Desi
Fernanda. Ya, beliaulah aktor utama tulisan saya kali ini. Saya mengenalnya
sejak pertengahan 1993 hingga saat ini. Pertama kali saya bertemu beliau saat melamar
sebagai pegawai LAN Perwakilan Jawa Barat. Saat itu beliau adalah salah satu
pewawancara, yang menurut saya paling kritis pandangannya, paling luas spektrum
yang dipertanyakan, dan paling lama waktu yang dibutuhkan, dibanding dengan
pewawancara lain. Saya ingat betul bahwa waktu itu saya bersama seorang calon
pegawai yang kebetulan sama-sama alumni dari Fakultas Hukum, dicecar secara
bertubi-tubi oleh pak Desi. Saya merasa bahwa jawaban saya dengan teman disamping
saya cukup argumentatif dan mampu memancing pak Desi untuk mengajukan
pertanyaan lanjutan yang lebih tajam. Bahkan saya menangkap kesan bahwa beliau
sangat puas dengan jawaban kami berdua. Sayang sekali, teman sebelah saya
ternyata tidak diterima di LAN.
Ketika
saya akhirnya diterima sebagai pegawai LAN di awal November 1993, beliau
pulalah yang memperkenalkan saya dengan kebiasaan “doktor” alias mondok di
kantor. Saat itu saya masih menjalani orientasi dengan penembatan yang belum
permanen. Dalam status orientasi tadi, sebenarnya saya sedang tidak berada
dibawah beliau, ketika tiba-tiba beliau memanggil saya di waktu sore hari
pertengahan November 1993. Bersama seorang teman seangkatan, beliau mengajak
diskusi dan mengerjakan laporan hasil kajian (seingat saya tentang jabatan
fungsional). Belakangan saya baru tahu bahwa Pak Desi, meskipun jabatannya
adalah Kabid Pengajaran STIA, namun beliau adalah koordinator dari kajian
tersebut. Saya juga baru tahu belakangan bahwa waktu itu sudah mendekati deadline penyelesaian laporan. Dalam “kepolosan”
saya yang belum banyak mengerti soal-soal administrasi negara, saya merasa belum
bisa berkontribusi dalam tugas tersebut, bahkan sebaliknya bagi saya itu adalah
proses pembelajaran awal tentang administrasi negara, yang sama sekali tidak
saya temukan di kampus. Baiknya pak Desi, meski saya belum banyak membantu,
namun beliau tidak marah dan saya berpikir bahwa saat itu pak Desi sedang
berinvestasi untuk masa depan dengan cara memberi saya banyak wawasan.
Karena
saya merasa “bodoh” atau tidak berilmu, saya lebih bersifat pasif dengan
mencoba menyerap apa yang pak Desi sampaikan. Saya belum “berani” untuk memberi
argumen yang berbeda dengan argumen beliau. Bagi saya yang masih “mentah”,
pendapat beliau adalah sebuah kebenaran yang harus saya hafalkan. Disitulah beliau
memberi saran yang mengubah nasib saya. Beliau mengatakan, jika diajak diskusi,
pantang untuk diam saja. Jika ditanya apa pendapat kita, haram untuk tidak
menjawab. Dalam sebuah forum diskusi atau seminar, tabu untuk tidak menyumbang
gagasan dan diam seperti patung. Kata-kata seperti itu yang menghunjam dalam
ulu hati saya, sehingga sejak saat itu saya membiasakan diri untuk bicara di
segala kesempatan. Saya juga menyarankan hal yang sama untuk staf-staf saya
baik selama di Samarinda maupun di Jakarta. Entahlah, apakah ada yang
menghunjamkan dalam ulu hati mereka seperti yang saya lakukan.
Namun,
tidak semua saran beliau saya laksanakan. Ada satu saran yang hingga saat ini saya
“langgar”. Saran itu adalah agar saya bisa berkata “tidak” terhadap perintah
atasan yang menurut beliau memang tidak harus dilakukan. Bagi saya saat itu,
perintah atasan (langsung atau siapapun yang termasuk unsur pimpinan) tidak
kalah kekuatannya dengan peraturan perundang-undangan. Saya juga berpandangan
bahwa penugasan dari pimpinan – apapun bentuk penugasan itu – adalah media dan
proses pembelajaran buat saya. Maka, saya ikhlas sepenuhnya menerima tugas yang
bertumpuk-tumpuk, bahkan saya harus menjadi “doktor” abadi untuk bisa
menyelesaikan tugas-tugas tersebut. tidak jarang saya mendapat tugas menyaipkan
paper jam 7 malam dan harus selesai di pagi hari. Tak ayal, sayapun harus begadang hingga subuh, dan hanya sempat
tidur antara 2-3 jam sehari. Kebiasaan ini berlangsung bukan dalam hitungan
hari atau bulan, melainkan bertahun-tahun saya jalani sebagai sebuah ritual
pengembangan kapasitas diri. Untunglah, saya sudah dididik pak Desi untuk sangat
terbiasa dengan kerja hingga pagi.
Singkatnya,
ada kalanya saya tolak nasihat beliau, tapi itulah satu-satunya nasihat beliau
yang tidak saya ambil. Uniknya, di kesempatan lain saya justru mendapat nasihat
tidak langsung dari orang lain, yakni pak Erman Aminullah, Anggota Majelis
Profesor Riset LIPI. Beliau menasihati saya dengan mengatakan demikian: “Mas
Tri, dulu saya dinasihati oleh guru saya bernama Prof. Muhammadi untuk tidak
menolak tugas apapun dari pimpinan kita. Percayalah, itu akan membentuk diri
kita yang sebenarnya”. Saya hanya mengiyakan tanpa penjelasan bahwa hal itu
sudah saya yakini dan lakukan sejak awal jadi pegawai. Nasihat inilah yang
dalam berbagai kesempatan juga saya sampaikan untuk staf dan yunior saya dengan
teknik story telling, dan bukan
nasihat secara langsung.
Kembali
ke aktor utama tulisan ini, pak Desi adalah seorang inspirator bagi saya dan
bagi banyak orang. Pemikiran-pemikirannya sangat maju pada jamannya. Banyak orang
terkesima dengan kebaruan idenya, dan berkata dalam hati ”kok bisa kepikiran ya?” Contoh saja, waktu kami (saya dan pak Desi)
rapat dengan Biro Organisasi Pemprov Jawa Barat, pak Desi menjelaskan tentang
model privatisasi dengan menggunakan Prior
Option Review yang telah diterapkan di Inggris pada masa pemerintahan
Margareth Thatcher. Meski di Inggris bukan hal yang baru, namun di Indonesia
menjadi barang yang masih sangat asing. Wajarlah jika salah seorang pejabat
yang ikut rapat waktu itu mengatakan kepada para stafnya: “Dengar baik-baik,
ini baru ilmu”.
Selain
itu, pak Desi sering melontarkan istilah baru yang sangat ilmiah namun begitu cocok
untuk mendeskripsikan sebuah situasi. Sebagai contoh, beliaulah orang pertama
di Indonesia yang menggunakan istilah “sindrom inferioritas provinsi” di
masa-masa awal berlakunya UU No. 22/1999. Sayangnya, istilah-istilah dahsyat
tadi hanya menggema sekejap dalam sebuah diskusi. Begitu diskusi selesai,
lupalah orang-orang dengan konsep yang sangat hebat tadi. Maka, jadilah saya
mencoba menjadi “kepanjangan tangan” dari ide pak Desi, dengan menuliskan
secara lebih detil dan operasional dari konsep tadi. Hasilnya, muncullah
tulisan saya berjudul “Provinsi dan
Sindrom Inferioritas” di Harian Republika, 26 September 2000. Waktu itu pak
Desi sempat mengira saya mencuri ide dan istilah tadi dari beliau. Saya persilahkan
beliau untuk membaca artikel, dan saya jelaskan bahwa di artikel itu saya
sebutkan nama beliau sebagai pencetus pertama istilah “sindrom inferioritas”
tadi.
Tidak cuma sekali saya menuliskan ide-ide pak Desi
dalam artikel singkat. Suatu ketika, beliau menyodorkan kepada saat paper-paper
beliau saat menempuh Master di Birmingham University. Tentu saja semua
berbahasa Inggris, sementara bahasa Inggris saya saat itu begitu menyedihkan. Dengan
kemampuan seadanya, saya mencoba menangkap salah satu core message dari
tumpukan paper tadi, kemudian saya tulis dalam artikel berjudul “Tuntutan
Transformasi Birokrasi Kita”. Coba renungkan sekejap saja. Ketika grand
design reformasi birokrasi baru berhasil dirumuskan tahun 2010, kami berdua
sudah menggagas konsep transformasi birokrasi 16 tahun sebelumnya! Mengingat ide
ini sangat sophisticated pada waktu itu, wajar jika beliau ingin artikel
ini tampil di media cetak nasional. Sayangnya, Suara Pembaruan dan Republika
yang kami bidik waktu itu tidak memuatnya. Mungkin mereka lebih melihat kepada
siapa penulisnya dari pada apa yang ditulisnya. Celakanya lagi, Pikiran
Rakyat-pun menolak memuatnya, sehingga beliau “pasrah” mau diapakan artikel
tadi.
Saya yang waktu itu sudah menulis secara reguler di
Koran Bandung Pos, minta ijin pak Desi untuk mengirimkan ke Bandung Pos. Dan
ajaib!! Artikel ini bukan hanya dimuat, namun juga memenangkan penghargaan sebagai
Juara Pertama Lomba Jurnalistik dalam rangka Hari Pers Nasional Tahun 1994.
Piala, piagam, plakat, dan sejumlah hadiah uang diberikan langsung oleh Menteri
Penerangan Harmoko. Di AS, ini adalah Pulitzer Award, yang hanya bisa
dimenangkan oleh para penulis kawakan kelas wahid. Penghargaan tadi adalah
bukti canggihnya ide pak Desi, sekaligus canggihnya saya menerjemahkan ide
berat dalam bahasa ringan dan populer, hehe … J Dengan demikian, saya merasa bahwa antara saya
dengan pak Desi terjalin hubungan mutualisme yang kuat. Beliau memiliki ide-ide
besar dan saya menjadi cantrik yang selalu mencatat omongan tuannya.
Chemistry antara saya dengan pak
Desi terus menggelinding laksana bola salju. Sampai-sampai kami berdua
dipercaya menjadi analis politik untuk mengkaji pergerakan issu-issu aktual,
untuk kemudian kami terjemahkan dalam kemungkinan pengaruhnya terhadap taihan
suara Golkar pada Pemilu 1997. Kami membaca koran harian dan tabloid dari
seluruh penjuru Indonesia, memilih issu-issu utama, kemudian memberi bobot
pengaruh (positif maupun negatif), dan merumuskan rekomendasi kepada pimpinan
nasional (baik di tingkat pusat maupun daerah) tentang strategi yang harus
mereka lakukan untuk menyikapi issu-issu tersebut. Logikanya, jika respon
pemerintah tepat dalam mengatasi suatu issu tertentu, akan menimbulkan simpati
dan dukungan publik kepada pemerintah. Dan faktanya, Golkar saat itu menang
mutlak, jauh meningkat dibanding raihan pada Pemilu 1992, terutama di wilayah
Jawa Barat. Sebagai ganjarannya, kami mendapat penghargaan dari Bambang
Trihatmojo selaku Koordinator Golkar Wilayah III, berupa piagam dan sepotong
kain wool asli Inggris (katanya).
Dalam
sisi yang lebih personal, ternyata terlalu banyak kesamaan antara saya dengan
pak Desi. Beliau besar dan karatan di Litbang, begitu juga saya. Beliau punya
istri dengan selisih umur 7 tahun, ternyata sayapun sama. Bahkan nama istri kami
sama-sama Kania. Selain itu, beliau bisa bicara 2 bahasa daerah, yakni Jawa dan
Sunda, sama persis dengan yang saya kuasai (meski saya meng-klaim memiliki
keahlian bahasa daerah yang lain yakni Bahasa Banjar). Beliau adalah juga
penulis otodidak yang sangat berbakat. Begitu mood datang, maka ide ngaburudul
seolah tak bisa dihentikan. Menulis menjadi ritual yang memabokkan dan
melupakan segala hal. Sedikit banyak sayapun merasakan hal seperti ini. Beliau
dan saya juga penganut flexy time untuk
soal kehadiran di kantor. Bagi kami, disiplin harus lebih dimaknakan sebagai
disiplin kinerja, bukan semata-mata disiplin kehadiran seperti mazhab reformasi
birokrasi saat ini. Disiplin waktu memang penting, namun jika tidak diimbangi
dengan kinerja maka hanya akan melanggengkan stigma PNS 7-0-4 (datang jam 7,
kinerja 0, pulang jam 4). Saya haqqul
yaqin bahwa birokrasi di Indonesia suatu ketika akan menerapkan sistem flexy time, fitted performance ini. Persamaan
lain diungkapkan salah satu staf di PKP2A I bahwa dia selama ini baru menemukan
2 orang di LAN yang memiliki passion begitu
besar untuk memajukan lembaga; dan kedua orang itu adalah saya dan pak Desi.
Satu-satunya
persamaan yang tidak baik adalah bahwa kami mati-matian hingga saat ini belum mampu
menyelesaikan program S3 atau Doktor. Tapi semua orang mengatakan bahwa saya
dan pak Desi sebenarnya hanya sekedar formalitas untuk memiliki gelar ini, sementara
kapasitas kami sudah jauh melampaui yang sudah menyandang gelar paling
bergengsi tersebut. Mungkin itu terlalu subyektif dan sedikit berlebihan, namun
puluhan orang yang memiliki pendapat seperti itu sehingga akan membentuk
inter-subyektivitas atau kondisi obyektif itu sendiri.
Ketika
saya memutuskan untuk menulis memoir ini,
itupun didorong oleh kesamaan baru yang kami miliki. Kalau selama ini kami sama-sama
pernah sekali menjadi Kabid Litbang/Kajian dan 2 kali menjadi Kepala Pusat Kajian,
sekarang kami sma-sama pernah merasakan jabatan sebagai Deputi. Bedanya, beliau
sudah 7 tahun menjadi Deputi, sementara saya baru beberapa bulan saja. Uniknya,
ruang kerja pak Desi selaku Deputi Litbang APOAN saat ini adalah ruang kerja
saya selaku Deputi Inovasi Administrasi Negara. Bahkan hampir tidak bisa
dipercaya, bahwa rumah jabatan beliau akan diperuntukkan bagi saya, meski saya
memilih untuk tetap tinggal di Serpong karena berbagai alasan. Ketika beliau
lengser dari jabatan Eselon I-a dengan santai dan tanpa beban, itu menunjukkan
bahwa beliau sejak awal jadi pegawai hingga paripurna selaku pimpinan tinggi
organisasi, tidak pernah sedikitpun memiliki orientasi jabatan. Apa yang beliau
lakukan sepenuhnya diniatkan untuk kemajuan dan kebaikan organisasi. Sayapun –
sedikit banyak – juga merasa memiliki orientasi pada upaya mencapai mutu pekerjaaan
sebaik mungkin. Ketika saatnya tiba bagi saya untuk lengser, saya yakin bahwa
saya bisa meneladani pak Desi dengan sikap santainya tadi.
Meskipun
kami memiliki persamaan yang begitu banyak, namun sesungguhnya kami memiliki
perbedaan dalam style. Gaya bicara,
gaya berargumentasi, gaya tulisan, gaya dalam membuat tampilan slide powerpoint, gaya hidup kami cukup beda jauh. Maka pak Desi tetaplah
pak Desi, dan saya tetaplah diri saya. Dengan gaya kami yang berbeda, justru
kami bisa saling mengisi, saling menguatkan, dan saling memampukan.
Saya
dedikasikan tulisan ini untuk guru, senior, pimpinan, dan juga sahabat saya,
pak Desi Fernanda. Semoga di profesi barunya sebagai Widyaiswara, beliau tetap
sehat, semakin produktif, mampu menemukan kembali gairah dan energinya yang
begitu besar, serta semakin bermakna keberadaannya bagi lembaga, bagi seluruh aparatur
negara, dan bagi negara tercinta. Semoga pula ladang pengabdiannya yang baru
akan menjadi ladang amal jariyah yang mendatangkan pahala tak terputus hingga
akhir zaman untuk beliau dan keluarganya. Terima kasih pak Desi atas interaksi
dan silaturahmi selama 20 tahun terakhir ini. Tanpa bapak, mungkin sekali saya
tidak bisa mencapai titik seperti saat ini.
Serpong
– Veteran pp.
Villa
Melati Mas, 14 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar