PPPK (Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja) yang diperkenalkan oleh UU ASN, adalah sebuah kemajuan cara
berpikir dalam mengatasi sebuah persoalan keterbatasan SDM aparatur. Ditengah
makin maraknya tuntutan kinerja organisasi dan pelayanan publik yang lebih
berkualitas, PPPK adalah sebuah ide inovatif yang diyakini mampu memenuhi
tuntutan tersebut. Dalam hal ini, UU ASN mendefinisikan PPPK sebagai WNI yang memenuhi
syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja
untuk jangka waktu tertentu dalam
rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
Mengapa disebut sebagai inovasi?
Sebab, PPPK dapat memenuhi kebutuhan tenaga terampil dan ahli tanpa harus
mengusulkan formasi baru dan berinvestasi atas diri seorang pegawai dalam kurun
waktu yang relatif panjang. PPPK juga lebih mudah dievaluasi, sehingga jika
seorang PPPK tidak menunjukkan kinerja yang sesuai kontrak, maka dengan mudah
tidak perlu diperpanjang ketika kontraknya habis, kemudian mencari PPPK lain
yang lebih kapabel. Selain itu, PPPK bisa menaikkan iklim kompetisi dengan PNS
yang berstatus pegawai permanen. Dengan demikian, PPPK diharapkan mampu
mendongkrak kinerja birokrasi secara menyeluruh. Jika dimasa lalu kita mengenal
status kepegawaian bernama “honorer” yang laksana keranjang sampah, maka PPPK
ini laksana sarang lebah yang isinya kader-kader penuh bakat (talent pool, expert pool)/
Meskipun demikian, jika PPPK ini
tidak diatur secara jelas, justru akan menimbulkan banyak interpretasi, yang
pada gilirannya akan menyebakan kebingungan pada tahap implementasinya. Ketika
setiap orang seolah dapat menafsirkan mekanisme PPPK ini, maka muncullah
upaya-upaya untuk menunggangi PPPK untuk kepentingan pribadi. Beberapa ekses
yang mungkin muncul dari kebijakan ini anatara lain sebagai berikut. Pertama, karena orienasi quick yielding untuk merekrut SDM yang
sudah “jadi”, maka akan terjadi peningkatan jumlah PPPK dan penurunan ratio PNS
tetap terhadap total pegawai. Maka, perlu diatur batas maksimal yang
diperkenankan bagi sebuah instansi pemerintah untuk merekrut PPPK. Ibarat
sebuah klub sepakbola, harus ada pembatasan jumlah pemain asing yang akan
direkrut. Tanpa pembatasan ini, maka akan terjadi situasi seperti di Premier League
Inggris, dimana jumlah pemain asing lebih banyak mendiami klub dibanding pemain
asli Inggris. Jika ini terjadi di sektor publik, boleh jadi yang muncul adalah “pemerintahan
partikelir”, atau pemerintahan yang dikelola oleh kelompok non-pemerintah, dan
tentu ini bukan tujuan dari digagasnya konsep PPPK.
Kedua,
tanpa kejelasan siapa yang eligible sebagai
PPPK dan tanpa ada prosedur baku untuk rekrutmennya, PPPK bisa menjadi safety net bagi pejabat yang pensiun.
Artinya, PPPK akan menjadi “pelarian” bagi pejabat yang memasuki usia pensiun,
atau mereka yang non-job. Dengan kata
lain, PPPK akan dijadikan sebagai second
career bagi para pensiunan yang sudah masuk usia jompo. Akibatnya, akan
terciptalah pemerintahan oleh para orang tua, atau lebih dikenal dengan istilah
gerontokrasi. Situasi seperti ini mirip dengan tradisi di Jepang yang dikenal
dengan istilah Amakudari yang kurang
lebih berarti “turun dari langit”. Dalam hal ini, seorang pejabat tinggi yang
pensiun, biasanya akan mendapat posisi baru sebagai pimpinan perusahaan.
Perusahaan ini memanfaatkan para pensiunan kelas elit tadi dengan maksud untuk
menjalin hubungan yang lebih erat dengan sektor pemerintahan. Di Indonesia-pun
praktik ini cukup marak, dimana seorang mantan Menteri, Panglima, atau pejabat
tinggi negara lain sering menempati pos selaku komisaris utama di perusahaan
milik negara. Lebih parah lagi, pejabat setingkat Eselon I atau lebih yang
masih aktif ternyata juga banyak yang merangkap jabatan sebagai komisaris
perusahaan, seolah-olah tidak ada lagi yang kompeten untuk mengemban tugas itu.
Amakudari
baik yang terjadi di Indonesia maupun di Jepang
mungkin masih bisa ditorerir. Selain jumlahnya yang relatif sedikit, juga
karena mereka masuk “dunia lain” yakni sektor privat. Namun jika Amakudari tadi terjadi dalam tubuh
birokrasi, maka ibaratnya adalah “jeruk makan jeruk”. Sungguh aneh seorang yang
sudah mengakhiri statusnya selaku pegawai, kembali menjadi pegawai dengan
status baru (PPPK). Agar hal ini dapat dicegah sedini mungkin, maka perlu
diidentifikasikan jenis-jenis jabatan yang terbuka untuk PPPK dan kriteria
pelamarnya, serta ditetapkan standar kompetensi dan sistem seleksinya.
Situasi ketiga yang mungkin muncul adalah fenomena kelambanan dalam
kaderisasi dan pembangunan kompetensi pegawai. Situasi ini bisa terjadi jika
pengadaan PPPK tidak didukung oleh formasi dan tidak ada sistem kendalinya.
Oleh karena itu, sebaiknya pengadaan PPPK hanya untuk mengisi defisiensi kompetensi
dalam suatu instansi, sambil menunggu pemenuhan formasi pegawai secara reguler.
Jika selama ini sebuah instansi menyusun analisis kebutuhan pegawai atau
analisis beban kerja untuk menentukan kebutuhan pegawai yang ideal, maka dengan
berlakunya UU ASN instansi tadi seyogyanya juga melakukan analisis gap kinerja dan gap kompetensi untuk menentukan kebutuhan PPPK yang ideal. Prinsip
dasarnya adalah bahwa sebuah instansi harus mampu self-sufficiency atau memenuhi sendiri kebutuhan kompetensinya,
sehingga tidak boleh terjadi ketergantungan terhadap SDM dari luar instansinya.
Dengan kata lain, semakin banyak PPPK dalam sebuah organisasi, hanya
membuktikan kegagalan organisasi tersebut dalam membangun kapasitas
institusionalnya.
Dari penerawangan terhadap
kondisi the unexpected future tersebut
kita dapat belajar bahwa sebuah inovasi harus terus dikawal agar tidak salah
arah dan menghasilkan dampak yang tidak diinginkan. Kita harus selalu
berhati-hati dengan sebuah inisiatif bernama inovasi. Inovasi tidak selesai
saat ditetapkan sebagai pilihan kebijakan, namun tetap membutuhkan upaya-upaya
monitoring, analisis, evaluasi, dan juga beberapa penyesuaian sesuai kebutuhan.
Inilah seni mengelola inovasi.
Sepanjang tol Kebon Jeruk yang
macet.
Jakarta, 25 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar