Jumat, 14 Februari 2014

Antara Saya dan Pak Desi



Desi Fernanda. Ya, beliaulah aktor utama tulisan saya kali ini. Saya mengenalnya sejak pertengahan 1993 hingga saat ini. Pertama kali saya bertemu beliau saat melamar sebagai pegawai LAN Perwakilan Jawa Barat. Saat itu beliau adalah salah satu pewawancara, yang menurut saya paling kritis pandangannya, paling luas spektrum yang dipertanyakan, dan paling lama waktu yang dibutuhkan, dibanding dengan pewawancara lain. Saya ingat betul bahwa waktu itu saya bersama seorang calon pegawai yang kebetulan sama-sama alumni dari Fakultas Hukum, dicecar secara bertubi-tubi oleh pak Desi. Saya merasa bahwa jawaban saya dengan teman disamping saya cukup argumentatif dan mampu memancing pak Desi untuk mengajukan pertanyaan lanjutan yang lebih tajam. Bahkan saya menangkap kesan bahwa beliau sangat puas dengan jawaban kami berdua. Sayang sekali, teman sebelah saya ternyata tidak diterima di LAN.

Ketika saya akhirnya diterima sebagai pegawai LAN di awal November 1993, beliau pulalah yang memperkenalkan saya dengan kebiasaan “doktor” alias mondok di kantor. Saat itu saya masih menjalani orientasi dengan penembatan yang belum permanen. Dalam status orientasi tadi, sebenarnya saya sedang tidak berada dibawah beliau, ketika tiba-tiba beliau memanggil saya di waktu sore hari pertengahan November 1993. Bersama seorang teman seangkatan, beliau mengajak diskusi dan mengerjakan laporan hasil kajian (seingat saya tentang jabatan fungsional). Belakangan saya baru tahu bahwa Pak Desi, meskipun jabatannya adalah Kabid Pengajaran STIA, namun beliau adalah koordinator dari kajian tersebut. Saya juga baru tahu belakangan bahwa waktu itu sudah mendekati deadline penyelesaian laporan. Dalam “kepolosan” saya yang belum banyak mengerti soal-soal administrasi negara, saya merasa belum bisa berkontribusi dalam tugas tersebut, bahkan sebaliknya bagi saya itu adalah proses pembelajaran awal tentang administrasi negara, yang sama sekali tidak saya temukan di kampus. Baiknya pak Desi, meski saya belum banyak membantu, namun beliau tidak marah dan saya berpikir bahwa saat itu pak Desi sedang berinvestasi untuk masa depan dengan cara memberi saya banyak wawasan.

Karena saya merasa “bodoh” atau tidak berilmu, saya lebih bersifat pasif dengan mencoba menyerap apa yang pak Desi sampaikan. Saya belum “berani” untuk memberi argumen yang berbeda dengan argumen beliau. Bagi saya yang masih “mentah”, pendapat beliau adalah sebuah kebenaran yang harus saya hafalkan. Disitulah beliau memberi saran yang mengubah nasib saya. Beliau mengatakan, jika diajak diskusi, pantang untuk diam saja. Jika ditanya apa pendapat kita, haram untuk tidak menjawab. Dalam sebuah forum diskusi atau seminar, tabu untuk tidak menyumbang gagasan dan diam seperti patung. Kata-kata seperti itu yang menghunjam dalam ulu hati saya, sehingga sejak saat itu saya membiasakan diri untuk bicara di segala kesempatan. Saya juga menyarankan hal yang sama untuk staf-staf saya baik selama di Samarinda maupun di Jakarta. Entahlah, apakah ada yang menghunjamkan dalam ulu hati mereka seperti yang saya lakukan.

Namun, tidak semua saran beliau saya laksanakan. Ada satu saran yang hingga saat ini saya “langgar”. Saran itu adalah agar saya bisa berkata “tidak” terhadap perintah atasan yang menurut beliau memang tidak harus dilakukan. Bagi saya saat itu, perintah atasan (langsung atau siapapun yang termasuk unsur pimpinan) tidak kalah kekuatannya dengan peraturan perundang-undangan. Saya juga berpandangan bahwa penugasan dari pimpinan – apapun bentuk penugasan itu – adalah media dan proses pembelajaran buat saya. Maka, saya ikhlas sepenuhnya menerima tugas yang bertumpuk-tumpuk, bahkan saya harus menjadi “doktor” abadi untuk bisa menyelesaikan tugas-tugas tersebut. tidak jarang saya mendapat tugas menyaipkan paper jam 7 malam dan harus selesai di pagi hari. Tak ayal, sayapun harus begadang hingga subuh, dan hanya sempat tidur antara 2-3 jam sehari. Kebiasaan ini berlangsung bukan dalam hitungan hari atau bulan, melainkan bertahun-tahun saya jalani sebagai sebuah ritual pengembangan kapasitas diri. Untunglah, saya sudah dididik pak Desi untuk sangat terbiasa dengan kerja hingga pagi.

Singkatnya, ada kalanya saya tolak nasihat beliau, tapi itulah satu-satunya nasihat beliau yang tidak saya ambil. Uniknya, di kesempatan lain saya justru mendapat nasihat tidak langsung dari orang lain, yakni pak Erman Aminullah, Anggota Majelis Profesor Riset LIPI. Beliau menasihati saya dengan mengatakan demikian: “Mas Tri, dulu saya dinasihati oleh guru saya bernama Prof. Muhammadi untuk tidak menolak tugas apapun dari pimpinan kita. Percayalah, itu akan membentuk diri kita yang sebenarnya”. Saya hanya mengiyakan tanpa penjelasan bahwa hal itu sudah saya yakini dan lakukan sejak awal jadi pegawai. Nasihat inilah yang dalam berbagai kesempatan juga saya sampaikan untuk staf dan yunior saya dengan teknik story telling, dan bukan nasihat secara langsung.

Kembali ke aktor utama tulisan ini, pak Desi adalah seorang inspirator bagi saya dan bagi banyak orang. Pemikiran-pemikirannya sangat maju pada jamannya. Banyak orang terkesima dengan kebaruan idenya, dan berkata dalam hati ”kok bisa kepikiran ya?” Contoh saja, waktu kami (saya dan pak Desi) rapat dengan Biro Organisasi Pemprov Jawa Barat, pak Desi menjelaskan tentang model privatisasi dengan menggunakan Prior Option Review yang telah diterapkan di Inggris pada masa pemerintahan Margareth Thatcher. Meski di Inggris bukan hal yang baru, namun di Indonesia menjadi barang yang masih sangat asing. Wajarlah jika salah seorang pejabat yang ikut rapat waktu itu mengatakan kepada para stafnya: “Dengar baik-baik, ini baru ilmu”.

Selain itu, pak Desi sering melontarkan istilah baru yang sangat ilmiah namun begitu cocok untuk mendeskripsikan sebuah situasi. Sebagai contoh, beliaulah orang pertama di Indonesia yang menggunakan istilah “sindrom inferioritas provinsi” di masa-masa awal berlakunya UU No. 22/1999. Sayangnya, istilah-istilah dahsyat tadi hanya menggema sekejap dalam sebuah diskusi. Begitu diskusi selesai, lupalah orang-orang dengan konsep yang sangat hebat tadi. Maka, jadilah saya mencoba menjadi “kepanjangan tangan” dari ide pak Desi, dengan menuliskan secara lebih detil dan operasional dari konsep tadi. Hasilnya, muncullah tulisan saya berjudul “Provinsi dan Sindrom Inferioritas” di Harian Republika, 26 September 2000. Waktu itu pak Desi sempat mengira saya mencuri ide dan istilah tadi dari beliau. Saya persilahkan beliau untuk membaca artikel, dan saya jelaskan bahwa di artikel itu saya sebutkan nama beliau sebagai pencetus pertama istilah “sindrom inferioritas” tadi.

Tidak cuma sekali saya menuliskan ide-ide pak Desi dalam artikel singkat. Suatu ketika, beliau menyodorkan kepada saat paper-paper beliau saat menempuh Master di Birmingham University. Tentu saja semua berbahasa Inggris, sementara bahasa Inggris saya saat itu begitu menyedihkan. Dengan kemampuan seadanya, saya mencoba menangkap salah satu core message dari tumpukan paper tadi, kemudian saya tulis dalam artikel berjudul “Tuntutan Transformasi Birokrasi Kita”. Coba renungkan sekejap saja. Ketika grand design reformasi birokrasi baru berhasil dirumuskan tahun 2010, kami berdua sudah menggagas konsep transformasi birokrasi 16 tahun sebelumnya! Mengingat ide ini sangat sophisticated pada waktu itu, wajar jika beliau ingin artikel ini tampil di media cetak nasional. Sayangnya, Suara Pembaruan dan Republika yang kami bidik waktu itu tidak memuatnya. Mungkin mereka lebih melihat kepada siapa penulisnya dari pada apa yang ditulisnya. Celakanya lagi, Pikiran Rakyat-pun menolak memuatnya, sehingga beliau “pasrah” mau diapakan artikel tadi.

Saya yang waktu itu sudah menulis secara reguler di Koran Bandung Pos, minta ijin pak Desi untuk mengirimkan ke Bandung Pos. Dan ajaib!! Artikel ini bukan hanya dimuat, namun juga memenangkan penghargaan sebagai Juara Pertama Lomba Jurnalistik dalam rangka Hari Pers Nasional Tahun 1994. Piala, piagam, plakat, dan sejumlah hadiah uang diberikan langsung oleh Menteri Penerangan Harmoko. Di AS, ini adalah Pulitzer Award, yang hanya bisa dimenangkan oleh para penulis kawakan kelas wahid. Penghargaan tadi adalah bukti canggihnya ide pak Desi, sekaligus canggihnya saya menerjemahkan ide berat dalam bahasa ringan dan populer, hehe … J Dengan demikian, saya merasa bahwa antara saya dengan pak Desi terjalin hubungan mutualisme yang kuat. Beliau memiliki ide-ide besar dan saya menjadi cantrik yang selalu mencatat omongan tuannya.

Chemistry antara saya dengan pak Desi terus menggelinding laksana bola salju. Sampai-sampai kami berdua dipercaya menjadi analis politik untuk mengkaji pergerakan issu-issu aktual, untuk kemudian kami terjemahkan dalam kemungkinan pengaruhnya terhadap taihan suara Golkar pada Pemilu 1997. Kami membaca koran harian dan tabloid dari seluruh penjuru Indonesia, memilih issu-issu utama, kemudian memberi bobot pengaruh (positif maupun negatif), dan merumuskan rekomendasi kepada pimpinan nasional (baik di tingkat pusat maupun daerah) tentang strategi yang harus mereka lakukan untuk menyikapi issu-issu tersebut. Logikanya, jika respon pemerintah tepat dalam mengatasi suatu issu tertentu, akan menimbulkan simpati dan dukungan publik kepada pemerintah. Dan faktanya, Golkar saat itu menang mutlak, jauh meningkat dibanding raihan pada Pemilu 1992, terutama di wilayah Jawa Barat. Sebagai ganjarannya, kami mendapat penghargaan dari Bambang Trihatmojo selaku Koordinator Golkar Wilayah III, berupa piagam dan sepotong kain wool asli Inggris (katanya).

Dalam sisi yang lebih personal, ternyata terlalu banyak kesamaan antara saya dengan pak Desi. Beliau besar dan karatan di Litbang, begitu juga saya. Beliau punya istri dengan selisih umur 7 tahun, ternyata sayapun sama. Bahkan nama istri kami sama-sama Kania. Selain itu, beliau bisa bicara 2 bahasa daerah, yakni Jawa dan Sunda, sama persis dengan yang saya kuasai (meski saya meng-klaim memiliki keahlian bahasa daerah yang lain yakni Bahasa Banjar). Beliau adalah juga penulis otodidak yang sangat berbakat. Begitu mood datang, maka ide ngaburudul seolah tak bisa dihentikan. Menulis menjadi ritual yang memabokkan dan melupakan segala hal. Sedikit banyak sayapun merasakan hal seperti ini. Beliau dan saya juga penganut flexy time untuk soal kehadiran di kantor. Bagi kami, disiplin harus lebih dimaknakan sebagai disiplin kinerja, bukan semata-mata disiplin kehadiran seperti mazhab reformasi birokrasi saat ini. Disiplin waktu memang penting, namun jika tidak diimbangi dengan kinerja maka hanya akan melanggengkan stigma PNS 7-0-4 (datang jam 7, kinerja 0, pulang jam 4). Saya haqqul yaqin bahwa birokrasi di Indonesia suatu ketika akan menerapkan sistem flexy time, fitted performance ini. Persamaan lain diungkapkan salah satu staf di PKP2A I bahwa dia selama ini baru menemukan 2 orang di LAN yang memiliki passion begitu besar untuk memajukan lembaga; dan kedua orang itu adalah saya dan pak Desi.

Satu-satunya persamaan yang tidak baik adalah bahwa kami mati-matian hingga saat ini belum mampu menyelesaikan program S3 atau Doktor. Tapi semua orang mengatakan bahwa saya dan pak Desi sebenarnya hanya sekedar formalitas untuk memiliki gelar ini, sementara kapasitas kami sudah jauh melampaui yang sudah menyandang gelar paling bergengsi tersebut. Mungkin itu terlalu subyektif dan sedikit berlebihan, namun puluhan orang yang memiliki pendapat seperti itu sehingga akan membentuk inter-subyektivitas atau kondisi obyektif itu sendiri.

Ketika saya memutuskan untuk menulis memoir ini, itupun didorong oleh kesamaan baru yang kami miliki. Kalau selama ini kami sama-sama pernah sekali menjadi Kabid Litbang/Kajian dan 2 kali menjadi Kepala Pusat Kajian, sekarang kami sma-sama pernah merasakan jabatan sebagai Deputi. Bedanya, beliau sudah 7 tahun menjadi Deputi, sementara saya baru beberapa bulan saja. Uniknya, ruang kerja pak Desi selaku Deputi Litbang APOAN saat ini adalah ruang kerja saya selaku Deputi Inovasi Administrasi Negara. Bahkan hampir tidak bisa dipercaya, bahwa rumah jabatan beliau akan diperuntukkan bagi saya, meski saya memilih untuk tetap tinggal di Serpong karena berbagai alasan. Ketika beliau lengser dari jabatan Eselon I-a dengan santai dan tanpa beban, itu menunjukkan bahwa beliau sejak awal jadi pegawai hingga paripurna selaku pimpinan tinggi organisasi, tidak pernah sedikitpun memiliki orientasi jabatan. Apa yang beliau lakukan sepenuhnya diniatkan untuk kemajuan dan kebaikan organisasi. Sayapun – sedikit banyak – juga merasa memiliki orientasi pada upaya mencapai mutu pekerjaaan sebaik mungkin. Ketika saatnya tiba bagi saya untuk lengser, saya yakin bahwa saya bisa meneladani pak Desi dengan sikap santainya tadi.

Meskipun kami memiliki persamaan yang begitu banyak, namun sesungguhnya kami memiliki perbedaan dalam style. Gaya bicara, gaya berargumentasi, gaya tulisan, gaya dalam membuat tampilan slide powerpoint, gaya hidup kami cukup beda jauh. Maka pak Desi tetaplah pak Desi, dan saya tetaplah diri saya. Dengan gaya kami yang berbeda, justru kami bisa saling mengisi, saling menguatkan, dan saling memampukan.

Saya dedikasikan tulisan ini untuk guru, senior, pimpinan, dan juga sahabat saya, pak Desi Fernanda. Semoga di profesi barunya sebagai Widyaiswara, beliau tetap sehat, semakin produktif, mampu menemukan kembali gairah dan energinya yang begitu besar, serta semakin bermakna keberadaannya bagi lembaga, bagi seluruh aparatur negara, dan bagi negara tercinta. Semoga pula ladang pengabdiannya yang baru akan menjadi ladang amal jariyah yang mendatangkan pahala tak terputus hingga akhir zaman untuk beliau dan keluarganya. Terima kasih pak Desi atas interaksi dan silaturahmi selama 20 tahun terakhir ini. Tanpa bapak, mungkin sekali saya tidak bisa mencapai titik seperti saat ini.

Serpong – Veteran pp.
Villa Melati Mas, 14 Februari 2014.

Tidak ada komentar: