Senin, 03 Februari 2014

Kambing Hitam Bernama "Inovasi"


Sungguh kasihan makhluk bernama inovasi. Ia sesungguhnya telah ada dan dilakukan semenjak adanya manusia, namun jarang ada manusia yang menyadari keberadaannya. Bagaimana manusia menciptakan api dengan membenturkan dua batu untuk menciptakan cipratan api, atau dengan memfokuskan sinar matahari dengan menggunakan kaca cekung, atau menciptakan korek api, atau menciptakan kompor gas, adalah rangkaian inovasi dalam kehidupan sehari. Juga perkembangan tradisi tulis dari menulis di dinding-dinding gua, menulis di daun lontar, menulis di prasasti, dan menulis di kertas, adalah inovasi besar dalam peradaban manusia. Namun karena sering tidak disadari bahwa itu adalah inovasi, maka inovasi menjadi sesuatu yang “ada namun tiada”.  

Padahal, kesadaran tentang inovasi (innovation awareness) dan kesadaran untuk berinovasi (consciousness to innovate) ini menurut saya adalah hal yang penting. Kesadaran bahwa inovasi bisa (untuk tidak mengatakan mudah) dilakukan dan terbukti memberi manfaat positif, akan mendorong manusia untuk melakukan inovasi dengan sengaja (intentional innovation) secara berkelanjutan. Selama ini inovasi seolah-olah adalah sebuah kebetulan semata, atau sekedar hidayah Allah kepada hamba-Nya atas dasar rasa belas kasihan-Nya yang tidak terbatas. Inovasi adalah hak – bahkan kewajiban – umat manusia untuk terus meningkatkan harkat dan martabat kemanusiannya. Kesadaran seperti inilah yang harus dibangkitkan.  

Ketika kesadaran tentang inovasi dan kesadaran untuk berinovasi belum tumbuh, mustahil untuk menjadikan inovasi sebagai sebuah disiplin ilmu lengkap dengan pranata (sistem dan mekanisme) pengelolaannya. Proses mengelola inovasi (managing innovation) hanya mungkin terjadi dalam lingkungan yang sudah menyadari arti pentingnya inovasi.  

Selain belum adanya kesadaran tentang inovasi, harus diakui pula bahwa selama ini banyak salah paham tentang inovasi. Tokoh sekelas Wakil Menteri yang Profesor Doktor-pun sempat melontarkan pendapat bahwa inovasi adalah sebuah terobosan diluar kerangka aturan atau sesuatu yang melanggar hukum (breaking the rule). Inovasi lantas menjadi sesuatu yang dicintai sekaligus dibenci. Kata orang Sunda, geuleuh tapi deudeuh. Dimana-mana inovasi dibicarakan, diapresiasi, dan didorong, namun pada saat yang sama muncul desakan untuk melindungi nasib pejabat yang melakukan inovasi. Inovasi terkesan sebagai sebuah kreativitas yang berisiko hukum. Beberapa kasus seolah mengkonfirmasi premis seperti ini. Bupati Sragen, Untung Wiyono, misalnya, adalah sosok yang memiliki inovasi besar dengan menciptakan One Stop Service (OSS) namun terjerat dugaan tindak pidana korupsi. Demikian pula Bupati Jembrana, I Gusti Winasa yang mampu berinovasi dengan menciptakan struktur perangkat daerah yang ramping dan efisien sehingga mampu memanfaatkan APBD yang kecil untuk pelayanan gratis bidang kesehatan dan pendidikan, namun akhirnya juga terjerat dugaan kasus korupsi. Banyak lagi para Kepala Daerah atau pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi kemudian mengkambinghitamkan inovasi sebagai faktor penyebabnya. Maka, muncullah kesan banyak orang yang membenarkan bahwa inovasi identik dengan pelanggaran aturan.  

Mendagri Gamawan Fauzi sendiri dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR-RI dan DPD-RI, 6/02/2013, pernah mengatakan bahwa sekarang ini ada 524 daerah otonom. Dari jumlah itu, 290 kepala daerahnya sudah jadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Mayoritas atau sekitar 86 persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena terkait korupsi. Ironisnya, kasus hukum seperti itu sering dikaitkan dengan inovasi. Padahal, semua itu sesungguhnya bukan implikasi dari inovasi, melainkan murni tindakan korupsi (penyalahgunaan wewenang atau anggaran). Inovasi keliru jika diterjemahkan sebagai breaking the rule, namun lebih tepat dimaknakan sebagai breaking the old mind and habit, yakni menjalankan sesuatu dengan cara baru untuk mempercepat/ memperbesar hasil tanpa harus melanggar aturan.  

Common misunderstanding seperti ini jelas sangat berbahaya. Jika inovasi adalah pelanggaran aturan, maka semestinya inovasi tidak didorong atau diapresiasi, apalagi dijadikan sebagai kebijakan. Jika inovasi memang bertentangan dengan hukum, maka inovasi harus dihukum berat, kalau perlu harus dihapus dari kamus apapun yang dimiliki manusia. Pada gilirannya, kesalahpahaman seperti ini juga mengakibatkan penolakan, keengganan, dan ketakutan untuk berinovasi. Padahal, sangat boleh jadi yang terjadi sebenarnya adalah mereka enggan atau tidak mampu berinovasi, sehingga terjadilah pelanggaran hukum tadi. 

Inilah yang saya katakan sebagai kesalahpahaman tentang inovasi. Inovasi difitnah sebagai biang keladi kasus korupsi. Padahal, KUHP maupun UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri tidak menyebutkan sama sekali kata inovasi sebagai unsur korupsi. Unsur umum dari korupsi adalah perbuatan melanggar hukum, menyalahgunakan wewenang, merugikan keuangan negara, serta memperkaya diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, sikap mencampuradukkan inovasi dengan pelanggaran hukum harus segera dihentikan. Korupsi adalah korupsi, breaking the rule is breaking the rule, dan inovasi adalah inovasi. Tidak bisa dikatakan bahwa korupsi adalah inovasi, inovasi adalah korupsi, atau inovasi adalah pelanggaran hukum. 

Maka, ide perlindungan bagi pejabat yang melakukan inovasi itu adalah sebuah kesia-siaan atau membuang-buang energi saja. Setiap inovasi – tentu saja yang tidak melanggar hukum – pastilah dengan sendirinya akan mendatangkan rasa hormat dan apresiasi dari berbagai pihak. Sementara seorang koruptor atau pelanggar hukum jelas-jelas tidak dapat dilindungi dengan alasan apapun. 

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana seandainya inovasi tadi gagal? Sepanjang tidak ada aturan yang ditabrak, dan tidak dilandasi oleh niat-niat jahat, maka tidak ada masalah dengan inovasi yang dikatakan “gagal” tadi. Dalam hal ini perlu ada kesepakatan nasional bahwa kegagalan adalah hal yang biasa dalam sebuah manajemen atau organisasi. Tidak ada jaminan bahwa inovasi harus selalu menghasilkan kemanfaatan seketika (instant result). Bahkan seorang Thomas Alva Edison mengalami “kegagalan” 1000 kali untuk menemukan bola lampu. Namun, “kegagalan” tadi harus diterjemahkan sebagai bagian dari proses untuk menemukan keberhasilan. Yang terpenting, ketika seseorang sudah mengindikasikan bahwa inovasi yang dijalankan hanya sebuah kesia-siaan, maka secepatnya ia harus melakukan inovasi baru yang lebih baik. 

Agar inovasi tidak semakin terpuruk sebagai kambing hitam dalam kegagalan di semua bidang pemerintahan, maka saya mengusulkan perlunya kriteria untuk menilai sebuah inisiatif atau perubahan, apakah dapat dikategorikan sebagai inovasi ataukah tidak. Pertama, ada tidaknya dampak positif atau kemanfaatan dari suatu inisiatif perubahan. Inovasi ternyata tidak selalu membawa kebaikan, seperti ungkapan Rhenald Kasali dalam tulisannya berjudul “Turnaround” (Koran Sindo, 7-11-2013) sebagai berikut: “Adalah entrepreneur yang memicu perubahan, pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sekaligus sebagai mesin penghancur ekonomi dunia dengan inovasi-inovasinya”.  

Kedua, mampukah inisiasi perubahan mampu memberi solusi terhadap masalah. Sebagaimana dikatakan oleh Peter F. Drucker dalam tulisannya berjudul 7 Sources of Innovation (2006, Innovation and Entrepreneurship, HarperCollins) salah satu sumber inovasi adalah Incongruities. Maknanya, inovasi muncul dari situasi pertentangan antar dua situasi, yang pada dasarnya adalah sebuah permasalahan. Sebagai contoh, tuntutan untuk menghasilkan mobil kecil namun dengan kabin yang luas, adalah dua tuntutan yang kontradiktif. Atau, tuntutan pelayanan secara inklusif ditengah dukungan anggaran yang sangat terbatas. Nah, jawaban atas situasi dilematis tadi adalah dengan melakukan inovasi. 

Ketiga, inovasi juga haruslah berkesinambungan. Inovasi yang berhenti ketika penggagasnya sudah tidak ada, bukanlah inovasi. Inovasi yang hanya mengikuti figure individu, bukanlah inovasi yang kita inginkan. Beberapa kasus di berbagai daerah ketika mampu berinovasi saat dipimpin oleh kepala daerah yang visioner, namun menjadi biasa-biasa lagi saat kepala daerahnya diganti, menunjukkan tidak adanya kesinambungan dalam invasi. Dan terakhir, inovasi seyogyanya juga memiliki kompatibilitas dengan sistem diluar dirinya. Inovasi haruslah bisa berjalan harmonis bersama dengan aturan dan instansi terkait. Jika kita melakukan inovasi di bidang pelayanan, misalnya, maka inovasi tersebut jangan sampai berbenturan dengan aspek penganggaran, aspek pembinaan SDM, atau aspek kelembagaan. 

Dengan menerapkan paling sedikit empat kriteria tadi, mudah-mudahan Inovasi tidak lagi menjadi kambing hitam, namun akan menjelma menjadi kuda perang dalam memberantas inefisiensi dan inefektifitas penyelenggaraan pemerintahan di semua lini. 

Jakarta, 4 Februari 2013

 

Tidak ada komentar: