Senin, 01 November 2010

Administrasi Pembangunan 2: Perkembangan Pemikiran


Pengertian Administrasi dan Pembangunan

Administrasi negara adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri berada dalam keluarga kegiatan kerjasama antar manusia. Waldo (1992) menyatakan yang membedakan administrasi dengan kegiatan kerjasama antar manusia lainnya adalah derajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh tujuan yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya.

Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan secara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Seperti dikatakan oleh Seers (1969) disini ada pertimbangan nilai (value judgement). Atau menurut Riggs (1966) ada orientasi nilai yang menguntungkan (favourable value orientation).

Pembangunan sering dikaitkan dengan modernisasi dan industrialisasi. Seperti dikatakan Goulet (1977), ketiga-tiganya menyangkut proses perubahan. Pembangunan adalah salah satu bentuk perubahan sosial, modernisasi adalah suatu bentuk khusus (special case) dari pembangunan, dan industrialisasi adalah salah satu segi (a single facet) dari pembangunan. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa pembangunan lebih luas sifatnya daripada modernisasi, dan modernisasi lebih luas daripada industrialisasi.


Konsep-Konsep Pembangunan

Setelah Adam Smith, Thomas R. Malthus, dan David Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan bervariasinya. Pada intinya teori ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Akumulasi modal (physical capital formation); dan 2) Peningkatan kualitas dan investasi sumber daya manusia (human capital). Salah satu dampaknya yang besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya, model ini berpijak pada pandangan Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang.

Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang disebut neo klasik. Teori ini mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori ini, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, dimana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkutrang.

Dalam kelompok teori ini ada pandangan penting yang dianut oleh pemikir pembangunan, yaitu teori Tahapan Pembangunan. Dua diantara yang penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara terbelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui urutan tingkatan atau tahap pembangunan. Rostow mengemukakan 5 tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya, yaitu tahap traditional society, preconditions for growth, the take-off, the drive to maturity, dan the age of high mass-consumption. Menurut Chenery dan Sirquin (1975), yang merupakan pengembangan pemikiran dari Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami transformasi (konsumsi, produksi, dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian menjadi sektor industri dan jasa.

Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain tehadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan, antara lain berkembang kelompok pemikiran yang disebut paradigma pembangunan sosial, yang tujuannya adalah menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan.

Meskipun pembangunan harus berkeadilan, namun disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974. Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatan rendah akan mendapat kesempatan meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan.

Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan terhadap tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau basic humans needs (BHN).

Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma yang mencari jalan kearah pembangunan yang berkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunan yang berpusat pada rakyat. Era pasca industri menghadapi kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memanfaatkan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia, keadilan, dan kelestarian pembangunan (Korten, 1984). Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi peran kepada individu tidak sebagai obyek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat.

Paradigma terakhir dalam pembangunan adalah pembangunan manusia. Menurut pendekatan ini, tujuan utama pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan secara kreatif, sehat dan berumur panjang. Dengan kata lain, tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia (Ul Haq, 1995).


Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu administrasi Negara

Golembiewski juga mengetengahkan adanya tiga paradigma yaitu 1) Paradigma Traditional, 2) Paradigma Sosial Psycologi, 3) Paradigma Kemanusiaan. Ia mengajukan kritik terhadap paradigma-paradigma tersebut yang banyak kelemahannya dan meramalkan tumbuhnya gejala anti paradigma, ia juga mengetengahkan bahwa yang akan muncul adalah paradigma-paradigma kecil (mini paradigm).

Henry (1995) mengetengahkan 5 paradigma yang berkembang dalam administrasi negara yaitu 1) Dikotomi politik – administrasi, 2) Prinsip-prinsip administrasi serta tantangan yang timbul dan jawaban terhadap tantangan tersebut, 3) Administrasi negara sebagai ilmu politik, 4) Admnistrasi negara sebagai manajemen, 5) Administrasi negara sebagai administrasi negara.

Sementara itu, pendekatan scientific yang dirintis oleh Taylor (1912) pada masa sebelumnya dan diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), mulai memperoleh tandingan daripara teoritisi yang mulai menerapkan pendekatan hubungan manusia dan ilmu-ilmu perilaku ke dalam teori-teori administrasi dan organisasi. Karya Barnard (1938) yang mengemukakan pandangan mengenai adanya organisasi informal disamping formal, merupakan contoh dan karya monumental yang sampai sekarang menjadi bahan rujukan yang penting. Sementara Maslow (1943) mengemukakan faktor motivasi dalam organisasi yang tidak semata-mata ekonomi, tetapi juga sosial dan kemanusiaan lainnya.

Upaya mengembangkan studi perbandingan administrasi negara dilakukan dengan sungguh-sungguh antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) 1960 oleh para pakar administrasi. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pembangunan sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan untuk membangun administrasi negara di negara berkembang.


Etika Administrasi

Sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi telah menjadi bidang studi yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi. Nicholas Henry (1995) berpandangan ada tiga perkembangan yang mendorong berkembangnya konsep etika dalam ilmu adminstrasi, yaitu 1) Hilangnya dikotomi politik administrasi, 2) Tampilnya teori-teori keputusan dimana masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dalam pendekatan sebelumnya, seperti rasionalitas dan efisiensi, 3) Berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuan, yang disebut counterculture critique, termasuk didalamnya kelompok administrasi negara.

Secara garis besar ada dua pendekatan yang dapat diketengahkan untuk mewakili banyak pandangan mengenai administrasi negara yang berkaitan dengan etika, yaitu 1) Pendekatan teleologi dan 2) Pendekatan deontologi.

Pertama, pendekatan teleologi berpangkal tolak pada apa yang seharusnya dilakukan oleh administrasi, acuan utamanya adalah nilai kemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan, yaitu dilihat dari konsekuensi dari pengambilan keputusan. Dalam konteks ini diukur dari pencapaian sasaran, kebijaksanaan-kebijaksanaan publik (seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan untuk mengikuti pendidikan, kualitas hidup), pemenuhan pilihan-pilihan masyarakat atau perwujudan kekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan. Kedua, pendekatan deontologi berdasar pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat dan konsekuensi dari keputusan dan tindakan yang dilakukan. Azasnya bahwa proses administrasi harus berlandaskan pada nila-nilai moral yang mengikat. Pendekatan ini pun, tidak hanya pada satu garisnya. Yang amat mendasar adalah pandangan yang bersumber pada falsafah Immuanuel Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah imperatif dan kategoris, yang tidak membenarkan pelanggaran atasnya untuk tujuan apapun, meskipun karena itu masyarakat dirugikan atau jatuh korban.


Administrasi Pembangunan

Administrasi pembangunan pada dasarnya bersumber dari administrasi negara. Dengan demikian, kaidah umum administrasi negara berlaku pula pada administrasi pembangunan. Jadi, adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyarat bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak, sistem pemerintahan di negara berkembang pada awal kemerdekaannya, umumnya menpunyai ciri-ciri sebagai berikut.

Pertama, kelembagannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin, yang tidak berorientasi pada pembangunan.

Pada dasarnya, administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Ini berarti dalam studi dan praktek adminstrasi pembangunan diperlukan adanya perhatian dan komitmen terhadap nilai-nilai yang mendasari dan perlu diwujudkan menjadi dasar etika birokrasi.

Dengan demikian ada dua sisi dalam batasan pengertian administrasi pembangunan tersebut. Pada sisi pertama tercakup upaya untuk mengenali peranan administrasi negara dan pembangunan, atau dengan kata lain administrasi dari proses pembangunan, yang membedakannya dengan administrasi negara dalam pengertian umum. Pada sisi kedua tercakup kehendak untuk mempelajari dengan cara bagaimana membangun administrasi negara sehingga dapat menyelenggarakan tugas atau fungsinya secara lebih baik.

1     Dimensi Spasial dalam Administrasi Pembangunan
Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam administrasi pembangunan memiliki berbagai cara pandang atau pendekatan (Heaphy, 1971). Pertama, menyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalam perencanaan pembangunan adalah perencanaan pembangunan bagi suatu kota, daerah, ataupun wilayah. Pendekatan ini memandang kota, daerah, ataupun wilayah sebagai suatu maujud bebas yang pengembangannya tidak terikat dengan kota, daerah, ataupun wilayah yang lain, sehingga penekanan perencanaannya mengikuti pola yang lepas dan mandiri. Kedua, bahwa pembangunan di daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Perencaan pembangunan daerah, dalam pendekatan ini, merupakan pola perencanaan pada suatu jurisdiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian pola pembangunan nasional. Ketiga, cara pandang yang melihat bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah instrumen bagi penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang telah direncanakan secara terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kebijakan yang menyangkut dimensi ruang dalam administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor, disamping sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Untuk itu, administrasi pembangunan dalam kaitannya dengan dimensi ruang dan daerah, harus dapat mencari jawaban tentang bagaimana pembangunan dapat tetap menjaga persatuan dan kesatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang cukup pada daerah dan masyarakatnya. Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah.
Pertama, regionalisasi atau perwilayahan. Artinya sebagai bagian dari upaya mengatasi aspek ruang dalam pembangunan, memberikan keuntungan dalam mempertajam fokus dalam lingkup ruang yang jauh lebih kecil dalam suatu negara. Kedua, yaitu ruang, akan tercermin dalam penataan ruang. Hal ini pada intinya merupakan lingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisatoris/fungsional antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang.
Ketiga, otonomi daerah. Masyarakat pada suatu negara tidak hanya tinggal dan berada dalam pusat pemerintahan, tetapi juga ditempat-tempat yang jauh dan terpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan dan penguasaan pusat atas sumber daya menjadi terlalu besar maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber daya tersebut. Untuk menjaga agar konflik tersebut tidak terjadi dan untuk meletakkan kewenangan pada masyarakat dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip otonomi. Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkan kesejahteraaan masyarakat di daerah menjadi lebih efektif.
Keempat, yaitu partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri sistem administrasi modern adalah bahwa pengambilan keputusan dilakukan sedapat-dapatnya pada tingkat yang paling bawah. Dalam hal ini masyarakat bersama-sama dengan aparatur pemerintah, menjadi stake holder dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi dari setiap upaya pembangunan.
Kelima, sebagai impliksi dari dimensi administrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkan dengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman dalam kebijaksanaan. Dari segi perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu daerah berbeda dengan daerah yag lainnya. Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami karakteristik daerah dalam mempertimbangkan potensi pembangunan didaerah terutama dalam kebijaksanaan investasi sarana dan prasarana guna merangsang berkembangnya kegiatan ekonomi daerah.

2.    Kebijaksanaan Publik dalam Administrasi Pembangunan
Kebijaksanaan (policy) berkembang sebagai bidang studi multi disiplin, sehingga sering disebut sebagai policy sciences. Sebagai suatu bidang studi, kebijaksanaan publik relatif masih baru, tetapi telah menarik banyak perhatian dan menjadi kajian dalam berbagai disiplin ilmu sosial.
Berbagai metode pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik telah dikembangkan. Ada pendekatan deskriptif vs preskriptif; pendekatan deterministik vs probabilistik dilihat dari derajat kepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau dengan pendekatan lain, ada yang bersifat empirik, evaluatif dan normatif (Dunn, 1981).
Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaan publik, Dye menunjukkan adanya sembilan model, yakni model institusional, proses, kelompok, elite, rasional, inkremental, teori permainan (game theory), pilihan publik (public choice), dan sistem. Sementara Henry membagi modelnya menjadi dua kelompok yakni sebagai proses dan sebagai keluaran. Sebagai proses ia menggolongkan enam model, yakni model elite, kelompok, sistem, institusional, dan anarki yang diatur. Dari segi output, ia mengenalkan tiga model, yakni inkremental, rasional, dan perencanaan strategis. Pendekatan proses lebih bersifat deskriptif, sedangkan pendekatan output lebih bersifat preskriptif. Artinya bahwa dengan pendekatan yang baik maka hasil atau isi dari kebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula.
Di negara berkembang kebijaksanaan pembangunan menjadi pokok substansi kebijaksanaan publik. Setiap hari pemerintah di semua negara mengambil keputusan atas dasar kewenangannya mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan kegiatan masyarakat, memberikan pelayanan publik, menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya. Kegiatan itu tidak ada bedanya di negara manapun, baik negara maju maupun negara berkembang. Namun, tetap ada perbedaan diantara keduanya. Pertama-tama disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang berbeda, dan juga karena adanya kegiatan pembangunan dinegara berkembang, yang merupakan kegiatan diatas dari yang biasa dilakukan oleh pemerintah di negara maju.. Adanya sistem adinistrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasarat bagi berhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasi negara yang mampu menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang "baik" yang dapat menghindari kebijaksanaan yang "buruk" dan mendorong "kepentingan umum", merupakan tantangan yang lebih besar bagi negara yang sedang membangun (Grindle dan Thomas 1991).

Tidak ada komentar: