Meskipun definisi inovasi hingga kini
masih sangat berbeda-beda, meskipun membentuk pemahaman yang sama tentang
inovasi juga sulit, meskipun inovasi itu tidak mudah bahkan cenderung sulit,
dan meskipun inovasi itu membutuhkan “pengorbanan” berupa efforts yang lebih keras, namun seua itu tidak dapat dijadikan
alasan untuk tidak berinovasi. Inovasi tetaplah harus dilakukan apapun situasi
dan kondisinya.
Mengapa demikian? Sebab, sudah menjadi
kodrat manusia untuk selalu ingin lebih baik, menjadi lebih pintar dan lebih
kaya, dan seterusnya. Ajaran agamapun mengajarkan bahwa manusia yang beruntung
adalah yang hari ini lebih baik dari kemaren dan besok lebih baik lagi
dibanding hari ini. Semua kebaikan tadi tidak mungkin datang tiba-tiba,
melainkan harus diupayakan melalui usaha keras dan cerdas secara berkelanjutan.
Nah uniknya, usaha keras dan cerdas itu
tidak bertahan lama. Usaha keras dan cerdas yang telah menghasilkan banyak
kebaikan, biasanya akan mengantarkan pada situasi yang lebih nyaman dari
sebelumnya. Dan situasi nyaman ini yang seringkali melupakan kita untuk tidak lagi
melakukan usaha keras dan cerdas. Akibatnya, terjerumuslah kita dalam comfort zone yang melenakan, seolah
segala sesuatu baik-baik saja, seolah tidak pernah ada masalah di sekitar kita.
Ketika sindrom comfort zone ini sudah
terdeteksi, maka saat ini pulalah inovasi baru mutlak dibutuhkan, dan saat itu
pulalah usaha keras dan cerdas yang lain, yang berbeda dari sebelumnya, harus
diciptakan. Begitulah seterusnya, kerja keras dan cerdas tidak boleh berhenti
karena inovasipun tidak boleh berhenti. Sekali kita menghentikan niat untuk
berinovasi, sama artinya dengan kita melanggar kodrat manusia yang terus
berjalan menuju kesempurnaan relatif.
Secara ilustratif dapat digambarkan
bahwa hidup terdiri dari susunan kurva “S”. Pada titik awal, manusia berada
posisi dibawah. Dengan usaha keras dan cerdas yang dilakukan, manusia akan
dapat menaikkan derajat kemanusiaannya ke titik yang lebih tinggi. Selanjutnya,
didorong oleh sifat manusia yang cepat puas dan cenderung enggan berubah, maka
dia menjadi stagnan di titik tersebut. dia berpikir bahwa titik itulah
pencapaiannya yang tertinggi. Mungkin dia ragu bahwa diatas titik itu tidak ada
titik yang lebih tinggi. Sikap inilah yang membuat garis kehidupannya menjadi
mendatar. Itulah sebabnya, pada titik seperti ini, dia harus segera memutuskan
untuk membuat kurva “S” yang baru, sehingga kalaupun suatu ketika garis
hidupnya mendatar, namun tidak dalam jangka waktu yang lama. Proses perpindahan
dari kurva “S” yang satu ke kurva “S” yang berikutnya, itulah yang kita namakan
dengan inovasi.
Gambaran diatas adalah inovasi dalam
konteks individual. Bagaimana dengan konteks organisasi kecil ataupun
organisasi besar bernama negara Indonesia? Seperti halnya tuntutan pertumbuhan
pada level individu, entitas negara-pun selalu bergerak kearah perbaikan dan
pertumbuhan. Apalagi jika dilihat indikator-indikator makro pembangunan yang
masih sangat rendah atau buruk, maka usaha keras dan cerdas dari seluruh anak
bangsa menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Beberapa indikator makro yang
menyiratkan masih rendahnya posisi Indonesia dalam kurva “S” tadi antara lain dalam
hal persepsi korupsi (corruption
perception index) sebesar 3.2 pada tahun 2012, atau hanya membaik 0.2 poin
dibanding tahun sebelumnya. Demikian pula pada peringkat Doing Business, Indonesia berada pada ranking 128 pada tahun 2013,
hanya membaik 1 tingkat dari peringkat tahun 2012. Selanjutnya pada indikator efektivitas
pemerintahan (government effectiveness
index) skor Indonesia amat buruk yakni sebesar -0.24 pada tahun 2012, atau
lebih buruk 0.5 poin dibanding tahun 2011. Kondisi serupa terjadi pada
indikator pembangunan manusia (human
development index), dimana kondisi 2013 dengan skor 0.629 justru memburuh
dibanding tahun 2012 dengan skor 0.640. Sementara pada indikator daya saing (global competitiveness index), Indonesia
mampu meraih peringkat lumayan, yakni ranking 38 pada tahun 2013, jauh
meningkat dibanding tahun 2012 yang berada pada ranking 50. Adapun pada
indikator inovasi, meskipun masih rendah namun cukup ada peningkatan dari skor
28.1 pada tahun 2012 menjadi 32 pada tahun 2013 (berbagai sumber diolah).
Disisi lain, menurut Willem Buiter dan Ebrahim
Rahbari dalam tulisannya berjudul Global
Growth Generators: Moving beyond ‘Emerging Markets’ and ‘BRIC’ (dalam “Global
Economics View”, Citigroup Global Market: February 2011) disebutkan bahwa pada
tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-7
di dunia (dihitung dari purchasing power
parity dalam USD standar tahun 2009). Bahkan 10 tahun berikutnya, yakni
tahun 2014, Indonesia meningkat menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di
dunia.
Peralihan dari kondisi saat ini yang penuh
masalah kepada kondisi masa yang begitu hebat, tentulah butuh usaha keras dan
cerdas tadi. Saya lebih senang menyebutnya lompatan besar (giant leap). Tanpa lompatan besar ini, saya tidak begitu yakin
ramalan Indonesia di tahun 2030-2050 tadi akan bisa terwujud. Situasinya akan
sama ketika tahun dekade 1980 hingga 1990-an Indonesia dikategorikan sebagai
Macan Asia, atau New Emerging Economies,
atau bahkan keajaiban ekonomi Asia, namun kenyataannya dipenghujung abad harus
terjerumus dalam kritis moneter yang sangat kronis. Maka, agar kita tidak
terperosok dalam lobang yang sama seperti pengalaman masa silam, bangsa ini
harus segera merumuskan agenda inovasi di seluruh sektor dan segala lini dengan
baik.
Dengan demikian, inovasi bukanlah
tujuan. Inovasi tidak dilakukan untuk menghasilkan inovasi. Inovasi hanyalah
sebuah langkah kecil untuk menghasilkan dampak dan kemanfaatan yang lebih besar
di banding dirinya sendiri. Dalam hal ini, inovasi dengan segenap hasilnya akan
didedikasikan untuk tujuan yang lebih besar seperti pertumbuhan ekonomi,
pembangunan sosial, kesejahteraan masyarakat, efektivitas pemerintahan, atau
pelayanan publik yang jauh lebih bermutu.
Pertanyaannya, siapakah yang harus
melakukan inovasi tadi? Mindset lama
bahwa inovasi hanya milik para pengusaha kakap, para wirausahawan besar, para
pimpinan tinggi organisasi, atau para ilmuwan, harus ditanggalkan. Inovasi
adalah hal lumrah yang bisa dilakukan siapa saja. Kita tidak perlu menjadi
Steve Jobs (pendiri dan mantan CEO Apple), Soichiro Honda (industrialis Jepang
pendiri Honda), Bill Gates (Microsoft), dan lain-lain untuk menjadi inovator.
Inovasi bahkan bisa dihasilkan di desa terpencil dan oleh orang yang sama
sekali tidak disangka-sangka mampu melakukannya.
Jakarta, 6 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar