Pernahkah Anda berpikir untuk
menghubungkan fungsi geospasial dengan perencanaan SDM aparatur? Mungkin belum,
namun itulah yang saat ini sedang menjadi wacana yang hangat diperbincangkan.
Dan wacana itu pulalah yang memberikan inspirasi bagi saya untuk menulis
artikel pendek ini. Ide itu sendiri bermula dari informasi sahabat saya di
Badan Informasi Geo Spasial (BIGS) yang bersama-sama Kedeputian SDM Kementerian
PAN dan RB menggagas "perencanaan SDM aparatur berbasis
geospasial". Menurut sahabat saya tadi, saat ini program-program strategis
pembangunan masih belum optimal disokong SDM yang kompeten. Contohnya, saat kebijakan
MP3EI digulirkan, belum ada peta kebutuhan SDM yang akan mendukung arah
pengembangan masing-masing koridor ekonomi.
Konkritnya, MP3EI bukanlah
program yang berdiri sendiri, demikian pula kebijakan man power planning untuk aparatur. Program perencanaan dan
pengembangan pegawai haruslah diarahkan untuk mendukung seluruh fungsi dan
tugas-tugas pemerintahan, baik yang bersifat sektoral, regional, maupun lintas
sektoral dan lintas regional, termasuk program MP3EI. Logikanya, dengan lahir
dan berlakunya MP3EI, perencanaan kebutuhan PNS akan mengalami penyesuaian.
Disamping itu, MP3EI mestinya juga mempengaruhi reposisi (mutasi dan rotasi)
pegawai, bukan hanya antar SKPD dalam sebuah daerah, namun juga antar daerah
dan antar tingkatan pemerintahan. Tanpa adanya adjustment dalam manajemen kepegawaian, implementasi MP3EI mungkin
sekali akan mengahdapi banyak kendala. Tentu saja, adjustment juga diperlukan untuk pada bidang manajemen keuangan,
kelembagaan, atau bidang-bidang lain yang relevan.
Jika ternyata tidak ada
interkoneksi antar kedua kebijakan tadi (MP3EI dan perencanaan SDM aparatur),
itu hanya menandakan sebuah sistem yang terfragmentasi (fragmented policy). Dan kebijakan seperti itu tidak akan
menghasilkan apapun kecuali kesia-siaan saja. Kebijakan seperti ini hanya
menjadi onggokan yang tidak bernilai apa-apa. Oleh karena itu, perlu didorong
inovasi kebijakan untuk menciptakan sistem yang lebih terintegrasi (integrated policy). Dalam kebijakan
terintegrasi ini, onggokan yang satu akan dibuat terkait dan saling tergangtung
dengan onggolan yang lain, membentuk sebuah sistem yang utuh dan bermanfaat.
Itulah sebabnya, mengintegrasikan dua atau lebih sistem yang terpisah menjadi
sistem baru yang lebih besar dan memiliki keterkaitan, saya anggap sebagai
sebuah inovasi.
Selain integrasi antara MP3EI dan
perencanaan SDM aparatur, integrasi sistem juga sangat mungkin diterapkan pada
berbagai hal. Sebagai contoh, kebijakan pengembangan pariwisata mestinya bisa
diintegrasikan dengan kebijakan perhubungan. Artinya, Kementerian Perhubungan
dalam membuka trayek baru transportasi udara, laut, maupun darat, idealnya
dikoordinasikan dengan rencana pengembangan tujuan wisata baru yang dirancang
oleh Kementerian Pariwisata. Kebijakan pemberian potongan tariff transportasi
juga bisa disesuaikan dengan daerah tujuan. Ini semua untuk menghasilkan efek
sinergi antar sistem dan penguatan secara resiprokal, sehingga terbangunlah multiplier effects yang lebih luas.
Integrasi sistem pariwisata dengan sistem perhubungan tadi bisa juga
diintegrasikan lagi dengan kebijakan pembangunan infrastruktur, atau dengan
kebijakan pengembangan koperasi dan UKM. Semakin luas wilayah sistem atau
kebijakan yang bisa diintegrasikan, tentu akan semakin besar manfaat yang bisa
diperoleh. Sebaliknya, semakin besar fragmentasi kebijakan, semakin besar pula pemborosan
energi dan sumber daya nasional. Demikian pula, fungsi diplomasi luar negeri
mestinya terintegrasi dengan promosi kebudayaan; fungsi pengembangan teknologi terhubung
denagn sistem penganggaran; fungsi pemberdayaan masyarakat desa terintegrasi
strategi pengembangan perdagangan dan perindustrian, dan seterusnya.
Jika integrasi antar sistem yang
tidak serumpun bisa dilakukan seperti contoh diatas, maka menjadi ironis jika
sektor-sektor serumpun justru sering mengalami benturan kebijakan, overlapping tugas dan fungsi, atau
pembiayaan ganda. Sebagai contoh, instansi pemerintah yang berbasis tanah
seperti BPN, Kementerian Kehutanan dan Perkebunan, Kementeruan Pertanian, dan
Kementerian Pertambangan serta fungsi perumahan di Kementerian PU, mestinya
memiliki kesadaran untuk membuat integrasi antar sistem agar menjadi lebih
harmonis, mengandung solidaritas antar sistem (tidak ada egoisme sektor), serta
sinergis menuju pada tujuan kebangsaan yang sama.
Pertanyaan yang perlu diajukan
adalah, apa perbedaan integrasi dan simplifikasi sebagai sebuah konsep inovasi?
Sebagaimana saya tulis pada artikel sebelumnya, simplifikasi juga bisa menjadi modus atau pola inovasi. Pada model simplifikasi,
terjadi pengurangan tahapan proses yang tidak diperlukan, atau terjadi
penggabungan beberapa sistem menjadi sistem yang baru dan meninggalkan yang
lama. Sedangkan pada model integrasi, masing-masing sistem masih berjalan
sebagaimana sebelumnya, hanya dibuat terhubung (interconnected) satu dengan yang lain, sehingga lebih
mengoptimalkan manfaat dari setiap sistem yang terhubung tersebut. disamping
perbedaan, ada persamaan diantara keduanya yakni bahwa dalam proses
simplifikasi sangat mungkin terjadi integrasi secara simultan, sedangkan dalam
proses integrasi dimungkinkan pula terjadi proses simplifikasi. Keduanya tidak
hanya membentuk hubungan alternatif (pilihan) dalam berinovasi, namun juga bisa
saling melengkapi atau komplementer.
Meskipun tidak memiliki data yang
detil dan akurat, saya punya keyakinan bahwa di negeri ini masih banyak
fragmentasi sistem yang terjadi, bukan hanya antar sektor, antar daerah, atau
antar tingkatan pemerintahan, namun juga fragmentasi di dalam sebuah organisasi
yang relatif kecil. Saya juga yakin bahwa fragmentasi sistem yang terjadi telah
disadari oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, sungguh sebuah
kerugian besar jika bangsa ini tidak segera berinovasi untuk menciptakan integrasi
sistem secara nasional, dimulai dengan integrasi sistem yang terkecil di
lingkungan instansi masing-masing.
Serpong, 26 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar