Rabu, 05 Februari 2014

Inovasi Manajemen ASN: Bagaimana Kemungkinannya?


Di tulisan saya sebelumnya berjudul Bagaimana Menumbuhkan Inovasi?, telah saya uraikan tentang 7 sumber inovasi yang digagas Peter F. Drucker. Selain ketujuh sumber tersebut, saya berpendapat bahwa inovasi dapat digali dan dikembangkan dari dua hal, yakni permasalahan yang dihadapi, dan mandat kebijakan yang memerintahkan secara eksplisit maupun implisit untuk dilakukannya inovasi. 

Faktor pertama, yakni permasalahan, bagi saya adalah alasan pertama dan terpenting dari lahirnya inovasi. Masalah ini pada umumnya berupa kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, dan menjadi faktor pendorong (push factors) lahirnya inovasi. Ketika orang capek dengan menimba air di sumur, terciptalah mesin pompa air manual. Ketika sudah bosan dengan mesin pompa air manual, muncullah mesin jet-pump sehingga cukup dengan menekan tombol, air sudah mengalir. Begitu pula ketika orang ingin makan nasi panas-panas tanpa harus memasak terlebih dahulu, maka lahirlah rice-cooker atau magic-jar yang tidak hanya berfungsi untuk menanak nasi, namun juga untuk menghangatkan. Dalam kasus lain, pengalaman mencuci pakaian dengan cara menyikat dan menggilas yang sangat melelahkan, telah memicu lahirnya mesin cuci otomatis. Begitulah seterusnya, inovasi selalu menjadi jawaban terhadap masalah yang dihadapi umat manusia. Tanpa adanya masalah, maka kecil kemungkinan tumbuhnya ide-ide inovatif. Bahkan operasi face-off pertama di Indonesia yang dilakukan tim dokter RS Soetomo Surabaya, terjadi karena adanya kasus penyiraman air keras dari seorang suami kepada istrinya. 

Atas dasar pemahaman bahwa inovasi lahir dari rahim problematika sosial, maka untuk mendorong inovasi dalam bidang pemerintahan atau administrasi negarapun dapat dimulai dengan mengidentifikasikan masalah yang ada. Secara umum, permasalahan administrasi negara terbentang dari rendahnya daya saing dan efektivitas pemerintahan (government competitiveness and effectiveness), tingginya persepsi dan kasus korupsi, rendahnya indeks pembangunan manusia (human development index), layanan investasi dan usaha yang lambat (ease of doing business), disparitas pembangunan yang tinggi antar sektor dan antar daerah, lemahnya koodinasi kebijakan dan sinergi lintas-instansional, dan sebagainya. Pendalaman terhadap karakteristik masing-masing masalah diharapkan akan menghasilkan inovasi yang sesuai untuk mengatasi masalah tersebut. 

Faktor kedua adalah mandat peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada pasal 44 UU ini memberikan tugas kepada LAN untuk melakukan inovasi manajemen ASN sesuai dengan kebutuhan kebijakan. Karena sifatnya yang mandatory, maka meskipun tanpa didahului oleh situasi problematik tertentu, inovasi tetap harus dilakukan. Masalahnya, aspek-aspek manajemen ASN apa yang dapat dilakukan inovasi, apa wujud konkrit inovasi manajemen ASN itu, bagaimana melakukan inovasi manajemen ASN, dan siapa yang harus melakukan inovasi manajemen ASN, apakah hanya LAN saja, ataukah juga setiap instansi terkait dan pegawai ASN? Jika inovasi manajemen ASN bukan monopoli LAN, bagaimana pembagian peran antar aktor inovasi dalam manajemen ASN tersebut? Ini adalah beberapa pertanyaan yang harus segera dipastikan jawabannya. 

Dalam benak saya, manajemen ASN itu adalah sebuah bidang garapan yang amat luas, sehingga berapa jumlah inovasi yang bisa dirancang juga sangat terbuka. Scope yang bisa digarap membentang dari pengembangan karier, pengembangan kompetensi, pola karier, promosi, dan mutasi. Pengembangan kompetensi sendiri bisa dijabarkan lebih jauh dalam elemen yang lebih mikro seperti pendidikan, on the job and off the job training, pembinaan perilaku dan etika, standarisasi dan uji kompetensi, dan sebagainya. Mengingat wilayah yang sedemikian luas tadi, maka menentukan bidang prioritas dalam inovasi manajemen ASN menjadi sangat penting. Dalam konteks menentukan prioritas tadi, kita dapat menentukan titik-titik krusial (critical points) dalam manajemen ASN. Titik kritis ini adalah aspek manajemen ASN yang jika tidak ditangani dengan segera akan mengakibatkan masalah semakin memburuk. Selain menetapkan titik-titik kritis, kita dapat juga memanfaatkan 7 sources of innovastion dari Peter F Drucker. 

Menurut saya, salah satu titik krusial dan situasi incongruities dalam manajemena ASN adalah besarnya jumlah pegawai yang harus dididik. Jika seorang pegawai memiliki hak 12 hari kerja dlam satu tahun, sementara jumlah pegawai ASN adalah 4,5 juta, maka jumlah hari yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi pegawai ASN sebanyak 54 juta hari kerja dalam satu tahun. Jika anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program pengembangan kompetensi per pegawai per hari minimal Rp. 250.000 (uang transport, konsumsi, penggandaan bahan, honorarium pengajar, dan lain-lain), maka dibutuhkan anggaran sebesar Rp. 13,5 trilyun dalam satu tahun. Angka ini bisa saja melonjak tajam karena faktanya banyak pegawai yang mendapat kesempatan pengembangan diri lebih dari 12 hari, atau dengan SBU (satuan biaya umum) per hari lebih dari Rp 250.000. apalagi jika program tadi dilakukan dengan kunjungan ke luar negeri, dapat dipastikan kebutuhan anggaran menajdi semakin menggila. Padahal dalam realitanya, anggaran yang tersedia sangatlah terbatas dan tidak terdistribusi secara merata antar Kementerian/Lembaga, antar tingkatan jabatan, bahkan antar pegawai. 

Kontradiksi antara target yang dimandatkan dengan sumber daya yang tersedia tadi hanya bisa diselesaikan jika ada inovasi yang cukup mendasar. Misalnya, perlu diciptakan sistem dan mekanisme pengembangan kompetensi pegawai yang tidak bersifat face to face, namun bisa diikuti secara simultan oleh sebanyak mungkin pegawai meski berasal dari wilayah yang berjauhan dan zona waktu yang berbeda pula. Program pelatihan, bimbingan teknis, konsultasi, atau apapun sepanjang untuk pengembangan kompetensi pegawai, juga harus diciptakan sefleksibel mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan kompetensi para pegawai yang berbeda-beda. Model pembelajaran seperti diklat jarak jauh, online education, pembelajaran melalui televisi/radio, continuing education, atau model-model lainnya mungkin sekali perlu di­-adjust kembali untuk menekan sebesar mungkin biaya penyelenggaraan program capacity building pegawai.  

Selain itu, praktek manajemen kepegawaian selama ini yang telah memunculkan sentimen kedaerahan melalui status pegawai daerah dan perbedaan dalam besaran tunjangan kinerja, juga harus segera direformasi. Inovasi dalam sistem karier, sistem mutasi antar daerah dan antar tingkatan pemerintahan, serta sistem pertukaran keahlian dan pembelajaran lintas budaya, sangat mendesak untuk membangun sosok pegawai ASN sebagai pengawal keutuhan NKRI (the guardian of the state). 

Tentu masih banyak lagi inovasi yang bisa dikembangkan. Rasio antara jumlah pegawai dengan jumlah penduduk yang belum ideal, atau rasio antara jabatan fungsional keahlian dengan jabatan administrasi (staf pelaksana) yang juga belum ideal, dan sebagainya, dihadapkan pada tuntutan pemberian layanan publik yang semakin cepat, akurat, dan berkualitas, adalah ruang-ruang terbuka yang menunggu sentuhan magis para inovator, terutama para inovator di LAN. Tentu saja, inovasi-inovasi tadi tidak harus dilakukan secara massive di tahap awal pemberlakuan UU ASN. Inovasi perlu dirancang secara terstruktur dan sistematis pada setiap periode implementasi UU tersebut, sehingga inovasi yang satu akan disusul oleh inovasi yang lain, begitu seterusnya membentuk sebuah estafet yang tidak akan terputus atau terhenti. 

Konkritnya, gagasan inovasi akan dirumuskan terlebih dahulu oleh LAN, untuk kemudian dikomunikasikan dengan berbagai pihak terkait. Setelah dirasa cukup matang dan mendapat dukungan stakeholders, maka inisiatif inovasi tadi akan diujicobakan atau diinjeksikan dalam sistem kebijakan yang ada agar memiliki kekuatan hukum mengikat bagi pihak terkait. Namun aktor yang akan mengaplikasikan inovasi ini nantinya adalah unit-unit organisasi atau individu pejabat yang berkepentingan dengan manajemen ASN. 

Menjelang maghrib di ruang kerja kantor,
Jakarta, 5 Februari 2014

Tidak ada komentar: