Kasus dugaan plagiat yang menimpa AA,
seorang Guru Besar universitas terkemuka yang sekaligus seorang Direktur
Jenderal di sebuah Kementerian, menarik untuk dicermati dari aspek etika. Meski
sesungguhnya bersifat universal, namun penerapan etika bisa kontekstual tergantung
milieu dimana nilai-nilai etis
berkembang. Di dunia akademik, plagiasi bukan hanya sebuah pelanggaran etika,
namun juga bisa dikatakan sebuah kejahatan intelektual. Itulah sebabnya,
ancaman terhadap tindak penjiplakan ini sangat berat, bukan hanya berupa sanksi
akademik seperti pencabutan gelar atau pemberhentian dari jabatan akademik,
namun bisa juga berupa hukuman penjara dan denda. Hal ini sesuai dengan ketentuan
pasal 1 UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta yang menegaskan bahwa barangsiapa
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
1 juta, atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 5 miliar. Pasal 2 ayat (1) sendiri menjelaskan bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Adapun jenis-jenis Ciptaan
yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra,
yang antara lain mencakup buku, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis
lain.
Sementara itu, di dunia birokrasi
persoalan plagiasi sepertinya tidak mendapat perhatian yang cukup. Mungkin hal
ini dipandang bukan bagian dari urusan birokrasi. Urusan kepegawaian dan
akademik seolah adalah sebuah dikotomi. Itulah sebabnya, dalam hal seorang PNS adalah
juga seorang dosen, jika ia melakukan perbuatan plagiarism, hampir dapat
dipastikan bahwa penyelesaiannya dilakukan melalui jalur akademiknya, bukan
jalur birokrasi. Fenomena banyaknya studi banding untuk meniru atau meng-cloning sebuah kebijakan, sedikit banyak
menjelaskan budaya kurang kreatifnya sistem penyelenggaraan pemerintahan di
negeri ini.
Kasus AA diatas mengkonfirmasi gejala
dikotomi dalam alam birokrasi dan dunia akademisi. Seketika setelah dugaan
plagiasi merebak, beliau langsung mengundurkan diri sebagai dosen di PTN tertua
di Indonesia itu, namun tidak mundur dari jabatannya selaku Direktur Jenderal. Dan
faktanya, memang tidak ada tuntutan sama sekali untuk mundur dari jabatannya
ini. Kasus telah ditutup dan dianggap selesai dengan pengunduran dirinya selaku
staf pengajar. Ini berbeda sekali dengan kasus yang menimpa Presiden Hongaria Pal Schmitt. Pada tanggal 2 April 2012 yang lalu, ia
meletakkan jabatan sebagai Presiden setelah gelar doktornya pada 1992 dicabut oleh
Semmelweis University di Budapest sesudah adanya pernyataan ia menjiplak
sebagian dari disertasi setebal 200 halaman. Semula, Schmitt tetap bertahan dan
bersikeras ia "tak melihat hubungan" antara masalah plagiat dan
pekerjaannya. Kasus
serupa terjadi di Jerman tahun 2011, dimana Menteri Pertahanan Jerman saat itu
Karl-Theodor zu Guttenberg juga meletakkan jabatan sehubungan dengan tuduhan
melakukan plagiat dalam disertasi doktornya (Kompas Online, 3/4/2012).
Tanpa bermaksud memperlebar kasus, ada
hal menarik untuk dicermati di negeri ini. Etika yang sesungguhnya bersifat universal,
ternyata tidak dapat diterapkan secara sama pada situasi dan lingkungan yang
berbeda. Ini sama persis dengan demokrasi atau hak asasi manusia yang juga
merupakan nilai-nilai universal, namun kenyataannya selalu diadopsi dengan
penyesuaian berdasarkan kondisi dan tata nilai lokal. Maka, standar etika
publik di Eropa dan Amerika, tidak serta merta dapat diterapkan apa adanya di
Indonesia. Demikian pula, demokrasi Barat sangat berbeda dengan demokrasi Pancasila.
Konsep human rights yang ada di
negara maju-pun bisa sangat berbeda dengan model pernghargaan dan perlindungan
HAM di banyak negara berkembang termasuk Indonesia.
Pertanyaan usil yang dapat diajukan adalah, mengapa banyak kecenderungan orang-orang
penting (sebagian juga pejabat tinggi di pemerintahan) melakukan plagiasi? Saya
menduga, orang-orang seperti itu memiliki “tim penulis”. Artinya, tidak semua
tulisan mereka benar-benar lahir dari pemikiran mereka, atau ditulis sendiri
dengan jari-jemari mereka. Jangankan para pejabat yang memiliki kesibukan yang
begitu tinggi, dosen berpangkat Lektorpun banyak yang memiliki perilaku opportunistic dengan “mengerjai”
mahasiswanya untuk menulis paper atas nama mereka atau nama berdua. Seorang kolega
saya adalah buktinya. Pada tahun 2012, ia bersama mahasiswanya menulis makalah
tentang desentralisasi asimetris, dan ternyata 3 halaman dari makalah itu adalah
jiplakan 100% dari tulisan saya pada tahun 2010. Mental mendapat keuntungan
instan dengan memanfaatkan tenaga pihak lain inilah yang menurut saya menjadi
sumber utama maraknya kasus plagiasi di berbagai lembaga pendidikan dan di
berbagai wilayah. Dan mental seperti ini jelas bukan mental yang menjunjung
tinggi etika birokrasi maupun etika akademis. Disinilah kita merasa sangat
sedih. Jika para pejabat dan para ilmuwan saja mengabaikan nilai-nilai etika
dan moral dalam pekerjaan mereka, bagaimana kita berharap dapat membangun
bangsa yang maju, beradab, dan berlandaskan spirit Ketuhanan?
Dalam konteks perbaikan kedepan, perlu
dibangun standarisasi prinsip-prinsip atau asas etika yang universal. Budaya “jalan
pintas” juga harus dikikis habis dengan mengembangkan kepercayaan diri, menjaga
kehormatan diri, dan meningkatkan terus profesionalisme. Tidak ada hasil bagus
yang diperoleh dengan cara instan, apalagi melalui eksploitasi tenaga dan
pikiran orang lain. Ini adalah jaman merdeka dalam arti yang hakiki, sehingga
tidak dibenarkan terjadi “perbudakan model baru” dari seorang dosen terhadap
mahasiswanya, atau dari pejabat terhadap anak buahnya. Ini semua adalah problem
budaya kolektif kebangsaan yang membutuhkan waktu panjang untuk mengatasinya. Namun
jika tidak dari sekarang, kapan lagi. Dan jika bukan dari kita, dari siapa
lagi? Komitmen kita untuk memegang teguh nilai-nilai etika, prinsip-prinsip moral,
dan sistem hukum dalam seluruh sendi kehidupan, akan menentukan kualitas bangsa
kita di masa depan!
Minggu malam di Serpong, 23 Februari
2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar