Abstrak:
Semenjak
bergulirnya UU Nomor 22 tahun 1999, pertanyaan yang paling mendasar adalah,
mampukah Daerah melaksanakan kewenangan otonomnya secara mandiri, efektif dan
berhasil? Keraguan ini didasari oleh fakta bahwa selama masa berlakunya UU
Nomor 5 tahun 1974, kapasitas dan kinerja Pemerintah Daerah tidak begitu
menonjol. Segala sesuatu yang berhubungan dengan struktur keorganisasian dan
fungsi ketatalaksanaan lebih dikendalikan dari atas. Akibatnya, kemampuan yang
ditunjukkan selama ini dapat dikatakan kemampuan yang semu. Oleh karena itu,
untuk menjamin terselenggaranya desentralisasi secara utuh dan
berkesinambungan, perlu ditempuh program pengembangan kapasitas aparatur. Dan
kapasitas yang terpenting untuk dibangun pada tahap awal adalah kapasitas SDM.
Kapasitas SDM ini diharapkan akan menjadi trigger untuk meningkatkan kapasitas
bidang-bidang lainnya (keuangan, infrastruktur, dan sebagainya).
Pengantar
Adalah
kenyataan bahwa “penyeragaman” merupakan nafas desentralisasi model UU Nomor 5/1974.
Dalam aspek kelembagaan misalnya, nomenklatur, eselonisasi, departementasi,
serta tugas pokok dan fungsi pemerintahan daerah adalah sama. Sementara dalam
aspek ketatalaksanaan, kecil sekali dimungkinkan adanya keragaman dalam sistem
dan prosedur hubungan kerja / koordinasi, metode dan jenis-jenis pengawasan,
mekanisme perencanaan, dan sebagainya. Demikian juga halnya pada aspek
kepegawaian, adalah hal yang tidak lazim untuk menciptakan sistem dan substansi
diklat, pembinaan personil, maupun strategi peningkatan produktivitas kerja
secara khusus. Secara sistematis, pemerintah Pusat telah menetapkan kebijakan
dan berbagai perangkat peraturan pelaksanaannya yang menjadikan Daerah sebagai
“bayang-bayang” Pusat. Itulah sebabnya, Daerah selalu menunggu petunjuk dan
pedoman umum dan teknis dalam berbagai bidang, baik yang berbentuk PP, Keppres,
Kepmen/Permen, sampai Surat Edaran Dirjen. Kenyataan ini pulalah yang membentuk
kesimpulan umum bahwa pada masa lalu politik dekonsentrasi (yang pada
hakekatnya adalah sentralisasi semu) lebih dominan dibanding desentralisasi.
Begitu
bandul kewenangan berbalik kearah yang berlawanan, pemerintah daerah laksana
ayam yang baru dilepas dari induknya. Meskipun kewenangan secara luas serta sumber-sumber daya yang diperlukan telah
diserahkan, namun tetap saja menimbulkan kekhawatiran bahwa Pemerintah Daerah
tidak akan mampu mengelola kewenangan dan sumber daya baru tersebut. Kebiasaan
“dituntun dan dibimbing” dalam prakteknya tidak pernah mendewasakan aparat
daerah, justru sebaliknya menjadikan
mereka kehilangan orientasi ketika dihadapkan pada tuntutan untuk mandiri.
Dengan demikian, keraguan bahwa otonomi daerah dapat terlaksana dengan baik,
bukanlah sesuatu yang berlebihan.
Walaupun
demikian, keraguan tersebut dapat dibuktikan sebaliknya jika pemerintah daerah
memiliki kapasitas yang memadai untuk menjalankan seluruh kewenangan rumah
tangganya. Dalam hal ini, diperlukan dukungan yang optimal dari
aspek SDM, keuangan dan prasarana. Namun, diantara ketiga sumber daya
ini, faktor SDM jelas menjadi kunci dalam pengembangan kemampuan atau kapasita
Pemda secara menyeluruh. Sebab, SDM
aparatur yang unggul tidak saja menjadi prasyarat untuk dapat merumuskan dan
melaksanakan kebijakan secara baik, namun juga dapat mendorong tumbuhnya
kapasitas non manusia (keuangan,
prasarana) secara optimal. Oleh karena itulah tulisan ini mencoba memfokuskan
pentingnya pembangunan kapasitas SDM dalam era otonomi dewasa ini.
Otonomi Daerah dan Pengembangan
Kapasitas SDM
Keberadaan SDM yang tepat secara kuantitas maupun
kualitas, sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Sebagaimana dinyatakan oleh Joseph Riwukaho (1988), SDM merupakan salah satu
faktor penentu keberhasilan implementasi otonomi daerah. Dalam wacana tentang
desentralisasipun, SDM atau personalia merupakan faktor determinan yang harus
tersedia dan melekat dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan, selain faktor
pembiayaan dan prasarana (3P). Itulah sebabnya, UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 8
secara implisit juga menekankan pentingnya pemenuhan terhadap ketiga prasyarat
tersebut dengan menyatakan:
“Kewenangan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan
penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut”.
Pernyataan tersebut mengandung pemahaman bahwa tanpa
disertai dengan tiga hal diatas, kebijakan desentralisasi nampaknya akan
menemui hambatan – jika tidak dikatakan mengalami kegagalan. Oleh karena itu,
pembinaan dan pengembangan SDM untuk mewujudkan sosok aparatur yang
profesional, berpandangan komprehensif, bervisi modern, bermoral tinggi dan
berkomitmen kuat terhadap pelayanan umum, mutlak diperlukan.
Sayangnya, berbagai upaya pembangunan SDM (human development dan human investment) yang telah
dilaksanakan belum mampu menghasilkan sosok dan kinerja aparatur sebagaimana
yang diharapkan. Dengan kata lain, kapasitas atau kemampuan SDM di daerah
relatif masih rendah. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian LAN tentang Capacity Building (2000) yang
menyimpulkan adanya indikasi bahwa daerah masih lemah dalam mengembangkan
kapasitas yang dimilikinya. Bahkan dari sembilan aspek yang diteliti, SDM
merupakan aspek terlemah. Disisi lain, dalam menilai tingkat kesiapan aparatur
dalam era otonomi, meskipun mayoritas responden menyatakan “siap”, namun dari
berbagai fenomena yang ada dapat diindikasikan yang sebaliknya. Beberapa
fenomena yang diyakini akan menjadi penghambat dalam membangun kompetensi SDM
antara lain: kurangnya moralitas dan disiplin aparat, kurang meratanya
distribusi pegawai, rendahnya motivasi, inovasi dan kreativitas kerja, serta
belum adanya job description yang jelas.
Menghadapi fenomena seperti itu, gagasan Grindle (1997)
yang menempatkan pengembangan kapasitas SDM sebagai prioritas dalam program capacity building, perlu dipertimbangkan
oleh jajaran pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan aspek SDM, maka
pengertian capacity building disini
lebih diarahkan pada konsep yang dikembangkan Bank Dunia (1997) yaitu bahwa: “Capacity building refers to investment in
people, institutions, and practises that will, together, enable countries in
the region to achieve their development objectives”.
Pemahaman tentang kapasitas SDM dalam hal ini tidak
dibedakan dengan kompetensi. Artinya, SDM dengan kapasitas yang tinggi hanya
dapat diwujudkan jika mereka memiliki kompetensi yang prima. Sebaliknya,
keunggulan kompetensi akan menghasilkan profil kapasitas terbaik SDM. Adapun
konsep tentang kompetensi (competence)
tediri dari beberapa aspek sebagaimana dikemukakan Sedarmayanti (2001) yang
mengutip beberapa sumber sebagai berikut:
·
Competence encompasses
organization and planning of work, innovation and coping with non-routine
activities. It includes those qualities of personal effectiveness that are
required in the workplace to deal with co-workers, managers, ad customers (Training Agency, 1988)
·
Competence is an
ability and willingness to perform a task (Burgoyne, 1988)
·
Competence is
behavioral dimensions that affect job performance (Wood-ruffe, 1990)
·
Any individual
characteristic that can be measured or counted reliably and that can be shown
to differentiate significantly between effective and ineffective performance (Spencer, 1990)
·
The fundamental
abilities and capabilities needed to do the job well (Furnham, 1990)
·
Any personal trait,
characteristic or skill which can be shown to be directly linked to effective
or outstanding job performance (Murphy,
1993; Armstrong, 1989)
Walaupun
dukungan SDM yang memiliki kapasitas tinggi sangat krusial bagi suksesnya
program otonomi serta pembangunan di daerah, tidak berarti bahwa semakin banyak pegawai semakin tinggi
peluang meraih sukses. Sebab, jumlah pegawai yang terlalu banyak akan
berimplikasi paling tidak pada dua hal, yakni:
- Menjadikan
beban anggaran daerah semakin berat, sebab alokasi pembiayaan akan banyak
terserap untuk belanja pegawai.
- Excess of supply
pegawai selanjutnya berpeluang besar dalam menciptakan iklim kerja yang
kurang kondusif, seperti “pengangguran tidak kentara”, mengurangi spirit
kompetisi antar pegawai, ketidakseimbangan antara beban kerja dengan
tenaga kerja, dan sebagainya.
Berdasarkan
prinsip bahwa jumlah pegawai yang tepat akan menghasilkan kinerja otonomi yang
optimal tersebut, maka kebijakan yang berorientasi kepada penambahan SDM perlu
dipikirkan kembali.
Kriteria
Kemampuan SDM
Deskripsi
diatas menggambarkan bahwa proporsi yang tepat antara jumlah SDM dengan beban
kerja (kewenangan otonom) akan berimplikasi kepada keberhasilan meningkatkan
kinerja pemerintah daerah. Penambahan SDM bisa dipandang sebagai hal yang
positif sepanjang belum melebihi batas optimum. Sampai batas optimum ini,
kinerja otonomi daerah dapat didorong dengan strategi ekstensifikasi pegawai.
Namun pada titik tertentu, penambahan pegawai justru akan menyebabkan kinerja
otonomi menjadi menurun, dikarenakan alasan-alasan yang telah dikemukakan
diatas. Dengan kata lain, pada titik optimum ini akan berlaku the law of diminishing returns. Artinya,
penambahan faktor input pada suatu organisasi akan menimbulkan dampak yang
sebaliknya pada faktor outputnya.
Sebagai
ilustratif dalam dikatakan bahwa penambahan pegawai (sumbu x) sampai tingkatan tertentu
(ke-5 misalnya) akan menyebabkan kurva bergerak naik keatas atau slope upward hingga kordinat A (5, 5).
Dengan kata lain, proporsi yang tepat antara jumlah SDM dengan beban kerja
(kewenangan otonom) akan berimplikasi kepada keberhasilan meningkatkan kinerja
pemerintah daerah. Penambahan SDM bisa dipandang sebagai hal yang positif
sepanjang belum melebihi batas optimum. Namun setelah titik ini, penambahan
pegawai dari 5 menjadi 6 akan menyebabkan kurva turun ke koordinat B (6, 4).
Dalam
hal ini dapat dibuat perbandingan toal produktivitas antara A dan B, dimana :
Total Produktivitas = jumlah
pegawai x kinerja yang dicapai, maka:
Total Produktivitas A = 5 x 5
= 25
Total Produktivitas B = 6 x 4
= 24
Dari
proksimasi perhitungan diatas dapat disimak bahwa total produktivitas A lebih
baik dibanding B. Oleh karena itu, penambahan pegawai sebagai faktor input
justru akan menurunkan tingkat produktivitas. Dan jika penambahan tetap dilakukan, maka penurunan produktivitas
akan terus berlanjut. Dalam kasus ini, rekrutmen pegawai mutlak harus
dihentikan.
Jika jumlah pegawai sudah mencapai titik jenuh sementara
ekstensifikasi pegawai masih berjalan, maka akan terjadi apa yang disebut Parkinson Law atau birokratisasi parkinsonian, yakni suatu kondisi dimana birokrasi
pemerintah ‘berkembang biak’ tanpa terkendali sehingga menjadikan tubuh
birokrasi sangat gemuk yang dicirikan oleh rentang kendali (span of control) yang panjang, tumpang
tindih antara fungsi yang satu dengan yang lain (functional overlap) atau antara lembaga yang satu dengan lembaga
yang lain (institutional overlap),
prosedur kerja yang berbelit-belit, serta pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen
(perencanaan, pengawasan, koordinasi) yang cenderung sentralistis. Pada
gilirannya, birokratisasi parkinsonian
ini akan mendorong lahirnya birokratisasi
orwellian, yakni suatu sistem birokrasi yang memiliki kekuasaan sangat
besar (excessive power) sehingga
cenderung membatasi kebebasan, ruang gerak, kreativitas dan partisipasi publik.
Permasalahannya adalah, bagaimana menentukan titik
optimum atau proporsi yang ideal antara jumlah pegawai dalam rangka mendorong
kinerja otonomi daerah, sekaligus menghindari kemungkinan munculnya birokratisasi parkinsonian atau orwellian ? Dalam hal ini, banyaknya
pegawai dapat diprediksikan dari beberapa kriteria antara lain:
1.
Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Jumlah Penduduk
Jumlah
penduduk biasanya merupakan prasyarat yang sangat penting dalam menentukan
suatu kebijakan yang berkaitan dengan struktur kelembagaan, struktur
kepegawaian, atau struktur keuangan. Oleh karena itu, wajarlah jika kriteria
jumlah penduduk ini selalu dijadikan pembanding dalam mendesain pembentukan
suatu organisasi pemerintahan (misalnya Kabupaten / Kota / Kecamatan /
Kelurahan, Dinas, dll). Jumlah penduduk juga menjadi rujukan dalam upaya
penetapan eselonering suatu jabatan, rekrutmen pegawai, dan sebagainya.
Jumlah
penduduk merupakan kriteria yang mencerminkan beban kerja pelayanan yang harus
diberikan oleh aparat Pemda. Oleh karena itu, prinsip umum yang digunakan
adalah bahwa semakin semakin besar jumlah pegawai – yang berarti semakin kesil
rasio antara jumlah pegawai dengan jumlah penduduk, maka fungsi pelayanan akan
semakin baik. Dengan kata lain, semakin kecil rasio maka semakin besar
kemampuan SDM (catatan: hukum diminishing
returns tetap berlaku dalam kasus ini).
2.
Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Jumlah Jabatan
Struktural
Jabatan
struktural merupakan posisi yang membutuhkan kemampuan managerial pada level
tertentu. Asumsinya, seorang pejabat struktural memiliki kapasitas untuk
mengorganisasikan sumber-sumebr daya yang ada untuk mengoptimalisasi tugas dan
fungsinya. Dengan demikian, banyaknya jabatan struktural akan mencerminkan
secara relatif ketersediaan pegawai yang memiliki kapasitas kepemimpinan di
daerah.
Meskipun
demikian, prinsip umum bahwa semakin banyak pegawai (yang menduduki jabatan
struktural) semakin besar kapasitas SDM daerah, tidak berlaku. Sebab, jabatan
struktural yang terlalu banyak selain akan membebani anggaran, juga mempersulit
proses koordinasi maupun pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Ini
berarti bahwa hukum diminishing returns
juga berlaku untuk kasus ini.
3.
Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Jumlah Jabatan Fungsional.
Jabatan
fungsional merupakan posisi yang membutuhkan keahlian dan atau keterampilan
tertentu pada bidang tertentu. Dengan demikian terdapat asumsi bahwa semakin
banyak pejabat fungsional berarti semakin banyak pegawai yang memiliki keahlian
dan keterampilan khusus dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Ini
berarti pula bahwa banyaknya jabatan fungsional akan mencerminkan secara
relatif kapasitas di daerah. Namun perlu diingat kembali tentang kemungkinan
munculnya kendala anggaran jika jenis jabatan ini terus dikembangkan.
4.
Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Tingkat Pendidikan
Pegawai.
Tingkat
pendidikan formal pegawai pada umumnya dapat digunakan sebagai indikator untuk
mengukur kualitas SDM pada suatu organisasi. Dalam hubungan ini, jenjang pendidikan
SD hingga SLTA sering dianalogikan dengan SDM dengan kemampuan rendah,
sedangkan jenjang S1 keatas diinterpretasikan sebagai SDM dengan kapasitas
tinggi dan kompetitif.
Diterapkan
pada kasus di daerah, maka jika proporsi pegawai yang berpendidikan SD – SLTA
lebih besar dibanding S1 keatas, berarti kapasitas SDM di daerah tersebut
relatif rendah. Sebaliknya, kapasitas SDM dapat disebut baik atau tinggi jika
jumlah pegawai S1 keatas lebih banyak dibanding SLTA kebawah. Walaupun
demikian, tidak berarti bahwa Pemda perlu berusaha untuk meningkatkan taraf
pendidikan pegawai menjadi S1 keatas secara keseluruhan. Sebab, tugas-tugas
teknis sebagai penunjang terhadap tugas-tugas manajerial tetap dibutuhkan.
Dengan demikian, Pemda sendirilah yang perlu menetapkan struktur pendidikan
yang ideal atau proporsi terbaik antara jenjang pendidikan “teknis pelaksana”
dengan “managerial perencana”.
5.
Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Besaran Atau Luas
Kewenangan Daerah
Sejak UU
Nomor 22 tahun 1999 digulirkan, besaran atau luas kewenangan daerah meningkat
secara signifikan. Implikasinya, untuk dapat dapat menjalankan kewenangan
secara baik, dibutuhkan dukungan faktor-faktor penunjang, dalam hal ini SDM
yang memadai. Atas dasar hal tersebut, maka secara asumtif dapat dikatakan
bahwa makin besar kewenangan makin dibutuhkan keberadaan SDM yang lebih besar
pula. Atau, semakin kecil rasio antara pegawai dengan kewenangan berarti
semakin besar kapasitas SDM.
Hanya
saja, sampai saat ini sebagian besar daerah (Propinsi, Kabupaten, Kota) di
Indonesia belum memiliki rincian yang definitif tentang kewenangan daerah yang
bersangkutan. Oleh karena itu, perbandingan jumlah pegawai dengan besaran atau
luas kewenangan daerah belum dapat dilakukan dalam penelitian ini.
6.
Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Aset / Kekayaan Daerah
Sebagaimana
halnya butir 4 diatas, aset / kekayaan / sarpras merupakan salah satu faktor
yang mendukung otonomi daerah. Dalam hubungan ini, penguasaan aset / kekayaan
yang semakin besar membutuhkan SDM pengelola yang semakin besar. Untuk itu,
terdapat asumsi serupa bahwa semakin besar aset / kekayaan yang dimiliki, maka
dibutuhkan SDM yang semakin besar pula. Dengan kata lain, semakin kecil rasio
antara pegawai dengan besaran aset / kekayaan, berarti semakin besar kapasitas
SDM.
Sayangnya,
sampai saat ini sebagian besar daerah di Indonesia belum menyelesaikan
identifikasi aset / kekayaan, khususnya yang berasal dari proses pengalihan
dari instansi vertikal di daerah. Oleh karena itu, perbandingan jumlah pegawai
dengan besaran aset / kekayaan daerah juga belum dapat diprediksikan.
Satu hal yang perlu ditekankan disini adalah bahwa kelima
macam proporsi atau perbandingan diatas tidak ada standar ideal yang berlaku
secara universal. Untuk itu, daerah perlu mengevaluasi tingkat kinerja SDM yang
dimiliki, dibandingkan dengan faktor-faktor pembandingnya. Sebagai contoh, jika
terdapat fakta adanya pegawai yang tidak menggunakan waktu kerja secara
efektif, berarti telah terjadi fenomena pegawai yang berlebih (excessive labor). Atau, jika terdapat
tanda-tanda tumpang tindih atau duplikasi antara instansi yang satu dengan yang
lain, kemungkinan telah berkembang type organisasi yang hierarkis-birokratis
yang berorientasi struktural. Dengan kata lain, standar ideal perbandingan jumlah
SDM dengan faktor-faktor pembandingnya sesungguhnya tergantung kepada kondisi
obyektif dari suatu daerah tertentu.
Indikasi Data Empirik 6 Daerah
Untuk mengevaluasi keenam kriteria diatas, tulisan ini
akan mengambil simulasi 6 daerah terdiri dari 2 Propinsi (Jawa Timur dan
Jambi), 2 Kota (Surakarta dan bandung) serta 2 Kabupaten (Kutai Kertanegara dan
Serang). Namun mengingat bahwa hingga saat ini belum terdapat identifikasi
terhadap kriteria ke-5 dan ke-6, maka tulisan baru dapat mengindikasikan potensi
SDM di daerah berdasarkan empat faktor pembanding yaitu: jumlah penduduk,
jumlah jabatan struktural, jumlah jabatan fungsional, serta jenjang pendidikan
pegawai.
Dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap jumlah
penduduk, data yang ada menunjukkan bahwa pada level Kabupaten / Kota,
persentase terbesar ditemukan di Kutai Kertanegara dengan 1,62%, disusul Kota
Bandung (0,94%), Surakarta (0,49%) dan Serang (0,38%). Angka ini cukup wajar
mengingat jumlah penduduk di Kutai yang nota bene adalah daerah luar Jawa,
relatif lebih sedikit dibanding daerah di Pulau Jawa. Sedangkan dalam kasus
Kota Bandung, persentase yang cukup besar lebih menggambarkan jumlah pegawai
yang cukup besar. Sementara itu, pada level Propinsi, Jawa Timur hanya memiliki
pegawai 0,03% dari total penduduk, sedang proporsi pegawai Jambi terhadap
penduduk sebesar 0,22%. Hal ini, sekali lagi, mengindikaskan bahwa terdapat
perbandingan yang kurang seimbang antara kondisi di Jawa dengan di luar Jawa.
Selain itu, perlu dikemukakan disini bahwa analisis dan
interpretasi terhadap kondisi Propinsi dan Kabupaten / Kota perlu dibedakan
mengingat bahwa perhitungan penduduk Propinsi didasarkan pada total penduduk
Kabupaten / Kota di dalam Propinsi yang bersangkutan. Adapun data tentang rasio
jumlah pegawai dengan jumlah penduduk dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Selanjutnya dari rasio jumlah pegawai terhadap jumlah jabatan
struktural, pada level Propinsi menunjukkan gejala yang sebaliknya dari
rasio terhadap jumlah penduduk. Dalam hal ini, Jawa Timur ternyata memiliki
persentase yang lebih besar (19%) dari pada Jambi yang hanya 14%. Namun pada
level Kabupaten / Kota masih terdapat kesamaan, dimana Kutai masih merupakan
daerah otonom dengan persentase terbesar yakni 35%, diikuti oleh Surakarta (15%),
Serang (7%), dan Bandung (2%). Implikasi yang dapat diinterpretasikan dari dari
hal tersebut adalah bahwa persentase yang kecil dapat dianggap sebagai wujud
ramping struktur (lean structures)
tetapi kaya fungsi (rich in functions).
Disisi lain dapat ditafsirkan bahwa daerah dengan persentase jabatan struktural
yang besar cenderung memiliki SDM dengan kemampuan managerial yang memadai,
sesuai dengan tuntutan jabatan.
Sementara dalam rasio terhadap jabatan fungsional
hanya Propinsi Jawa Timur dan Jambi yang memberikan informasi tentang
keberadaan pejabat fungsional. Sedangkan untuk daerah Kabupaten / Kota yang
disurvei, semuanya menyatakan bahwa mereka tidak atau belum memiliki pejabat
fungsional (misalnya peneliti, widyaiswara, pranata komputer, analis kepegawaian,
perencana, arsiparis, dll), khususnya di lingkungan Sekretariat Daerah. Akan
tetapi, untuk lingkungan Pemda secara keseluruhan, jabatan fungsional pasti ada
di suatu daerah, misalnya dokter, guru, dan sebagainya. Adapun data tentang
rasio jumlah pegawai dengan jumlah jabatan struktural dan fungsional di
masing-masing daerah adalah: Propinsi Jawa Timur (19% untuk jabatan struktural
dan 5% untuk jabatan fungsional); Propinsi Jambi (14% dan 4%); Kabupaten Kutai
Kartanegara (35% dan 0%); Kabupaten Serang (7% dan 0%); Kota Surakarta (15% dan
0%); serta Kota Bandung (2% dan 0%).
Aspek berikutnya yang dikaji adalah perbandingan pegawai dengan
jenjang pendidikan. Namun seperti telah dijelaskan dalam bahasan
tentang kriteria diatas, pegawai dengan jenjang pendidikan SLTA kebawah tidak
diperhitungkan sebagai faktor pendukung terhadap pengembangan kapasitas SDM.
Artinya, hanya total pegawai dengan tingkat pendidikan formal S1 keatas yang
akan dipertimbangkan.
Dalam hal ini, data lapangan menunjukkan bahwa kapasitas
SDM di Pulau Jawa jauh lebih baik dibanding di luar Jawa. Sebagai contoh,
perbandingan pegawai berpendidikan S1 keatas dengan total pegawai di Jawa Timur
adalah sebesar 47%, sedangkan di Jambi masih berada di kisaran 31%. Demikian
pula di level Kabupaten / Kota, Kota Bandung merupakan daerah dengan pegawai
berpendidikan tinggi, yakni sebanyak 40 %, diikuti oleh Surakarta (27%), Serang
(16%), dan Kutai Kertanegara (15%). Fakta ini dapat diinterpretasikan bahwa
kapasitas SDM di Kota Bandung paling baik dibanding daerah lain yang diteliti.
Meskipun demikian, ada fenomena menarik tentang pegawai
dengan pendidikan SD. Ternyata, di wilayah luar Jawa, keberadaan pegawai dengan
pendidikan SD sudah sangat sedikit, masing-masing sebesar 0% di Jambi dan hanya
3% di Kutai. Padahal di Jawa, masih cukup banyak pegawai ‘kelas bawah’ ini,
misalnya di Jawa Timur sebanyak 3%, Bandung 4%, Surakarta 11%, bahkan Serang
masih “sangat besar” dengan jumlah 14%.
Penghitungan Kapasitas SDM
Dari keenam kriteria kapasitas SDM diatas, dalam
perhitungan kapasitas SDM di daerah survei hanya digunakan kriteria pertama (proporsi jumlah pegawai dengan jumlah penduduk)
serta kriteria keempat (proporsi
jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih dengan jumlah total pegawai). Kedua
kriteria ini diberi bobot yang berbeda, dimana kriteria kedua dipandang dua kali lebih penting atau lebih besar
kontribusinya terhadap kapasitas SDM, dari pada kriteria pertama.
Selanjutnya, hasil perhitungan terhadap kedua kriteria tadi akan dijumlahkan,
dan daerah yang memiliki angka total terbesar secara kuantitatif dapat
dikatakan sebagai daerah dengan kapasitas SDM yang terbesar pula. Selanjutnya
untuk menghitung kapasitas SDM tiap-tiap daerah survai, data obyektif yang
berhubungan dengan kriteria yang dibutuhkan, dimasukkan kedalam rumus. Adapun hasil perhitungan masing-masing daerah dapat
dilihat sebagai berikut :
1.
Kapasitas
SDM Propinsi Jawa Timur
Dengan jumlah pegawai sebanyak
10792 orang, jumlah penduduk sebanyak 34.525.588, jumlah pegawai berpendidikan
S1 atau lebih sebanyak 5108, maka Propinsi Jawa Timur memiliki angka kapasitas
sebesar 0.95 seperti nampak dibawah ini.
2.
Kapasitas
SDM Propinsi Jambi
Dengan jumlah pegawai sebanyak 5116 orang, jumlah
penduduk sebanyak 2.342.725, jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih
sebanyak 1584, maka Propinsi Jambi memiliki angka kapasitas sebesar 0.62
seperti nampak dibawah ini.
3.
Kapasitas
SDM Kabupaten Kutai Kertanegara
Dengan jumlah pegawai sebanyak
7813 orang, jumlah penduduk sebanyak 481.179, jumlah pegawai berpendidikan S1
atau lebih sebanyak 1187, maka Kabupaten Kutai Kertanegara memiliki angka
kapasitas sebesar 0.32 seperti nampak dibawah ini.
4.
Kapasitas
SDM Kabupaten Serang
Dengan jumlah pegawai sebanyak 6148 orang, jumlah
penduduk sebanyak 1.631.571, jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih
sebanyak 975, maka Kabupaten Serang memiliki angka kapasitas sebesar 0.32
seperti nampak dibawah ini.
5.
Kapasitas
SDM Kota Surakarta
Dengan jumlah pegawai sebanyak
2670 orang, jumlah penduduk sebanyak 546.469, jumlah pegawai berpendidikan S1
atau lebih sebanyak 727, maka Kota Surakarta memiliki angka kapasitas sebesar
0.55 seperti nampak dibawah ini.
6.
Kapasitas
SDM Kota Bandung
Dengan jumlah pegawai sebanyak
23.459 orang, jumlah penduduk sebanyak 2.500.000, jumlah pegawai berpendidikan
S1 atau lebih sebanyak 9532, maka Kota Bandung memiliki angka kapasitas sebesar
0.82 seperti nampak dibawah ini.
Berdasarkan
perhitungan tingkat kapasitas SDM untuk setiap daerah, akhirnya dapat dibuat
peringkat kapasitas SDM yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Peringkat
ini dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni kapasitas SDM di level Propinsi dan
kapasitas SDM di level Kabupaten / Kota .
Pada level Propinsi, Jawa Timur (skor 0,95) sedikit berada diatas Jambi (skor
0,62), terutama dikarenakan dukungan pegawai yang berpendidikan S1 keatas.
Sementara untuk level Kabupaten / Kota ,
terdapat dua kecenderungan yakni: 1) daerah di dalam Pulau Jawa relatif
memiliki tingkat kapasitas SDM yang lebih besar di banding daerah di luar Jawa.
2) daerah besar relatif memiliki tingkat kapasitas SDM yang lebih besar di
banding daerah yang lebih kecil. Secara lebih rinci, skor dan ranking kapasitas
SDM di masing-masing kabupaten dapat dikemukakan sebagai berikut : Kota Bandung
(skor 0,82), Kota Surakarta (skor 0,55), Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Kabupaten Serang (skor 0,32).
Penting
untuk diperhatikan bahwa formula perhitungan kapasitas SDM diatas bukan
merupakan suatu satu-satunya formula. Artinya, daerah dapat mengembangkan suatu
formula yang lebih komprehensif dengan menggunakan kriteria-kriteria selain
yang digunakan dalam tulisan ini. Semakin akurat dan lengkap kriteria yang
dipakai, maka tingkat kapasitas SDM akan semakin tepat.
Daftar
Pustaka
LAN,
2000, Kajian Pengembangan “Capacity Building ”
Dalam Rangka Reformasi Administrasi Negara, Jakarta
Grindle,
Merilee S., 1997, Capacity Building ,
an Approach to People-Centered Development, Oxford : Oxfam Publications.
Riwukaho,
Joseph, 1998, Prospek Otonomi Daerah,
Jakarta :
Grafiti
Sedarmayanti,
2001, Kemampuan Personil (Karyawan),
makalah tidak diterbitkan, Bandung :
Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I LAN
World
Bank, 1997, Partnership for Capacity Building
in Africa: A Progress Report, New
York
8 komentar:
wah mas artikel mas mirip spt kajian penelitian ane ttg KAPASITAS SDM STAKEHOLDERS PARIWISATA DI KAWASAN TNBTS. jdi menurut Widodo, 2001 dalam Kharis, 2010
kapasitas itu indikator nya ada 3
yaitu Pendidikan, Pelatihan, Pengalaman
ane dah dpt data primer melalui penyebaran kuesioner, wawancara, cek list. yg ane bingung skr bgmna menganalis data tersebut ato mengukur KAPASITAS SDM STAKEHOLDERS PARIWISATA DI KAWASAN TNBTS, mgkn mas bisa bantu ane, makasih
Mas Bara,
Terimakasih atas atensi Anda thd artikel ini, meski ini sudah lebih 1 dekade yg lalu. Tapi issu soal SDM memang tidak pernah kehilangan aktualitasnya sampai kapanpun shg tahun publikasi mjd tidak begitu masalah.
Soal menganalisis data, mungkin sy tdk terlalu tepat dalam menjawab pertanyaan anda. Tapi biasanya ada 2 hal yg harus diperhatikan. Pertama, harus ada rujukan teoretis utk kita jadikan sumber dalam menetapkan variabel, yang kemudian dijabarkan dalam dimensi dan indikatornya. Kedua, kita harus tahu persis tujuan penelitian kita, shg data yg kita gali benar2 sesuai dengan tujuan.
Sementara scr singkat dmk mas, untuk lebih detilnya bisa kita sambung via email ya. Salam kenal & salam hangat!
mau tanya ni mas,,,, sya lagi nyusun skripsi tentang pengaruh kapasitas sumber daya manusia terhadap keterandalan dan ketepatwaktuan pelaporan keuangan pemerintah daerah,,,, cman sya lagi bbingung buat keusionernya,,, bisa minta tolong bantuannya mas ???? soalnya kmren aku ksih kuesioner dari peneliti sebelumnya dosen pembimbing aku rada kurangh srek ma pertanyaan yang ada di kueioner aku,,,,,
mau nanya ni mas,,, sya mahasiswa akuntansi tingkat akhir,,, dan sya lagi meneliti tentang pengaruh kapasitas sumber daya manusia terhadap keterandalan dan ketepatwaktuan pelaporan keuangan pelaporan keuangan pemerinatah daerah,,,, sya bingung buat kuesioner tentang kapasitas SDM,,, bisa minta tolong bantuannya ???? apa kapasitas SDM itu mencakup pendidikan, pelatihan dan pengalaman ??? soalnya sya cantumkan pertanyaaan tentang pendidikan, pelatihan, dan pengalaman, tapi dosen sya mengatakan itu bukan termasuk kapasitas usmber daya manusia,,, tiu adalah job description,,,, mhon bantuannya
Mbak Mirna Yanti yg baik,
Sebenarnya ga usah bingung sepanjang rujukan teori anda cukup kuat. Apa yg anda maksud dengan "kapasitas" itu? Apakah kapasitas dimaknakan sbg kompetensi, ataukah keterampilan? Ini yg pertama harus firm betul, karena dr teori ini selain bisa menjadi pisau analisis dalam memilih variabel, juga bisa menjadi logika berpikir anda.
Jika anda sudah mantap dengan definisi konseptual dan operasional dari variabel "kapasitas" dan sub-variabel dan/atau indikatornya, maka ketika dosen anda mengatakan hal itu sebagai "job description", anda sudah bisa menjelaskan dengan baik.
Selamat menulis ya, semoga sukses. Jika ada pertanyaan, silakan saja kirimkan via email saya.
emailnya apa yach mas???
mau nanya tentang bagaimana mengukur kapasitas sumber daya manusia
Mas, bgmn cara mengukur angka kapasitas spt d atas? Saya cb utak ati g ktmu?
Posting Komentar