Senin, 01 November 2010

Menyimak Kembali Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945


Pengantar

Tumbangnya Orde Baru yang disusul dengan amandemen UUD 1945, menandai perubahan yang radikal dari sistem ketatanegaraan yang sentralistik otoritarian menjadi rezim yang demokratis dan egalitarian. Perubahan bandul pada tataran supra-struktur politik ini pada gilirannya mendorong terjadinya perubahan pada tataran infra-struktur politik, yakni perubahan pola manajemen pemerintahan daerah dari pendekatan top-down yang berorientasi efisiensi, menjadi pendekatan bottom-up yang lebih mementingkan terjadinya proses pemberdayaan segenap potensi bangsa. Dengan demikian, tidaklah berlebihan untuk menyatakan bahwa lahirnya orde reformasi merupakan koreksi total terhadap praktek penyimpangan konstitusional pada era sebelumnya.

Salah satu kelemahan fundamental dalam sistem politik Orde Baru adalah kecenderungan adanya dominasi dan konsentrasi kekuasaan pada salah satu cabang penyelenggara pemerintahan tertentu, yakni pada lembaga eksekutif. Bahkan dalam Penjelasan UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan bahwa “Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President)”. Ketentuan inilah yang sering dipahami sebagai prinsip executive heavy dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, yang sedikit banyak bertentangan dengan paham pembagian dan/atau pemisahan kekuasaan (distribution of powers, separation of powers).

Ketentuan dalam Konstitusi yang “berpihak” pada satu cabang kekuasaan tertentu seperti diatas, dapat kita kategorikan sebagai kelemahan dalam dimensi instrumentasi. Pada tataran Undang-Undang, kelemahan instrumentasi juga cukup menonjol, seperti yang tertuang dalam Bab III Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini menegaskan: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. Nampaklah bahwa Undang-Undang ini memperkuat paham executive heavy yang dianut dalam UUD 1945.

Selain kelemahan instrumentasi, praktek ketatanegaraan kita pada masa Orde Baru juga mengalami kelemahan dalam dimensi implementasi. Kelemahan implementasi ini misalnya berupa terus membesarnya kekuasaan Presiden dan cenderung kurang diimbangi dengan sistem kontrol dari kekuasaan lainnya. Akibatnya, Presiden dengan mudah dapat menerbitkan produk hukum berupa Keputusan (beschikking) baik yang bersifat menetapkan (declaratory) maupun mengatur (regulatory). Hasil kajian MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) mungkin sangat gamblang mendeskripsikan adanya kelemahan mendasar dalam tata hubungan antar poros kekuasaan negara.[1]

Mengingat cukup maraknya penyimpangan atau kelemahan konstitusional pada era Orde Baru, maka wajarlah jika gerakan reformasi 1998 mengusung agenda strategis berupa amandemen UUD 1945, dimana salah satu poin terpentingnya yakni mewujudkan pola hubungan yang lebih egaliter dan produktif diantara poros-poros kekuasaan Negara, termasuk pembentukan lembaga-lembaga barui negara seperti DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan MK (Mahkamah Konstitusi). Kesemuanya tadi tidak lain adalah upaya membangun sistem check and balances yang lebih baik berdasar prinsip saling percaya (trust) dan saling menghormati (reciprocal honor).


Esensi Checks and Balances

Checks and Balances pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu pada Abad Pertengahan atau yang sering dikenal dengan abad pencerahan (enlightenment atau aufklarung). Gagasan ini lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan (separation of power), dan pertama kali diadopsi kedalam konstitusi negara oleh Amerika Serikat (US Constitution 1789).

Berdasarkan ide ini, suatu negara dikatakan memiliki sistem checks n balances yang efektif jika tidak ada satupun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat dipengaruhi oleh cabang lainnya (A government is said to have an effective system of checks and balances if no one branch of government holds total power, and can be overridden by another).

Secara etimologis, checks and balances memiliki dua suku kata, yakni checks dan balances. Komponen pertama mengandung arti adanya hak untuk ikut memeriksa / menilai / mengawasi / mencari informasi dan konfirmasi terhadap suatu keadaan (the right to check); sedangkan komponen kedua merujuk pada alat untuk mencari keseimbangan (the means to actively balance out imbalances). Instrumen ini dinilai sangat penting mengingat secara alamiah manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung menyalahgunakan, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).

Secara tersirat dapat ditangkap bahwa esensi pokok dari prinsip checks and balances ini adalah menjamin adanya kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan negara sekaligus menghindari terjadinya interaksi atau campur tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Dengan kata lain, inti gagasan demokrasi konstitusional adalah menciptakan keseimbangan dalam interaksi sosial politik. Namun, upaya menciptakan keseimbangan tersebut tidak dilakukan dengan melemahkan fungsi, mengurangi independensi, atau atau mengkooptasi kewenangan lembaga lain yang justru akan mengganggu kinerja lembaga yang bersangkutan.

Dengan demikian, checks and balances sesungguhnya bukanlah tujuan dari penyelenggaraan entitas politik bernama negara (nation-state). Konsep ini lebih merupakan elemen pemerintahan demokratis untuk mewujudkan cita-cita besar membangun sosok pemerintahan yang demokratis (democratic and egalitarian), bersih dan kuat (good and strong), serta mendorong perwujudan good society, melalui penyempurnaan tata hubungan kerja yang sejajar dan harmonis diantara pilar-pilar kekuasaan dalam negara.

Dalam rangka mewujudkan tujuan besar tersebut, maka penerapan checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan harus memperhatikan prinsip non-dichotomy (tidak berpikir dualistis atau memisahkan secara tegas fungsi pilar-pilar kekuasaan); mendorong terbentuknya team-building (semangat korps atau jiwa korsa); serta systemic and comprehensive (mencakup semua aspek dan seluruh pihak / stakeholders).

Hakikat dari prinsip checks and balances diatas adalah bahwa semestinya tidak ada lagi sekat-sekat psikologis, kultural maupun struktural yang memisahkan kekuasaan Legislatif – Eksekutif – Yudikatif, atau cabang kekuasaan lainnya. Diantara poros-poros kekuasaan tadi, terdapat saling keterhubungan (interconnectedness), saling ketergantungan (interdependence), dan irisan (intercourse) yang erat satu sama lain.

Walaupun implementasi checks and balances menjanjikan manfaat yang luar biasa besar, namun hal tersebut tidak muncul dengan tiba-tiba. Dalam hal ini, ada beberapa prasayarat atau prakondisi yang memungkinkan berkembangnya checks and balances tadi secara optimal. Adapun prasyarat yang dibutuhkan paling tidak meliputi empat aspek sebagai berikut:

·         Proses demokratisasi dari tingkat pusat hingga ke daerah tidak terputus. Artinya, kesadaran untuk secara terus menerus melakukan perbaikan baik dari kalangan politisi, birokrat maupun masyarakat luas, perlu dibina secara berkelanjutan pada berbagai jenjangnya.
·         Adanya pemahaman konsep politik kenegaraan dan kepemerintahan yang bulat dari segenap pelaku atau penyelenggara negara. Pada saat yang sama, dibutuhkan pula adanya kedewasaan politik para anggota DPRD serta kalangan birokrasi dan penegak hukum, bahkan juga kalangan masyarakat pada umumnya.
·         Adanya pemahaman fungsi dan peranan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seimbang (asymmetric information) serta tata hubungan kerja dinamis dan produktif diantara poros-poros kekuasaan tersebut. Adanya kecurigaan atau kekurangpercayaan antar aparat pemegang kekuasaan menunjukkan adanya ketimpangan dalam pola komunikasi antar pemegang kekuasaan tersebut.
·         Adanya kesadaran penuh untuk memangku hak dan kewajiban masing-masing secara terbuka dan bertanggungjawab untuk mewujudkan cita-cita tertinggi pembentukan negara, yakni mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.


Perubahan Paradigma Konstitusionalisme di Indonesia Pasca Amandemen

Diatas telah disinggung bahwa sistem checks and balances selama periode Orde Baru berjalan kurang seimbang, sehingga interaksi antar poros kekuasaan negara menjadi tidak lancar. Itulah sebabnya, amandemen UUD 1945 dilakukan untuk menciptakan tata hubungan yang lebih harmonis dan fair. Dengan kata lain, paradigma konstitusionalisme di Indonesia sudah bergeser seiring dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 (amandemen pertama) hingga tahun 2002 (amandemen keempat).

Beberapa paradigma konstitusionalisme baru yang diusung oleh UUD 1945 pasca amandemen adalah sebagai berikut:

1.      UUD 1945 lebih memperkuat paradigma yang sudah ada, dengan diberi sifat normatif. Misalnya, pengaturan tentang pelaksanaan asas kedaulatan rakyat tidak lagi menyangkut lembaga pelaksananya, namun fondasi normatifnya, yakni harus dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2). Demikian juga soal asas negara hukum, dalam Batang Tubuh dinyatakan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat 3).
2.      UUD 1945 juga memberi jaminan tentang kelangsungan dasar negara, bentuk negara dan sistem pemerintahan. Dalam hubungan ini, Dasar Negara Pancasila tetap dipertahankan dan diperkuat dalam Pembukaan UUD 1945. Bentuk Negara Kesatuan dan Bentuk Pemerintahan Republik juga dimantapkan dalam Pasal 1 ayat (1). Selain itu, meskipun tidak secara eksplisit, namun corak dari Sistem Pemerintahan Presidensiil juga sangat dominan, seperti bisa disimak dari Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, dan Pasal 7.
3.      UUD 1945 meniadakan ketentuan yang diskriminatif dan menegaskan pentingnya prinsip persamaan antar warga negara. Sebagai contoh, Pasal 6 ayat (1) yang mengatur tentang Calon Presiden dan Wakil Presiden, tidak harus berasal dari etnis pribumi (WNI asli), namun terbuka kemungkinan bagi WNI keturunan sepanjang memenuhi ketentuan Undang-Undang.
4.      UUD 1945 memberi pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang semakin nyata dan jauh lebih luas. Rincian HAM yang diatur meliputi hak untuk hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A); hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, selain hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28A). Disamping itu, UUD 1945 juga melindungi hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat (Pasal 28C). Selanjutnya, Pasal 28D mengatur tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; serta hak atas status kewarganegaraan. Secara lebih lengkap, hak-hak asasi manusia diatur dalam pasal 28 hingga huruf J.
5.      UUD 1945 menegaskan kembali hubungan antar lembaga-lembaga negara dengan meniadakan disfungsionalisasi lembaga. Amandemen telah menghapus lembaga DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang dinilai tidak efektif disatu pihak, dan memunculkan lembaga-lembaga baru sesuai kebutuhan kontemporer, misalnya DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan MK (Mahkamah Konstitusi). Selain itu, diatur pula tentang perubahan tugas dan fungsi lembaga negara tertentu, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 3). Dalam hal ini, MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN atau berkedudukan sebagai mandan (yang memberikan mandat kepada) Presiden.
6.      UUD 1945 memperkokoh hubungan Pusat – Daerah melalui pemberian otonomi daerah yang lebih luas dalam kerangka NKRI (Pasal 18). Pada saat yang sama, UUD 1945 juga memberikan legalitas bagi Kepala Daerah untuk dipilih secara demokratis, yang melahirkan adanya Pemilu langsung bagi Gubernur / Bupati / Walikota dan wakilnya.
7.      UUD 1945 juga menjamin adanya keragaman daerah, serta mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa (Pasal 18). UUD 1945 juga memberi penguatan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-hak Tradisional, sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI (Pasal 18B ayat 2).
8.      UUD 1945 lebih menegaskan kembali paham konstitusionalisme melalui pengaturan prinsip checks and balances. Hal ini bisa di simak dari pasal-pasal 7, 13, 14, 20, 22, 23, dan 24 (lihat uraian dibawah).


Checks and Balances di Indonesia dan Amerika Serikat

Sebagaimana telah disinggung diatas, konsep checks and balances memungkinkan suatu cabang kekuasaan negara tertentu untuk menjalankan fungsi (meskipun minimal) pada cabang kekuasaan negara lainnya. Di Indonesia, konsepsi dan implementasi checks and balances jauh lebih mudah ditemukan pada UUD 1945 hasil amandemen. Beberapa pasal yang menggambarkan adanya prinsip checks and balances dalam UUD 1945 (pasca amandemen) adalah sebagai berikut:

a.      Pasal 7A: Presiden/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR.
b.      Pasal 7B: Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR dalam 90 hari. Jika dikabulkan, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. Selanjutnya, MPR menyelenggarakan sidang dalam 30 hari setelah menerima usul DPR.
c.       Pasal 7C: Presiden tidak dapat membekukan / membubarkan DPR.
d.      Dengan persetujuan DPR, Presiden dapat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian internasional (Pasal 11), serta dapat menetapkan Perpu (Pasal 22).
e.      Pasal 23E: Hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.
f.        Pasal 24A: Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
g.       Dengan pertimbangan DPR, Presiden dapat mengangkat Duta dan Konsul (Pasal 13), serta dapat memberikan Amnesti dan Abolisi (Pasal 14).
h.      Dengan pertimbangan MA, Presiden dapat mengangkat Grasi dan Rehabilitasi (Pasal 14).
i.         Pasal 20: Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
j.         Pasal 20A: DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Hak DPR lainnya: hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hal menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
k.      Pasal 22D: DPD ikut membahas dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan / pemekaran / penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, prinsip check and balances juga terjadi di berbagai negara, termasuk AS (lihat Tabel 1). Sebagai contoh, kekuasaan eksekutif memiliki wewenang untuk turut mengontrol, atau mempengaruhi kekuasaan legislatif dalam hal-hal antara lain: 1) wewenang untuk mem-veto undang-undang; 2) wewenang untuk menolak pelaksanaan undang-undang tertentu; 3) wewenang untuk menolak penggunaan anggaran untuk kegiatan tertentu; 4) wewenang sepihak untuk membiayai perang; tanggungjawab untuk membuat pernyataan tertentu, misalnya keadaan darurat; dan sebagainya. Sebaliknya, kekuasaan eksekutif juga berwenang membuat keputusan di ranah eksekutif, misalnya: 1) wewenang untuk menentukan peraturan yang berlaku atau akan diberlakukan; 2) wewenang membuat aturan untuk membatasi upaya penyidikan, penangkapan, dan penahanan; 3) wewenang untuk meratifikasi traktat atau perjanjian internasional; 4) wewenang menetapkan anggaran bagi eksekutif; 5) wewenang untuk memakzulkan atau mengganti pimpinan eksekutif (dengan dukungan dua per tiga anggota), dan lain-lain.

Sementara itu, kekuasaan eksekutif juga dapat memainkan peran sebagai penyeimbang terhadap kekuasaan yudikatif, misalnya wewenang untuk menunjuk hakim agung dan memberi pengampunan (grasi/amnesti/abolisi). Sedangkan wewenang yudikatif terhadap kekuasaan eksekutif antara lain mencakup: 1) wewenang menyatakan tindakan tertentu dari pemerintah sebagai tindakan yang cacat atau salah; 2) wewenang untuk menentukan aturan mana yang tepat dan harus dipergunakan sebagai rujukan atau dasar hukum.

”Persinggungan” wewenang antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif pun juga diatur dengan tegas. Dalam hal ini, wewenang kekuasaan yudikatif di ranah legislatif misalnya wewenang menyatakan undang-undang tidak sah dan menyimpang dari konstitusi, atau wewenang untuk menentukan aturan mana yang tepat dan harus dipergunakan sebagai rujukan atau dasar hukum. Sedangkan wewenang kekuasaan eksekutif terhadap fungsi yudikatif antara lain: 1) wewenang untuk melakukan amandemen konstitusi (dengan dukungan 2/3 suara di parlemen dan dukungan 3/4 negara bagian); 2) wewenang untuk menentukan struktur dan besaran pengadilan (termasuk Mahkamah Agung); 3) wewenang untuk mengalokasikan anggaran bagi kepentingan peradilan; 4) wewenang untuk memilih kandidat hakim; 5) wewenang memakzulkan dan mengganti hakim; serta 6) wewenang untuk menentukan batas-batas kompetensi teritorial peradilan.


Penutup


Penyempurnaan tata hubungan kerja antara eksekutif dengan legislatif dan internalisasi prinsp checks and balances, sesungguhnya hanyalah usaha kecil untuk mewujudkan cita-cita besar membangun sosok pemerintahan daerah yang demokratis (egalitarian local governance), bersih dan kuat (good and strong local governance), serta mendorong perwujudan good society. Dengan kata lain, sistem checks and balances bukanlah tujuan dari proses penyelenggaraan negara, melainkan sebuah instrumen atau mekanisme agar negara dan lembaga-lembaga negara dapat menjalankan tugasnya dengan optimal dalam melayani masyarakat.


Daftar Referensi

Mahkamah Konstitusi RI dan Konrad Adenauer Stiftung, 2005, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hasil Penelitian, Jakarta.
Nasution, Adnan Buyung, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Nasution, Mirza, 2004, Negara dan Konstitusi, makalah, Medan: FH-USU
MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), tanpa tahun, Keputusan Presiden yang Menyimpang Periode 1993-1998.
Strong, CF., 2008, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Terjem. SPA Teamwork, Cet. II, Jakarta: Nusa Media.
Subekti, Valina Singka, 2008, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta: Rajawali Press.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali.
Utomo, Tri Widodo W., Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara, dalam Jurnal Unisia, No. 55/XXVIII/I/2005, hal. 28-43, Yogyakarta: UII Press.
Wardani, Kunthi Dyah, 2007, Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, UII Press.
Jurnal KONSTITUSI, 2006, Vol. 3, No. 3, September, Jakarta: MK-RI.
Berbagai UUD/Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan terkait.


*)  Tulisan ini disusun untuk didedikasikan kepada Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Widyagama Mahakam, Samarinda.


[1]     Dalam salah satu hasil kajiannya, MTI menegaskan bahwa sekurang-kurangnya 79 Keputusan Presiden yang dikeluarkan antara tahun 1993 sampai dengan 1998, telah menyimpang baik secara legalitas, materi, maupun dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Lebih lanjut, Kepres-Kepres tersebut telah dijadikan alat legitimasi dalam penyalahgunaan kekuasaan, sehingga tindak penyelewengan terlindungi secara legal, dan berlangsung terus menerus dalam kurun waktu yang cukup lama. Apabila dicermati dalam pembuatan Kepres tersebut terdapat indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penggunaan kekuasaan yang berlebihan (excessive use of power).

Tidak ada komentar: