TIDAK dapat disangkal lagi bahwa desentralisasi
merupakan sebuah trend global yang sangat dipercaya mampu mengatasi berbagai
persoalan negara-negara modern. Di Indonesia sendiri, desentralisasi merupakan
perubahan radikal yang berjalan dalam satu paket dengan reformasi politik, yang
ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru di penghujung akhir abad 20. Oleh
karena desentralisasi dan reformasi politik merupakan suatu paket perubahan
dalam manajemen negara dan pemerintahan, wajarlah jika salah satu tuntutan
utama dari aksi reformasi adalah penerapan desentralisasi yang hakiki, bukan
desentralisasi yang sentralistis sebagaimana terjadi dimasa sebelumnya.
Setelah big
bang decentralization dibawa oleh UU No. 22/1999, nampaknya terjadi pelambatan
sejak diganti dengan UU No. 32/2004. Akibatnya, baru dalam hitungan dua atau
tiga tahun, tuntutan untuk melakukan revisi sudah cukup santer. Salah satu
aspirasi untuk melakukan revisi adalah bagaimana daerah diberikan lagi
kebebasan atau kemandirian yang lebih besar untuk mengurus rumah tangganya.
Dengan kata lain, desentralisasi yang ada saat ini masih dinilai besar kadar
sentralisasinya, sehingga perlu dikembangkan ide berupa desentralisasi yang
asimetris.
Namun bicara soal desentralisasi, pasti akan
selalu rumit. Dan karena kerumitan itulah maka pembicaraan soal desentralisasi
selalu menarik. Salah satu kerumitan dalam diskusi desentralisasi adalah adanya
variabel bentuk negara kesatuan (unitary
state). Pertanyaan klasiknya adalah: “Sejauhmana kewenangan (degree of freedom) yang dapat dimiliki
daerah otonom, dan sejauhmana pula pembatasan terhadap hak turut campur (degree of intervention) pemerintah pusat
terhadap daerah?”. Literatur manapun hingga saat ini belum ada yang berani
membuat kesimpulan terkait dengan proprosi ideal antara degree of freedom dengan degree
of intervention tersebut.
Pertanyaan yang menggelitik lainnya adalah:
”Logiskah sebuah negara berbentuk kesatuan memberikan desentralisasi kepada
daerah-daerah di wilayahnya secara tidak seragam (asymmetrical decentralization)? Bukankah hal tersebut sudah
mengarah pada bentuk negara federasi?”. Meskipun pertanyaan tersebut sangat
logis, namun filosofi desentralisasi sendiri justru ingin menghilangkan keseragaman
yang diciptakan oleh pusat, serta mengakui hak-hak tradisional masyarakat yang
memiliki karakteristik beranekaragam serta ke-khas-an sejarah, budaya,
etnologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan lokal lainnya.
Desentralisasi yang mengabaikan fakta obyektif berupa artitektur kekayaan dan
warisan budaya (social endowment),
atau yang berpikir bahwa masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara
yang sama, bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.
Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU
Nomor 32/2004, muncullah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan,
khususnya aktor-aktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa
agenda sentralisasi atau penyeragaman baru. Semangat keragaman menjadi menipis,
dan pengakuan terhadap karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin
menghilang. Atas berbagai kritik ini, berkembanglah wacana tentang
desentralisasi asimetris tadi.
Oleh sebab itu, gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai
bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan, namun justru
dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni
menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus
memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal. Pembangunan demokrasi lokal
memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan
mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar
belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan
mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi
politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang
berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari
terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah nasional. Itulah sebabnya,
baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini,
desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik
melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan
keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi kultural untuk merealisasikan
prinsip diversity in unity atau unity in diversity.
Konsep desentralisasi
asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan
oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46-48). Menurut Tillin,
terdapat dua jenis asymmetric federation,
yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk
pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi,
budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau
kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan
asimetri kedua merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai
tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran
yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada
daerah tertentu saja.
Jika di negara federal terdapat dua jenis federasi
asimetris, jenis-jenis atau bentuk-bentuk desentralisasi asimetris apa saja
yang dapat diperkenalkan untuk negara kesatuan, khususnya Indonesia? Dalam hal
ini, paling tidak ada tiga bentuk yang dapat dipertimbangkan dan/atau
dikembangkan lebih lanjut dalam
konteks revisi UU Pemerintahan Daerah.
Pertama,
desentralisasi asimetris yang dikemas dalam kerangka UU yang berlaku saat ini,
yakni UU Nomor 32/2004. Harus diakui
bahwa UU ini sebenarnya membuka peluang terjadinya desentralisasi asimetris,
meski hanya dilihat dari jenis atau bidang urusan pemerintahan saja. Konsep
urusan konkuren (urusan yang dilaksanakan bersama-sama), mestinya disikapi
setiap daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya
masing-masing, dan tidak perlu berpretensi bahwa seluruh bidang urusan harus
dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang tidak memiliki wilayah laut,
tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu
daerah yang bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika setiap daerah tidak
memiliki orientasi untuk membentuk kelembagaan secara maksimal, maka
desentralisasi asimetris berdasarkan jenis-jenis urusan akan terbangun dengan
sendirinya.
Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya
juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan
kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1)
otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk
provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh
Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta
sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi
dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka asymmetric decentralization telah terjadi.
Ketiga,
desentralisasi asimetris yang lebih bervariasi dibanding bentuk pertama dan
kedua diatas. Dalam bentuknya yang paling luas ini, desentralisasi asimetris
merupakan reaksi atau treatment individual
pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan kebutuhan nyata, potensi, dan akar
permasalahan yang ada di daerah tersebut. Bali, misalnya, selain memiliki
otonomi terbatas sebagai sebuah provinsi, perlu diberikan otonomi khusus dalam
bidang kebudayaan, pariwisata dan pengembangan kepercayaan (cq. Agama Hindu). Yogyakarta
juga dapat diberikan otonomi khusus dengan pertimbangan sejarah, kedudukan
pimpinan daerah, dan akar politik lama sebagai bekas negara yang berdaulat
(Kasultanan). Sementara Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dapat diberikan
otonomi khusus dalam pembangunan kawasan dan pengelolaan sumber daya alam
wilayah perbatasan. Pada saat yang sama, tujuh provinsi kepulauan (Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau) harus diberikan wewenang tambahan yang lebih luas di
bidang perhubungan laut dan udara, perikanan dan kelautan, serta konservasi
lingkungan hidup. Singkatnya, Pusat dapat memberikan model-model otonomi
berdasarkan identifikasi dan usulan spesifik dari setiap daerah.
Apakah pemberian desentralisasi asimetris tadi
akan mengancam keutuhan negara kesatuan (cq. NKRI)? Kekhawatiran ini nampaknya
terlalu berlebihan, mengingat negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang
menerapkan desentralisasi asimetris, seperti di Jepang, China, atau Perancis. Faktanya,
meskipun mereka menerapkan desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau
integritas negara kesatuan tidak tergoyahkan, dengan pengecualian ”kasus kecil”
berupa gerakan separatisme di Uighur, China.
Di Jepang, desentralisasi asimetris bisa
disaksikan dalam kebijakan Penetapan
suatu daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi)
atau kota dengan kasus istimewa (Tokurei-shi).
China juga memberikan perlakuan berbeda kepada daerah melalui penerapan konsep market decentralization. Berdasarkan
konsep ini, pemerintah China menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota
pantai (open
coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978 ditetapkan
empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen, Zhuhai,
Shantou dan Xiamen. Kebijakan ini dibarengi juga dengan pemberian otonomi yang
sangat luas kepada provinsi Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di
wilayahnya, misalnya diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi
bernilai lebih dari US $ 30 juta. Untuk lebih memperkuat market decentralization tadi, hingga 1984 telah ditetapkan 14 kota-kota pantai dan
beberapa kota di pedalaman (sepanjang daerah aliran sungai Yangtze dan
perbatasan dengan Russia) yang diberikan kewenangan luas serupa dengan kawasan
ekonomi khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam Basuki, 2006). Hal
serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada, wilayah Corse atau
Corsica merupakan region yang diberi otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh 21
Region lainnya. Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi geografis Corsica
yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar belakang sejarah
yang spesifik.
Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa desentralisasi
asimetris bukan hanya layak dikembangkan di negara federal. Konsep otonomi pada
negara kesatuan dan negara federal sesungguhnya tidak dapat dibedakan secara
mendasar, seperti dikatakan Work (2002: 11): ”There is no broad-based generalisation that can be made about the
correlation of federal/unitary states and decentralisation”. Fakta menunjukkan bahwa negara federal dapat bersifat
sangat sentralistis, seperti Malaysia ,
sebaliknya negara kesatuan seperti China justru memiliki derajat
desentralisasi (ekonomi) yang relatif tinggi.
Meskipun demikian, ada sebuah trend yang terjadi di
kedua bentuk negara, yakni pergerakan bandul sistem politik yang lebih mengarah
pada penguatan desentralisasi serta keseimbangan wewenang dan tanggungjawab
dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Hal ini berimplikasi pada
tuntutan untuk mengurangi campur tangan atau wewenang pusat, yang selama ini
dikemas dalam kerangka dekonsentrasi. Pergerakan bandul desentralisasi itu
sendiri memiliki kecepatan dan variasi yang berbeda di masing-masing negara,
yang mendorong terjadinya konstruksi desentralisasi secara asimetris.
Yang
pasti, desentralisasi bukanlah tujuan. Desentralisasi, apakah simetris atau
asimetris, hanyalah alat untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yakni
pemerintahan yang bersih dan efektif disatu sisi, serta masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera disisi lain. © Tri Widodo WU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar