SEMENJAK lahir hingga
matinya, seorang warga negara selalu dan terus berurusan dengan negara melalui
seperangkat tata nilai dan pedoman perilaku yang disebut kebijakan publik (public policy). Pengertian dan ruang
lingkup kebijakan publik sendiri sangat luas, meliputi segala sesuatu yang
dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pemerintah (whatever the governments choose to do or
not to do).
Sedangkan output dari kebijakan adalah serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi sekaligus mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan. Singkatnya, kebijakan publik adalah sebuah instrumen yang
dimiliki oleh negara untuk menjalankan fungsinya memberikan pelayanan dan
meningkatkan kesejahteraan warga negara.
Oleh karena kebijakan
merupakan instrumen untuk melayani dan membangun kesejahteraan publik, maka
harus dijamin bahwa kebijakan tadi benar-benar dibuat melalui proses dan
analisis yang cermat serta dengan menetapkan target atau tujuan-tujuan yang
rasional dan sesuai kebutuhan masyarakat. Kegagalan dalam mengidentifikasikan
tujuan kebijakan serta proses formulasi yang tepat, akan berdampak pada
kegagalan implementasi kebijakan itu sendiri.
Salah satu bentuk kegagalan
kebijakan (policy failure) adalah
terjadinya anakronisme kebijakan. Anakronisme sendiri adalah sebuah gaya bahasa pertentangan,
atau menggambarkan sebuah paradoks dan anomali. Anakronisme
juga merujuk pada istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan adanya
kesalahan logika dalam memahami suatu fenomena atau peristiwa, atau berpikir
tidak sesuai dengan zaman ketika sebuah fenomena
atau peristiwa terjadi. Dengan kata lain,
anakronisme, seperti diperkenalkan oleh Mohammed Arkoun dan Mohammad Abed Al
Jabiri, adalah pembacaan atas sebuah pemikiran dengan tafsiran-tafsiran yang
berasal dari luar konteks historisitasnya (Ahmad Baso, 1999).
Salah satu wujud anakronisme dalam kebijakan publik adalah fakta adanya kesenjangan
ekonomi regional dan keterbelakangan daerah yang dijawab dengan pemekaran
wilayah. Kebijakan pemekaran wilayah dipandang sebagai obat mujarab terhadap
disparitas pembangunan, dan hingga saat ini terbukti salah. Pemekaran wilayah
secara esensial bukanlah issu ekonomi pembangunan atau ekonomi spasial,
melainkan issu administrasi pemerintahan. Artinya, tujuan pemekaran akan lebih
cocok untuk mengatasi problem rentang kendali (span of control) pemerintahan dan kecepatan pelayanan publik
disbanding menyelesaikan soal kesenjangan tadi. Seorang petinggi Kementerian
Dalam Negeri, Dr. Made Suwandi, bahkan pernah mengatakan bahwa menjawab
kesenjangan dengan pemekaran wilayah sama artinya dengan sakit kepala diobati
dengan obat sakit perut.
Setelah satu dekade
pemekaran berjalan, terbukti bahwa 80 persen daerah otonom baru (DOB) divonis
gagal. Sayangnya, indikasi kegagalan DOB tidak dijawab dengan upaya
pengembangan kapasitas atau mengatasi aspek-aspek yang dianggap gagal, justru
dijawab dengan moratorium (penghentian sementara). Akibatnya, terjadi lagi
anakronisme kebijakan. Moratorium pemekaran, selain tidak ada landasar yuridis
yang eksplisit, juga berpotensi menutup hak-hak daerah yang benar-benar sudah
cukup mampu secara ekonomis maupun administratif, untuk dikembangkan menjadi
DOB. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih tepat untuk menyikapi kegagalan DOB
bukanlah moratorium, namun seleksi yang lebih ketat terhadap nafsu pemekaran
yang melanda para politisi lokal. Menghentikan – meskipun sementara – hak yang
tertuang dalam konstitusi, adalah sebuah langkah yang inkonstitusional.
Kasus otonomi khusus yang
dimiliki Aceh dan Papua juga bisa diamati sebagai sumber anakronisme kebijakan.
Penerbitan UU
No. 21/1999 untuk Papua serta UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006 untuk Aceh
adalah jawaban pemerintah pusat untuk mengatasi potensi disintegrasi dan
problem ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan. Kelemahan dan kekurangan
dalam implementasi otsus bagi kedua daerah tersebut, akan menjadi anakronisme
jika dijawab dengan meninjau ulang kebijakan otonomi khusus. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa otsus adalah refleksi
dari komitmen pusat. Jika ternyata hasilnya belum sesuai harapan, maka bukan
otsusnya yang perlu digugat, tetapi komitmennya yang perlu diperkuat. Bahkan
jika memungkinkan, penguatan komitmen ini dapat diperluas untuk daerah-daerah
lain dengan mendesain otsus-otsus baru yang benar-benar membumi dan tidak
seragam (asymmetrical decentralization).
Dalam tulisannya berjudul “Pilkada yang Tersandera” (Kompas, 16/7/10), peneliti LIPI, Syarif
Hidayat, secara tidak langsung juga mengamati terjadinya anakronisme kebijakan
dalam konteks pemilihan umum kepala daerah. Menurutnya, pilkada sangat penting
dalam mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal dan untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Namun, saat ini pilkada sedang tersandera oleh anasir
pragmatisme politik elit, sehinga kurang mampu mencapai tujuan yang
dikehendaki. Langkah pembenahan kedepan bukanlah “menganiaya” atau bahkan
“membunuh” pilkada, melainkan membebaskan pilkada dari “sandera” yang
mengurungnya.
Berbagai kasus diatas mengilustrasikan bahwa disadari atau tidak,
ternyata banyak kebijakan publik di sekitar kita yang tidak sesuai dengan
semangat awal atau filosofi dasar pada saat kebijakan tersebut dirumuskan.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengana anakronisme tadi dengan mudah
menjangkiti kebijakan publik di Indonesia, dan apa faktor-faktor yang
mempengaruhinya?
Salah satu jawaban yang paling mungkin adalah adanya pragmatisme dalam
proses perumusan kebijakan, yakni kecenderungan mencari cara instant terhadap
permasalahan yang timbul, tanpa dikaji efektivitas dari pilihan-pilihan
kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas keberhasilan suatu
kebijakan. Selain itu, anakronisme dalam kebijakan publik juga dipicu oleh
kurang mentradisinya atau kurang dihargainya policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making. Akibatnya, kebijakan yang
ada memiliki kemungkinan gagal (implementation
failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu
secara tidak berimbang.
Kebijakan yang melenceng dari semangat awal serta menghasilkan keuntungan
kepada pihak-pihak tertentu secara tidak seimbang ini sering dikenal dengan
istilah kebijakan simbolis (symbolic
policy). Christina Andrews dan Michiel de Vries dalam
papernya berjudul Between symbolic
and evidence-based policies: The Brazilian efforts to increase the quality of
basic education (2010) memberi ilustrasi yang sangat gamblang tentang symbolic
policy yang terjadi di Brazil.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dasarnya, pemerintah Brazil
memberlakukan kebijakan semua guru harus memiliki kualifikasi minimal sarjana.
Namun seiring dengan gelombang desentralisasi yang terjadi di negara tersebut,
para guru yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi cenderung pindah ke
daerah yang memberikan tunjangan atau insentif lebih besar kepada guru.
Akibatnya, investasi pemerintah untuk menyekolahkan para guru membawa manfaat
secara tidak seimbang bagi daerah maupun bagi masyarakat umum pengguna jasa
layanan pendidikan dasar. De Vries juga memberi perbandingan dengan Mongolia
yang memiliki kemampuan anggaran jauh lebih kecil dibanding Brazil, dan dengan
kondisi geografis yang sangat luas dan berat, namun ternyata kinerjanya jauh
lebih baik dalam hal tingkat melek huruf (literacy),
tingkat partisipasi sekolah (years of
schooling), serta indikator-indikator pendidikan dasar lainnya.
Ironisnya, Indonesia-pun mengalami situasi seperti yang terjadi di
Brazil. Selain kasus pendidikan dasar, kasus pemberian berbagai macam subsidi
juga mencerminkan merebaknya anakronisme atau symbolic policy tadi. Subsidi yang semestinya lebih banyak
dinikmati oleh penduduk miskin (the poors),
kenyataannya lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya (the haves). Kelompok kaya yang memiliki aset seperti pabrik, mobil,
atau mesin-mesin, jelas memanfaatkan subsidi jauh lebih besar dibanding
kelompok yang tidak memilikinya.
Mencermati fenomena diatas, maka jelas diperlukan adanya sebuah
perombakan yang cukup mendasar dalam sistem formulasi kebijakan publik di
masa-masa mendatang. Anakronisme maupun symbolic
policy harus dihindari semampu mungkin. Maka, adanya kebijakan yang
didasarkan pada hasil kajian (research-based
policy), atau kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti
nyata (evidence-based policy), sangat perlu untuk dibudayakan. Dengan research-based policy, sebuah kebijakan
hanya layak deimplementasikan apabila telah mengalami telaah akademis melalui
kajian yang komprehensif dan teruji. Dengan evidence-based
policy, sebuah kebijakan akan dibuat dan dilaksanakan apabila fakta-fakta
obyektif memang menuntut untuk itu. Dengan kata lain, kedua hal ini diharapkan
dapat menghindari jebakan kebijakan berupa lahirnya anakronisme dalam kebijakan
publik ataupun symbolic policy. © Tri Widodo WU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar