Sabtu, 08 Februari 2014

Kebijakan Publik, Inovasi, dan Inovasi Kebijakan



Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan bersama “drama” dalam kebijakan publik. Disebut drama karena kebijakan ini menghadirkan banyak kejutan yang tidak terduga oleh khalayak ramai. Drama pertama adalah soal kenaikan harga elpiji tabung 12 kg. Awalnya, kenaikan harga dipatok sebesar 68 persen atau Rp 3.959 per kg. Dengan harga itu, kenaikan per tabung elpiji 12 kg menjadi Rp 117.708 per tabung (sebelum kenaikan, harga per tabung Rp 70.200). Inilah kejutan pertama yang memicu protes di berbagai daerah. Keputusan untuk menaikkan harga elpiji ini ternyata berdampak luas terutama di kalangan wong cilik, seperti berkurangnya porsi makanan bagi pasien di RSHS Bandung, kembalinya masyarakat pada antrian minyak tanah, terjadinya PHK perusahaan roti di Tasikmalaya, indikasi terjadinya penimbunan dan pengoplosan gas, kenaikan harga di warteg (warung Tegal) dan warkop (warung kopi) antara Rp 500 hingga Rp 1000, dan sebagainya (berbagai sumber dari Kompas Online). Setelah protes meluas dengan salah satunya menduga ada muatan politis dibalik kebijakan tadi, tiba-tiba datanglah kejutan kedua, yakni pengumuman pemerintah bahwa kenaikan harga elpiji 12 kg diturunkan menjadi Rp 1.000 per kg atau Rp 12.000 per tabung. Harga baru itu mulai berlaku 7 Januari (Kompas Online).

Seolah tidak cukup dengan kejutan awal tahun soal elpiji, kebijakan publik di tanah air juga menghidangkan kejutan yang tidak kalah menarik. Kasusnya terkait dengan diberlakukannya Perpres No. 105/2013 tentang Pelayanan Kesehatan Paripurna kepada Menteri dan Pejabat Tertentu, serta Perpres No. 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara. Dengan perpres ini, para menteri, pejabat eselon I, dan pimpinan lembaga negara dimudahkan untuk berobat ke luar negeri. Seluruh biaya itu nantinya akan ditanggung oleh negara. Kedua produk aturan itu dikeluarkan Presiden terkait mulai dilaksanakannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai 1 Januari 2014 (Kompas Online, “Perpres Diteken, Pejabat Dapat Fasilitas Berobat ke Luar Negeri”, 28/12/2013).

Senasib dengan kebijakan kenaikan harga elpiji, Perpres inipun mendapatkan respon negatif secara meluas. Anggota Komisi IX dari Fraksi PDI-P, Rieke Dyah Pitaloka dalam siaran persnya tanggal 28/12/2013 menyatakan bahwa kebijakan ini menyakitkan bagi rakyat. Menurutnya, pemerintah tidak pro pada rakyat miskin, mengingat alokasi anggaran bagi masyarakat miskin tak mampu hanya Rp 19.225 per orang per bulan. Mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya Presiden mencabut kembali kedua Perpres itu sebelum dapat dilaksanakan. Lucunya, argumentasi pemberlakuan kedua Perpres adalah berlakunya SJSN, sementara pembatalannyapun juga menggunakan argumentasi SJSN. Ini menjadi kejutan yang tentunya sangat membingungkan banyak pihak.

Kedua contoh kebijakan diatas memberikan kesan bahwa kebijakan disusun begitu serampangan dan asal-asalan. Seolah para policy makers dapat menerapkan kebijakan apa saja dan kapan saja tanpa harus melakukan studi pendahuluan yang akurat. Kebijakan publik seolah dipandang sebagai praktek trial and error yang lumrah dalam mengelola negara. Hal yang paling ironis adalah bahwa keberanian pemerintah untuk segera mengoraksi kebijakan yang keliru dianggap sebagai sebuah inovasi dalam kebijakan.

Bagi saya, kebijakan yang keliru tetaplah keliru, sehingga meski segera disadari kekeliruannya dan segera dikoreksi, tetap saja tidak boleh dikatakan sebagai sebuah inovasi. Dalam hal ini, antara kebijakan dan inovasi memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar. Pertama, sebuah kebijakan pada umumnya meniadakan kebijakan yang lama, atau bersifat kontradiktif. Meski tidak selalu demikian, banyak kebijakan yang memuat klausul berbunyi “dengan berlakunya kebijakan ini, maka kebijakan yang lama dicabut dan tidak memiliki akibat hukum”. Perubahan dari yang lama menjadi yang abru, dari yang boleh menjadi tidak boleh atau sebaliknya, dari dari larangan menjadi kewajiban atau sebaliknya, dari sah menjadi tidak sah atau sebaliknya, semuanya berlangsung dalam tempo yang seketika, yakni “pada saat kebijakan diundangkan”. Sementara inovasi pada umumnya tidak mengubah kondisi yang lama menjadi yang baru secara frontal. Antara sistem lama dengan sistem baru yang diinovasi masih memiliki keterkaitan, dimana beberapa hal pada sistem lama tidak hilang begitu saja pada sistem baru yang lebih inovatif. Inilah hal yang mendasari pendapat bahwa inovasi bersifat kompatibel, sementara kebijakan tidak memiliki degree of compatibility sebesar yang dimiliki inovasi.

Kedua, kebijakan dan inovasi berbeda dalam hal degree of creativity. Sekali ditetapkan, maka kebijakan kehilangan sebagian besar aspek kreativitasnya. Meski masih ada ruang-ruang interpretasi terhadap ketentuan hukum yang belum jelas, namun ada bahayanya ketika penafsiran hukum tadi keliru. Lagi pula, tidak semua orang memiliki hak untuk menafsirkan hukum (droit function). Hanya para hakim, pembuat peraturan, dan badan/pejabat tata usaha negara yang memiliki wewenang ini, itupun sebatas kewenangannya masing-masing. Penafsiran terhadap aturan atau seringkali dikenal dengan diskresi, hingga saat ini masih belum jelas pengaturannya, dan masih bersifat konsep yang diakomodir dalam RUU Administrasi Pemerintahan. Sementara dalam inovasi, kreativitas adalah spirit dan condition sine qua non. Meski tidak selamanya inovasi lahir dari sebuah pemikiran kreatif, namun mayoritas inovasi adalah wujud konkrit dari kreativitas. Kreativitas pada umumnya mendahului lahirnya inovasi.

Perbedaan ketiga antara kebijakan denagn inovasi adalah bahwa kebijakan publik bukanlah sebuah ujicoba yang dapat diberlakukan dan dicabut kapan saja. Masyarakat sebagai pihak yang terkena kebijakan bukanlah sebuah laboratorium dimana segala eksperimen boleh dilakukan. Para perumus kebijakan haruslah memiliki pengetahuan yang luas, data yang lengkap, analisis yang mendalam, dan obyektivitas yang tinggi, sehingga sebuah kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang benar-benar memenuhi kebutuhan dan harapan banyak orang, mampu mengatasi masalah, dan berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup rakyat secara menyeluruh. Formulasi kebijakan publik sangat tabu untuk menerapkan pendekatan trial and error, serta memegang teguh veiligheid clausule yang berbunyi “jika dikemudian hari ditemukan kekeliruan pada kebijakan ini, maka akan diperbaiki sebagaimana mestinya”. Meskipun memang kebijakan dapat direvisi, namun para pembuat kebijakan tidak boleh secara sengaja bermaksud untuk memperbaikinya sewaktu-waktu. Setiap pembuat kebijakan harus berpikir dan bertindak cermat agar dapat dihindari terjadinya kesalahan sekecil apapun dari kebijakan yang dibuat. Pencabutan sebuah kebijakan yang hanya berlaku sangat singkat seperti kedua kasus diatas, membuktikan rendahnya kualitas kebijakan dan rendahnya akuntabilitas dari para perancangnya.

Disisi lain, inovasi memiliki degree of trialability yang cukup tinggi. Ujicoba, ujipetik, ujipublik, atau apapun namanya, sebuah ide/konsep baru boleh saja dilakukan berkali-kali hingga tercapai kondisi ideal. Bahkan eksperimen seperti ini bisa disebut sebagai bagian integral dari siklus inovasi. Sebagaimana pernah saya singgung dalam tulisan saya berjudul “Manajemen Inovasi”, idealnya sebuah proses inovasi mengandung proses pematangan melalui inkubasi, atau juga adopsi dan modifikasi. Tahapan ini adalah sebuah tahap untuk menjamin bahwa inovasi akan benar-benar matang dan membawa manfaat saat diberlakukan.

Mengingat adanya tiga perbedaan menyolok antara kebijakan dan inovasi, pertanyaan berikutnya adalah: apakah tertutup peluang inovasi dalam kebijakan publik? Saya kira, peluang inovasi akan selalu terbuka dalam bidang apapun termasuk dalam bidang kebijakan. Memngubah orientasi yang asal-asalan dengan orientasi memenuhi kebutuhan regulasi adalah sebuah inovasi penting dalam polici-making process. Dengan orientasi untuk memenuhi kebutuhan sekaligus memecahkan masalah, maka terminasi kebijakan secara prematur dapat dihindarkan. Selain itu, mengadopsi proses kerja inovasi kedalam proses kerja kebijakan juga menjadi peluang inovasi yang menarik dalam sistem manajemen kebijakan. Jika dalam proses manajemen inovasi dimungkinkan adanya “laboratorium”, maka proses manajemen kebijakan-pun bisa menciptakan “laboratorium” yang akan dimanfaatkan sebelum silakukan persetujuan dan pengundangan kebijakan. Model “market testing” dalam kebijakan publik juga dapat diadopsi dari sistem pemasaran komoditas ekonomi tertentu. Maknanya, sebelum sebuah komoditi (baca: kebijakan) dilempar ke pasar (masyarakat), terlebih dahulu dibuat produk dummy-nya untuk melihat respon pasar apakah positif atau negatif. Dalam hal ini, para perumus kebijakan dituntut memiliki metodologi yang variatif yang bisa saling mengontrol validitas instrumen dan hasil kebijakannya. Terlepas dari itu semua, para perumus kebijakan mestilah memiliki kreativitas yang tinggi untuk melahirkan hal-hal yang tidak biasa-biasa saja, melainkan sesuatu yang mampu menghasilkan efek “wow”, “aha”, atau “eureka”.

Dengan begitu, maka inovasi dalam kebijakan tidak dipelesetkan sebagai kekeliruan kebijakan. Dengan inovasi, justru rakyat akan dapat berharap banyak untuk terciptanya tertib sosial, tertib ekonomi, tertib hukum, dan tertib administrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, maupun bernegara.

Salam Inovasi !!

Minggu ceria di Jelupang,
Serpong, 9 Februari 2014.

Tidak ada komentar: