Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan bersama “drama” dalam
kebijakan publik. Disebut drama karena kebijakan ini menghadirkan banyak
kejutan yang tidak terduga oleh khalayak ramai. Drama pertama adalah soal kenaikan
harga elpiji tabung 12 kg. Awalnya, kenaikan harga dipatok sebesar 68 persen
atau Rp 3.959 per kg. Dengan harga itu, kenaikan per tabung elpiji 12 kg
menjadi Rp 117.708 per tabung (sebelum kenaikan, harga per tabung Rp 70.200). Inilah
kejutan pertama yang memicu protes di berbagai daerah. Keputusan untuk
menaikkan harga elpiji ini ternyata berdampak luas terutama di kalangan wong cilik, seperti berkurangnya porsi makanan bagi pasien di RSHS Bandung,
kembalinya masyarakat pada antrian minyak tanah, terjadinya PHK perusahaan roti
di Tasikmalaya, indikasi terjadinya penimbunan dan pengoplosan gas, kenaikan
harga di warteg (warung Tegal) dan warkop (warung kopi) antara Rp 500 hingga Rp
1000, dan sebagainya (berbagai sumber dari Kompas
Online). Setelah protes meluas dengan salah satunya menduga ada muatan
politis dibalik kebijakan tadi, tiba-tiba datanglah kejutan kedua, yakni
pengumuman pemerintah bahwa kenaikan harga elpiji 12 kg diturunkan menjadi Rp
1.000 per kg atau Rp 12.000 per tabung. Harga baru itu mulai berlaku 7 Januari
(Kompas Online).
Seolah tidak cukup dengan kejutan awal tahun soal elpiji,
kebijakan publik di tanah air juga menghidangkan kejutan yang tidak kalah
menarik. Kasusnya terkait dengan diberlakukannya Perpres No. 105/2013 tentang
Pelayanan Kesehatan Paripurna kepada Menteri dan Pejabat Tertentu, serta Perpres
No. 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga
Negara. Dengan perpres ini, para menteri, pejabat eselon I, dan pimpinan
lembaga negara dimudahkan untuk berobat ke luar negeri. Seluruh biaya itu
nantinya akan ditanggung oleh negara. Kedua produk aturan itu dikeluarkan
Presiden terkait mulai dilaksanakannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai 1 Januari 2014 (Kompas Online, “Perpres Diteken, Pejabat Dapat
Fasilitas Berobat ke Luar Negeri”, 28/12/2013).
Senasib dengan kebijakan kenaikan harga elpiji, Perpres inipun
mendapatkan respon negatif secara meluas. Anggota
Komisi IX dari Fraksi PDI-P, Rieke Dyah Pitaloka dalam siaran persnya tanggal 28/12/2013
menyatakan bahwa kebijakan ini menyakitkan bagi rakyat. Menurutnya, pemerintah
tidak pro pada rakyat miskin, mengingat alokasi anggaran bagi masyarakat miskin
tak mampu hanya Rp 19.225 per orang per bulan. Mendapat tekanan dari berbagai
pihak, akhirnya Presiden mencabut kembali kedua Perpres itu sebelum dapat
dilaksanakan. Lucunya, argumentasi pemberlakuan kedua Perpres adalah berlakunya
SJSN, sementara pembatalannyapun juga menggunakan argumentasi SJSN. Ini menjadi
kejutan yang tentunya sangat membingungkan banyak pihak.
Kedua contoh kebijakan diatas memberikan kesan bahwa kebijakan
disusun begitu serampangan dan asal-asalan. Seolah para policy makers dapat menerapkan kebijakan apa saja dan kapan saja tanpa
harus melakukan studi pendahuluan yang akurat. Kebijakan publik seolah
dipandang sebagai praktek trial and error
yang lumrah dalam mengelola negara. Hal yang paling ironis adalah bahwa
keberanian pemerintah untuk segera mengoraksi kebijakan yang keliru dianggap
sebagai sebuah inovasi dalam kebijakan.
Bagi saya, kebijakan yang keliru tetaplah keliru, sehingga meski
segera disadari kekeliruannya dan segera dikoreksi, tetap saja tidak boleh
dikatakan sebagai sebuah inovasi. Dalam hal ini, antara kebijakan dan inovasi
memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar. Pertama, sebuah kebijakan pada umumnya meniadakan kebijakan yang
lama, atau bersifat kontradiktif. Meski tidak selalu demikian, banyak kebijakan
yang memuat klausul berbunyi “dengan berlakunya kebijakan ini, maka kebijakan
yang lama dicabut dan tidak memiliki akibat hukum”. Perubahan dari yang lama
menjadi yang abru, dari yang boleh menjadi tidak boleh atau sebaliknya, dari
dari larangan menjadi kewajiban atau sebaliknya, dari sah menjadi tidak sah
atau sebaliknya, semuanya berlangsung dalam tempo yang seketika, yakni “pada
saat kebijakan diundangkan”. Sementara inovasi pada umumnya tidak mengubah
kondisi yang lama menjadi yang baru secara frontal. Antara sistem lama dengan
sistem baru yang diinovasi masih memiliki keterkaitan, dimana beberapa hal pada
sistem lama tidak hilang begitu saja pada sistem baru yang lebih inovatif. Inilah
hal yang mendasari pendapat bahwa inovasi bersifat kompatibel, sementara
kebijakan tidak memiliki degree of compatibility
sebesar yang dimiliki inovasi.
Kedua, kebijakan
dan inovasi berbeda dalam hal degree of
creativity. Sekali ditetapkan, maka kebijakan kehilangan sebagian besar
aspek kreativitasnya. Meski masih ada ruang-ruang interpretasi terhadap
ketentuan hukum yang belum jelas, namun ada bahayanya ketika penafsiran hukum
tadi keliru. Lagi pula, tidak semua orang
memiliki hak untuk menafsirkan hukum (droit
function). Hanya para hakim, pembuat peraturan, dan badan/pejabat tata
usaha negara yang memiliki wewenang ini, itupun sebatas kewenangannya
masing-masing. Penafsiran terhadap aturan atau seringkali dikenal dengan
diskresi, hingga saat ini masih belum jelas pengaturannya, dan masih bersifat
konsep yang diakomodir dalam RUU Administrasi Pemerintahan. Sementara dalam
inovasi, kreativitas adalah spirit dan condition
sine qua non. Meski tidak selamanya inovasi lahir dari sebuah pemikiran
kreatif, namun mayoritas inovasi adalah wujud konkrit dari kreativitas. Kreativitas
pada umumnya mendahului lahirnya inovasi.
Perbedaan ketiga antara
kebijakan denagn inovasi adalah bahwa kebijakan publik bukanlah sebuah ujicoba
yang dapat diberlakukan dan dicabut kapan saja. Masyarakat sebagai pihak yang
terkena kebijakan bukanlah sebuah laboratorium dimana segala eksperimen boleh
dilakukan. Para perumus kebijakan haruslah memiliki pengetahuan yang luas, data
yang lengkap, analisis yang mendalam, dan obyektivitas yang tinggi, sehingga
sebuah kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang benar-benar memenuhi
kebutuhan dan harapan banyak orang, mampu mengatasi masalah, dan berkontribusi
pada peningkatan kualitas hidup rakyat secara menyeluruh. Formulasi kebijakan publik
sangat tabu untuk menerapkan pendekatan trial
and error, serta memegang teguh veiligheid
clausule yang berbunyi “jika dikemudian hari ditemukan kekeliruan pada
kebijakan ini, maka akan diperbaiki sebagaimana mestinya”. Meskipun memang
kebijakan dapat direvisi, namun para pembuat kebijakan tidak boleh secara
sengaja bermaksud untuk memperbaikinya sewaktu-waktu. Setiap pembuat kebijakan
harus berpikir dan bertindak cermat agar dapat dihindari terjadinya kesalahan
sekecil apapun dari kebijakan yang dibuat. Pencabutan sebuah kebijakan yang
hanya berlaku sangat singkat seperti kedua kasus diatas, membuktikan rendahnya
kualitas kebijakan dan rendahnya akuntabilitas dari para perancangnya.
Disisi lain, inovasi memiliki degree
of trialability yang cukup tinggi. Ujicoba, ujipetik, ujipublik, atau
apapun namanya, sebuah ide/konsep baru boleh saja dilakukan berkali-kali hingga
tercapai kondisi ideal. Bahkan eksperimen seperti ini bisa disebut sebagai bagian
integral dari siklus inovasi. Sebagaimana pernah saya singgung dalam tulisan
saya berjudul “Manajemen Inovasi”, idealnya sebuah proses inovasi mengandung
proses pematangan melalui inkubasi, atau juga adopsi dan modifikasi. Tahapan ini
adalah sebuah tahap untuk menjamin bahwa inovasi akan benar-benar matang dan
membawa manfaat saat diberlakukan.
Mengingat adanya tiga perbedaan menyolok antara kebijakan dan
inovasi, pertanyaan berikutnya adalah: apakah tertutup peluang inovasi dalam
kebijakan publik? Saya kira, peluang inovasi akan selalu terbuka dalam bidang
apapun termasuk dalam bidang kebijakan. Memngubah orientasi yang asal-asalan
dengan orientasi memenuhi kebutuhan regulasi adalah sebuah inovasi penting
dalam polici-making process. Dengan orientasi
untuk memenuhi kebutuhan sekaligus memecahkan masalah, maka terminasi kebijakan
secara prematur dapat dihindarkan. Selain itu, mengadopsi proses kerja inovasi kedalam
proses kerja kebijakan juga menjadi peluang inovasi yang menarik dalam sistem
manajemen kebijakan. Jika dalam proses manajemen inovasi dimungkinkan adanya “laboratorium”,
maka proses manajemen kebijakan-pun bisa menciptakan “laboratorium” yang akan
dimanfaatkan sebelum silakukan persetujuan dan pengundangan kebijakan. Model “market testing” dalam kebijakan publik
juga dapat diadopsi dari sistem pemasaran komoditas ekonomi tertentu. Maknanya,
sebelum sebuah komoditi (baca: kebijakan) dilempar ke pasar (masyarakat),
terlebih dahulu dibuat produk dummy-nya
untuk melihat respon pasar apakah positif atau negatif. Dalam hal ini, para
perumus kebijakan dituntut memiliki metodologi yang variatif yang bisa saling mengontrol
validitas instrumen dan hasil kebijakannya. Terlepas dari itu semua, para
perumus kebijakan mestilah memiliki kreativitas yang tinggi untuk melahirkan
hal-hal yang tidak biasa-biasa saja, melainkan sesuatu yang mampu menghasilkan
efek “wow”, “aha”, atau “eureka”.
Dengan begitu, maka inovasi dalam kebijakan tidak dipelesetkan
sebagai kekeliruan kebijakan. Dengan inovasi, justru rakyat akan dapat berharap
banyak untuk terciptanya tertib sosial, tertib ekonomi, tertib hukum, dan
tertib administrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, maupun
bernegara.
Salam Inovasi !!
Minggu ceria di Jelupang,
Serpong, 9 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar