Senin, 10 Februari 2014

Holakrasi: Sebuah Inovasi Kelembagaan?



Holahoop, siapa yang tidak mengenalnya? Ya, benda berbentuk lingkaran, terbuat dari rotan atau plastik, dan tersusun atas beberapa bagian atau ruas. Benda ini biasa menjadi mainan anak-anak kecil (biasanya perempuan) dengan cara diputar-putarkan di pinggangnya. Sekilas memang tidak ada yang menarik untuk dicermati. Namun bagaimana benda ini bekerja sesungguhnya adalah sebuah inspirasi untuk menganalisis bagaimana sebuah organisasi bekerja?

Perhatikan kembali Holahoop tadi. Tiap ruas/bagian darinya adalah sama, tidak ada yang lebih menonjol dibanding bagian yang lain, tidak ada yang lebih penting atau perlu mendapat perlakuan berbeda dibanding ruas lainnya. Ketika Holahoop tadi berputar, yang nampak hanyalah sebuah pusaran yang membentuk sebuah silinder, sehingga kita tidak lagi bisa mengetahui dimana sebuah bagian/ruas berada, atau bagian/ruas mana yang sedang bekerja. Dari ruas manapun seorang anak perempuan memulai memainkan Holahoop, hasilnya akan sama saja. Jika ruas-ruas dalam Holahoop kita analogikan dengan pegawai, nampak dengan jelas bahwa semua ruas memiliki visi yang sama sehingga tidak terjadi saling potong, saling jegal, atau saling menghalangi. Singkatnya, tidak ada struktur didalamnya sehingga tidak bersifat hirarkhis, melainkan lebih condong kepada holarkhis. Selain itu, tidak ada juga pembagian tugas, serta tidak ada jenjang otoritas, tanggungjawab, dan kompetensi. Semua hanya memiliki satu tugas yang sama, yakni membuat Holahoop tadi berputar.

Prinsip seperti ini sangat berbeda dengan cara kerja organisasi modern khususnya di sektor pemerintah. Birokrasi pemerintah yang mewarisi ajaran Max Weber selama ini sangat dikenal sebagai sebuah sistem kerja yang kaku, memiliki prinsip-prinsip rasional, tersusun secara hirarkhis (ada atasan dan bawahan), dikelola atas dasar aturan yang bersifat prosedural dan impersonal (kepatuhan mutlak terhadap aturan dan ada sangsi bagi yang melanggar). Dalam model Weberian ini, tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, dan tugas-tugas tersebut disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai uraian tugas jabatan (job description).

Konsep Weber ini sudah mulai banyak dikritik karena kekakuannya, yang pada gilirannya mengakibatkan kelambanan dalam organisasi. Selain itu, model birokrasi ini juga menciptakan kelas-kelas atau kastanisasi yang menjelma dalam wujud kepangkatan, jabatan, dan eselonisasi. Dampaknya, merebaklah budaya yang tidak seimbang (egaliter) antar pegawai, adanya ewuh pakewuh dalam komunikasi, hingga kecenderungan untuk mencari perhatian pimpinan dengan mengembangkan prinsip ABS (asal bapak senang). Dalam hal job description dan kewenangan tidak teridentifikasi dengan jelas dan limitatif, model ini juga berpeluang menimbulkan situasi saling melempar tanggungjawab manakala terjadi kesalahan atau kegagalan dalam menjalankan tugas organisasi.

Itulah sebabnya, tuntutan mencari model alternatif sebagai pengganti model Weberian mulai gencar dilakukan. Salah satu konsep yang sempat berkembang adalah flat organization dengan menciptakan sarang-sarang tawon (matrix organization) yang berisi kumpulan kompetensi. Struktur organisasi yang ada selama ini perlu di-streamline bahkan dihapuskan. Fungsi-fungsi publik yang bisa didelegasikan kepada sektor privat, perlu dilakukan melalui kebijakan privatisasi atau kemitraan (partnership). Semakin ramping struktur pemerintahan dan fungsi yang diemban, semakin baik dan efektif pemerintahan (the least government, the better). Inilah kira-kira inti gagasan dari reinventing government dan banishing bureaucracy yang dipopulerkan oleh David Osborne, Ted Gaebler, dan Peter Plastrik diawal 1990-an.

Namun, ide inipun nampaknya masih belum cukup. Ada unit-unit organisasi yang memiliki karakter spesifik dan tidak cocok dengan kedua model diatas (Weberian maupun flat organization). Maka, muncullah ide holacracy ini. Istilah ini berasal dari kata holarchy, yang diperkenalkan oleh Arthur Koestler dalam bukunya berjudul The Ghost in the Machine (1967). Holarchy tersusun atas holons (kata Yunani yang berarti whole atau utuh, komplit / total / menyeluruh) atau unit-unit yang otonom dan berdiri sendiri, namun juga tergantung dari unit lain yang lebih besar dimana unit itu menjadi bagiannya. Singkatnya, holarchy adalah “a hierarchy of self-regulating holons that function both as autonomous wholes and as dependent parts” (Wikipedia).

Menurut Nick Osborne, praktisi holakrasi di Agile Organization di Inggris, holakrasi adalah jalan ketiga (third way) antara struktur hirarkhis dengan struktur datar. Struktur baru ini dipandang lebih fleksibel dalam hal penambahan dan penyusutan besaran organisasi atau menambah dan mengurangi peran seseorang dalam organisasi. Fleksibilitas itu bisa terjadi karena kekuatan utama struktur holakrasi ada dalam “konstitusi” organisasi, bukan di tangan individu tertentu.

Ide dasar dari holakrasi adalah bahwa pekerjaan dalam organisasi dilakukan mengelilingi tugas, bukan mengelilingi fungsi. Cara terbaik agar tugas dapat ditunaikan adalah dengan memberikan kepercayaan kepada seluruh anggota tim untuk memilih cara yang paling baik atau paling sesuai menurut mereka. Konkritnya, tugas-tugas didelegasikan kepada lingkaran anggota tim (analogi dengan lingkaran dalam Holahoop), yang memiliki kebebasan untuk mengatur (self-govern), sepanjang mereka dapat menyelesaikan tugas atau memenuhi tuntutan dari “lingkaran” yang lebih tinggi yang memberikan delegasi.

Michelle James dalam publikasinya berjudul Navigating the New Work Paradigm (Center for Creative Emergence, 2012) holakrasi sangat bermanfaat untuk meningkatkan kelincahan, efisiensi, transparansi, inovasi, dan akuntabilitas dalam organisasi. Pendekatan yag mendorong setiap individu dalam tim untuk mengambil inisiatif, menjadikan ide, atau inisiatif mereka dapat dieksekusi dengan segera. Sistem kewenangan yang terdistribusi juga terbukti ampuh mengurangi keterbatasan pimpinan dalam membuat setiap keputusan.

Organisasi terbesar yang sudah menerapkan model Holakrasi ini adalah Zappos, perusahaan retail sepatu secara online terbesar di dunia. Sebanyak 1.500 pegawai dari perusahaan grup Amazon ini akan menyelesaikan transisi menjadi Holakrasi sepenuhnya sebelum Desember 2014 (Quartz, “Zappos is going holacratic: no job titles, no managers, no hierarchy”, 2013; “Is the Future Holacratic?”, dalam Majalah Ethical Corporation, Feb. 2014, Toby Webb). Para pegawai akan membentuk sebuah lingkaran yang memiliki kemandirian (self-governing circles) namun memiliki tanggungjawab dan target-target besar. Menurut Zappos, produktivitas akan meningkat karena holakrasi memungkinkan pegawai untuk bertindak seperti entrepreneur dan menentukan sendiri pekerjaan yang dilakukan (self-direct). Mereka tidak perlu lagi untuk selalu melaporkan pekerjaan kepada atasannya.

Meskipun holakrasi memiliki banyak keunggulan, namun transisi dari model organisasi lama ke model holakrasi bisa cukup berisiko. Perusahaan bisa kehilangan pekerja yang merasa tidak cocok dengan pola baru ini. Selain itu, holakrasi juga dikritik sebagai sebuah sistem yang terlalu berorientasi ke dalam (inward-looking). Fleksibilitas antar tim atau dalam pola kerja juga bisa membingungkan pelanggan tentang siapa yang harus bertanggungjawab atas suatu tugas/pekerjaan tertentu. Untunglah ada Zappos yang telah memelopori implementasi holakrasi. Pengalaman Zappos akan memberi legitimasi terhadap efektivitas model organisasi bernama holakrasi.

Dalam konteks sistem organisasi di Indonesia, menarik untuk ditelaah terkait unit-unit organisasi mana yang bisa dikembangkan sebagai holon dan menerapkan holakrasi. Kemungkinan terbesar adalah unit-unit fungsional yang terdiri dari pegawai dengan kompetensi dan pengalaman yang relatif sama, bisa saling menggantikan tanpa perlu ada proses transisi, serta memiliki prosedur kerja yang relatif standar. Dengan demikian, contoh unit organisasi yang potensial dimutasikan sebagai holokrasi adalah lembaga penelitian, unit pemeriksa atau audit, unit pelayanan teknis, dan sebagainya. Pertanyaannya, siapakah yang mau menjadi volunteer sebagai innovator kelembagaan seperti Zappos?

Kampung Jelupang Serpong – Jakarta Veteran pp.
10 Februari 2014

Tidak ada komentar: