Undang-Undang Pendidikan Tinggi melarang
dengan tegas praktek kuliah dengan model kelas jauh. Saya mendukung hal ini,
karena faktanya kelas jauh sering kali tidak mencerminkan sama sekali sebuah
proses belajar-mengajar. Di kelas jauh tidak ada sekretariat yang mengelola
program pendidikan, tidak ada perpustakaan yang representatif, tidak ada dosen
yang bisa dihubungi sewaktu-waktu, dan proses pendidikan/pengajaran bersifat
amat incidental. Dosen hanya akan datang sekali-kali, itupun sering “diborong”
dengan memberi kuliah sehari penuh dan dikalkulasi sebagai pertemuan 3-4
minggu. Belajar menjadi proses yang sangat instan dan formalitas, seolah-olah
dengan hanya melakukan 2-3 pertemuan dianggap sudah ekuivalen dengan pertemuan
satu semester, dan mahasiswa dianggap sudah memiliki kompetensi yang memadai.
Namun metode jarak jauh berbeda dengan
kelas jauh. Meskipun sama-sama tidak berbasis pada pertemuan langsung secara
reguler antara pengajar dan siswanya, namun dalam model pendidikan jarak jauh
ini tidak ada pemadatan materi atau percepatan waktu belajar. Modul
pembelajaran juga diberikan utuh, bukan sekedar bahan tayang berupa power point slide. Boleh jadi peserta
justru membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk menguasai materi, karena dia
harus belajar secara mandiri sebelum datang kesempatan untuk bimbingan atau
tatap muka langsung dengan pengajar/ pembimbing.
Model pembelajaran jarak jauh ini pernah
diterapkan LAN dalam bentuk DJJ (Diklat Jarak Jauh). Gagasan ini menurut saya
adalah sebuah inovasi, karena merupakan sebuah terobosan baru dalam sistem
pendidikan konvensional yang bersifat klasikal (pembelajaran di kelas).
Padahal, menuntut ilmu bisa dimana saja, apakah di kantor, di pasar, di alam
terbuka, di rumah, atau dimanapun. Belajar juga tidak harus dari seorang guru,
namun bisa dari siapapun, apakah dari sesama siswa, dari teman se kantor, dari anak-anak kita, dari para pedagang di
kantor, maupun dari siapa saja. Ilmu-pun juga bukan hanya mata-mata pelajaran
yang sudah masuk dalam kurikulum, namun bisa berupa kontemplasi dan imajinasi
seseorang, sikap bijak dan jujur dari pedagang pasar, pengalaman orang lain,
kesederhanaan dan kepolosan anak-anak, dan sebagainya. Paradigma yang
menganggap bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran di kelas, dari seorang
guru atau tokoh yang dianggap cendikia, dan berkaitan dengan mata pelajaran/mata
diklat tertentu, adalah paradigma yang sempit.
Itulah sebabnya, saya cukup heran
mengapa sistem DJJ saat ini sudah ditinggalkan. Padahal, mengingat banyaknya
jumlah pegawai/penduduk usia sekolah yang tidak semuanya memiliki kesempatan
mengikuti diklat/pendidikan secara formal, dan mengingat banyaknya pegawai/penduduk
usia sekolah yang berdomisili di pedalaman dan tidak memiliki kesempatan
berinteraksi dengan pegawai dari wilayah perkotaan, DJJ menjadi solusi yang
cukup ampuh. DJJ adalah metode yang relatif bisa menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan (education for all),
sekaligus mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah yang telah
maju dengan daerah pedesaan, terpencil, atau di wilayah perbatasan. Selain itu,
DJJ juga dapat mengatasi masalah keterbatasan anggaran serta sarana dan
prasarana diklat. Dengan DJJ, kebutuhan pengadaan gedung, ruang kelas, meja
kursi, bahkan konsumsi bisa ditiadakan. Belum lagi alokasi untuk perjalanan
dinas, uang harian, dan honorarium pengajar yang menyedot banyak anggaran, bisa
dihemat untuk direalokasikan ke sektor yang lebih prioritas. Dengan kata lain,
jika DJJ ini bisa diterapkan baik untuk diklat aparatur maupun pendidikan umum,
maka amanat UUD 1945 untuk mengalokasikan 20% APBN/APBD untuk sektor pendidikan
dapat dihemat secara signifikan.
Jika ide dasar pembangunan MRT (mass rapid transportation) di Jakarta
adalah moving people, not cars, maka
ide dasar DJJ adalah moving knowledge,
not people. Artinya, untuk menuntut ilmu atau untuk menjadi
peserta didik tidak harus berbondong-bondong ke sekolah, ke pusat-pusat
pelatihan, atau ke lembaga-lembaga kursus/pendidikan. Biarkan materi, modul,
dan bahan-bahan belajar yang mendatangi si calon pembelajar. Dengan demikian,
belajat adalah proses pengembangan kapasitas yang dapat dilakukan dimana saja
dan kapan saja, juga oleh siapa saja.
Analog dengan DJJ, konsep home schooling dan model belajar secara
online yang diterapkan oleh Lemhanas dapat saya katakan sebagai sebuah inovasi
dalam sistem pendidikan secara nasional. Jika kursus di Lemhanas masih eksis
hingga saat ini dan home schooling makin
diminati oleh kelas menengah di perkotaan, maka aneh jika DJJ justru dimatikan.
Jikapun banyak kekurangan dalam pelaksanaan DJJ pada masa lalu, menurut saya
bukan alasan untuk menghentikan konsep yang baik ini. Bahkan saya berpikir
bahwa inovasi-inovasi baru dalam model pendidikan masih bisa digali lagi. Salah
satunya adalah self learning.
Seperti kita maklumi, di dunia ini
banyak sekali manusia-manusia hebat dengan latent luar biasa dan kreativitas
tinggi yang tidak pernah menempuh sekolah/diklat formal. Manusia-manusia
otodidak dengan kecerdasan diatas rata-rata orang normal ini terbukti mampu
menjadi tokoh-tokoh yang mampu mengubah dunia. Sebut saja Steve Jobs atau Bill
Gates, adalah dua ikon terbesar abad 20 di bidang teknologi komputasi. Itulah
sebabnya, mudah dipahami mengapa Paul Arden dalam bukunya berjudul “Whatever You Think, Think The Opposite”menyarankan
pembacanya untuk tidak kuliah di universitas. Selengkapnya dia menulis sebagai
berikut:
Going to university usually means, “I don’t
know what to do with my life, so I’ll go to university”. A gap year confirms
this. They are delaying tactics. Some people are lucky enough to know what they
want to do early in life. The majority have great difficulty in putting their asserts
to useful purpose. I feel sorry for these people. It isn’t easy for them. But
going to university is not going to solve their problem. Whereas going to work
will.
Sayangnya, di negeri yang lebih
mementingkan formalitas seperti Indonesia, sangat sulit seseorang yang tidak
sekolah formal menemukan ruang-ruang aktualisasi diri. Seseorang yang berijazah
SMA, misalnya, hampir dapat dipastikan nasibnya akan berputar di sekitar kuli
bangunan, pesuruh kantor, pedagang asongan, dan sejenisnya. Sebab, tidak ada
organisasi pemerintah maupun perusahaaan yang bersedia mengkader mereka sebagai
kandidat pimpinan strategis. Maka, orang-orang seperti itu, harus menciptakan
sendiri nasibnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Steve Jobs atau Bill Gates. Situasi
seperti ini menyiratkan bahwa model self-learning
tidak dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan. Dengan kata lain, sistem
pendidikan kita selama ini mengingkari fakta bahwa potensi seseorang dapat
tumbuh dan berkembang tanpa harus melalui jalur pendidikan formal. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan praktik di Korea, dimana seorang Kim Dae-jung bisa
menjadi pengacara hebat, dan bahkan kemudian menjadi Presiden, meskipun tidak
memiliki dasar pendidikan formal bidang hukum. Bagaimana di Indonesia?
Seseorang yang ingin ujian calon pengacara, syarat pertama dan utama adalah
harus bergelar Sarjana Hukum.
Kembali ke pokok persoalan dari tulisan
ini, model pendidikan jarak jauh (bukan kelas jauh) seyogyanya diaktualisasikan
kembali, baik untuk konteks aparatur maupun pendidikan umum (terutama jenjang
pendidikan dasar dan menengah). Bangsa ini harus sudah berpikir di level
output, bukan lagi di level proses. Maksudnya, lihatlah pada kompetensi
seseorang, bukan bagaimana kompetensi ini dibangun. Sudah saatnya bangsa ini
mengedepankan aspek substansial, bukan lagi aspek formal belaka. Sebelum kita
mampu menemukan inovasi yang jauh lebih baik dibanding model pembelajaran jarak
jauh ini, tidak ada salahnya untuk terus dilanjutkan.
Serpong, 21 Februari 2014
(pulang dari kantor disambut listrik
padam di rumah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar