Administrasi pembangunan
berkembang karena adanya kebutuhan di negara-negara yang sedang membangun untuk
mengembangkan lembaga-lembaga dan pranata-pranata sosial, politik dan
ekonominya, agar pembangunan dapat berhasil. Oleh karena itu, pada dasarnya
administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang
sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Dari sudut
praktik, administrasi pembangunan merangkum dua kegiatan besar dalam satu
pengertian, yakni administrasi dan pembangunan.
Dalam
telaahan administrasi pembangunan dibedakan adanya dua pengertian, yaitu administrasi bagi pembangunan dan pembangunan administrasi. Administrasi
bagi pembangunan, dalam konteks ini digunakan pendekatan manajemen. Maka dapat
dikatakan bahwa masalah administrasi bagi pembangunan adalah masalah manajemen
pembangunan. Sedangkan untuk menerangkan pembangunan administrasi akan
digunakan pendekatan organisasi.
Untuk
analisis manajemen pembangunan dikenal beberapa fungsi yang cukup nyata (distinct), yakni: perencanaan,
pengerahan (mobilisasi) sumber daya,
pengarahan (menggerakkan)
partisispasi langsung oleh pemerintah, koordinasi, pemantauan dan evaluasi, dan
pengawasan. Pendekatan terhadap fungsi-fungsi tersebut dilengkapi dengan peran
informasi yang amat penting sebagai instrumen atau perangkat bagi manajemen.
Heady (1995) menunjukkan ada
lima ciri
administrasi yang indikasinya ditemukan secara umum di bayak negara berkembang.
Pertama, pola dasar (basic pattern)
administrasi publik bersifat jiplakan (imitative)
daripada asli (indigenous). Kedua,
birokrasi dinegara berkembang kekurangan (deficient)
sumber daya manusia terampil yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan
pembangunan. Ketiga, birokrasi lebih berorientasi pada hal-hal lain daripada
mengarah pada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Keempat, ada kesenjangan yang lebar apa yang
dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepancy between form and reality). Kelima, birokrasi di negara
berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan
pengawasan masyarakat. Analisis Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik
lagi hasil dari pengamatan Wallis
(1989). Pertama, di banyak negara berkembang birokrasi sangat lamban dan makin
bertambah birokratik. Kedua, unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh
terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga, hubungan-hubungan primordial
lain seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections) mempengaruhi birokrasi. Keadaan-keadaan seperti inilah
yang mendorong pentingnya pembangunan atau pembaharuan administrasi.
Dalam
kerangka pembaharuan administrasi sebagai lanjutan dari pembangunan
administrasi, yang pertama perlu menjadi perhatian adalah perubahan sikap
birokrasi yang cukup mendasar sifatnya. Didalamnya
terkandung berbagai unsur. Pertama, birokrasi harus dapat membangun partisipasi
rakyat. Kedua, birokrasi hendaknya tidak cenderung berorientasi kepada yang
kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya. Ketiga, peran
birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari
memberi menjadi memberdayakan. Keempat, mengembangkan keterbukaan dan
kebertanggungjawaban. Pembaharuan memerlukan semangat yang tidak mudah patah.
Semangat dan tekad diperlukan untuk mengatasi inersia birokrasi dan tantangan
yang datang dari kalangan mereka yang akan dirugikan karena perubahan. Oleh
karena itu, pembaharuan harus dilakukan secara sistematis dan terarah, didukung
oleh political will yang kuat,
konsisten, dan konsekuen. Tidak selalu harus segera menghasilkan perubahan
besar, tetapi dapat secara bertahap, namun konsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar