Sungguh
kasihan makhluk bernama inovasi. Ia sesungguhnya telah ada dan dilakukan
semenjak adanya manusia, namun jarang ada manusia yang menyadari keberadaannya.
Bagaimana manusia menciptakan api dengan membenturkan dua batu untuk
menciptakan cipratan api, atau dengan memfokuskan sinar matahari dengan
menggunakan kaca cekung, atau menciptakan korek api, atau menciptakan kompor
gas, adalah rangkaian inovasi dalam kehidupan sehari. Juga perkembangan tradisi
tulis dari menulis di dinding-dinding gua, menulis di daun lontar, menulis di
prasasti, dan menulis di kertas, adalah inovasi besar dalam peradaban manusia.
Namun karena sering tidak disadari bahwa itu adalah inovasi, maka inovasi
menjadi sesuatu yang “ada namun tiada”.
Padahal,
kesadaran tentang inovasi (innovation awareness)
dan kesadaran untuk berinovasi (consciousness
to innovate) ini menurut saya adalah hal yang penting. Kesadaran bahwa
inovasi bisa (untuk tidak mengatakan mudah) dilakukan dan terbukti memberi
manfaat positif, akan mendorong manusia untuk melakukan inovasi dengan sengaja
(intentional innovation) secara
berkelanjutan. Selama ini inovasi seolah-olah adalah sebuah kebetulan semata,
atau sekedar hidayah Allah kepada hamba-Nya atas dasar rasa belas kasihan-Nya
yang tidak terbatas. Inovasi adalah hak – bahkan kewajiban – umat manusia untuk
terus meningkatkan harkat dan martabat kemanusiannya. Kesadaran seperti inilah
yang harus dibangkitkan.
Ketika kesadaran
tentang inovasi dan kesadaran untuk berinovasi belum tumbuh, mustahil untuk
menjadikan inovasi sebagai sebuah disiplin ilmu lengkap dengan pranata (sistem
dan mekanisme) pengelolaannya. Proses mengelola inovasi (managing innovation) hanya mungkin terjadi dalam lingkungan yang
sudah menyadari arti pentingnya inovasi.
Selain belum
adanya kesadaran tentang inovasi, harus diakui pula bahwa selama ini banyak
salah paham tentang inovasi. Tokoh sekelas Wakil Menteri yang Profesor
Doktor-pun sempat melontarkan pendapat bahwa inovasi adalah sebuah terobosan
diluar kerangka aturan atau sesuatu yang melanggar hukum (breaking the rule). Inovasi lantas menjadi sesuatu yang dicintai
sekaligus dibenci. Kata orang Sunda, geuleuh
tapi deudeuh. Dimana-mana inovasi dibicarakan, diapresiasi, dan didorong,
namun pada saat yang sama muncul desakan untuk melindungi nasib pejabat yang
melakukan inovasi. Inovasi terkesan sebagai sebuah kreativitas yang berisiko
hukum. Beberapa kasus seolah mengkonfirmasi premis seperti ini. Bupati Sragen,
Untung Wiyono, misalnya, adalah sosok yang memiliki inovasi besar dengan
menciptakan One Stop Service (OSS)
namun terjerat dugaan tindak pidana korupsi. Demikian pula Bupati Jembrana, I
Gusti Winasa yang mampu berinovasi dengan menciptakan struktur perangkat daerah
yang ramping dan efisien sehingga mampu memanfaatkan APBD yang kecil untuk
pelayanan gratis bidang kesehatan dan pendidikan, namun akhirnya juga terjerat dugaan
kasus korupsi. Banyak lagi para Kepala Daerah atau pejabat publik yang
tersangkut kasus korupsi kemudian mengkambinghitamkan inovasi sebagai faktor
penyebabnya. Maka, muncullah kesan banyak orang yang membenarkan bahwa inovasi
identik dengan pelanggaran aturan.
Mendagri Gamawan Fauzi sendiri dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR-RI dan DPD-RI, 6/02/2013, pernah mengatakan
bahwa sekarang ini ada 524 daerah otonom. Dari jumlah itu, 290
kepala daerahnya sudah jadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Mayoritas atau
sekitar 86 persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena terkait
korupsi.
Ironisnya, kasus hukum seperti itu sering dikaitkan dengan inovasi. Padahal,
semua itu sesungguhnya bukan implikasi dari inovasi, melainkan murni tindakan
korupsi (penyalahgunaan wewenang atau anggaran). Inovasi keliru jika
diterjemahkan sebagai breaking the rule,
namun lebih tepat dimaknakan sebagai breaking
the old mind and habit, yakni menjalankan
sesuatu dengan cara baru untuk mempercepat/ memperbesar hasil tanpa harus
melanggar aturan.
Common
misunderstanding seperti ini jelas sangat
berbahaya. Jika inovasi adalah pelanggaran aturan, maka semestinya inovasi
tidak didorong atau diapresiasi, apalagi dijadikan sebagai kebijakan. Jika
inovasi memang bertentangan dengan hukum, maka inovasi harus dihukum berat, kalau
perlu harus dihapus dari kamus apapun yang dimiliki manusia. Pada gilirannya,
kesalahpahaman seperti ini juga mengakibatkan penolakan, keengganan, dan
ketakutan untuk berinovasi. Padahal, sangat boleh jadi yang terjadi
sebenarnya adalah mereka enggan atau tidak mampu berinovasi, sehingga
terjadilah pelanggaran hukum tadi.
Inilah yang
saya katakan sebagai kesalahpahaman tentang inovasi. Inovasi difitnah sebagai
biang keladi kasus korupsi. Padahal, KUHP maupun UU No. 20/2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri tidak menyebutkan sama sekali kata
inovasi sebagai unsur korupsi. Unsur umum dari korupsi adalah perbuatan
melanggar hukum, menyalahgunakan wewenang, merugikan keuangan negara, serta
memperkaya diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, sikap mencampuradukkan
inovasi dengan pelanggaran hukum harus segera dihentikan. Korupsi adalah
korupsi, breaking the rule is breaking the rule, dan inovasi adalah
inovasi. Tidak bisa dikatakan bahwa korupsi adalah inovasi, inovasi adalah
korupsi, atau inovasi adalah pelanggaran hukum.
Maka, ide
perlindungan bagi pejabat yang melakukan inovasi itu adalah sebuah kesia-siaan
atau membuang-buang energi saja. Setiap inovasi – tentu saja yang tidak
melanggar hukum – pastilah dengan sendirinya akan mendatangkan rasa hormat dan
apresiasi dari berbagai pihak. Sementara seorang koruptor atau pelanggar hukum
jelas-jelas tidak dapat dilindungi dengan alasan apapun.
Pertanyaan
berikutnya adalah, bagaimana seandainya inovasi tadi gagal? Sepanjang tidak ada
aturan yang ditabrak, dan tidak dilandasi oleh niat-niat jahat, maka tidak ada
masalah dengan inovasi yang dikatakan “gagal” tadi. Dalam hal ini perlu ada
kesepakatan nasional bahwa kegagalan adalah hal yang biasa dalam sebuah manajemen
atau organisasi. Tidak ada jaminan bahwa inovasi harus selalu menghasilkan
kemanfaatan seketika (instant result).
Bahkan seorang Thomas Alva Edison mengalami “kegagalan” 1000 kali untuk
menemukan bola lampu. Namun, “kegagalan” tadi harus diterjemahkan sebagai
bagian dari proses untuk menemukan keberhasilan. Yang terpenting, ketika
seseorang sudah mengindikasikan bahwa inovasi yang dijalankan hanya sebuah
kesia-siaan, maka secepatnya ia harus melakukan inovasi baru yang lebih baik.
Agar inovasi tidak semakin terpuruk
sebagai kambing hitam dalam kegagalan di semua bidang pemerintahan, maka saya
mengusulkan perlunya kriteria untuk menilai sebuah inisiatif atau perubahan,
apakah dapat dikategorikan sebagai inovasi ataukah tidak. Pertama, ada tidaknya dampak positif atau kemanfaatan dari suatu inisiatif
perubahan. Inovasi ternyata tidak selalu membawa kebaikan, seperti ungkapan Rhenald Kasali
dalam tulisannya berjudul “Turnaround” (Koran Sindo, 7-11-2013)
sebagai berikut: “Adalah entrepreneur yang memicu perubahan, pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga sekaligus sebagai mesin penghancur ekonomi dunia dengan
inovasi-inovasinya”.
Kedua,
mampukah inisiasi perubahan mampu memberi solusi terhadap masalah. Sebagaimana
dikatakan oleh Peter F. Drucker dalam tulisannya berjudul 7 Sources of Innovation (2006, Innovation
and Entrepreneurship, HarperCollins) salah satu sumber inovasi adalah Incongruities. Maknanya, inovasi muncul
dari situasi pertentangan antar dua situasi, yang pada dasarnya adalah sebuah
permasalahan. Sebagai contoh, tuntutan untuk menghasilkan mobil kecil namun
dengan kabin yang luas, adalah dua tuntutan yang kontradiktif. Atau, tuntutan
pelayanan secara inklusif ditengah dukungan anggaran yang sangat terbatas. Nah,
jawaban atas situasi dilematis tadi adalah dengan melakukan inovasi.
Ketiga,
inovasi juga haruslah berkesinambungan. Inovasi yang berhenti ketika
penggagasnya sudah tidak ada, bukanlah inovasi. Inovasi yang hanya mengikuti
figure individu, bukanlah inovasi yang kita inginkan. Beberapa kasus di
berbagai daerah ketika mampu berinovasi saat dipimpin oleh kepala daerah yang
visioner, namun menjadi biasa-biasa lagi saat kepala daerahnya diganti,
menunjukkan tidak adanya kesinambungan dalam invasi. Dan terakhir, inovasi seyogyanya juga memiliki kompatibilitas dengan sistem
diluar dirinya. Inovasi haruslah bisa berjalan harmonis bersama dengan aturan
dan instansi terkait. Jika kita melakukan inovasi di bidang pelayanan,
misalnya, maka inovasi tersebut jangan sampai berbenturan dengan aspek
penganggaran, aspek pembinaan SDM, atau aspek kelembagaan.
Dengan menerapkan paling sedikit empat
kriteria tadi, mudah-mudahan Inovasi tidak lagi menjadi kambing hitam, namun
akan menjelma menjadi kuda perang dalam memberantas inefisiensi dan
inefektifitas penyelenggaraan pemerintahan di semua lini.
Jakarta, 4 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar