MENURUT
data Kementerian Dalam Negeri, dari seluruh penyelenggaraan Pilkada periode
2005-2009, 210 diantaranya masuk kategori “bermasalah”, dengan rincian 14
pemilihan gubernur, 163 pemilihan bupati, dan 33 pemilihan walikota (Koran Sindo, 9/4/2010). Jenis-jenis
masalah yang ditemui sangat beragam, mulai dari data pemilih yang tidak akurat,
persyaratan calon yang tidak lengkap, kesalahan penghitungan, kerusuhan massa , hingga kasus-kasus
politik uang (money politics) yang
berakhir di pengadilan. Fakta seperti ini perlu dicermati dan dijadikan
pelajaran berharga agar tidak terulang lagi, mengingat pada tahun 2010 ini saja
akan dilaksanakan 244 pilkada, dari total 532 pilkada hingga 2014.
Meskipun
masih banyak Pilkada bermasalah, namun harus diakui bahwa secara umum dampak
yang dihasilkan dari Pilkada secara “demokratis” ini cukup menggembirakan,
misalnya makin menguatnya desentralisasi fiskal yang berdampak pada
meningkatnya uang beredar di daerah dan munculnya kaum entrepreneur baru. Jika
sebelum era otonomi 70% uang beredar di Jakarta ,
pada tahun 2007 jumlah tersebut turun menjadi 47% (Harian Kabar Indonesia, 6/8/2008). Selain itu, semangat otonomi
juga mampu mendongkrak inovasi para kepala daerah terpilih, yang antara lain
diindikasikan oleh keberhasilan meraih penghargaan dalam berbagai sektor
pembangunan.
Namun,
otonomi daerah juga menyisakan kisah-kisah unik yang kurang enak didengar. Kebijakan
yang merupakan “anak kandung” reformasi ini tidak hanya melahirkan raja-raja
kecil di daerah seperti dikhawatirkan banyak pihak selama ini, namun juga sosok
“manusia setengah dewa”. Sosok seperti ini misalnya tercermin dari cerita seorang
teman dari salah satu daerah di Jawa Tengah yang terkenal sebagai penghasil
susu sapi yang menuturkan bahwa bupatinya hidup teramat sederhana sehingga
sampai saat inipun belum memiliki rumah pribadi dan terpaksa tinggal bersama
mertuanya. Senada dengan cerita diatas, teman lain dari salah satu daerah di
Jawa Timur yang menjadi basis ormas Islam terbesar di Indonesia, bercerita
bahwa bupatinya tidak pernah mau menggunakan dana APBD meski untuk membiayai
perjalanan dinas. Dia juga dengan bangga meyakinkan bahwa bupatinya sangat
sedikit waktu untuk istirahat karena masih menerima tamu hingga dini hari, dan
bahkan menjelang fajar-pun sudah harus menerima tamu yang sebagian besar
masyarakat miskin.
Fenomena unik tadi tidak terkecuali terjadi juga di
Kalimantan. Dalam sebuah kesempatan memfasilitasi penyusunan standar pelayanan
di sebuah SKPD, tiba-tiba muncul celetukan yang cukup menggelitik dari seorang
peserta bahwa di daerahnya tidak pernah ada keluhan dari masyarakat. Pada saat
itu saya kemukakan adanya dua kemungkinan dari fakta tersebut, yakni kinerja
pelayanan daerah memang sudah sangat baik, atau masyarakat belum memiliki
keberanian untuk mengadu dan menyampaikan keluhan. Ternyata, argumen saya
dimentahkan dengan jawaban: ”di daerah
kami, keluhan disampaikan langsung oleh masyarakat kepada bupati”. Di
daerah yang sama juga pernah muncul keluhan dari aparat Satpol PP yang
melakukan penertiban PKL yang melanggar Perda, namun si pedagang kemudian
mengadu langsung kepada bupati dan sang bupati memerintahkan Satpol PP untuk
mengembalikan gerobak dagangan si PKL. Akibatnya, petugas Satpol PP merasa frustasi
karena hasil kerjanya menjadi sia-sia dan dimentahkan oleh diskresi bupati yang
semestinya justru menjadi pihak paling berkepentingan terhadap penegakan aturan
di daerah. Bupati daerah ini memang dikenal sangat dekat dengan rakyat dan
menerapkan pendekatan secara personal atau non-kedinasan terhadap masyarakat.
Berbagai fenomena diatas sesungguhnya menjelaskan tentang
altruisme, atau sebuah sikap
pengorbanan diri demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain (selfless concern for the welfare of others,
Wikipedia). Terminologi altruisme
sendiri secara khusus bersumber dari ilmu ethology (studi tentang perilaku
binatang), dan secara umum dari ilmu evolusi sosial. Istilah ini merujuk pada
perilaku seekor binatang yang memberikan kekuatan kepada binatang lain namun
mengurangi kekuatan dirinya sendiri (self-sacrifice for the benefit of
others).
Secara teoretik, pemberian pelayanan dan pemenuhan
kebutuhan barang/jasa bagi masyarakat sendiri dapat ditempuh melalui empat
mekanisme, yakni: 1) altruisme (belas kasihan); 2) anarkhi (ketiadaan
sistem/aturan); 3) mekanisme pasar (hukum permintaan dan penawaran); serta 4) mekanisme
pemerintah/negara (kebijakan publik). Altruisme
adalah pola alokasi sumber ekonomi atas dasar
hubungan pemberian (gift relationship, charity).
Sementara itu, mekanisme anarkhi akan
muncul manakala ada komoditas yang terbatas namun dibutuhkan dan diperebutkan oleh
orang banyak. Pembagian sembako di musim lebaran yang sering menelan korban
karena berdesak-desakan, adalah contoh nyata dari bekerjanya mekanisme anarkhi
ini.
Dalam konteks kebijakan publik maupun
penyelenggaraan pemerintahan, dua mekanisme pertama sangat tidak dianjurkan. Mekanisme
anarkhi, dengan alasan apapun jelas harus dihindarkan. Sedangkan untuk mekanisme
altruisme, meskipun cukup baik namun sifatnya sangat rapuh karena efektif
tidaknya sangat tergantung kepada kerelaan hati dan keikhlasan seseorang untuk
berbuat sesuatu. Dengan kata lain, mekanisme altruistik bekerja dalam ranah
privat (perseorangan) dan hampir tidak mungkin dilembagakan secara formal (institutionalized) sebagai bagian dari
penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, kebijakan yang bertumpu pada
belas kasihan ini juga memiliki beberapa kelemahan mendasar.
Pertama, kurang mendidik dan meninabobokan masyarakat. Sistem pemerintahan
dipersonifikasikan dalam figur pimpinan daerah: jika baik individu si pemimpin, maka baik pula pemerintahan
daerah secara menyeluruh, dan sebaliknya. Masyarakat menjadi kurang aware tentang sistem, mekanisme,
dan/atau tata kelola pemerintahan. Akibatnya, bukan sistem yang berjalan, namun
kehendak individu seorang pemimpin. Dan ini dapat membuka peluang terjadinya
ketidaktaatan terhadap asas dan perangkat aturan yang ada (legal disobedience). Kedua,
kondisi seperti ini juga berpotensi meninggalkan ”bom waktu” untuk pejabat yang
akan datang. Artinya, jika terjadi pergantian pimpinan di daerah yang lebih
mengedepankan pendekatan sistem dan prinsip taat asas, maka sangat mungkin
terjadi gejolak di masyarakat karena beranggapan pemimpin baru tidak sebaik
yang lama.
Pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan adalah:
apakah memang pejabat publik atau birokrasi harus bersifat altruistik? Benarkah
birokrasi dapat memenuhi kepentingan-kepentingan individual masyarakat,
sekaligus menghubungkan kepentingan individual tersebut dengan kepentingan
umum? Untuk mengurai permasalahan atau menjawab pertanyaan ini, analisis Abdul
Syani (2008) menarik untuk disimak. Merujuk pada teori rasionalitas birokrasi
dari Weber, Syani mengemukakan bahwa birokrasi mengemban
tugas dan fungsi besar sebagai medium untuk mencapai harmonisasi hubungan
antara rakyat. Dalam perannya tersebut, birokrasi harus mensucikan dan
memurnikan diri untuk tak terjebak pada kepentingan subyektif. Dengan kata
lain, birokrasi diimajinasikan sebagai sebuah sistem yang apolitik dan bebas
nilai.
Dari cara berpikir tersebut, maka pelayanan seorang Kepala Daerah (dalam
kedudukan dan jabatannya) kepada anggota masyarakat secara individual, kurang
dapat dibenarkan. Sebab, duduknya seseorang dalam jabatan publik, dan
dimilikinya kewenangan menerbitkan kebijakan baginya, semata-mata dimaksudkan
untuk melayani publik atau masyarakat secara kolektif. Hal ini bukan berarti
bahwa masyarakat secara individual tidak dapat dilayani oleh birokrasi, namun pelayanan
secara individual tersebut haruslah ditempatkan dalam kerangka sistem
birokrasi. Sekali lagi, kurang masuk akal dalam kerangka sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah terjadi interaksi secara individual antara seorang warga
dengan seorang pejabat. Pada saat seorang pejabat melakukan interaksi
individual, maka wajib baginya melepaskan atribut-atribut jabatan atau
kedinasan yang disandangnya. Namun, dalam atribut jabatannya, ia harus melayani
masyarakat secara sama dan bersama-sama (inclusive),
tidak berpihak, tidak diskriminatif, dan oleh karenanya tidak bersifat
altruistik.
Pandangan bahwa birokrasi pemerintahan harus merepresentasikan kepentingan
secara umum antara lain dikemukakan oleh Hegel, yang kemudian terkenal dengan
teori birokrasi Hegelian. Menurut Hegel, dalam suatu masayarakat negara terdapat dua kepentingan,
yakni kepentingan partikular dan kepentingan general. Kepentingan partikular (particular interests) adalah kepentingan
kelompok-kelompok tertentu dalam suatu masyarakat (interest groups), sedang kepentingan general adalah
kepentingan yang mewakili semua kelompok-kelompok partikular tersebut. Kelompok
general ini bisa berwujud pemerintah atau negara yang bisa mengatasi semua
kepentingan partikular.
Persoalannya menjadi rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah memang
birokrasi mencerminkan kepentingan partikular? Marx dengan tegas menolak paham
Hegel, dan menyatakan bahwa kepentingan partikular dan kepentingan umum, hingga
kapan pun tak mungkin dapat dipertemukan. Problema besar dalam perspektif
Marxis adalah bahwa birokrasi/negara tidak akan pernah bisa merepresentasikan
kepentingan umum.
Analisis Marx barangkali keliru mengingat eksisnya kepentingan kolektif
seperti rasa aman dan hidup secara damai, hasrat atas pelayanan publik yang
fair dan adil, atau cita-cita adanya masyarakat yang maju dan sejahtera. Namun
dalam realitanya, sejarah sering memperlihatkan kepentingan partikular yang menghegemoni
kepentingan partikular lain dalam kehidupan masyarakat. Akibatnya, birokrasi cenderung
menjadi tidak steril dan berpihak kepada kekuatan tertentu atau pada golongan
yang dominan (Miftah Thoha, 1999).
Kembali pada soal altruisme
Kepala Daerah, adanya sikap yang berlebihan kepada pihak-pihak tertentu, dapat
diduga sebagai pengejawantahan dari kepentingan partikular, dan oleh sebab itu
harus dihindari. Seorang Kepala Daerah dipilih oleh seluruh masyarakat, dan
oleh karenanya harus mengembalikan kepercayaan secara seimbang kepada seluruh
masyarakat pula. Proses Pilkada atau Pemilu Kada dalam era desentralisasi
mestinya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas tinggi yang bekerja
berdasarkan aturan dan sistem yang berlaku; bukannya menghasilkan manusia
setengah dewa yang melayani berdasarkan belas kasihan. © Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar