Holahoop, siapa yang tidak
mengenalnya? Ya, benda berbentuk lingkaran, terbuat dari rotan atau plastik,
dan tersusun atas beberapa bagian atau ruas. Benda ini biasa menjadi mainan
anak-anak kecil (biasanya perempuan) dengan cara diputar-putarkan di
pinggangnya. Sekilas memang tidak ada yang menarik untuk dicermati. Namun
bagaimana benda ini bekerja sesungguhnya adalah sebuah inspirasi untuk
menganalisis bagaimana sebuah organisasi bekerja?
Perhatikan kembali Holahoop tadi.
Tiap ruas/bagian darinya adalah sama, tidak ada yang lebih menonjol dibanding
bagian yang lain, tidak ada yang lebih penting atau perlu mendapat perlakuan
berbeda dibanding ruas lainnya. Ketika Holahoop tadi berputar, yang nampak
hanyalah sebuah pusaran yang membentuk sebuah silinder, sehingga kita tidak
lagi bisa mengetahui dimana sebuah bagian/ruas berada, atau bagian/ruas mana
yang sedang bekerja. Dari ruas manapun seorang anak perempuan memulai memainkan
Holahoop, hasilnya akan sama saja. Jika ruas-ruas dalam Holahoop kita
analogikan dengan pegawai, nampak dengan jelas bahwa semua ruas memiliki visi
yang sama sehingga tidak terjadi saling potong, saling jegal, atau saling
menghalangi. Singkatnya, tidak ada struktur didalamnya sehingga tidak bersifat
hirarkhis, melainkan lebih condong kepada holarkhis. Selain itu, tidak ada juga
pembagian tugas, serta tidak ada jenjang otoritas, tanggungjawab, dan
kompetensi. Semua hanya memiliki satu tugas yang sama, yakni membuat Holahoop
tadi berputar.
Prinsip
seperti ini sangat berbeda dengan cara kerja organisasi modern khususnya di
sektor pemerintah. Birokrasi pemerintah yang mewarisi ajaran Max Weber selama
ini sangat dikenal sebagai sebuah sistem kerja yang kaku, memiliki prinsip-prinsip
rasional, tersusun secara hirarkhis (ada atasan dan bawahan),
dikelola atas dasar aturan yang bersifat prosedural dan impersonal (kepatuhan mutlak terhadap aturan dan ada
sangsi
bagi yang melanggar). Dalam model Weberian ini,
tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, dan tugas-tugas
tersebut disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai uraian tugas jabatan (job description).
Konsep Weber ini sudah mulai banyak dikritik karena kekakuannya,
yang pada gilirannya mengakibatkan kelambanan dalam organisasi. Selain itu,
model birokrasi ini juga menciptakan kelas-kelas atau kastanisasi yang menjelma
dalam wujud kepangkatan, jabatan, dan eselonisasi. Dampaknya, merebaklah budaya
yang tidak seimbang (egaliter) antar pegawai, adanya ewuh pakewuh dalam komunikasi, hingga kecenderungan untuk mencari
perhatian pimpinan dengan mengembangkan prinsip ABS (asal bapak senang). Dalam
hal job description dan kewenangan
tidak teridentifikasi dengan jelas dan limitatif, model ini juga berpeluang
menimbulkan situasi saling melempar tanggungjawab manakala terjadi kesalahan
atau kegagalan dalam menjalankan tugas organisasi.
Itulah sebabnya, tuntutan mencari model alternatif sebagai
pengganti model Weberian mulai gencar dilakukan. Salah satu konsep yang sempat
berkembang adalah flat organization
dengan menciptakan sarang-sarang tawon (matrix
organization) yang berisi kumpulan kompetensi. Struktur organisasi yang ada
selama ini perlu di-streamline bahkan
dihapuskan. Fungsi-fungsi publik yang bisa didelegasikan kepada sektor privat,
perlu dilakukan melalui kebijakan privatisasi atau kemitraan (partnership). Semakin ramping struktur
pemerintahan dan fungsi yang diemban, semakin baik dan efektif pemerintahan (the least government, the better). Inilah
kira-kira inti gagasan dari reinventing
government dan banishing bureaucracy
yang dipopulerkan oleh David Osborne, Ted Gaebler, dan Peter Plastrik diawal
1990-an.
Namun, ide inipun nampaknya masih belum cukup. Ada unit-unit
organisasi yang memiliki karakter spesifik dan tidak cocok dengan kedua model
diatas (Weberian maupun flat organization).
Maka, muncullah ide holacracy ini. Istilah
ini berasal dari kata holarchy, yang diperkenalkan oleh Arthur
Koestler dalam bukunya berjudul The Ghost in the Machine (1967). Holarchy tersusun atas holons (kata Yunani
yang berarti whole atau utuh, komplit
/ total / menyeluruh) atau unit-unit yang otonom dan berdiri sendiri, namun
juga tergantung dari unit lain yang lebih besar dimana unit itu menjadi bagiannya.
Singkatnya, holarchy adalah “a hierarchy
of self-regulating holons that function both as autonomous wholes and as
dependent parts” (Wikipedia).
Menurut Nick Osborne, praktisi holakrasi di Agile
Organization di Inggris, holakrasi adalah jalan ketiga (third way) antara struktur hirarkhis dengan struktur datar. Struktur
baru ini dipandang lebih fleksibel dalam hal penambahan dan penyusutan besaran
organisasi atau menambah dan mengurangi peran seseorang dalam organisasi.
Fleksibilitas itu bisa terjadi karena kekuatan utama struktur holakrasi ada
dalam “konstitusi” organisasi, bukan di tangan individu tertentu.
Ide dasar dari holakrasi adalah
bahwa pekerjaan dalam organisasi dilakukan mengelilingi tugas, bukan
mengelilingi fungsi. Cara terbaik agar tugas dapat ditunaikan adalah dengan
memberikan kepercayaan kepada seluruh anggota tim untuk memilih cara yang
paling baik atau paling sesuai menurut mereka. Konkritnya, tugas-tugas
didelegasikan kepada lingkaran anggota tim (analogi dengan lingkaran dalam Holahoop),
yang memiliki kebebasan untuk mengatur (self-govern),
sepanjang mereka dapat menyelesaikan tugas atau memenuhi tuntutan dari
“lingkaran” yang lebih tinggi yang memberikan delegasi.
Michelle James dalam publikasinya
berjudul Navigating the New Work Paradigm (Center for Creative Emergence,
2012) holakrasi sangat bermanfaat untuk meningkatkan kelincahan, efisiensi,
transparansi, inovasi, dan akuntabilitas dalam organisasi. Pendekatan yag
mendorong setiap individu dalam tim untuk mengambil inisiatif, menjadikan ide,
atau inisiatif mereka dapat dieksekusi dengan segera. Sistem kewenangan yang
terdistribusi juga terbukti ampuh mengurangi keterbatasan pimpinan dalam
membuat setiap keputusan.
Organisasi terbesar yang sudah
menerapkan model Holakrasi ini adalah Zappos, perusahaan retail sepatu secara
online terbesar di dunia. Sebanyak 1.500 pegawai dari perusahaan grup Amazon
ini akan menyelesaikan transisi menjadi Holakrasi sepenuhnya sebelum Desember
2014 (Quartz, “Zappos
is going holacratic: no job titles, no managers, no hierarchy”,
2013; “Is the Future Holacratic?”,
dalam Majalah Ethical Corporation, Feb.
2014, Toby Webb). Para pegawai akan membentuk sebuah lingkaran yang memiliki
kemandirian (self-governing circles) namun
memiliki tanggungjawab dan target-target besar. Menurut
Zappos, produktivitas akan meningkat karena holakrasi memungkinkan pegawai
untuk bertindak seperti entrepreneur
dan menentukan sendiri pekerjaan yang dilakukan (self-direct). Mereka tidak perlu lagi untuk selalu melaporkan pekerjaan
kepada atasannya.
Meskipun holakrasi memiliki banyak
keunggulan, namun transisi dari model organisasi lama ke model holakrasi bisa
cukup berisiko. Perusahaan bisa kehilangan pekerja yang merasa tidak cocok
dengan pola baru ini. Selain itu, holakrasi juga dikritik sebagai sebuah sistem
yang terlalu berorientasi ke dalam (inward-looking).
Fleksibilitas antar tim atau dalam pola kerja juga bisa membingungkan pelanggan
tentang siapa yang harus bertanggungjawab atas suatu tugas/pekerjaan tertentu. Untunglah
ada Zappos yang telah memelopori implementasi holakrasi. Pengalaman Zappos akan
memberi legitimasi terhadap efektivitas model organisasi bernama holakrasi.
Dalam konteks sistem organisasi di
Indonesia, menarik untuk ditelaah terkait unit-unit organisasi mana yang bisa
dikembangkan sebagai holon dan
menerapkan holakrasi. Kemungkinan terbesar adalah unit-unit fungsional yang
terdiri dari pegawai dengan kompetensi dan pengalaman yang relatif sama, bisa
saling menggantikan tanpa perlu ada proses transisi, serta memiliki prosedur
kerja yang relatif standar. Dengan demikian, contoh unit organisasi yang
potensial dimutasikan sebagai holokrasi adalah lembaga penelitian, unit
pemeriksa atau audit, unit pelayanan teknis, dan sebagainya. Pertanyaannya,
siapakah yang mau menjadi volunteer sebagai innovator kelembagaan seperti
Zappos?
Kampung Jelupang Serpong – Jakarta Veteran
pp.
10 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar