Dalam hidup
keseharian republik ini, boleh jadi terlalu banyak kebodohan yang justru
dilakukan oleh manusia yang cerdas secara intelektual.
Contoh
paling gres dapat kita saksikan dalam
beberapa hari terakhir ini terkait berita tidak sedap tentang rusak dan
berkaratnya bus yang baru didatangkan dari China. Kompas Online (10/2/2014) melaporkan bahwa 5 dari 90 bus baru Transjakarta
dan 10 dari 18 bus baru untuk bus kota terintegrasi busway (BKTB)
mengalami kerusakan di sejumlah komponennya. Misalnya, banyak komponen
berkarat, berjamur, dan beberapa instalasi tidak dibaut. Bahkan ada yang tidak
ada fanbelt mesin. Alasan dari Dinas Perhubungan maupun dari ATPM
(Agen Tunggal Pemegang Merk) penyedia bus Transjakarta bahwa berkaratnya
komponen bus tadi disebabkan oleh cuaca buruk dan korosi akibat cipratan air
laut saat pengapalan dari Beijing sampai Tanjur Priuk, dinilai oleh Gubernur
DKI sebagai tidak masuk akal. Jokowi mengatakan: "Masa di dalam kapal
tongkang kena air laut. Kita kan ngirim gini ndak sekali dua kali."
Pernyataan ini diperkuat oleh Wagub DKI Ahok yang dengan geram mengatakan: “Mana
ada kena uap laut bisa karatan. Ini besi apa seng?" Maka,
wajar saja jika muncul kecurigaan bahwa komponen bus tadi adalah barang bekas,
bahkan salah satu judul berita di Kompas
Online menulis dengan judul yang sedikit provokatif, yakni “Transjakarta
diduga bekas, Jokowi ditipu Perusahaan China?”
Jika Gubernur
DKI dan Wakilnya saja begitu geram dengan ulah oknum-oknum tidak
bertanggungjawab dalam pengadaan bus ini, bagaimana dengan rakyat yang
menggunakan langsung bus-bus tersebut? Saya sendiri jauh hari sebelum kasus ini
muncul, punya kesan yang negatif tentang kualitas bus Transjakarta ini. Saya
perhatikan, bahwa mayoritas bus yang ada saat ini kondisinya sangat tidak
layak. Untuk melihatnya saja saya cenderung jijik dan muak. Bus Transjakarta
yang mestinya menjadi icon Jakarta
dan berbeda “kelas” dibanding moda sejenis seperti Kopaja, Metro Mini,
Mayasari, dan sejenisnya, ternyata setali tiga uang. Dari dulu hingga sekarang
saya tidak habis pikir, bagaimana bus baru yang dikelola oleh pemerintah dengan
anggaran amat besar bisa tampil begitu kumuh? Di tengah-tengah gebyar kota
Jakarta yang makin modern, keberadaan Transjakarta terkesan memperburuk wajah
kota laksana jerawat-jerawat yang pecah dan bernanah. Dan sekarang barulah saya
mendapatkan jawabannya, bahwa yang kita beli dari negeri seberang memang
“jerawat”, bukan obat terhadap jerawat-jerawat kota kita. Yang kita miliki
memang bus-bus bekas yang dalam waktu singkat akan menjadi sampah, bukannya
sarana transportasi yang akan menjadi solusi kemacetan kota.
Bagi saya, ini
adalah kebodohan kolektif bangsa. Perilaku oknum yang mencari keuntungan
pribadi dan sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara, adalah kebodohan
pertama. Sikap pejabat atau pengusaha yang mestinya berani secara ksatria
menyatakan tanggungjawab namun malah mencari alasan pembenar yang tidak masuk
akal, adalah kebodohan kedua. Minimnya kepedulian terhadap dampak buruk yang
mungkin timbul dari pemakaian barang bekas adalah kebodohan ketiga. Kelemahan
diplomasi maupun penguasaan teknologi yang rendah sehingga kita terima saja
barang rongsok dari China adalah kebodohan keempat. Tidak adanya sense of quality terhadap produk layanan,
sense of dignity terhadap semangat kebangsaan, dan sense of devotion terhadap nilai-nilai kepublikan, adalah kebodohan
kelima. Ketidaksadaran bahwa sesungguhnya kita sedang dibodohi bangsa lain
adalah kebodohan keenam. Tentu, akan ada kebodohan ketujuh, kedelapan, dan
seterusnya, jika kita rinci lebih detil.
Sayangnya,
kebodohan-kebodohan sejenis seperti menjadi hal yang biasa dalam keseharian
kita. Kebodohan yang lain misalnya saya saksikan di sepanjang Jalan S. Parman,
Jakarta Pusat, di deretan depan RS. Jantung Harapan Kita dan RS. Kanker
Dharmais, terkait penggantian trotoar. Seandainya saya anggota DPRD DKI,
meskipun saya melihat bahwa trotoar lama masih cukup baik, namun penggantian
trotoar tetap saya dukung. Sebab, selain memperindah wajah kota dan
meningkatkan hak para pejalan kaki, pembangunan trotoar baru ini juga
dilengkapi dengan ubin kuning bergaris yang khusus diperuntukkan bagi
penyandang tuna netra. Dengan demikian, pembangunan trotoar ini adalah wujud
kepedulian pemerintah untuk menciptakan pelayanan publik yang inklusif. Namun,
pengerjaan yang asal-asalan menjadikan proyek ini terjerumus pada sindrom
kebodohan lagi. Tidak ratanya ubin satu dengan ubin lainnya, terputusnya ubin
kuning bergaris oleh tutup gorong-gorong, tidak tuntasnya pengerjaan (seperti
ditinggal begitu saja), menumpuknya material bekas galian di beberapa titik,
dan seterusnya, membelalakkan mata siapa saja yang menyaksikan bahwa kebodohan
sedang terhampar di depan kita. Berapa kerugian biaya, waktu, tenaga, dan kesempatan
dari pola kerja yang bodoh dan serampangan seperti ini? Apalagi jika ada yang
berharap bahwa tahun anggaran yang akan datang akan dapat dialokasikan lagi
proyek sejenis, itu adalah kebodohan yang teramat bodoh. Sungguh saya sedih
sekaligus marah dalam hati melihat hal-hal seperti ini.
Kebodohan lain
juga dengan mudah kita dapatkan, misalnya berupa iklan rokok yang
dilakukan begitu agresif, namun tidak malu-malu menuliskan peringatan dengan
huruf besar berbunyi “Merokok Membunuhmu”. Coba perhatikan, peringatan yang
disertakan dalam iklan tadi begitu jelas dan tegas, tidak seperti peringatan
yang kita lihat selama ini yang berbunyi “Peringatan
pemerintah: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan
gangguan kehamilan dan janin”.
Saya amat terkejut membaca iklan seperti
itu. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang menyadari sepenuhnya bahwa
merokok adalah sebuah “aksi pembunuhan” secara perlahan, namun dia tetap
memproduksi rokok secara massif serta mengkampanyekan pola hidup terkutuk
secara gencar? Mengapa saya katakan terkutuk? Karena, ditegaskan sendiri oleh
industri rokok bahwa merokok dapat membunuh si perokok. Dengan kata lain,
merokok sama artinya dengan bunuh diri perlahan-lahan. Dan jika kita tahu bahwa
ada ribuan – mungkin jutaan – orang sedang bunuh diri secara perlahan-lahan,
mengapa kita diam saja seolah tidak ada masalah sama sekali? Jika merokok
memang membunuh manusia, mengapa pihak berwajib yakni Kepolisian juga
membiarkan saja? Bukankah pembunuhan adalah sebuah sebuah aksi kriminal? Apa
bedanya membunuh dengan racun dengan membunuh dengan (racun) nikotin yang ada
dalam rokok?
Pembiaran oleh pemerintah untuk terus
mengijinkan industri rokok, pembiaran oleh aparat hukum terhadap “pembunuhan”
melalui rokok, pembiaran seorang perokok terhadap rokok yang menggerogoti jiwa
raganya, pembiaran iklan hipokrit ditayangkan dimana-mana, pembiaran kampanye
merokok tayang di berbagai media advertorial, dan seterusnya, sekali lagi
adalah bentuk kebodohan kolektif yang berlarut-larut.
Entah mengapa kebodohan seperti ini
berlangsung terus menerus, bahkan sering tidak kita sadari. Entah mengapa ada
kesan kebodohan-kebodohan ini terus kita langgengkan. Kegagalan kita untuk
segera menemukan cara yang jitu untuk keluar dari berbagai kebodohan diatas,
adalah juga kebodohan kita. Jangan-jangan kita memang sudah masuk dalam
perangkap kebodohan, sehingga hal secerdas apapun yang kita lakukan, hakekatnya
tidak lebih hanya sebuah kebodohan belaka.
Naudzubillahi min dzalik … Semoga Allah
SWT, Tuhan YMK melindungi bangsa ini dari berbagai kebodohan dan menjadikan
negeri ini sebagai rahmat bagi seluruh penghuninya.
Gedung B Lantai 5 Jl. Veteran 10.
Jakarta, 11 Februari 2014.
2 komentar:
keren nih, cek disini untuk penyebab orang membuat kebodohan publik https://sampaikapan.com/kenapa-orang-berbuat-kebodohan-publik/
keren nih, cek disini untuk penyebab orang membuat kebodohan publik https://sampaikapan.com/kenapa-orang-berbuat-kebodohan-publik/
Posting Komentar