Dalam
skala regional dan global, persaingan antar sesama negara di kawasan
Asia seperti China, India, Thailand dan Vietnam dalam menarik investasi ke
negaranya masing-masing menjadi semakin berat. Dengan latar belakang situasi ekonomi dalam dan
luar negeri seperti saat ini, maka diperlukan serangkaian upaya-upaya untuk
memperbaiki iklim investasi agar Indonesia kembali menjadi tempat tujuan
investasi yang menarik, baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri.
Sementara itu dalam skala nasional, Kalimantan Timur dikenal
sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia dalam hal potensi sumber daya
alam dan potensi ekonomi lainnya. Hal ini diindikasikan oleh tingginya PDRB per kapita di
Kalimantan Timur serta di Kabupaten/Kota di Provinsi ini. Namun dilihat dari
kinerja pembangunan sosial ekonomi, masih kurang menggembirakan, dilihat dari
fenomena kemiskinan yang cukup tinggi, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang
kurang memadai, jaringan transportasi darat yang belum dapat menghubungkan
seluruh daerah, dan sebagainya.
Kondisi diatas menggambarkan
adanya kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang kurang optimal. Oleh karena
itu, perlu terus dipelihara dan ditingkatkan pada masa-masa mendatang melalui
penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap pencapaian visi dan misi
daerah. Dengan kata lain, terdapat hubungan timbal balik (reciprocal) antara potensi sumber daya alam dengan kebijakan
investasi. Dalam hal ini, faktor SDA merupakan pull factor yang dapat merangsang atau mengundang investasi;
sebaliknya investasi bisa dipandang sebagai push
factor yang dapat memberi nilai tambah (value
added) terhadap potensi SDA yang berlimpah. Dan jika hal ini dapat dilakukan,
maka investasi telah mampu mebawa proses transformasi dari basis keunggulan
berbanding (comparative advantage)
suatu daerah menjadi keunggulan bersaing (competitive
advantage).
Untuk mempercepat terciptanya
iklim investasi yang kondusif tadi, maka diperlukan adanya langkah kebijakan
strategis yang dapat mempercepat penciptaan iklim investasi yang kondusif
khususnya di Kalimantan Timur dan di Indonesia pada umumnya. Termasuk dalam
upaya pembenahan sektor ekonomi makro ini adalah perlunya kajian ulang dan/atau
desain ulang konsep kelembagaan pelayanan investasi; sinkronisasi peraturan
perundang-undangan khususnya antara Peraturan Daerah dengan peraturan di
tingkat Pusat; revitalisasi sistem kepabeanan, perpajakan, ketenagakerjaan; dan
sebagainya.
Dalam kaitan itulah, belum
lama ini pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam rangka
memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Salah satu langkah yang cukup penting
adalah keluarnya Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi,
yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan
sinkronisasi peraturan di tingkat daerah dan pusat; pembenahan aspek
kepabeanan, ketenagakerjaan, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, perpajakan, dan
sebagainya. Pada saat yang bersamaan, telah lahir pula Perpres No. 42 tahun
2006 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI)
dengan tujuan untuk mendorong investasi asing dan domestik pada sektor
infrastruktur.
Selain kedua produk regulasi
diatas, upaya mendorong iklim investasi yang sehat dan kompetitif juga
dilakukan melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ). Wilayah-wilayah di Kalimantan Timur sendiri sangat
potensial untuk dikembangkan menjadi basis-basis pertumbuhan, seperti wilayah
Kawasan Industri Kariangau, Teluk Balikpapan, Simanggaris (Nunukan), Kawasan
Industri Pupuk Kaltim (Bontang), Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu Sasamba (Sanga-sanga, Samarinda, dan
Balikpapan), dan sebagainya. Ini belum termasuk wacana kerjasama regional yang
melibatkan propinsi lain bahkan negara lain, seperti Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia and Philippines
– East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA); kawasan berikat KASABA (Kalimantan,
Sarawak, dan Sabah), dan sebagainya.
Berbagai pusat pertumbuhan
atau “pusat investasi” tadi bukan saja dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia, namun juga
untuk meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan masyarakat, dan
mengurangi kemiskinan. Ini berarti pula, paket kebijakan investasi dan
penetapan kawasan pertumbuhan sesungguhnya ditujukan untuk menghasilkan multiplier effect dan snowball effect secara
sektoral, serta spreading effect secara
spasial. Dengan kata lain, kebijakan tadi bukan tujuan, melainkan alat atau
stimulan untuk menggerakkan perekonomian daerah menuju terciptanya
kesejahteraan masyarakat yang makin baik.
Namun dalam prakteknya, banyak sekali ditemukan
persoalan yang menghambat tumbuhnya investasi di daerah secara progresif.
Kajian Ray and Redi (2003, dalam Effendi, 2006) menunjukkan 4 (empat) faktor
yang menjadi penyebab lemahnya kinerja investasi, yakni faktor perijinan dan
birokrasi, pungutan formal, pungutan informal, dan pelayanan. Dari 12 provinsi
yang disurvei, 2 daerah buruk dalam proses perijinan usaha, 9 daerah berkinerja
rendah dalam indikator pungutan formal dan 5 daerah indikator pungutan
informal, serta 5 daerah menunjukkan performa buruk dalam aspek pelayanan.
Kalimantan Barat sebagai satu-satunya provinsi di Kalimantan, memiliki skor
negatif pada 2 (dua) indikator, yakni perijinan usaha dan pungutan formal.
Diluar variabel-variabel diatas, iklim investasi
dan kinerja ekonomi daerah juga sangat dipengaruhi oleh variabel lainnya
seperti kepastian hukum, kejelasan aturan, efektivitas kelembagaan perijinan,
dikotomi dan benturan kewenangan Pusat dan Daerah, issu ketenagakerjaan,
kinerja kepabeanan, kemanan dan stabilitas politik, dan sebagainya. Ironisnya,
kinerja pemerintah pada variabel-variabel inipun menunjukkan fenomena yang
sangat tidak menggembirakan. Tidaklah aneh jika kemudian Jetro (dalam Effendi,
2006) menemukan bahwa iklim investasi di Indonesia jauh lebih buruk dibanding
China, Thailand, Vietnam dan negara ASEAN lainnya.
Tingkat kinerja yang rendah dalam menarik
investasi dan menciptakan iklim berusaha yang kondusif tadi, secara langsung
menghasilkan dampak negatif berupa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat
di daerah. Predikat Kaltim sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia,
ternyata tidak dapat menjelma menjadi kemakmuran bagi penduduknya. Ini berarti
pula, keunggulan berbanding (comparative
advantage) daerah ini tidak mampu ditransformasikan menjadi keunggulan
bersaing (competitive advantage). Dan
kegagalan mengubah keunggulan berbanding menjadi keunggulan bersaing ini tidak
terlepas dari rendahnya kinerja institusional pemerintah daerah, yang ditopang
pula oleh rendahnya kinerja para pelaku ekonomi dan lembaga-lembaga khusus
seperti manajemen kawasan berikat (Kapet). Selanjutnya, beberapa faktor
yang berpotensi menghambat laju investasi di daerah antara lain sebagai
berikut:
1.
Belum jelasnya pembagian kewenangan investasi antara
Pusat dan Daerah, yang ditandai oleh lambatnya pengesahan RUU Penanaman Modal.
Dalam tataran empirik, hingga saat ini pemerintah Pusat masih nampak ragu-ragu
untuk menyerahkan kewenangan bidang investasi kepada daerah, yang jelas sekali
sangat bertentangan dengan semangat Otonomi Daerah.
2.
Pemerintah Pusat agak lamban dalam mengimplementasikan
Inpres No. 3/2006, dimana empat tindakan dalam Paket Kebijakan Perbaikan Iklim
Investasi untuk periode Maret-Mei 2006 belum terselesaikan, yakni:
- Penerbitan Peraturan Presiden tentang Surat Izin Usaha Pasar Modern
yang konsepnya masih disempurnakan di Departemen Perdagangan. Penerbitan
PP ini ditargetkan Maret 2006.
- RUU Ketenagakerjaan yang masih dikaji secara akademis oleh lima
perguruan tinggi.
- Penyempurnaan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang terkait dengan
perizinan bagi usaha kecil menengah dan mikro (UMKM) dan pengembangan
sistem pelayanan perizinan satu atap satu pintu yang tenggat waktunya
April 2006.
- Peraturan Menteri terkait penurunan pungutan pajak/retribusi daerah
untuk menara telekomunikasi, jembatan timbang dan lalu lintas barang.
3.
Pemerintah Daerah belum menunjukkan dan membuktikan
komitmennya untuk mendukung pengembangan dunia usaha di kawasan ekonomi khusus
Indonesia (KEKI), antara lain untuk mempermudah dan menyederhanakan perijinan
(baik melalui pola pelayanan satu atap maupun sistem online), penyediaan lahan yang sudah benar-benar bersih, menyediakan
prasarana paling mendasar untuk pengembangan kegiatan usaha, dan sebagainya.
4.
Ada pencitraan bahwa daerah seolah-olah tidak mampu
menjalankan urusan investasi dan pelayanan perijinan investasi. Pada saat yang
bersamaan, terdapat banyak regulasi di tingkat daerah yang dipandang
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi atau tidak sejalan dengan semangat
desentralisasi fiskal. Kondisi ini jelas makin menyudutkan posisi daerah
sebagai institusi publik yang kurang siap dengan konsekuensi globalisasi
ekonomi mondial.
Mengingat adanya kendala yang cukup serius
seperti dikemukakan diatas, maka upaya yang sistematis dari seluruh pilar
pembangunan menjadi sebuah keniscayaan. Dari unsur pemerintahan daerah, perlu
dilakukan reformasi birokrasi perijinan investasi yang diarahkan pada beberapa
prakondisi antara lain: 1) mampu menyediakan formula kebijakan yang memberikan
insentif bagi investor; 2) mampu meningkatkan efisiensi birokrasi melalui
pengurangan pungutan tidak resmi, pengkajian perda yang tidak ramah investasi,
dan penyederhanaan perijinan investasi; serta 3) mampu membuat masterplan jangka panjang pengembangan
investasi dan promosi daerah. Sementara itu dari unsur pelaku usaha (termasuk
di dalamnya manajemen kawasan berikat), perlu terus dilakukan revitalisasi
manajemen untuk mencapai 2 (dua) prakondisi, yakni kemampuan meningkatkan
kapasitas produk unggulan dan memperkuat daya saing daerah, serta kemampuan
untuk menghasilkan multiplier effect bagi
masyarakat daerah.
Selain upaya diatas,
penciptaan iklim investasi yang bersih, efektif, dan kondusif di daerah juga
membutuhkan prasyarat dasar, yakni adanya integrasi pembangunan lintas
sektoral. Artinya, pengembangan sektor investasi harus memiliki link and match langsung dengan
sektor-sektor penunjangnya baik infrastruktur, ketenagalistrikan, pelabuhan
laut/udara/sungai, jaringan komunikasi, jalur pemasaran produk-produk unggulan,
dan sebagainya. Bahkan dunia investasi juga sangat membutuhkan adanya dukungan
positif dari aspek kepastian hukum, stabilitas politik, serta konsistensi
kebijakan publik.
Pengembangan Kawasan
Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special
Economic Zone (SEZ) juga perlu
diapresiasi sebagai upaya mempertemukan elemen-elemen industri dari hulu hingga
hilir. Meski demikian, kita perlu belajar dan bercermin dari pengalaman masa
lampau dalam pengelolaan kawasan khusus atau kawasan berikat.
Kelemahan-kelemahan yang ada selama ini, serta kegagalan dalam menghasilkan multiplier effect bagi peningkatan
kesejahteraan masayarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah, harus dicarikan
solusi terbaik agar tidak terulang dikemudian hari.
Akhirnya, dalam
konteks otonomi daerah, dibutuhkan adanya pembagian kewenangan yang tepat dan
proporsional antara Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Pemerintah
Pusat dituntut untuk berbesar hati dengan memberi kepercayaan yang lebih luas
kepada daerah untuk mengurus masalah investasi (domestik maupun asing). Dengan
demikian, otonomi daerah diharapkan
mampu mendorong daerah-daerah lebih kreatif menarik investor, antara lain
melalui perbaikan sistem birokrasi perizinan, penetapan peraturan / kebijakan
yang pro-investasi, serta peningkatan kemampuan SDM sektor publik.
Tulisan ini merupakan ulasan terhadap pemikiran dan diskusi yang berkembang
pada Seminar “Evaluasi Kebijakan
Investasi, Kawasan Berikat, dan Kinerja Sektor Ekonomi di Kalimantan Timur”,
diselenggarakan oleh PKP2A III LAN
Samarinda, tanggal 1 Agustus 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar