Senin, 01 November 2010

Anakronisme dalam Kebijakan Publik


SEMENJAK lahir hingga matinya, seorang warga negara selalu dan terus berurusan dengan negara melalui seperangkat tata nilai dan pedoman perilaku yang disebut kebijakan publik (public policy). Pengertian dan ruang lingkup kebijakan publik sendiri sangat luas, meliputi segala sesuatu yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pemerintah (whatever the governments choose to do or not to do). Sedangkan output dari kebijakan adalah serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi sekaligus mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Singkatnya, kebijakan publik adalah sebuah instrumen yang dimiliki oleh negara untuk menjalankan fungsinya memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan warga negara.

Oleh karena kebijakan merupakan instrumen untuk melayani dan membangun kesejahteraan publik, maka harus dijamin bahwa kebijakan tadi benar-benar dibuat melalui proses dan analisis yang cermat serta dengan menetapkan target atau tujuan-tujuan yang rasional dan sesuai kebutuhan masyarakat. Kegagalan dalam mengidentifikasikan tujuan kebijakan serta proses formulasi yang tepat, akan berdampak pada kegagalan implementasi kebijakan itu sendiri.

Salah satu bentuk kegagalan kebijakan (policy failure) adalah terjadinya anakronisme kebijakan. Anakronisme sendiri adalah sebuah gaya bahasa pertentangan, atau menggambarkan sebuah paradoks dan anomali. Anakronisme juga merujuk pada istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan adanya kesalahan logika dalam memahami suatu fenomena atau peristiwa, atau berpikir tidak sesuai dengan zaman ketika sebuah fenomena atau peristiwa terjadi. Dengan kata lain, anakronisme, seperti diperkenalkan oleh Mohammed Arkoun dan Mohammad Abed Al Jabiri, adalah pembacaan atas sebuah pemikiran dengan tafsiran-tafsiran yang berasal dari luar konteks historisitasnya (Ahmad Baso, 1999). 

Salah satu wujud anakronisme dalam kebijakan publik adalah fakta adanya kesenjangan ekonomi regional dan keterbelakangan daerah yang dijawab dengan pemekaran wilayah. Kebijakan pemekaran wilayah dipandang sebagai obat mujarab terhadap disparitas pembangunan, dan hingga saat ini terbukti salah. Pemekaran wilayah secara esensial bukanlah issu ekonomi pembangunan atau ekonomi spasial, melainkan issu administrasi pemerintahan. Artinya, tujuan pemekaran akan lebih cocok untuk mengatasi problem rentang kendali (span of control) pemerintahan dan kecepatan pelayanan publik disbanding menyelesaikan soal kesenjangan tadi. Seorang petinggi Kementerian Dalam Negeri, Dr. Made Suwandi, bahkan pernah mengatakan bahwa menjawab kesenjangan dengan pemekaran wilayah sama artinya dengan sakit kepala diobati dengan obat sakit perut.

Setelah satu dekade pemekaran berjalan, terbukti bahwa 80 persen daerah otonom baru (DOB) divonis gagal. Sayangnya, indikasi kegagalan DOB tidak dijawab dengan upaya pengembangan kapasitas atau mengatasi aspek-aspek yang dianggap gagal, justru dijawab dengan moratorium (penghentian sementara). Akibatnya, terjadi lagi anakronisme kebijakan. Moratorium pemekaran, selain tidak ada landasar yuridis yang eksplisit, juga berpotensi menutup hak-hak daerah yang benar-benar sudah cukup mampu secara ekonomis maupun administratif, untuk dikembangkan menjadi DOB. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih tepat untuk menyikapi kegagalan DOB bukanlah moratorium, namun seleksi yang lebih ketat terhadap nafsu pemekaran yang melanda para politisi lokal. Menghentikan – meskipun sementara – hak yang tertuang dalam konstitusi, adalah sebuah langkah yang inkonstitusional.

Kasus otonomi khusus yang dimiliki Aceh dan Papua juga bisa diamati sebagai sumber anakronisme kebijakan. Penerbitan UU No. 21/1999 untuk Papua serta UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006 untuk Aceh adalah jawaban pemerintah pusat untuk mengatasi potensi disintegrasi dan problem ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan. Kelemahan dan kekurangan dalam implementasi otsus bagi kedua daerah tersebut, akan menjadi anakronisme jika dijawab dengan meninjau ulang kebijakan otonomi khusus. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa otsus adalah refleksi dari komitmen pusat. Jika ternyata hasilnya belum sesuai harapan, maka bukan otsusnya yang perlu digugat, tetapi komitmennya yang perlu diperkuat. Bahkan jika memungkinkan, penguatan komitmen ini dapat diperluas untuk daerah-daerah lain dengan mendesain otsus-otsus baru yang benar-benar membumi dan tidak seragam (asymmetrical decentralization).

Dalam tulisannya berjudul “Pilkada yang Tersandera” (Kompas, 16/7/10), peneliti LIPI, Syarif Hidayat, secara tidak langsung juga mengamati terjadinya anakronisme kebijakan dalam konteks pemilihan umum kepala daerah. Menurutnya, pilkada sangat penting dalam mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal dan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, saat ini pilkada sedang tersandera oleh anasir pragmatisme politik elit, sehinga kurang mampu mencapai tujuan yang dikehendaki. Langkah pembenahan kedepan bukanlah “menganiaya” atau bahkan “membunuh” pilkada, melainkan membebaskan pilkada dari “sandera” yang mengurungnya.

Berbagai kasus diatas mengilustrasikan bahwa disadari atau tidak, ternyata banyak kebijakan publik di sekitar kita yang tidak sesuai dengan semangat awal atau filosofi dasar pada saat kebijakan tersebut dirumuskan. Pertanyaannya kemudian adalah, mengana anakronisme tadi dengan mudah menjangkiti kebijakan publik di Indonesia, dan apa faktor-faktor yang mempengaruhinya?

Salah satu jawaban yang paling mungkin adalah adanya pragmatisme dalam proses perumusan kebijakan, yakni kecenderungan mencari cara instant terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji efektivitas dari pilihan-pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, anakronisme dalam kebijakan publik juga dipicu oleh kurang mentradisinya atau kurang dihargainya policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making. Akibatnya, kebijakan yang ada memiliki kemungkinan gagal (implementation failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak berimbang.

Kebijakan yang melenceng dari semangat awal serta menghasilkan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu secara tidak seimbang ini sering dikenal dengan istilah kebijakan simbolis (symbolic policy). Christina Andrews dan Michiel de Vries dalam papernya berjudul Between symbolic and evidence-based policies: The Brazilian efforts to increase the quality of basic education (2010) memberi ilustrasi yang sangat gamblang tentang symbolic policy yang terjadi di Brazil.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dasarnya, pemerintah Brazil memberlakukan kebijakan semua guru harus memiliki kualifikasi minimal sarjana. Namun seiring dengan gelombang desentralisasi yang terjadi di negara tersebut, para guru yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi cenderung pindah ke daerah yang memberikan tunjangan atau insentif lebih besar kepada guru. Akibatnya, investasi pemerintah untuk menyekolahkan para guru membawa manfaat secara tidak seimbang bagi daerah maupun bagi masyarakat umum pengguna jasa layanan pendidikan dasar. De Vries juga memberi perbandingan dengan Mongolia yang memiliki kemampuan anggaran jauh lebih kecil dibanding Brazil, dan dengan kondisi geografis yang sangat luas dan berat, namun ternyata kinerjanya jauh lebih baik dalam hal tingkat melek huruf (literacy), tingkat partisipasi sekolah (years of schooling), serta indikator-indikator pendidikan dasar lainnya.

Ironisnya, Indonesia-pun mengalami situasi seperti yang terjadi di Brazil. Selain kasus pendidikan dasar, kasus pemberian berbagai macam subsidi juga mencerminkan merebaknya anakronisme atau symbolic policy tadi. Subsidi yang semestinya lebih banyak dinikmati oleh penduduk miskin (the poors), kenyataannya lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya (the haves). Kelompok kaya yang memiliki aset seperti pabrik, mobil, atau mesin-mesin, jelas memanfaatkan subsidi jauh lebih besar dibanding kelompok yang tidak memilikinya.

Mencermati fenomena diatas, maka jelas diperlukan adanya sebuah perombakan yang cukup mendasar dalam sistem formulasi kebijakan publik di masa-masa mendatang. Anakronisme maupun symbolic policy harus dihindari semampu mungkin. Maka, adanya kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian (research-based policy), atau kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based policy), sangat perlu untuk dibudayakan. Dengan research-based policy, sebuah kebijakan hanya layak deimplementasikan apabila telah mengalami telaah akademis melalui kajian yang komprehensif dan teruji. Dengan evidence-based policy, sebuah kebijakan akan dibuat dan dilaksanakan apabila fakta-fakta obyektif memang menuntut untuk itu. Dengan kata lain, kedua hal ini diharapkan dapat menghindari jebakan kebijakan berupa lahirnya anakronisme dalam kebijakan publik ataupun symbolic policy. © Tri Widodo WU

Tidak ada komentar: