggaran bagi kepentingan peradilan; 4) wewenang
untuk memilih kandidat hakim; 5) wewenang memakzulkan dan mengganti hakim;
serta 6) wewenang untuk menentukan batas-batas kompetensi teritorial peradilan.
Penutup
Penyempurnaan tata hubungan kerja antara eksekutif dengan
legislatif dan internalisasi prinsp checks and balances, sesungguhnya
hanyalah usaha kecil untuk mewujudkan cita-cita besar membangun sosok
pemerintahan daerah yang demokratis (egalitarian local governance),
bersih dan kuat (good and strong local governance), serta mendorong
perwujudan good society. Dengan kata lain, sistem checks and balances bukanlah tujuan dari proses penyelenggaraan
negara, melainkan sebuah instrumen atau mekanisme agar negara dan
lembaga-lembaga negara dapat menjalankan tugasnya dengan optimal dalam melayani
masyarakat.
Daftar Referensi
Mahkamah Konstitusi RI dan Konrad Adenauer Stiftung,
2005, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hasil
Penelitian, Jakarta.
Nasution, Adnan Buyung, 1995, Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Nasution, Mirza, 2004, Negara dan Konstitusi,
makalah, Medan: FH-USU
MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), tanpa tahun, Keputusan
Presiden yang Menyimpang Periode 1993-1998.
Strong, CF., 2008, Konstitusi-Konstitusi Politik
Modern: Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia,
Terjem. SPA Teamwork, Cet. II, Jakarta: Nusa Media.
Subekti, Valina Singka, 2008, Menyusun Konstitusi
Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945,
Jakarta: Rajawali Press.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, 1999, Teori
dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali.
Utomo, Tri Widodo W., Tinjauan Kritis Tentang
Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara,
dalam Jurnal Unisia, No. 55/XXVIII/I/2005, hal. 28-43, Yogyakarta: UII Press.
Wardani, Kunthi Dyah, 2007, Impeachment Dalam
Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, UII Press.
Jurnal KONSTITUSI, 2006, Vol. 3, No. 3, September,
Jakarta: MK-RI.
Berbagai UUD/Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan
terkait.
*) Tulisan
ini disusun untuk didedikasikan kepada Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Widyagama
Mahakam, Samarinda.
[1] Dalam salah satu hasil kajiannya, MTI
menegaskan bahwa sekurang-kurangnya 79 Keputusan Presiden yang dikeluarkan
antara tahun 1993 sampai dengan 1998, telah menyimpang baik secara legalitas,
materi, maupun dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Lebih lanjut, Kepres-Kepres
tersebut telah dijadikan alat legitimasi dalam penyalahgunaan kekuasaan,
sehingga tindak penyelewengan terlindungi secara legal, dan berlangsung terus
menerus dalam kurun waktu yang cukup lama. Apabila dicermati dalam pembuatan
Kepres tersebut terdapat indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
atau penggunaan kekuasaan yang berlebihan (excessive use of power).