Jumat, 09 Mei 2014

Mencari Perilau Altruistik Dalam Birokrasi

Jika anda adalah rakyat kebanyakan dan kebetulan sedang mempersiapkan pesta pernikahan anak gadis satu-satunya yang sangat anda sayangi, pernahkah terpikirkan untuk mengundang tamu istimewa seperti bupati, gubernur, menteri, atau bahkan presiden? Kalaupun anda termasuk orang iseng yang berani mengirimkan undangan kepada mereka, yakinkah anda bahwa mereka akan hadir? Dalam kasus lain, pernahkan anda melihat seorang kepala daerah yang datang berempati menunjukkan sikap belasungkawa kepada salah seorang rakyat yang ditinggal mati anggota keluarganya?

Para pejabat pemerintahan memang biasa menghadiri acara pernikahan ataupun pemakaman seseorang, namun dapat dipastikan bahwa itu dilakukan karena mereka saling mengenal. Nah, yang saya bayangkan mereka melakukan bukan karena saling mengenal, melainkan karena adanya relasi penguasa dan rakyat yang terbentuk diantara mereka. Konkritnya, rakyat mengundang pejabat ke pesta pernikahan anaknya karena ia adalah pemimpin bagi si rakyat tadi. Sebaliknya penguasa mendatangi rakyatnya yang kesusahan karena mereka adalah rakyat yang menjadi tanggung jawab sang pemimpin. Maka, seorang pejabat yang mendatangi rakyatnya untuk memberi bantuan, menyampaikan simpati, atau turut merayakan kebahagiaan, adalah hal yang sangat lumrah, bahkan begitulah semestinya konstruksi hubungan rakyat-penguasa dibangun. Dalam situasi ekstrim, seorang pejabat harus rela mendonorkan darah untuk rakyatnya yang sedang sangat membutuhkan, meski di tengah malam sekalipun.

Namun dalam dunia nyata, situasi seperti itu tidak terjadi. Antara birokrasi dan rakyatnya terdapat jarak yang nyata. Kepala daerah dan rakyat yang mestinya membentuk relasi layaknya orang tua dengan anaknya, berubah menjadi hubungan kaku dan formal antara seseorang dengan orang asing. Dalam situasi seperti itu, peristiwa membahagiakan atau menyedihkan bagi seorang warga menjadi urusan diluar kepentingan sang penguasa.

Sayapun lantas bertanya dalam hati, mungkinkah ada hubungan interpersonal yang lebih humanis antara rakyat dengan penguasanya? Mungkinkah penguasa menempatkan rakyatnya sebagaimana anggota keluarganya sehingga akan memperlakukannya seperti saudara sendiri? Bukankah soal keadilan, obyektivitas, dan ketegasan tidak hanya berlaku untuk rakyat jelata maupun orang yang tidak dikenal? Jadi, teori apa dan keberatan macam apakah yang membenarkan sikap seorang pemimpin untuk tidak rela mengorbankan diri sendiri demi kepentingan rakyat banyak? Secara teoretik, bukankah justru seorang pemimpin dipilih untuk melayani segala kebutuhan dan kepentingan rakyat? Lantas mengapa justru terkesan bahwa pejabat-lah yang memiliki hak untuk dilayani, misalnya dengan disediakan mobil dan fasilitas serba mewah, dipayungi oleh ajudan kemanapun pergi, dikawal petugas keamanan secara ketat, dan sebagainya? Mengapa justru rakyat yang harus menaruh hormat, sedikit takut, dan cenderung mengalah terhadap kepentingan penguasa?

Sayapun membayangkan tentang konsep altruisme bagi birokrasi, dan ternyata saya temukan di website www.canadiancontent.net yang menyebutkan bahwa theory of altruistic government is the irrational belief that the government will do what they promised to do because they were elected to do it (Brent Jessop). Kebetulan, beberapa tahun lalu saya pernah menulis artikel berjudul “Otonomi dan Altruisme Kepala Daerah”. Dalam artikel tersebut saya menguraikan fenomena “manusia setengah dewa” yang diperankan beberapa kepala daerah, misalnya dengan mempertahankan hidup miskin dan tinggal di rumah mertuanya, menolak menggunakan APBD untuk membiayai perjalanan dinasnya, memberikan gajinya untuk rakyat yang lebih membutuhkan, dan seterusnya. Bahkan ada juga perilaku altruistik seorang bupati dengan menyediakan ratusan amplop setiap harinya yang sewaktu-waktu diberikan kepada siapapun yang dipandang berhak menerimanya. Saya hanya berharap bahwa perilaku seperti ini dilandasi oleh niat tulus dan ikhlas, serta tidak ada motif terselubung misalnya untuk mendapatkan dukungan suara pada pemilihan bupati periode berikutnya. Disamping itu, saya juga hanya bisa berharap bahwa perilaku obral dengan menyebar amplop itu bersumber dari dana pribadi yang bersih dan tidak mengandung unsur penyimpangan administrasi keuangan.

Terlepas dari ada tidaknya motif tertentu atau menyimpang tidaknya dari aturan, namun fakta bahwa altruism dapat dikembangkan dalam sistem birokrasi kita adalah sebuah hal positif. Tinggal dikawal agar perilaku altruistik tadi tidak mengandung muatan money politics atau hal-hal yang tidak dibenarkan oleh peraturan penrudang-undangan. Bagi saya, perilaku altruistik itu dapat dikemas secara formal/institusional dalam bentuk kebijakan yang berpihak sepenuhnya kepada masyarakat, misalnya dengan menghapus pungutan yang tidak diperlukan, mengurangi besaran pajak/retribusi yang harus ditanggung rakyat, atau cara-cara lainnya. Berbagai bentuk subsidi kepada rakyat pada hakekatnya juga manifestasi dari perilaku altruistik, namun harus dijamin bahwa subsidi tadi tepat pada sasaran yang membutuhkan dan tidak diselewengkan untuk kepentingan tertentu. Pada saat yang sama, altruisme secara individual perlu diperkuat misalnya dengan menumbuhkan hubungan yang lebih berbasis informal dan kekeluargaan.

Kisah-kisah kepemimpinan yang ditunjukkan Rasulullah Muhammad SAW, para Khulafaur Rasyidin dan para Sahabat bisa menjadi cermin bagaimana seorang pemimpin memiliki rasa sayang yang begitu dalam terhadap rakyatnya. Merekapun bisa mencucurkan air mata melihat derita rakyat, dan itu akan membuat mereka semakin serius mengabdi atau berhikmat terhadap rakyatnya. Para pemimpin seperti itu sadar benar bahwa jangankah umpatan dan caci maki rakyat, keluhan kecil atas kepemimpinannya-pun harus dibayar dengan pertanggungjawaban di depan Sang Pencipta kelak di hari pembalasan. Maka mereka tidak pernah bermain dengan kepemimpinan mereka, dan mensedekahkan seluruh hidupnya untuk umatnya. Bukankah kita selalu terngiang kisah dikala Nabi Muhammad menjelang sakaratul maut, beliau terus saja menyebut umatnya? Inilah bentuk perilaku altruistik yang tertinggi. Suri tauldan telah digoreskan dengan begitu indah, giliran para pemimpin jaman modern saat ini untuk membuktikan bahwa merekapun layak disebut sebagai pemimpin yang benar-benar pemimpin.

Mungkin sekali ada banyak pihak yang menilai bahwa pemikiran saya ini bertentangan dengan mainstream yang berkembang dan terlanjur dianggap sebagai kewajaran. Mungkin banyak pihak menilai bahwa tidak ada yang salah dengan fakta bahwa pemimpin umat kurang menaruh kepedulian terhadap kondisi subyektif warganya. Namun bagi saya, bukan seperti itu yang seharusnya terjadi. Artinya, saya memang berpikir secara terbalik. Kebetulan sayapun sedang senang berpikir serba terbalik setelah membaca buku-buku provokatif seperti tulisan Paul Arden berjudul “Whatever You Think, Think Differently”, atau tulisan Jules Goddard and Tony Eccles berjudul “Uncommon Sense, Common Nonsense”. Saya merasakan bahwa dengan berpikir terbalik, saya bisa melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda, dan itu memberi “rasa” yang unique namun nikmat. Saya juga bisa merasakan bahwa berpikir berbeda akan menjadikan ide-ide kita nampak lebih kritis, sehingga mampu menghasilkan opsi-opsi yang lebih cerdas, terutama saat kita terlibat dalam sebuah diskusi untuk menemukan strategi baru untuk organisasi kita.

Sayapun tidak peduli jika pemikiran saya ini dianggap aneh dan tidak ada yang memperhitungkan, karena pemikiran berbeda seringkali memang baru bisa diterima dalam jaman yang berbeda. Kewajiban saya hanyalah menuangkan gagasan kedalam tulisan. Kalaupun ide yang saya telorkan disamakan dengan kotoran yang dihasilkan sapi, sayapun tidak peduli. Sekotor-kotornya kotoran sapi, bukankah baik untuk pupuk tanaman? Siapa tahu tulisan-tulisan sayapun bisa menjadi pupuk, entah untuk siapa. Saya akan mencoba untuk terus menulis hal-hal ganjil yang menggelitik benak saya. Sungguh, ini adalah sebuah pengalaman yang begitu mengasyikkan, terkadang bahkan membawa saya pada keadaan trance atau masuk dalam situasi bawah sadar yang begitu khusyu; dan nikmat.

Aston City Hall, Medan, 10 Mei 2014, jam 00.45 wib.
*menuntaskan tulisan yang tertunda sejak di executive lounge bandara Soekarno-Hatta*

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Luar bisa pak tri, hanya dgn waktu sesempit itu bisa menangkapkan dsn mengikatkan ilmu untuk orang banyak

Sahminan Badiklat prov sumut

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

Hehehe ... ini berkat bapak juga yang mengundang saya ke Badan Diklat Sumut. Saya memang berusaha memanfaatkan waktu untuk menuangkan banyak ide yang semerawut dalam otak saya. Pikiran saya menjadi agak tertib jika ide-ide itu sudah saya "buang" dalam wujud tulisan. Terima kasih pak Sahminan ... (y)