Senin, 01 November 2010

Otonomi dan Altruisme Kepala Daerah


MENURUT data Kementerian Dalam Negeri, dari seluruh penyelenggaraan Pilkada periode 2005-2009, 210 diantaranya masuk kategori “bermasalah”, dengan rincian 14 pemilihan gubernur, 163 pemilihan bupati, dan 33 pemilihan walikota (Koran Sindo, 9/4/2010). Jenis-jenis masalah yang ditemui sangat beragam, mulai dari data pemilih yang tidak akurat, persyaratan calon yang tidak lengkap, kesalahan penghitungan, kerusuhan massa, hingga kasus-kasus politik uang (money politics) yang berakhir di pengadilan. Fakta seperti ini perlu dicermati dan dijadikan pelajaran berharga agar tidak terulang lagi, mengingat pada tahun 2010 ini saja akan dilaksanakan 244 pilkada, dari total 532 pilkada hingga 2014.

Meskipun masih banyak Pilkada bermasalah, namun harus diakui bahwa secara umum dampak yang dihasilkan dari Pilkada secara “demokratis” ini cukup menggembirakan, misalnya makin menguatnya desentralisasi fiskal yang berdampak pada meningkatnya uang beredar di daerah dan munculnya kaum entrepreneur baru. Jika sebelum era otonomi 70% uang beredar di Jakarta, pada tahun 2007 jumlah tersebut turun menjadi 47% (Harian Kabar Indonesia, 6/8/2008). Selain itu, semangat otonomi juga mampu mendongkrak inovasi para kepala daerah terpilih, yang antara lain diindikasikan oleh keberhasilan meraih penghargaan dalam berbagai sektor pembangunan.

Namun, otonomi daerah juga menyisakan kisah-kisah unik yang kurang enak didengar. Kebijakan yang merupakan “anak kandung” reformasi ini tidak hanya melahirkan raja-raja kecil di daerah seperti dikhawatirkan banyak pihak selama ini, namun juga sosok “manusia setengah dewa”. Sosok seperti ini misalnya tercermin dari cerita seorang teman dari salah satu daerah di Jawa Tengah yang terkenal sebagai penghasil susu sapi yang menuturkan bahwa bupatinya hidup teramat sederhana sehingga sampai saat inipun belum memiliki rumah pribadi dan terpaksa tinggal bersama mertuanya. Senada dengan cerita diatas, teman lain dari salah satu daerah di Jawa Timur yang menjadi basis ormas Islam terbesar di Indonesia, bercerita bahwa bupatinya tidak pernah mau menggunakan dana APBD meski untuk membiayai perjalanan dinas. Dia juga dengan bangga meyakinkan bahwa bupatinya sangat sedikit waktu untuk istirahat karena masih menerima tamu hingga dini hari, dan bahkan menjelang fajar-pun sudah harus menerima tamu yang sebagian besar masyarakat miskin.

Fenomena unik tadi tidak terkecuali terjadi juga di Kalimantan. Dalam sebuah kesempatan memfasilitasi penyusunan standar pelayanan di sebuah SKPD, tiba-tiba muncul celetukan yang cukup menggelitik dari seorang peserta bahwa di daerahnya tidak pernah ada keluhan dari masyarakat. Pada saat itu saya kemukakan adanya dua kemungkinan dari fakta tersebut, yakni kinerja pelayanan daerah memang sudah sangat baik, atau masyarakat belum memiliki keberanian untuk mengadu dan menyampaikan keluhan. Ternyata, argumen saya dimentahkan dengan jawaban: ”di daerah kami, keluhan disampaikan langsung oleh masyarakat kepada bupati”. Di daerah yang sama juga pernah muncul keluhan dari aparat Satpol PP yang melakukan penertiban PKL yang melanggar Perda, namun si pedagang kemudian mengadu langsung kepada bupati dan sang bupati memerintahkan Satpol PP untuk mengembalikan gerobak dagangan si PKL. Akibatnya, petugas Satpol PP merasa frustasi karena hasil kerjanya menjadi sia-sia dan dimentahkan oleh diskresi bupati yang semestinya justru menjadi pihak paling berkepentingan terhadap penegakan aturan di daerah. Bupati daerah ini memang dikenal sangat dekat dengan rakyat dan menerapkan pendekatan secara personal atau non-kedinasan terhadap masyarakat.

Berbagai fenomena diatas sesungguhnya menjelaskan tentang altruisme, atau sebuah sikap pengorbanan diri demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain (selfless concern for the welfare of others, Wikipedia). Terminologi altruisme sendiri secara khusus bersumber dari ilmu ethology (studi tentang perilaku binatang), dan secara umum dari ilmu evolusi sosial. Istilah ini merujuk pada perilaku seekor binatang yang memberikan kekuatan kepada binatang lain namun mengurangi kekuatan dirinya sendiri (self-sacrifice for the benefit of others).

Secara teoretik, pemberian pelayanan dan pemenuhan kebutuhan barang/jasa bagi masyarakat sendiri dapat ditempuh melalui empat mekanisme, yakni: 1) altruisme (belas kasihan); 2) anarkhi (ketiadaan sistem/aturan); 3) mekanisme pasar (hukum permintaan dan penawaran); serta 4) mekanisme pemerintah/negara (kebijakan publik). Altruisme adalah pola alokasi sumber ekonomi atas dasar hubungan pemberian (gift relationship, charity). Sementara itu, mekanisme anarkhi akan muncul manakala ada komoditas yang terbatas namun dibutuhkan dan diperebutkan oleh orang banyak. Pembagian sembako di musim lebaran yang sering menelan korban karena berdesak-desakan, adalah contoh nyata dari bekerjanya mekanisme anarkhi ini.

Dalam konteks kebijakan publik maupun penyelenggaraan pemerintahan, dua mekanisme pertama sangat tidak dianjurkan. Mekanisme anarkhi, dengan alasan apapun jelas harus dihindarkan. Sedangkan untuk mekanisme altruisme, meskipun cukup baik namun sifatnya sangat rapuh karena efektif tidaknya sangat tergantung kepada kerelaan hati dan keikhlasan seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan kata lain, mekanisme altruistik bekerja dalam ranah privat (perseorangan) dan hampir tidak mungkin dilembagakan secara formal (institutionalized) sebagai bagian dari penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, kebijakan yang bertumpu pada belas kasihan ini juga memiliki beberapa kelemahan mendasar.

Pertama, kurang mendidik dan meninabobokan masyarakat. Sistem pemerintahan dipersonifikasikan dalam figur pimpinan daerah: jika baik individu si pemimpin, maka baik pula pemerintahan daerah secara menyeluruh, dan sebaliknya. Masyarakat menjadi kurang aware tentang sistem, mekanisme, dan/atau tata kelola pemerintahan. Akibatnya, bukan sistem yang berjalan, namun kehendak individu seorang pemimpin. Dan ini dapat membuka peluang terjadinya ketidaktaatan terhadap asas dan perangkat aturan yang ada (legal disobedience). Kedua, kondisi seperti ini juga berpotensi meninggalkan ”bom waktu” untuk pejabat yang akan datang. Artinya, jika terjadi pergantian pimpinan di daerah yang lebih mengedepankan pendekatan sistem dan prinsip taat asas, maka sangat mungkin terjadi gejolak di masyarakat karena beranggapan pemimpin baru tidak sebaik yang lama.

Pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan adalah: apakah memang pejabat publik atau birokrasi harus bersifat altruistik? Benarkah birokrasi dapat memenuhi kepentingan-kepentingan individual masyarakat, sekaligus menghubungkan kepentingan individual tersebut dengan kepentingan umum? Untuk mengurai permasalahan atau menjawab pertanyaan ini, analisis Abdul Syani (2008) menarik untuk disimak. Merujuk pada teori rasionalitas birokrasi dari Weber, Syani mengemukakan bahwa birokrasi mengemban tugas dan fungsi besar sebagai medium untuk mencapai harmonisasi hubungan antara rakyat. Dalam perannya tersebut, birokrasi harus mensucikan dan memurnikan diri untuk tak terjebak pada kepentingan subyektif. Dengan kata lain, birokrasi diimajinasikan sebagai sebuah sistem yang apolitik dan bebas nilai.

Dari cara berpikir tersebut, maka pelayanan seorang Kepala Daerah (dalam kedudukan dan jabatannya) kepada anggota masyarakat secara individual, kurang dapat dibenarkan. Sebab, duduknya seseorang dalam jabatan publik, dan dimilikinya kewenangan menerbitkan kebijakan baginya, semata-mata dimaksudkan untuk melayani publik atau masyarakat secara kolektif. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat secara individual tidak dapat dilayani oleh birokrasi, namun pelayanan secara individual tersebut haruslah ditempatkan dalam kerangka sistem birokrasi. Sekali lagi, kurang masuk akal dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah terjadi interaksi secara individual antara seorang warga dengan seorang pejabat. Pada saat seorang pejabat melakukan interaksi individual, maka wajib baginya melepaskan atribut-atribut jabatan atau kedinasan yang disandangnya. Namun, dalam atribut jabatannya, ia harus melayani masyarakat secara sama dan bersama-sama (inclusive), tidak berpihak, tidak diskriminatif, dan oleh karenanya tidak bersifat altruistik.

Pandangan bahwa birokrasi pemerintahan harus merepresentasikan kepentingan secara umum antara lain dikemukakan oleh Hegel, yang kemudian terkenal dengan teori birokrasi Hegelian. Menurut Hegel, dalam suatu masayarakat negara terdapat dua kepentingan, yakni kepentingan partikular dan kepentingan general. Kepentingan partikular (particular interests) adalah kepentingan kelompok-kelompok tertentu dalam suatu masyarakat (interest groups), sedang kepentingan general adalah kepentingan yang mewakili semua kelompok-kelompok partikular tersebut. Kelompok general ini bisa berwujud pemerintah atau negara yang bisa mengatasi semua kepentingan partikular.

Persoalannya menjadi rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah memang birokrasi mencerminkan kepentingan partikular? Marx dengan tegas menolak paham Hegel, dan menyatakan bahwa kepentingan partikular dan kepentingan umum, hingga kapan pun tak mungkin dapat dipertemukan. Problema besar dalam perspektif Marxis adalah bahwa birokrasi/negara tidak akan pernah bisa merepresentasikan kepentingan umum.

Analisis Marx barangkali keliru mengingat eksisnya kepentingan kolektif seperti rasa aman dan hidup secara damai, hasrat atas pelayanan publik yang fair dan adil, atau cita-cita adanya masyarakat yang maju dan sejahtera. Namun dalam realitanya, sejarah sering memperlihatkan kepentingan partikular yang menghegemoni kepentingan partikular lain dalam kehidupan masyarakat. Akibatnya, birokrasi cenderung menjadi tidak steril dan berpihak kepada kekuatan tertentu atau pada golongan yang dominan (Miftah Thoha, 1999).

Kembali pada soal altruisme Kepala Daerah, adanya sikap yang berlebihan kepada pihak-pihak tertentu, dapat diduga sebagai pengejawantahan dari kepentingan partikular, dan oleh sebab itu harus dihindari. Seorang Kepala Daerah dipilih oleh seluruh masyarakat, dan oleh karenanya harus mengembalikan kepercayaan secara seimbang kepada seluruh masyarakat pula. Proses Pilkada atau Pemilu Kada dalam era desentralisasi mestinya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas tinggi yang bekerja berdasarkan aturan dan sistem yang berlaku; bukannya menghasilkan manusia setengah dewa yang melayani berdasarkan belas kasihan. © Tri Widodo WU.


Tidak ada komentar: