Kamis, 06 Februari 2014

Mengapa Berinovasi?


Meskipun definisi inovasi hingga kini masih sangat berbeda-beda, meskipun membentuk pemahaman yang sama tentang inovasi juga sulit, meskipun inovasi itu tidak mudah bahkan cenderung sulit, dan meskipun inovasi itu membutuhkan “pengorbanan” berupa efforts yang lebih keras, namun seua itu tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak berinovasi. Inovasi tetaplah harus dilakukan apapun situasi dan kondisinya.  

Mengapa demikian? Sebab, sudah menjadi kodrat manusia untuk selalu ingin lebih baik, menjadi lebih pintar dan lebih kaya, dan seterusnya. Ajaran agamapun mengajarkan bahwa manusia yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari kemaren dan besok lebih baik lagi dibanding hari ini. Semua kebaikan tadi tidak mungkin datang tiba-tiba, melainkan harus diupayakan melalui usaha keras dan cerdas secara berkelanjutan. 

Nah uniknya, usaha keras dan cerdas itu tidak bertahan lama. Usaha keras dan cerdas yang telah menghasilkan banyak kebaikan, biasanya akan mengantarkan pada situasi yang lebih nyaman dari sebelumnya. Dan situasi nyaman ini yang seringkali melupakan kita untuk tidak lagi melakukan usaha keras dan cerdas. Akibatnya, terjerumuslah kita dalam comfort zone yang melenakan, seolah segala sesuatu baik-baik saja, seolah tidak pernah ada masalah di sekitar kita. Ketika sindrom comfort zone ini sudah terdeteksi, maka saat ini pulalah inovasi baru mutlak dibutuhkan, dan saat itu pulalah usaha keras dan cerdas yang lain, yang berbeda dari sebelumnya, harus diciptakan. Begitulah seterusnya, kerja keras dan cerdas tidak boleh berhenti karena inovasipun tidak boleh berhenti. Sekali kita menghentikan niat untuk berinovasi, sama artinya dengan kita melanggar kodrat manusia yang terus berjalan menuju kesempurnaan relatif. 

Secara ilustratif dapat digambarkan bahwa hidup terdiri dari susunan kurva “S”. Pada titik awal, manusia berada posisi dibawah. Dengan usaha keras dan cerdas yang dilakukan, manusia akan dapat menaikkan derajat kemanusiaannya ke titik yang lebih tinggi. Selanjutnya, didorong oleh sifat manusia yang cepat puas dan cenderung enggan berubah, maka dia menjadi stagnan di titik tersebut. dia berpikir bahwa titik itulah pencapaiannya yang tertinggi. Mungkin dia ragu bahwa diatas titik itu tidak ada titik yang lebih tinggi. Sikap inilah yang membuat garis kehidupannya menjadi mendatar. Itulah sebabnya, pada titik seperti ini, dia harus segera memutuskan untuk membuat kurva “S” yang baru, sehingga kalaupun suatu ketika garis hidupnya mendatar, namun tidak dalam jangka waktu yang lama. Proses perpindahan dari kurva “S” yang satu ke kurva “S” yang berikutnya, itulah yang kita namakan dengan inovasi. 

Gambaran diatas adalah inovasi dalam konteks individual. Bagaimana dengan konteks organisasi kecil ataupun organisasi besar bernama negara Indonesia? Seperti halnya tuntutan pertumbuhan pada level individu, entitas negara-pun selalu bergerak kearah perbaikan dan pertumbuhan. Apalagi jika dilihat indikator-indikator makro pembangunan yang masih sangat rendah atau buruk, maka usaha keras dan cerdas dari seluruh anak bangsa menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.  

Beberapa indikator makro yang menyiratkan masih rendahnya posisi Indonesia dalam kurva “S” tadi antara lain dalam hal persepsi korupsi (corruption perception index) sebesar 3.2 pada tahun 2012, atau hanya membaik 0.2 poin dibanding tahun sebelumnya. Demikian pula pada peringkat Doing Business, Indonesia berada pada ranking 128 pada tahun 2013, hanya membaik 1 tingkat dari peringkat tahun 2012. Selanjutnya pada indikator efektivitas pemerintahan (government effectiveness index) skor Indonesia amat buruk yakni sebesar -0.24 pada tahun 2012, atau lebih buruk 0.5 poin dibanding tahun 2011. Kondisi serupa terjadi pada indikator pembangunan manusia (human development index), dimana kondisi 2013 dengan skor 0.629 justru memburuh dibanding tahun 2012 dengan skor 0.640. Sementara pada indikator daya saing (global competitiveness index), Indonesia mampu meraih peringkat lumayan, yakni ranking 38 pada tahun 2013, jauh meningkat dibanding tahun 2012 yang berada pada ranking 50. Adapun pada indikator inovasi, meskipun masih rendah namun cukup ada peningkatan dari skor 28.1 pada tahun 2012 menjadi 32 pada tahun 2013 (berbagai sumber diolah). 

Disisi lain, menurut Willem Buiter dan Ebrahim Rahbari dalam tulisannya berjudul Global Growth Generators: Moving beyond ‘Emerging Markets’ and ‘BRIC’ (dalam “Global Economics View”, Citigroup Global Market: February 2011) disebutkan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-7 di dunia (dihitung dari purchasing power parity dalam USD standar tahun 2009). Bahkan 10 tahun berikutnya, yakni tahun 2014, Indonesia meningkat menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di dunia. 

Peralihan dari kondisi saat ini yang penuh masalah kepada kondisi masa yang begitu hebat, tentulah butuh usaha keras dan cerdas tadi. Saya lebih senang menyebutnya lompatan besar (giant leap). Tanpa lompatan besar ini, saya tidak begitu yakin ramalan Indonesia di tahun 2030-2050 tadi akan bisa terwujud. Situasinya akan sama ketika tahun dekade 1980 hingga 1990-an Indonesia dikategorikan sebagai Macan Asia, atau New Emerging Economies, atau bahkan keajaiban ekonomi Asia, namun kenyataannya dipenghujung abad harus terjerumus dalam kritis moneter yang sangat kronis. Maka, agar kita tidak terperosok dalam lobang yang sama seperti pengalaman masa silam, bangsa ini harus segera merumuskan agenda inovasi di seluruh sektor dan segala lini dengan baik.  

Dengan demikian, inovasi bukanlah tujuan. Inovasi tidak dilakukan untuk menghasilkan inovasi. Inovasi hanyalah sebuah langkah kecil untuk menghasilkan dampak dan kemanfaatan yang lebih besar di banding dirinya sendiri. Dalam hal ini, inovasi dengan segenap hasilnya akan didedikasikan untuk tujuan yang lebih besar seperti pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, kesejahteraan masyarakat, efektivitas pemerintahan, atau pelayanan publik yang jauh lebih bermutu. 

Pertanyaannya, siapakah yang harus melakukan inovasi tadi? Mindset lama bahwa inovasi hanya milik para pengusaha kakap, para wirausahawan besar, para pimpinan tinggi organisasi, atau para ilmuwan, harus ditanggalkan. Inovasi adalah hal lumrah yang bisa dilakukan siapa saja. Kita tidak perlu menjadi Steve Jobs (pendiri dan mantan CEO Apple), Soichiro Honda (industrialis Jepang pendiri Honda), Bill Gates (Microsoft), dan lain-lain untuk menjadi inovator. Inovasi bahkan bisa dihasilkan di desa terpencil dan oleh orang yang sama sekali tidak disangka-sangka mampu melakukannya.  

Jakarta, 6 Mei 2014.

Tidak ada komentar: