Di tulisan saya
sebelumnya berjudul Bagaimana Menumbuhkan
Inovasi?, telah saya uraikan tentang 7 sumber inovasi yang digagas Peter F.
Drucker. Selain ketujuh sumber tersebut, saya berpendapat bahwa inovasi dapat
digali dan dikembangkan dari dua hal, yakni permasalahan yang dihadapi, dan
mandat kebijakan yang memerintahkan secara eksplisit maupun implisit untuk
dilakukannya inovasi.
Faktor pertama, yakni permasalahan, bagi saya
adalah alasan pertama dan terpenting dari lahirnya inovasi. Masalah ini pada
umumnya berupa kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, dan menjadi faktor
pendorong (push factors) lahirnya
inovasi. Ketika orang capek dengan
menimba air di sumur, terciptalah mesin pompa air manual. Ketika sudah bosan
dengan mesin pompa air manual, muncullah mesin jet-pump sehingga cukup dengan menekan tombol, air sudah mengalir.
Begitu pula ketika orang ingin makan nasi panas-panas tanpa harus memasak
terlebih dahulu, maka lahirlah rice-cooker
atau magic-jar yang tidak hanya
berfungsi untuk menanak nasi, namun juga untuk menghangatkan. Dalam kasus lain,
pengalaman mencuci pakaian dengan cara menyikat dan menggilas yang sangat
melelahkan, telah memicu lahirnya mesin cuci otomatis. Begitulah seterusnya, inovasi
selalu menjadi jawaban terhadap masalah yang dihadapi umat manusia. Tanpa
adanya masalah, maka kecil kemungkinan tumbuhnya ide-ide inovatif. Bahkan
operasi face-off pertama di Indonesia
yang dilakukan tim dokter RS Soetomo Surabaya, terjadi karena adanya kasus
penyiraman air keras dari seorang suami kepada istrinya.
Atas dasar
pemahaman bahwa inovasi lahir dari rahim problematika sosial, maka untuk
mendorong inovasi dalam bidang pemerintahan atau administrasi negarapun dapat
dimulai dengan mengidentifikasikan masalah yang ada. Secara umum, permasalahan
administrasi negara terbentang dari rendahnya daya saing dan efektivitas
pemerintahan (government competitiveness
and effectiveness), tingginya persepsi dan kasus korupsi, rendahnya indeks
pembangunan manusia (human development
index), layanan investasi dan usaha yang lambat (ease of doing business), disparitas
pembangunan yang tinggi antar sektor dan antar daerah, lemahnya koodinasi
kebijakan dan sinergi lintas-instansional, dan sebagainya. Pendalaman terhadap
karakteristik masing-masing masalah diharapkan akan menghasilkan inovasi yang
sesuai untuk mengatasi masalah tersebut.
Faktor kedua adalah mandat peraturan
perundang-undangan. Salah satunya adalah UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN). Pada pasal 44 UU ini memberikan tugas kepada LAN untuk melakukan inovasi manajemen ASN sesuai dengan kebutuhan
kebijakan. Karena sifatnya yang mandatory,
maka meskipun tanpa didahului oleh situasi problematik tertentu, inovasi tetap
harus dilakukan. Masalahnya, aspek-aspek manajemen ASN apa yang dapat dilakukan
inovasi, apa wujud konkrit inovasi manajemen ASN itu, bagaimana melakukan
inovasi manajemen ASN, dan siapa yang harus melakukan inovasi manajemen ASN,
apakah hanya LAN saja, ataukah juga setiap instansi terkait dan pegawai ASN?
Jika inovasi manajemen ASN bukan monopoli LAN, bagaimana pembagian peran antar
aktor inovasi dalam manajemen ASN tersebut? Ini adalah beberapa pertanyaan yang
harus segera dipastikan jawabannya.
Dalam benak saya, manajemen ASN itu
adalah sebuah bidang garapan yang amat luas, sehingga berapa jumlah inovasi yang
bisa dirancang juga sangat terbuka. Scope
yang bisa digarap membentang dari pengembangan karier, pengembangan
kompetensi, pola karier, promosi, dan mutasi. Pengembangan kompetensi sendiri
bisa dijabarkan lebih jauh dalam elemen yang lebih mikro seperti pendidikan, on the job and off the job training,
pembinaan perilaku dan etika, standarisasi dan uji kompetensi, dan sebagainya.
Mengingat wilayah yang sedemikian luas tadi, maka menentukan bidang prioritas
dalam inovasi manajemen ASN menjadi sangat penting. Dalam konteks menentukan
prioritas tadi, kita dapat menentukan titik-titik krusial (critical points) dalam manajemen ASN. Titik kritis ini adalah aspek
manajemen ASN yang jika tidak ditangani dengan segera akan mengakibatkan
masalah semakin memburuk. Selain menetapkan titik-titik kritis, kita dapat juga
memanfaatkan 7 sources of innovastion
dari Peter F Drucker.
Menurut saya, salah satu titik krusial dan
situasi incongruities dalam
manajemena ASN adalah besarnya jumlah pegawai yang harus dididik. Jika seorang
pegawai memiliki hak 12 hari kerja dlam satu tahun, sementara jumlah pegawai
ASN adalah 4,5 juta, maka jumlah hari yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kompetensi pegawai ASN sebanyak 54 juta hari kerja dalam satu tahun. Jika
anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program pengembangan kompetensi per
pegawai per hari minimal Rp. 250.000 (uang transport, konsumsi, penggandaan
bahan, honorarium pengajar, dan lain-lain), maka dibutuhkan anggaran sebesar Rp.
13,5 trilyun dalam satu tahun. Angka ini bisa saja melonjak tajam karena
faktanya banyak pegawai yang mendapat kesempatan pengembangan diri lebih dari
12 hari, atau dengan SBU (satuan biaya umum) per hari lebih dari Rp 250.000.
apalagi jika program tadi dilakukan dengan kunjungan ke luar negeri, dapat
dipastikan kebutuhan anggaran menajdi semakin menggila. Padahal dalam
realitanya, anggaran yang tersedia sangatlah terbatas dan tidak terdistribusi
secara merata antar Kementerian/Lembaga, antar tingkatan jabatan, bahkan antar
pegawai.
Kontradiksi antara target yang
dimandatkan dengan sumber daya yang tersedia tadi hanya bisa diselesaikan jika
ada inovasi yang cukup mendasar. Misalnya, perlu diciptakan sistem dan mekanisme
pengembangan kompetensi pegawai yang tidak bersifat face to face, namun bisa diikuti secara simultan oleh sebanyak
mungkin pegawai meski berasal dari wilayah yang berjauhan dan zona waktu yang
berbeda pula. Program pelatihan, bimbingan teknis, konsultasi, atau apapun
sepanjang untuk pengembangan kompetensi pegawai, juga harus diciptakan
sefleksibel mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan kompetensi para pegawai yang
berbeda-beda. Model pembelajaran seperti diklat jarak jauh, online education, pembelajaran melalui
televisi/radio, continuing education,
atau model-model lainnya mungkin sekali perlu di-adjust kembali untuk menekan sebesar mungkin biaya penyelenggaraan
program capacity building pegawai.
Selain itu, praktek manajemen
kepegawaian selama ini yang telah memunculkan sentimen kedaerahan melalui
status pegawai daerah dan perbedaan dalam besaran tunjangan kinerja, juga harus
segera direformasi. Inovasi dalam sistem karier, sistem mutasi antar daerah dan
antar tingkatan pemerintahan, serta sistem pertukaran keahlian dan pembelajaran
lintas budaya, sangat mendesak untuk membangun sosok pegawai ASN sebagai
pengawal keutuhan NKRI (the guardian of
the state).
Tentu masih banyak lagi inovasi yang
bisa dikembangkan. Rasio antara jumlah pegawai dengan jumlah penduduk yang
belum ideal, atau rasio antara jabatan fungsional keahlian dengan jabatan
administrasi (staf pelaksana) yang juga belum ideal, dan sebagainya, dihadapkan
pada tuntutan pemberian layanan publik yang semakin cepat, akurat, dan berkualitas,
adalah ruang-ruang terbuka yang menunggu sentuhan magis para inovator, terutama
para inovator di LAN. Tentu saja, inovasi-inovasi tadi tidak harus dilakukan
secara massive di tahap awal
pemberlakuan UU ASN. Inovasi perlu dirancang secara terstruktur dan sistematis
pada setiap periode implementasi UU tersebut, sehingga inovasi yang satu akan
disusul oleh inovasi yang lain, begitu seterusnya membentuk sebuah estafet yang
tidak akan terputus atau terhenti.
Konkritnya, gagasan inovasi akan
dirumuskan terlebih dahulu oleh LAN, untuk kemudian dikomunikasikan dengan
berbagai pihak terkait. Setelah dirasa cukup matang dan mendapat dukungan stakeholders, maka inisiatif inovasi
tadi akan diujicobakan atau diinjeksikan dalam sistem kebijakan yang ada agar
memiliki kekuatan hukum mengikat bagi pihak terkait. Namun aktor yang akan
mengaplikasikan inovasi ini nantinya adalah unit-unit organisasi atau individu
pejabat yang berkepentingan dengan manajemen ASN.
Menjelang maghrib di ruang kerja kantor,
Jakarta, 5 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar