Pengertian Administrasi dan Pembangunan
Administrasi negara adalah species dari genus
administrasi, dan administrasi itu sendiri berada dalam keluarga kegiatan
kerjasama antar manusia. Waldo
(1992) menyatakan yang membedakan administrasi dengan kegiatan kerjasama antar
manusia lainnya adalah derajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat
rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh tujuan yang ingin dicapai serta
cara untuk mencapainya.
Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi.
Kata pembangunan secara sederhana sering diartikan
sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Seperti dikatakan
oleh Seers (1969) disini ada
pertimbangan nilai (value judgement).
Atau menurut Riggs (1966) ada
orientasi nilai yang menguntungkan (favourable
value orientation).
Pembangunan sering dikaitkan dengan modernisasi dan
industrialisasi. Seperti dikatakan Goulet
(1977), ketiga-tiganya menyangkut proses perubahan. Pembangunan adalah salah
satu bentuk perubahan sosial, modernisasi adalah suatu bentuk khusus (special case) dari pembangunan, dan
industrialisasi adalah salah satu segi (a
single facet) dari pembangunan. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan
bahwa pembangunan lebih luas sifatnya daripada modernisasi, dan modernisasi
lebih luas daripada industrialisasi.
Konsep-Konsep Pembangunan
Setelah Adam
Smith, Thomas R. Malthus, dan David
Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern
dengan bervariasinya. Pada intinya teori ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1)
Akumulasi modal (physical capital
formation); dan 2) Peningkatan kualitas dan investasi sumber daya manusia (human capital). Salah satu dampaknya
yang besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang
dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya, model ini
berpijak pada pandangan Keynes
(1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan
jangka panjang.
Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang
disebut neo klasik. Teori ini mulai memasukkan unsur teknologi yang
diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori ini,
teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh
semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, dimana semua faktor
produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh
setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang
berarti kesenjangan akan berkutrang.
Dalam kelompok teori ini ada pandangan penting yang
dianut oleh pemikir pembangunan, yaitu teori Tahapan Pembangunan. Dua diantara
yang penting adalah dari Rostow
(1960) dan Chenery-Syrquin (1975).
Menurut Rostow, transformasi dari negara terbelakang menjadi negara maju dapat
dijelaskan melalui urutan tingkatan atau tahap pembangunan. Rostow mengemukakan
5 tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya, yaitu tahap
traditional society, preconditions for
growth, the take-off, the drive to maturity, dan the age of high
mass-consumption. Menurut Chenery dan Sirquin (1975), yang merupakan
pengembangan pemikiran dari Collin Clark
dan Kuznets, perkembangan
perekonomian akan mengalami transformasi (konsumsi, produksi, dan lapangan
kerja), dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian menjadi sektor
industri dan jasa.
Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk
mencari alternatif lain tehadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan
kepada pertumbuhan, antara lain berkembang kelompok pemikiran yang disebut paradigma
pembangunan sosial, yang tujuannya adalah menyelenggarakan pembangunan
yang lebih berkeadilan.
Meskipun pembangunan harus berkeadilan, namun disadari
bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan
pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya tidak henti-hentinya dicari
dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang dinamakan pemerataan dengan
pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan berdasarkan suatu
studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974. Ide dasarnya adalah
pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga
produsen yang berpendapatan rendah akan mendapat kesempatan meningkatkan
pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan.
Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan
terhadap tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan
kebutuhan dasar manusia atau basic humans needs (BHN).
Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma yang mencari
jalan kearah pembangunan yang berkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunan
yang berpusat pada rakyat. Era pasca industri menghadapi
kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era industri dan
menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memanfaatkan pertumbuhan dan
kesejahteraan manusia, keadilan, dan kelestarian pembangunan (Korten, 1984). Tujuan utamanya adalah
pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi
dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi peran kepada individu tidak
sebagai obyek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan
sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan
yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan
kekhasan setempat.
Paradigma terakhir dalam pembangunan adalah pembangunan
manusia. Menurut pendekatan ini, tujuan utama pembangunan adalah
menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan
secara kreatif, sehat dan berumur panjang. Dengan kata lain, tujuan pokok
pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia (Ul Haq, 1995).
Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu administrasi Negara
Golembiewski juga mengetengahkan adanya tiga paradigma yaitu 1)
Paradigma Traditional, 2) Paradigma Sosial Psycologi, 3) Paradigma Kemanusiaan.
Ia mengajukan kritik terhadap paradigma-paradigma tersebut yang banyak
kelemahannya dan meramalkan tumbuhnya gejala anti paradigma, ia juga mengetengahkan
bahwa yang akan muncul adalah paradigma-paradigma kecil (mini paradigm).
Henry (1995) mengetengahkan 5 paradigma yang berkembang dalam
administrasi negara yaitu 1) Dikotomi politik – administrasi, 2)
Prinsip-prinsip administrasi serta tantangan yang timbul dan jawaban terhadap
tantangan tersebut, 3) Administrasi negara sebagai ilmu politik, 4) Admnistrasi
negara sebagai manajemen, 5) Administrasi negara sebagai administrasi negara.
Sementara itu, pendekatan scientific yang dirintis oleh Taylor
(1912) pada masa sebelumnya dan diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick
(1937), mulai memperoleh tandingan daripara teoritisi yang mulai menerapkan
pendekatan hubungan manusia dan ilmu-ilmu perilaku ke dalam teori-teori
administrasi dan organisasi. Karya Barnard
(1938) yang mengemukakan pandangan mengenai adanya organisasi informal
disamping formal, merupakan contoh dan karya monumental yang sampai sekarang
menjadi bahan rujukan yang penting. Sementara Maslow (1943) mengemukakan faktor motivasi dalam organisasi yang
tidak semata-mata ekonomi, tetapi juga sosial dan kemanusiaan lainnya.
Upaya mengembangkan studi perbandingan administrasi
negara dilakukan dengan sungguh-sungguh antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG)
1960 oleh para pakar administrasi. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi
pembangunan sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan
untuk membangun administrasi negara di negara berkembang.
Etika Administrasi
Sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi telah
menjadi bidang studi yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi. Nicholas Henry (1995) berpandangan ada
tiga perkembangan yang mendorong berkembangnya konsep etika dalam ilmu
adminstrasi, yaitu 1) Hilangnya dikotomi politik administrasi, 2) Tampilnya
teori-teori keputusan dimana masalah perilaku manusia menjadi tema sentral
dibandingkan dalam pendekatan sebelumnya, seperti rasionalitas dan efisiensi,
3) Berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuan, yang disebut counterculture critique, termasuk
didalamnya kelompok administrasi negara.
Secara garis besar ada dua pendekatan yang dapat
diketengahkan untuk mewakili banyak pandangan mengenai administrasi negara yang
berkaitan dengan etika, yaitu 1) Pendekatan teleologi dan 2) Pendekatan
deontologi.
Pertama, pendekatan teleologi berpangkal tolak pada apa yang
seharusnya dilakukan oleh administrasi, acuan utamanya adalah nilai kemanfaatan
yang akan diperoleh atau dihasilkan, yaitu dilihat dari konsekuensi dari
pengambilan keputusan. Dalam konteks ini diukur dari pencapaian sasaran,
kebijaksanaan-kebijaksanaan publik (seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan
kesehatan, kesempatan untuk mengikuti pendidikan, kualitas hidup), pemenuhan
pilihan-pilihan masyarakat atau perwujudan kekuasaan organisasi, bahkan
kekuasaan perorangan. Kedua,
pendekatan deontologi berdasar pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan
karena kebenaran yang ada dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat dan
konsekuensi dari keputusan dan tindakan yang dilakukan. Azasnya bahwa proses
administrasi harus berlandaskan pada nila-nilai moral yang mengikat. Pendekatan
ini pun, tidak hanya pada satu garisnya. Yang amat mendasar adalah pandangan
yang bersumber pada falsafah Immuanuel
Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah imperatif dan kategoris, yang
tidak membenarkan pelanggaran atasnya untuk tujuan apapun, meskipun karena itu
masyarakat dirugikan atau jatuh korban.
Administrasi Pembangunan
Administrasi pembangunan pada dasarnya bersumber dari
administrasi negara. Dengan demikian, kaidah umum administrasi negara berlaku
pula pada administrasi pembangunan. Jadi, adanya sistem administrasi negara
yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyarat bagi berhasilnya
pembangunan. Di lain pihak, sistem pemerintahan di negara berkembang pada awal
kemerdekaannya, umumnya menpunyai ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama,
kelembagannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas
cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan,
tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya
terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang-orang yang tidak
memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem
pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang
bersifat umum atau rutin, yang tidak berorientasi pada pembangunan.
Pada dasarnya, administrasi pembangunan adalah bidang
studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang
membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Ini berarti dalam studi
dan praktek adminstrasi pembangunan diperlukan adanya perhatian dan komitmen
terhadap nilai-nilai yang mendasari dan perlu diwujudkan menjadi dasar etika
birokrasi.
Dengan demikian ada dua sisi dalam batasan pengertian
administrasi pembangunan tersebut. Pada sisi pertama tercakup upaya untuk
mengenali peranan administrasi negara dan pembangunan, atau dengan kata lain
administrasi dari proses pembangunan, yang membedakannya dengan administrasi
negara dalam pengertian umum. Pada sisi kedua tercakup kehendak untuk
mempelajari dengan cara bagaimana membangun administrasi negara sehingga dapat
menyelenggarakan tugas atau fungsinya secara lebih baik.
1 Dimensi
Spasial dalam Administrasi Pembangunan
Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam administrasi
pembangunan memiliki berbagai cara pandang atau pendekatan (Heaphy, 1971). Pertama, menyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalam
perencanaan pembangunan adalah perencanaan pembangunan bagi suatu kota, daerah,
ataupun wilayah. Pendekatan ini memandang kota, daerah, ataupun wilayah sebagai
suatu maujud bebas yang pengembangannya tidak terikat dengan kota, daerah,
ataupun wilayah yang lain, sehingga penekanan perencanaannya mengikuti pola
yang lepas dan mandiri. Kedua, bahwa
pembangunan di daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Perencaan
pembangunan daerah, dalam pendekatan ini, merupakan pola perencanaan pada suatu
jurisdiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian pola
pembangunan nasional. Ketiga, cara
pandang yang melihat bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah instrumen bagi
penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang
telah direncanakan secara terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya
kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kebijakan yang menyangkut dimensi ruang dalam
administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor, disamping sistem
pemerintahan, politik, dan ekonomi. Untuk itu, administrasi pembangunan dalam
kaitannya dengan dimensi ruang dan daerah, harus dapat mencari jawaban tentang
bagaimana pembangunan dapat tetap menjaga persatuan dan kesatuan, tetapi dengan
memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang cukup pada daerah dan
masyarakatnya. Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang berkaitan
dengan administrasi pembangunan daerah.
Pertama, regionalisasi
atau perwilayahan. Artinya sebagai bagian dari upaya mengatasi aspek ruang
dalam pembangunan, memberikan keuntungan dalam mempertajam fokus dalam lingkup
ruang yang jauh lebih kecil dalam suatu negara. Kedua, yaitu ruang, akan
tercermin dalam penataan ruang. Hal ini pada intinya merupakan lingkungan fisik
yang mempunyai hubungan organisatoris/fungsional antara berbagai macam obyek
dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang.
Ketiga, otonomi daerah.
Masyarakat pada suatu negara tidak hanya tinggal dan berada dalam pusat
pemerintahan, tetapi juga ditempat-tempat yang jauh dan terpencil dari pusat
pemerintahan. Jika kewenangan dan penguasaan pusat atas sumber daya menjadi
terlalu besar maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber daya tersebut.
Untuk menjaga agar konflik tersebut tidak terjadi dan untuk meletakkan
kewenangan pada masyarakat dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip
kedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip otonomi. Melalui otonomi diharapkan
upaya meningkatkan kesejahteraaan masyarakat di daerah menjadi lebih efektif.
Keempat, yaitu partisipasi
masyarakat dalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri sistem
administrasi modern adalah bahwa pengambilan keputusan dilakukan
sedapat-dapatnya pada tingkat yang paling bawah. Dalam hal ini masyarakat
bersama-sama dengan aparatur pemerintah, menjadi stake holder dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi dari
setiap upaya pembangunan.
Kelima, sebagai impliksi dari dimensi administrasi dalam
pembangunan daerah yang dikaitkan dengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman dalam kebijaksanaan. Dari segi
perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu daerah berbeda dengan daerah
yag lainnya. Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami karakteristik
daerah dalam mempertimbangkan potensi pembangunan didaerah terutama dalam
kebijaksanaan investasi sarana dan prasarana guna merangsang berkembangnya
kegiatan ekonomi daerah.
2. Kebijaksanaan
Publik dalam Administrasi Pembangunan
Kebijaksanaan (policy) berkembang sebagai bidang studi multi
disiplin, sehingga sering disebut sebagai policy
sciences. Sebagai suatu bidang studi, kebijaksanaan publik relatif masih
baru, tetapi telah menarik banyak perhatian dan menjadi kajian dalam berbagai
disiplin ilmu sosial.
Berbagai metode pendekatan dalam analisis kebijaksanaan
publik telah dikembangkan. Ada pendekatan deskriptif vs preskriptif; pendekatan
deterministik vs probabilistik dilihat dari derajat kepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau dengan pendekatan lain, ada yang bersifat
empirik, evaluatif dan normatif (Dunn,
1981).
Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaan publik, Dye menunjukkan adanya sembilan model,
yakni model institusional, proses, kelompok, elite, rasional, inkremental,
teori permainan (game theory),
pilihan publik (public choice), dan
sistem. Sementara Henry membagi
modelnya menjadi dua kelompok yakni sebagai proses dan sebagai keluaran.
Sebagai proses ia menggolongkan enam model, yakni model elite, kelompok,
sistem, institusional, dan anarki yang diatur. Dari segi output, ia mengenalkan
tiga model, yakni inkremental, rasional, dan perencanaan strategis. Pendekatan
proses lebih bersifat deskriptif, sedangkan pendekatan output lebih bersifat
preskriptif. Artinya bahwa dengan pendekatan yang baik maka hasil atau isi dari
kebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula.
Di negara berkembang kebijaksanaan
pembangunan menjadi pokok substansi kebijaksanaan publik. Setiap hari
pemerintah di semua negara mengambil keputusan atas dasar kewenangannya
mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan kegiatan masyarakat,
memberikan pelayanan publik, menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya.
Kegiatan itu tidak ada bedanya di negara manapun, baik negara maju maupun
negara berkembang. Namun, tetap ada perbedaan diantara keduanya. Pertama-tama
disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang berbeda, dan juga karena adanya
kegiatan pembangunan dinegara berkembang, yang merupakan kegiatan diatas dari
yang biasa dilakukan oleh pemerintah di negara maju.. Adanya sistem adinistrasi
negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasarat bagi
berhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasi negara yang mampu menghasilkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang "baik" yang dapat menghindari
kebijaksanaan yang "buruk" dan mendorong "kepentingan
umum", merupakan tantangan yang lebih besar bagi negara yang sedang
membangun (Grindle dan Thomas 1991).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar